Canistopia

By taejung21

63.1K 10.2K 3.7K

Sebuah dunia yang tidak akan pernah dimengerti oleh kaum manusia namun nyata adanya. July/2020 DON'T COPY MY... More

Prolog
Introductions
Canistopia - I
Canistopia - II
Canistopia - III
Canistopia - IV
Canistopia - V
Canistopia - VI
Canistopia - VII
Canistopia - VIII
Canistopia - IX
Canistopia - X
Canistopia - XI
Canistopia - XII
Canistopia - XIII
Canistopia - XIV
Canistopia - XV
Canistopia - XVI
Canistopia - XVIII
Canistopia - XIX
Canistopia - XX
Canistopia - XXI
Canistopia - XXII
Canistopia - XXIII
Canistopia - XXIV
Canistopia - XXV
Canistopia - XXVI

Canistopia - XVII

1.6K 341 59
By taejung21

.

.

Pagi yang sama sekali berbeda. Tidak ada bising dari kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang di jalanan, dan bahkan tidak satu pun dari ‘orang-orang itu’ terlihat sejauh mata memandang. Damien menuruni tangga, dan benar saja perkiraannya tadi malam, istana ini sangat sepi. Tunggu hingga pertemuan jam makan dan ia akan tahu siapa saja yang bisa dilihatnya selain keenam orang itu, Hayden, Jayden, dan pekerja di dapur. Namun siapa sangka langkahnya akan terhenti sesaat setelah mendengar suara seseorang di luar?

“Pagi sekali kau sudah datang?”

“Tidak boleh?” Setelah pertanyaan itu, pintu terbuka membuat Damien berhenti.

“Oh?” Iden menaikkan sebelah alisnya tersadar seseorang sudah berdiri memperhatikan kemunculannya dari luar. “Kau sudah bangun?”

“Memang yang lain belum bangun?” tanya Damien balik.

“Siapa?” Seorang pria muda dan asing bertanya pada Iden dengan wajahnya yang datar. Ia mengenakan sweater putih, celana bahan juga sepatu berwarna hitam, kacamata bulat, dengan rambutnya yang berwarna cokelat.

“Ah! Siapa gerangan yang datang pagi-pagi begini?” tanya seseorang dari ujung tangga mengalihkan perhatian.

“Kak Percy? Jadi benar kau sudah pulang?” tanya orang asing tadi.

Daves yang dimaksud mulai mendelik seraya mendekat. “Kau selalu saja memanggilku begitu, Wolf nakal.”

“Baiklah. Kak Daves maksudku.”

“Di mana Ken? Kau tidak datang bersama kakakmu yang sama-sama menyebalkannya itu?” tanya Daves.

“Tidak. Dia sibuk mengeruk pasir,” jawab orang tadi dengan nada ejekan.

Daves tertawa lepas. “Kau bertengkar lagi dengannya? Kau selalu mengatakan itu saat sedang marah.”

“Sudahlah. Jangan membahasnya. Di mana Sean?”

“Ah, kau mencari Sean? Benar juga, kau selalu datang kemari untuk itu. Sepertinya dia masih di kamarnya,” pikir Daves. “Sebentar. Kenalkan, ini Damien Evans. Alpha ketujuh di dalam Pack ini. Lalu Damien, ini Kevin Yoo. Teman dekat Sean dan teman bertengkar Matt,” sambungnya.

“Halo,” sapa Damien canggung.

“Begitu. Ya, aku pernah mendengarnya. Maksudku alpha yang kalian cari. Kak Daves, kalau begitu aku akan ke kamar Sean. Aku harus segera pergi sebelum mengganggu waktu makan pagi kalian,” pamit Kevin seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana kemudian berlalu pergi.

“Kenapa buru-buru sekali? Makanlah di sini!” teriak Daves sementara yang diteriaki tidak menoleh sedikit pun. “Lihat saja. Dia pasti tidak akan pergi dengan mudah sebelum puas memberondong Sean dengan banyak pertanyaan. Kalau perlu, hingga matahari terbenam.”

“Ku pikir Sean masih beristirahat karena perjalanan kemarin. Aku gagal melarangnya masuk tadi,” ucap Iden.

Daves mengedik kecil menatap keduanya bergantian. “Dia keras kepala, sama seperti Ken. Tidak ada gunanya kau melarang.”

“Siapa Ken?” tanya Damien.

“Kakaknya. Kau tidak menyimak tadi?” heran Daves.

Damien tersenyum lebar. “Hanya meyakinkan.”

“Ck, ck. Ken temanku, kami seusia. Begitu pun Kevin yang seusia dengan Sean dan Matt.” Daves menggeleng-geleng gemas seraya berkacak pinggang sementara matanya memperhatikan penampilan Damien. “Pagi sekali kau sudah bersiap untuk sarapan rupanya? Tetapi sarapan biasa dilakukan pukul 8 dan itu masih satu jam lagi.”

“Ah, tidak juga,” jawab Damien. “Aku ingin bertanya. Di mana perpustakaan?”

Refleks kening Daves mengernyit. “Kau ingin menjadi Victor Matthew-II?”

“Maksudmu?”

“Sarapan buku sebelum sarapan secara nyata.”

Penjelasan Daves membuat Iden tertawa konyol. “Apa itu? Ada apa dengan kata-katamu itu, Daves? Apakah akhir-akhir ini kau memang suka bercanda?”

Daves menatap Iden kesal kemudian berdeham kecil. “Yah, ikuti saja koridor di sana,” tunjuknya ke arah kiri. “Sebelum teras belakang, kau akan melihat pintu berganda di sebelah kiri. Itulah perpustakaan.”

“Terimakasih!” senang Damien seraya bersiap pergi.

“Tapi ingat! Jam 8 tepat kau harus berada di ruang makan!” Daves berteriak kecil memperingatkan.

“Jika terlambat, aku yang akan menyusulnya nanti,” ucap Iden.

“Baiklah, kalau begitu aku akan kembali ke kamar.”

Iden menahan bahu Daves yang kembali menoleh. “Bagaimana bisa kau tahu bahwa seseorang datang kemari?”

“Aku?” tunjuk Daves pada dirinya sendiri.

“Kau pikir siapa lagi?” kesal Iden. “Merasakan bahaya di sekitar istana? Kevin bukanlah bahaya yang kau maksud, bukan?”

Daves menggeleng. “Aku mengenal Ken dan keluarganya dengan baik. Jangan gila.”

Iden melepaskan tangannya kemudian mengangguk. “Baiklah. Aku akan segera melihat keadaan di dapur,” pamitnya sementara Daves terdiam sesaat.

Jarak beberapa meter dari sana, Damien sudah tiba di ruangan yang diarahkan oleh Daves tadi. Ia mendorong pintu di hadapannya kemudian kembali ternganga seperti awal ia tiba di Canistopia.

“Apa ini?” gumam Damien seraya menutup kembali pintunya dari dalam.

Perpustakaan besar yang lebih mirip seperti perpustakaan kota dengan lemari-lemari buku yang berjajar di sisi dinding hingga ke atas langit-langit membuatnya terkagum. Beberapa meja dan kursi panjang dengan lampu khusus untuk membaca berada di tengah ruangan, sementara di sepanjang kanan dinding dibiarkan kosong memperlihatkan keindahan stained glass yang berwarna-warni efek dari sinar matahari yang menembus. Ya, jendela khas Eropa ada di dalam sini. Cantik sekali.

“Aku harus mencarinya di mana?” bingungnya menatap buku-buku yang berderet rapi.

“Apa yang kau cari?” tanya seseorang dari ambang pintu lain yang tidak Damien sadari keberadaannya.

“Kak Matt? Ada pintu lain ternyata.”

“Terhubung ke ruang pribadiku,” angguk Matt kemudian masuk menghampiri rak sementara tangannya sibuk membawa setumpuk buku.

Damien memiringkan kepalanya bingung. “Apakah semalaman kau membaca semua buku itu? Maksudku, kau tidak beristirahat?”

“Ah, bukan begitu. Ini buku yang ku baca sebelum pergi ke Chamonix. Baru sempat dikembalikan,” jawab Matt kemudian menyimpan satu persatu bukunya dibantu Damien yang mengangguk paham.

“Tadi ada yang datang.”

Matt menoleh. “Siapa?”

“Daves bilang, dia teman bertengkarmu. Um ... Kevin Y- ... Kevin apa ya? Pertama kalinya aku mendengar nama seperti itu.”

“Kevin Yoo?” tanya Matt memastikan.

Damien refleks mengangguk. “Benar! Kevin Yoo.”

“Aish, si bodoh itu.” Matt tersenyum simpul kemudian menoleh lagi. “Ah, ngomong-ngomong kau baru mendengar nama ‘Yoo’?”

“Begitulah,” angguk Damien jujur.

“Yakin?”

“Yakin. Kenapa?”

Matt menyingkirkan debu di tangan dengan menepuk-nepuknya seraya menghela napas. “Itu salah satu marga yang digunakan di Korea.”

“Oh?” Damien mengernyit. “Benarkah?”

Mendengar Damien yang keheranan membuat Matt terkikik geli. “Ah, kau mencari apa? Biar ku ambilkan.”

“Uhh ... tidak apa-apa. Aku akan mencarinya sendiri.”

“Eii ... kau tidak bisa menolak. Tidak ada waktu lagi karena kita harus segera makan pagi. Kau tidak mau Fred dan Mike mengomel karena keterlambatanmu, bukan?” goda Matt.

“Kenapa harus mengomel? Mereka bisa makan tanpaku,” heran Damien.

“Dan Daves tidak akan memulai acara makan jika anggotanya tidak lengkap.” Matt mengedik. “Baiklah. Jadi buku apa yang membuatmu datang sepagi ini ke perpustakaan?”

Damien menggaruk keningnya ragu. “Sesuatu ... tentang Shangri-La?”

“Ahh ... ada di sebelah sini.” Matt menarik tangga bergeser ke ujung kanan kemudian menaikinya. Dengan amat yakin dan cekatan ia menarik sebuah buku bersampul toska dari sana. “Nah, ini bukumu. Kau bisa membawanya lalu kembalikan setelah selesai.”

“Terimakasih. Kau cocok menjadi seorang pustakawan,” puji Damien.

Matt mengedik. “Tetapi aku ingin menjadi profesor, bisakah?”

“Ku pikir kau sudah menjadi seorang profesor? Kau meneliti dan membuat banyak hal,” bingung Damien.

“Tidak. Aku hanyalah seorang wolf yang memiliki ‘sedikit’ kelebihan. Sean juga terkadang memanggilku dokter. Tapi nyatanya? Aku bukanlah seorang dokter.” Matt terkekeh. “Ayo kita pergi sebelum perut mereka berbunyi lebih lama lagi.”

Makan pagi berlangsung sama seperti di Chamonix, hanya suasana dan hidangannya saja yang berbeda. Sesekali Damien juga terpikirkan di mana Jay dan Iden makan, tampaknya hanya ada mereka bertujuh di sana. Apakah penghuni di kastil ini memang hanya mereka yang sudah dilihatnya? Tidak ada yang lain?

“Untuk apa Kevin datang?” tanya Matt pada Sean yang menghentikan gerak sendoknya.

“Kau tahu dia datang?”

“Damien.”

Sean menoleh pada orang yang disebut kemudian mengangguk paham. “Yah, memastikan bahwa aku memang sudah kembali.”

“Ck! Dia pikir dia siapa?”

“Keturunan Beta yang mengabdi pada Pack keluarga Sean,” jawab Fred yang pandangannya tetap pada daging asap.

“Ya, ya. Kau yang paham benar.” Matt mengedik sementara Sean diam tak berkomentar.

Damien berusaha menghabiskan makanannya dalam suasana canggung. Ia tidak ingin repot-repot memikirkan apa pun untuk sementara ini karena yang diinginkannya hanyalah membaca buku yang baru saja didapatnya.

Cukup penasaran dengan Shangri-La, ia bergegas pergi ke teras belakang seusai berterimakasih pada juru masak yang menurutnya tidak kalah dengan masakan koki di restoran bintang lima. Mike dan Fred terlihat membawa alat memanah ke lapangan yang juga letaknya berada di belakang. Damien melihat itu, namun buku di tangannya terlihat lebih menarik dari pada apa pun. Setelah menuruni tangga kastil, ia melewati jalan berumput, memilih pohon rindang yang tepat dan teduh untuk duduk, kemudian mulai membuka sampulnya.

Buku itu tidak terlalu tebal, namun ia yakin dengan isinya. Bagaimana tidak? Ini diambilkan langsung oleh Matt yang notabenenya adalah seorang kutu buku. Pastilah dia sudah membacanya dan mungkin saja ini termasuk ke dalam salah satu koleksi miliknya. Ah, dan buku ini ... dibawa dari luar Canistopia. Itu artinya, kisah Shangri-La juga diyakini oleh beberapa orang yang percaya selain orang-orang di sini.

“Kau melakukannya terus! Sama sekali tidak tepat sasaran!”

Sesekali suara Mike dan Fred mengalihkan perhatian Damien yang kemudian menunduk lagi pada barisan paragraf. Namun di ujung pilar bagian teras istana, ia mendapati dua orang sedang berbincang dan sesekali memperhatikannya, Kevin yang tidak ikut makan pagi dan Sean yang wajahnya tampak serius dari biasanya.

Tetapi mengapa Daves mengatakan bahwa Kevin adalah teman dekat Sean? Pada kenyataannya dia adalah keturunan Beta yang menjadi wakil dari Pack Sean. Apakah karena Pack-nya sudah berganti? Sean juga tidak berkomentar apa pun soal pembicaraan itu di ruang makan tadi.

“Ayolah, Damien,” desisnya kemudian berusaha mengembalikan titik fokus pada bacaan.

“Sudah mendapatkan bukunya?” Sebuah suara menginterupsi membuat yang ditanya mendongak dan matanya mengikuti pergerakan sesorang yang duduk di dekatnya sekarang.

“Jayden. Kau mengejutkanku,” omel Damien.

Jay terkekeh kemudian menyipitkan matanya menatap dua wolf muda yang masih sibuk dengan panahan. “Cuaca hari ini bagus.”

“Tetapi aku tidak melihat Chris menikmati hari. Maksudku, aku hanya bertemu dengannya tadi saat makan pagi,” ucap Damien seraya membalik halaman.

“Ah, aku tidak heran. Banyak yang mengatakan bahwa Chris adalah keturunan half-Albaterra.” Jay terkekeh namun Damien menatapnya serius.

“Albaterra?”

“Vampir murni yang tinggal di balik bukit ini. Tetapi tidak sedekat itu, masih terpisahkan oleh jarak danau es yang luas. Tidak begitu tahu juga, aku sendiri tidak berminat untuk ke sana. Ada banyak sekali penjaga di tiap-tiap perbatasan tentu saja.”

“Di balik bukit? Tidakkah mereka menghindari matahari? Sepertinya menarik.”

Jay menoleh ngeri. “Menarik? Menurutmu itu menarik?”

“Mungkin di sanalah tempat salju abadi berada,” ucap Damien beropini.

Jay menggeleng tak tahu. “Selama turnamen diadakan, hanya murid-murid dari sekolah Albaterra-lah yang tidak pernah hadir. Meskipun hanya satu kali, tidak pernah tercatat di dalam sejarah. Begitu yang ku dengar.”

“Ah, jadi tidak ada yang pernah melihat secara langsung bagaimana perwujudan dari para vampir itu?” tanya Damien.

“Ada. Mereka yang menjaga perbatasan tentu saja.” Jay tertawa lepas. “Ah, lagi pula aku tidak begitu peduli. Setidaknya orang-orang dari Stavatale lebih bersahabat.”

“Eh? Stavatale?” Damien menutup bukunya dan merasa pembicaraan sekarang ini lebih menarik.

“Ya, para keturunan peri. Jangan salah paham bahwa mereka kecil-kecil dan terbang seperti rayap. Mereka tidak jauh berbeda dengan kita. Hanya saja, sihir adalah keseharian mereka. Sementara kami, para wolf memiliki teknologi yang lebih maju di bandingkan kedua negeri itu. Lokasi Stavatale ada di ujung sungai dekat air terjun.”

“Ah, aku memang melihat sungai saat perjalanan kemari.”

“Itulah. Jaraknya lumayan, kau hanya perlu mengikuti arusnya,” angguk Jay. “Ah, bagaimana dengan bukunya? Kau sudah mendapat pencerahan? Ceritakan Shangri-La menurut apa yang sudah kau baca.”

“Eum ... koreksi jika aku salah. Jadi, seorang biksu bercerita tentang adanya sebuah istana atau kerajaan yang hilang selama berabad-abad. Tepatnya di Tibet, terdapat sebuah lembah yang hilang yang disebut sebagai ‘Shangri-La’. ”

Jay mengangguk. “Ya, lalu?”

“Dalam keyakinan masyarakat sekitar, di tempat tersebut semua kebijaksanaan atau ilmu pengetahuan ras manusia berkumpul. Namun sayangnya, Shangri-La terputus dari dunia luar. Semua desas-desus terungkap dari peta misterius dan tulisan kuno yang ditemukan setelah berabad-abad lamanya.”

“Bukankah mirip? Inilah Canistopia. Tempat di mana ras para wolf berkumpul. Tempat yang indah dan juga terputus dari dunia luar, tepatnya kita semua yang keberadaannya tidak akan pernah diterima oleh manusia biasa.”

Damien terdiam kemudian tersenyum. “Tidak adakah jalan untuk mempersatukannya?”

“Dengan manusia biasa? Tidak,” jawab Jay mutlak. “Kau juga harus tahu sejarah pembantaian kaum kita, Damien.”

“Apakah para wolf memiliki dendam tertentu pada manusia? Adakah yang kalian rencanakan?”

“Bagaimanakah seharusnya menurutmu?” tanya seseorang membuat Damien dan Jay menoleh bersamaan.

“Oh, Kevin?”

.

.

.

.

.

.

aka Yoo Youngjae B.A.P (salah satu squad main gamenya Seokjin)

.

Masihkah kalian streaming Life Goes On? 💜🥺

Continue Reading

You'll Also Like

576K 58.6K 46
Hal yang paling menyedihkan adalah menyesali sesuatu yang tidak dapat terulang kembali. Hanya kata "Jika" yang terucap dan terdengar begitu menyedihk...
1.9M 101K 74
Ini gila, benar-benar gila. Bagaimana mungkin jiwa seseorang yang tertidur setelah dipaksa mencari pasangan tiba-tiba sudah pindah ke raga orang lain...
2M 179K 38
Kalisa sungguh tidak mengerti, seingatnya dia sedang merebahkan tubuhnya usai asam lambung menyerang. Namun ketika di pagi hari dia membuka mata, buk...
325K 36.4K 52
Rafka, seorang mahasiswa berumur dua puluh tujuh tahun yang lagi lagi gagal dengan nilai terendah di kampus nya, saat pulang dengan keadaan murung me...