Love: The Butterfly Effect [C...

By storiesbyyola

849K 90.4K 3.1K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... More

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 3: More beautiful than I ever imagined
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 6: You deserved it
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 8: Nothing less, nothing more
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?
Ch. 13: It's been a long time
Ch. 14: I didn't have a girlfriend
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 18: Who did this to her?
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 20: Wake up call
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 25: About fried rice
Ch. 26: One step at a time
Ch. 27: Seems like you are the only exception
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 32: I'm yours
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 34: Things will happen when it has to happen
Ch. 35: Her fears
Ch. 36: Someone from the past
Ch. 37: Trust and honesty
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 43: Can time heal a broken heart?
Ch. 44: It's never too late to try
Ch. 45: Make things right
Ch. 46: A chance to make things right
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Ch. 9: Before sunrise

15.4K 1.9K 45
By storiesbyyola

LUNA

Aku tidak tahu sudah berapa lama tertidur, tetapi kelopak mataku sulit sekali untuk dibuka ketika Aksa mengguncang pelan tubuhku. Aku mengerjapkan mata untuk menyesuaikan pandangan seraya meregangkan tubuh. Mobil jeep ini penuh terisi empat orang sehingga aku tidak bisa leluasa bergerak ataupun meluruskan kakiku.

"Udah sampai, ya?" tanyaku, masih menguap sesekali. Aku mengucek mata. "Sekarang jam berapa, Sa?"

Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Supir jeep yang membawa kami menuju Gunung Bromo sudah menghilang. Mesin mobil juga sudah dimatikan. Adam dan Lisa juga sudah tidak duduk di hadapanku. Pintu belakang mobil kini juga sudah terbuka lebar.

"Jam tiga pagi," timpal Aksa.

Aksa melompat kecil untuk menuruni mobil. Dia mengulurkan tangannya kepadaku. Mengerti maksud dari gesturnya, aku menyambutnya dan keluar dari mobil.

Suhu dingin di Gunung Bromo langsung menusuk tulangku ketika aku menginjakkan kaki di tanah bebatuan yang tidak begitu rata. Sekitar jam sebelas malam tadi, kami berangkat menuju alun-alun kota Malang karena di sanalah titik temu kami dengan travel agency yang mengurus keberangkatan menuju Gunung Bromo. Sepanjang perjalanan, aku tertidur kelelahan karena tidak sempat memejamkan mata sedetik pun setelah pulang dari Museum Angkut jam lima sore.

"Yang lain ke mana?" tanyaku seraya merapatkan coat yang kupakai.

"Itu mereka nunggu di depan," sahut Aksa seraya menunjuk rombongan lain yang berjarak tidak lebih dari lima ratus meter dari kami.

Aku telah memakai turtleneck dilapisi sweater lalu ditumpuk lagi dengan coat tetapi masih saja merasa kedinginan. Toleransi tubuhku terhadap suhu dingin memang serendah itu. "Dingin nggak sih, Sa?"

Aksa mengalihkan pandangannya kepadaku dengan kening yang berkerut. "Lo kedinginan?"

Aku mengembuskan napas. Aku tidak tahu berapa suhu di Gunung Bromo pada dini hari, tetapi uap yang muncul dari mulut dan hidungku ketika aku bernapas sudah memberikan jawaban yang jelas. Entah kenapa aku menyesal karena tidak mendengarkan peringatan Lisa untuk membawa sarung tangan atau syal.

Tidak kuat dengan rasa dingin yang melingkupi tubuh, aku memasukkan kedua tanganku ke dalam kantung coat lantas merapatkan tubuhku ke Aksa. Aku tidak mengerti setinggi apa toleransi laki-laki itu terhadap suhu yang rendah, tetapi dilihat dari tubuhnya yang tidak begitu menggigil meskipun bajunya tidak berlapis-lapis seperti diriku, aku bisa menyimpulkan kalau dia bukan orang yang mudah kedinginan.

"Sedikit," cicitku dengan suara yang agak bergetar.

Seketika Aksa melepaskan syal yang dia pakai kemudian melilitkannya di leherku. Mungkin pipiku sudah bersemu karena tindakannya yang tidak sempat kuprediksi itu.

"Bilang ke gue kalau masih dingin," pinta Aksa. Sorot matanya menunjukkan kecemasan yang begitu kentara. "Nanti kita beli sarung tangan atau apa pun itu. Tadi juga kalau nggak salah Kevin bawa hoodie cadangan."

Aku menganggukkan kepala dengan kaku. Sekujur tubuhku rasanya begitu sulit untuk digerakkan, terasa beku. Aksa menghela napas kemudian menaruh tangannya di sekitar pundakku seraya berjalan menuju anak-anak lain yang sudah menunggu kami.

"Woi! Gue tahu ini dingin banget, tapi nggak perlu modus kali," celetuk Haris jahil ketika aku dan Aksa baru menghampiri rombongan yang lain. "Apaan coba pake rangkulan segala? Lis, lihat tuh, Lis! Kembaran lo dimodusin."

"Modus dari mana!" sembur Aksa kesal. Dia menatap sahabatnya dengan sengit. "Ini anak orang kedinginan sampai menggigil begini. Lo pura-pura nggak lihat atau emang nggak bisa lihat beneran?"

"Nggak kedinginan, kok," elakku begitu melihat mereka langsung panik, tapi ternyata upayaku untuk meredakan kekhawatiran mereka tidak berhasil karena suaraku terdengar sangat bergetar. Semua orang yang ada di sekitarku kini menatapku skeptis apalagi tubuhku sekarang semakin menggigil. "Fine," aku menghela napas, menyerah. "Dingin banget. Kalian nggak kedinginan?"

"Dingin, Lun, tapi nggak yang sampai menggigil kayak lo," sahut Lisa. Dia menghampiriku kemudian memeluk tubuhku dari samping sehingga rangkulan Aksa di pundakku terlepas begitu saja.

Tidak lama kemudian, Dinda juga melakukan hal yang sama di sisi lain tubuhku. "Gue takut lo hipotermia deh, Lun."

"Nggak, lah! Jangan sampai hipotermia!" tuturku dengan nada suara yang agak meninggi. Aku tidak ingin merepotkan mereka kalau sampai terjadi apa-apa pada diriku. Dengan kekehan pelan, aku berkata, "Kalian peluk gue aja terus sampai sunrise."

Lisa tiba-tiba menjitak kepalaku, membuatku menjerit kesakitan. "Gue harusnya pelukan sama Adam bukannya pelukan sama lo."

"Mau gue laporin ke Mama?" serangku. Tega sekali dia kalau rela meninggalkanku supaya bisa bermesraan dengan Adam. "Lagian lo ini nggak bertanggung jawab banget, sih, jadi saudara kembar! Demi lo, nih, gue sampai rela kedinginan begini. Kalau gue nggak ikut, Mama nggak akan izinin lo pergi."

Lisa mendengus, tetapi dia tidak dapat berkutik karena tahu apa yang kukatakan sepenuhnya benar. "Bawel!" makinya. "Ini kita naik aja ke atas buat cari tempat duduk sebelum penuh sama orang-orang."

"Ada yang jual minuman hangat nggak, sih?" tanyaku.

"Mau minuman hangat?" tanya Aksa dengan sigap sebelum yang lain sempat berbicara. Aku mengangguk samar seraya melemparkan senyum tipis kepadanya. "Nanti gue beliin. Sekalian gue beliin sarung tangan supaya tangan lo nggak kedinginan."

"Thanks, Sa," kataku tulus. Walaupun ujung kepala sampai ujung kakiku membeku kedinginan, perhatian yang Aksa tunjukkan tanpa ragu itu menghantarkan kehangatan yang tak bisa kujelaskan. "Nanti uangnya gue ganti."

Aksa mengibaskan tangannya. "Nggak usah, lah," tolaknya. Dia melihat Haris. "Lo mau ikut, nggak?"

"Boleh," tukas Haris.

Aksa mengalihkan pandangannya kepadaku. "Lo duluan aja ke atas sama yang lain, Lun. Nanti gue nyusul."

Selepas kepergian Aksa dan Haris, tidak ada yang bergerak sedikit pun. Alih-alih melangkah ke atas untuk mencari tempat duduk sambil menunggu sunrise, setiap pasang mata justru tertuju kepadaku.

Bingung dengan sikap mereka, aku refleks bertanya. "Apa?"

"Gue ketinggalan sesuatu atau gimana?" tanya Adam heran.

Aku melongo. "Apanya yang ketinggalan?"

Adam memutar kedua bola mata. "Lo dan Aksa. Ada apa?"

"Ada apa apanya?" Aku bertanya balik tanpa menghindari tatapan matanya supaya dia tidak tahu jika aku sedang berpura-pura bodoh terhadap pertanyaannya. Mereka tidak tahu saja kalau jantungku sudah berdetak kencang karena pertanyaan Adam yang tidak ada basa-basinya itu. "Gue sama Aksa nggak ada apa-apa."

"Masa?"

Kali ini, Lisa yang bertanya kepadaku. Dia menciptakan sedikit jarak di antara kami. Sorot matanya menajam seakan berusaha mengintimidasiku, tetapi percuma selama ini aku menghabiskan waktu berjam-jam berlatih untuk MUN kalau aku dengan mudah menciut di hadapannya. Maka, aku menatapnya lurus dengan wajah yang datar.

"Emangnya ada yang aneh?" tanyaku, berlagak tidak mengerti ke mana arah pembicaraan mereka.

"Aneh banget," komentar Dinda tidak mau kalah.

"Ya itu... aneh pokoknya!" ucap Lisa sedikit mendesak. "Dia udah kayak pacar yang siap buat melemparkan dirinya ke tengah jalan kalau lo mau ketabrak mobil."

Dari sudut mataku, aku dapat melihat Kevin yang melangkah mundur seraya menutup mulutnya dengan tangan. Aku tidak salah melihat, kan? Apa Kevin sekarang sedang menahan tawa? Di situasi seperti ini? Memangnya ada yang lucu?

"Kalian berlebihan!" cibirku sambil mengembuskan napas dengan dramatis. "Dia itu cuma teman yang khawatir kalau terjadi hal yang buruk sama temannya. Persis kayak kalian sekarang."

Namun, sepertinya penjelasan itu tidak cukup bagi Lisa dan Adam. Mereka masih tidak menanggapi ucapanku. Mata mereka masih tertuju kepadaku. Sepertinya mereka berusaha untuk memberikan serangan secara psikis melalui tatapan itu agar aku mau mengaku, tapi aku tidak akan menyerah seperti keinginan mereka. Aku masih ingin berlibur dengan tenang selama dua hari ke depan.

"Kalau Adam bertindak kayak Aksa berarti ada sesuatu juga antara gue dan Adam?" tanyaku jengkel.

"Nggak, lah!" seru Adam dan Lisa kompak. Mereka menatapku semakin sengit.

"Nah! Itu tahu jawabannya!"

"Tapi, Lun"

"Apalagi, Lis?"

"Beneran nggak ada apa-apa sama Aksa?"

"Nggak ada!" Aku mengerang kesal dengan suara yang kian meninggi karena frustasi. "Terserah lo mau percaya atau nggak. Gue mau ke atas cari tempat duduk. Dan kenapa kita harus berdiri terus di sini, sih? Kenapa gue juga jadi kena interogasi dadakan begini? Gue lagi kedinginan begini masih sempat-sempatnya buat mikir yang aneh-aneh."

Tanpa menunggu tanggapan dari Lisa dan Adam, aku langsung menarik Dinda dan Kevin menaiki beberapa tangga. Biarkan saja mereka tertinggal di belakang. Meski Lisa memanggilku beberapa kali, aku mengacuhkannya. Akting marahku harus maksimal agar mereka tidak berani mencecarku dengan pertanyaan yang sama selama beberapa hari ke depan. Sejenak aku melupakan kenyataan bahwa dua orang yang berjalan di sisiku sekarang adalah teman Lisa, bukan temanku.

"Serem juga lo kalau marah," celetuk Kevin.

Aku tertawa pelan. "Gue nggak marah. Gue lagi pura-pura ngamuk biar mereka nggak ribet. Lo tahu kan, Lisa kayak gimana? Kepala gue bisa pecah kalau dia terus-terusan nanya. Gue masih mau liburan dengan tenang."

"Tadi cuma pura-pura?" Dinda mengerjap dengan mulut yang sedikit menganga. "Gila! Lo nggak mau jadi artis aja, Lun? Aktingnya real begitu. Gue aja sampai nggak berani ngomong lagi."

Aku menaruh jari telunjukku di atas bibir. Sudut bibirku tertarik ke atas, puas karena berhasil mengelabui semua orang terutama Lisa dan Adam. "Rahasia kita bertiga aja. Oke?"

Tanpa ragu, Kevin dan Dinda menyetujui. "Oke!"

Begitu kami sampai di tempat terbuka yang tersedia untuk menunggu sunrise, Kevin memberikan beberapa lembar uang untuk menyewa tikar dan selimut. Lisa dan Adam menyusul tidak lama kemudian. Dari ekor mata, aku melihat mereka saling menyenggol sambil beberapa kali melirik ke arahku, tapi mereka masih tidak berani menghampiriku. Bahkan hingga Aksa dan Haris bergabung dengan kami, sepasang manusia itu masih terdiam sambil saling menyalahkan.

"Lo mesti buru-buru minum tehnya sebelum keburu dingin," ucap Aksa seraya menaruh segelas plastik teh panas dengan uap yang mengepul.

Kevin yang tadinya duduk di sebelah kiriku beranjak seolah memberikan ruang bagi Aksa untuk berada di dekatku.

Aksa membuka plastik sarung tangan yang dia beli. "Masih kedinginan?" tanyanya setelah meraih tanganku yang tersembunyi di balik selimut dan membawa ke genggamannya. Tangan laki-laki itu juga dingin, tetapi tidak sedingin tanganku sekarang.

"Masih, tapi nggak separah tadi," akuku sambil memberikan senyuman untuk menenangkannya.

Dunia yang ada di sekitarku seperti memudar ketika manik mata hitam milik Aksa menyelami mataku. Andaikan saja aku mempunyai kemampuan supernatural untuk menghentikan waktu. Mungkin aku tidak akan ragu untuk menggunakannya supaya waktu dapat berhenti di titik ini. At this very moment.

Suara dehaman yang disengaja membuat pandangan kami terputus. Aksa menekan bibirnya membentuk garis lurus lalu menundukkan kepalanya tetapi wajahnya yang memerah tidak luput dari perhatianku. Aku menahan diri untuk tidak melarikan tangan ke pipinya karena gemas melihat laki-laki itu salah tingkah. Dia segera memakaikan sarung tangan yang dia beli di tanganku lantas menepuk puncak kepalaku beberapa kali.

"Berasa dunia milik berdua, ya?" ledek Haris. Suaranya sarat akan sindiran, tetapi aku tahu dia hanya bercanda. "Mentang-mentang lagi dingin maunya nempel mulu."

Aksa mendelik. "Lo udah bosan hidup ya, Ris?" tanyanya kesal. "Mau gue lempar ke pagar pembatas supaya lo tinggal nama doang?"

Haris mendecakkan lidahnya. Dia menatapku dan Aksa bergantian sebelum menumpukan pandangannya kepada Dinda yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya.

"Din," panggil Haris. Yang dipanggil menoleh dan laki-laki itu langsung menggoyangkan sekotak rokok yang ada di tangannya. "Udah gue beli, nih!"

Dinda memasukkan ponsel yang ada di tangannya ke dalam coat lalu berdiri menghampiri Haris dan Kevin. "Ngerokok di belakang aja. Takutnya di tengah-tengah begini ada yang nggak kuat asap rokok."

Dalam kedipan mata, Dinda, Haris, dan Kevin melangkah menuju area kosong yang ada di belakang, tempat di mana orang-orang yang merokok berkumpul.

"Lo nggak ikut mereka?" tanyaku.

"Terus apa?" Aksa menaikkan sebelah alisnya dengan sorot mata yang tertuju kepadaku. "Ninggalin lo sendirian di sini? Di saat lo lagi kedinginan? Gue nggak bisa, Lun."

Aku bersemu. Lantas, mataku berpendar ke sekitar, menatap ke segala arah asalkan itu tidak melihat Aksa. Aku mengernyit begitu tidak dapat menangkap keberadaan Lisa dan Adam di sekitarku. Ke mana mereka?

"Lun," panggil Aksa. Mau tidak mau, aku kembali menatapnya. Dia menggenggam tanganku yang ada di dalam selimut. Ibu jarinya mengelus punggung tanganku. "Masih mau ke pantai?"

Aku memutar kedua bola mata. "Serius masih ngomongin Bali di saat kita udah lima hari di sini?"

Dia menggelengkan kepala, tampak speechless karena aku tidak ragu menyerangnya. "Ini nanya doang, Lun."

Mendadak, aku jadi merasa bersalah karena menyalahartikan pertanyaannya. Apa efek kedinginan membuatku semakin sensitif? Tapi, aku sadar seratus persen dengan kondisi tubuhku saat ini. Tubuh luarku memang terasa dingin membeku, tetapi hatiku kian menghangat seiring dengan perhatian yang Aksa luapkan kepadaku.

Tidak mau terlalu memusingkan apa yang saat ini sedang terjadi, aku melempar cengiran kepadanya. "Mau jawaban jujur?"

"Mau."

"Masih pengen."

"Mau ke pantai?"

Aku memberikan anggukan kecil.

"Oke. Besok kita ke pantai," tutur Aksa enteng.

Aku menganga. "Besok? Bukannya besok mau ke Wisata Selecta terus cari oleh-oleh, ya?"

Aksa mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh. "Tadi pagi gue udah ngomong ke Lisa buat ganti destinasi ke Pantai Goa Cina. Hitung-hitung sedikit reward buat lo karena mau jadi bodyguard dadakannya Lisa."

Aku mengerjap. "Serius?" tanyaku tidak yakin. "Nggak usah, Sa. Kalau yang lain nggak mau ke pantai gimana? Pantainya pasti jauh, kan?"

Lesung pipi muncul di kedua pipi Aksa. Kedua tangannya masih setia menggenggam tangankuyang saat ini sudah terasa gerah mengingat betapa erat Aksa memegangnya. "Mereka mau, kok."

"Kalian udah omongin hal ini tadi pagi?" tanyaku heran. Aksa mengangguk. "Kapan?"

"Pas lo mandi."

"Ke pantai dalam rangka apa?"

"Dalam rangka membahagiakan lo dalam liburan ini," timpal Aksa. Tangannya berpindah ke pipiku kemudian menggerakkan kepalaku ke kanan dan ke kiri diikuti dengan geraman gemas yang keluar dari bibirnya. "Nggak usah merasa nggak enak. Oke? Gue udah susah payah cari pantai yang bagus sampai mesti nanya ke teman-teman gue yang kuliah di Malang."

Dengan sedikit paksaan, aku melepas kedua tangan Aksa yang menangkup wajahku. Selain karena salah tingkah akibat perilakunya, aku tahu berapa pasang mata kini sedang memperhatikan kami.

Aku menghela napas sehingga uap keluar dari mulutku. "Oke."

Aksa tersenyum puas. Tangannya kembali mencari tanganku yang berada di balik selimut lalu membawanya ke genggaman hangatnya. Di detik ini, aku sudah mulai terbiasa dengan genggamannya. Dan aku merasa tidak ada yang salah dengan kontak fisik ini.

"Masih dingin, nggak?" tanya Aksa.

"Ini udah kesekian kalinya lo nanya begini ke gue dalam kurun waktu kurang dari tiga puluh menit," godaku. "Gue udah pakai baju berlapis-lapis, leher gue udah dililit pake syal punya lo, tangan udah disarungin, dan badan gue udah diselimutin. Kalau gue masih kedinginan, emangnya lo bisa apalagi, Sa?"

Kedua alis Aksa saling tertaut. Dia tampak berpikir sebentar sebelum senyum misterius terbit di wajahnya. "Well, I can give you a warm hug if you don't mind."

Refleks, aku memukul lengannya dengan mata yang melotot. "Modus!"

Aksa tertawa lebar dan aku hanya mampu memalingkan wajah untuk menyembunyikan pipiku yang memerah.

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 38.3K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
6.6M 338K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
925K 69.3K 46
[COMPLETED] One fraction of a moment you can fall in love, a love that takes a lifetime to get over | #26 in Teen Fiction, November 17th 2016. (p.s...
1M 91.4K 35
[Status: Completed] "Bunda pengen ngeliat kamu menikah tahun depan." Kara, perempuan, 24 tahun. Masih single dari lahir. Dilema karena Bunda memintan...