Love: The Butterfly Effect [C...

By storiesbyyola

848K 90.4K 3.1K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... More

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 3: More beautiful than I ever imagined
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 6: You deserved it
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 9: Before sunrise
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?
Ch. 13: It's been a long time
Ch. 14: I didn't have a girlfriend
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 18: Who did this to her?
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 20: Wake up call
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 25: About fried rice
Ch. 26: One step at a time
Ch. 27: Seems like you are the only exception
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 32: I'm yours
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 34: Things will happen when it has to happen
Ch. 35: Her fears
Ch. 36: Someone from the past
Ch. 37: Trust and honesty
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 43: Can time heal a broken heart?
Ch. 44: It's never too late to try
Ch. 45: Make things right
Ch. 46: A chance to make things right
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Ch. 8: Nothing less, nothing more

17.3K 1.9K 98
By storiesbyyola

AKSA

Beriringan dengan langit yang semakin gelap, alun-alun kota Malang semakin dipenuhi oleh orang-orang yang kebanyakan sepertinya wisatawan. Di antara orang-orang yang lewat silih berganti, pandanganku tidak pernah bisa terlepas dari seorang gadis dengan rambut hitam sepunggung yang sedang membeli pecel bersama Adam, Lisa, dan Dinda. Aku tidak mengerti kenapa menangkap kehadiran Luna di antara kerumunan orang-orang selalu begitu mudahnya. Entah itu saat di Jatim Park 2 kemarin, di Kebun Teh Wonosari tadi pagi, atau di alun-alun kota saat ini.

Eksistensi Luna itu bagaikan sebuah magnet yang dapat menarik perhatian siapa pun. Ya, setidaknya, dia berhasil menyita seluruh perhatianku. Aku berani bertaruh kalau Luna bahkan tidak sadar kalau dia memiliki kemampuan spesial untuk membuat semua orang yang berpapasan dengannya tidak ragu untuk menoleh ke arahnya dua kali.

"Astaga, Sa." Haris yang sedang duduk di sampingku mendecakkan lidah beberapa kali. "Punggung Luna lama-lama bisa bolong kalau lo pelototin terus."

Perkataan Haris bukan hanya mendapatkan perhatian penuh dariku, tetapi berhasil membuat Kevin yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya kini menatapku bingung.

"Beneran naksir sama Luna, Sa?" tanya Kevin kaget. "Gue kira selama ini lo puji-puji Luna di depan kitasetiap Lisa nge-post foto bareng Luna di Instagramkarena emang dia cantik doang."

Aku meneguk kopi yang sudah mendingin sambil berkilah, "Siapa yang naksir, sih?"

"Halah!" sahut Haris, tidak percaya. Dia mengibaskan tangannya. "Emangnya gue nggak memperhatikan kalian selama tiga hari ini? Lengket banget kayak perangko. Nempel terus. Kalian bahkan bisa menyaingi Lisa dan Adam."

Aku menoleh ke Haris dengan wajah yang mungkin seperti baru melihat hantu. "Separah itu?"

Haris tertawa singkat. Bibirnya melengkung ke atas, menimbulkan seringai kecil yang bermain di wajahnya. "Gimana, Vin?" tanyanya kepada Kevin. Dia melirikku sekilas. "Kayaknya mesti lo yang ngomong supaya dia percaya."

Kevin menganggukkan kepala, menyetujui apa yang Haris katakan. Dia mengulang pertanyaan yang sebelumnya diajukan. "Beneran naksir, Sa?"

Aku hanya mengangkat bahu. "Dia cantik dan seru buat jadi teman mengobrol."

"Cantik, sih," komentar Kevin, membuatku memicingkan mata kepadanya. "Tapi, not my type. Wajar kalau lo bilang Luna cantik. Lihat sekilas aja gue udah tahu kalau dia itu tipe lo banget."

"Pretty and smart." Haris menambahkan dengan raut muka yang menyebalkan seakan dia paling mengenal Luna. "Pantas aja lo nggak bisa jauh dari dia."

Haris dan Kevin tergelak bersamaan, membuatku hanya mampu melengos dan melempar mereka dengan kulit kacang. Namun, bukannya merasa bersalah, mereka justru semakin lancar melemparkan berbagai macam ledekan hingga telingaku pengang mendengarnya.

Ketika mengedarkan pandangan ke sekitar, aku menangkap sosok Luna yang sedang melambaikan tangannya dengan heboh. Kemudian, ketika pandanyan kami beradu, dia menggerakkan tangannya seperti sedang menyuapkan makanan ke mulut. Tanpa suara, dia tampak seperti sedang bertanya, "Makan?"

Dengan cepat, aku menunjukkan satu jari telunjuk. Luna menanggapi permintaanku dengan anggukkan kepala dan aku bisa melihatnya segera berbicara dengan penjual pecel. Sepertinya, untuk memesankan pesananku barusan.

Di sebelahku, lagi-lagi Haris berdecak lalu berceletuk, "Sekali-kali lo harus berkaca biar lo sadar gimana cara lo menatap Luna. Ibaratnya lo itu melihat Luna seakan dia adalah the one yang udah lama lo tunggu dan tiba-tiba muncul di depan mata lo."

Aku mendelik, menyuruhnya untuk menutup mulut sebelum berkata dengan nada final. "Gue sama Luna itu nggak ada apa-apa. Cuma teman."

Kevin menaikkan sebelah alisnya. Dari raut wajahnya saja, aku dapat menyimpulkan kalau dia sama sekali nggak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. Begitu pula dengan Haris. Dan entah kenapa, aku jadi ikut meragukan perkataanku.

"Yakin?" tanya Kevin dengan nada penuh sindiran. Aku mengatupkan bibir, tidak berani menyahut. Tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan, akhirnya Kevin menghela napas. "Oke. Gue bisa mengerti kenapa lo cuma menganggap dia teman, tapi apa Luna juga berpikir hal yang sama?"

Pertanyaan itu berhasil membuat jantungku seolah berhenti berdetak. Secepat mungkin, mataku langsung menyisir lapangan luas ini untuk mencari sosok Luna. Kali ini, dia terlihat sedang mengobrol seru dengan Lisa dan Dinda. Raut wajah bahagianya yang sesekali dihiasi senyuman lebar atau tawa kecil membuatku refleks mematung di tempat.

Sialan.

Aku hanya bisa mengumpat di dalam hati begitu merasa perkataan Haris ada benarnya. Mungkin Lisa atau Dinda sudah terbiasa dengan sikapku yang suka menggoda dan memberikan berbagai macam perhatian, tetapi belum tentu Luna akan menanggapi dengan cara yang sama. Tapi Luna tidak tampak seperti perempuan pada umumnya yang mudah terbawa perasaan karena hal-hal kecil. Buktinya saja, dia selalu bisa memutarbalikkan perkataanku dan balik menggodaku selagi dia bisa. Meski kadang dia terlihat malu-malu, tapi tidak ada tanda-tanda kalau dia menganggap lebih perilakuku kepadanya.

Seharusnya aku tidak perlu khawatir. Iya, kan?

"Berdasarkan pengamatan gue sejauh ini, lo harus hati-hati, Sa. Mau bagaimana pun juga, Luna itu perempuan. Kalau lo terus-terusan deketin dan kasih perhatian, lama-lama dia bisa luluh." Kevin menyampaikan sarannya dengan cemas. "Gue nggak berani mikirin apa yang terjadi kalau Luna beneran naksir sama lo."

Lagi, aku merutuk di dalam hati, menjadi sedikit cemas karena Kevin sudah ikut berbicara seperti ini.

Haris tergelak. Dia melihat Luna beberapa detik sebelum mengalihkan pandangannya lagi kepadaku yang semakin bersungut. "Mampus aja lo kalau Luna sampai sakit hati. Lisa bisa ngamuk dan walaupun Adam belum resmi jadi saudara iparnya Luna, gue yakin Adam nggak akan senang kalau tahu Luna patah hati gara-gara lo."

Aku meringis. Shit. Aku nggak berani berpikir sejauh itu. Lisa akan menyumpahiku seharian penuh sebelum melancarkan aksi mogok bicaranya sedangkan Adam mungkin tidak akan banyak bicara, tetapi kepalan tangannya yang mendarat di wajahku sudah lebih dari cukup untuk mewakili perasaannya.

Kevin mengernyit. "Emangnya kalian udah sejauh mana?"

"Apanya yang sejauh mana?" Aku menyembur tanpa ragu, sambil berusaha melenyapkan bayang-bayang liar yang muncul di pikiran. "Gue sama Luna beneran nggak ada apa-apa. Belum ada yang dimulai juga."

"Oh." Haris mengangguk dengan senyum iseng. "Berarti ada kepikiran buat memulai sesuatu sama Luna?"

"Sialan!"

"Ini yang namanya nggak suka?" tanya Haris. Melihat ekspresinya saat ini, aku yakin seratus persen dia pasti menganggap apa yang terjadi antara aku dan Luna adalah sesuatu yang menarik. "Yah... walaupun mungkin belum sesuka itu, tapi pasti tertarik, kan?"

"Kalau nggak tertarik mana mungkin ditempelin mulu!"

Aku menampilkan raut wajah datar. Andaikan saja mereka ini bukan teman yang selama berapa tahun terakhir menemani dalam suka dan duka, mungkin aku tidak akan ragu untuk mendorong mereka ke tengah jalan raya yang penuh dengan kendaraan berlalu lalang.

"Sa." Aku menatap Kevin malas ketika dia sudah puas melontarkan gurauan. Kali ini, dia terlihat lebih serius dari sebelumnya. "Lebih baik lo selesaikan dulu semua masalah lo sebelum melanjutkan misi memenangkan hati Luna. Kalau begini terus, lo sama aja memberikan harapan palsu ke Luna."

Bukannya aku tidak tahu masalah yang dielukan oleh Kevin, tapi untuk saat ini, aku tidak berminat untuk memikirkan hal-hal yang membebaniku selama dua minggu terakhir. Hal yang membuatku membatalkan rencana untuk datang ke Australia lebih cepat dari jadwal seharusnya. Hal yang membuatku akhirnya memilih ikut pergi ke Malang bersama yang lainnya padahal aku sudah membatalkan kepergian liburan ini di awal bulan.

"Hubungan kami nggak sejauh itu, Vin."

Aku mengembuskan napas ketika menyadari caraku berbicara terdengar sangat tidak meyakinkan. Bahkan aku tidak percaya dengan apa yang kukatakan. Apalagi Kevin dan Haris. Terbukti dari reaksi mereka yang membungkam mulut dengan pandangan lurus tertuju ke arahku.

"Gue nggak akan menyalahkan lo kalau lo emang suka sama Luna. Well, who doesn't? Luna bukan orang yang sulit untuk disukai." Kevin tertawa kecil, tampak berusaha keras mencairkan suasana yang tiba-tiba tegang. "Tapi, balik lagi ke saran gue sebelumnya, lebih baik lo selesaikan dulu semua masalah lo. Biar kalian sama-sama enak memulainya."

Aku mengusap wajah dengan kedua tangan. Mendadak kepalaku pening karena Kevin berulang kali menyinggung masalah yang sedang kualami. Kevin adalah orang yang pendiam, tetapi dia bisa menjadi sangat cerewet ketika orang terdekatnya memiliki permasalahan yang pelik. Itu caranya untuk menunjukkan perhatiannya kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, tapi terkadang aku hanya butuh mereka pura-pura tidak tahu.

Kepribadianku memang bisa dikatakan begitu santai dan terbuka menerima kehadiran orang baru, tetapi bukan berarti aku mampu membagi masalahku ke orang-orang sekitar. Itu berbeda. Aku selalu merasa semakin pusing dan lelah setelah membagi masalah yang kupunya. Masalah yang sedang kualami sekarang pun, mau tidak mau kuceritakan kepada Haris dan Kevin—meski tidak sepenuhnya—karena mereka tiba-tiba datang tanpa permisi ke rumah setelah aku mengabari di group chat mengenai batalnya rencanaku untuk pergi ke Melbourne. Padahal sebelumnya, aku sudah membatalkan kepergianku liburan ke Malang.

Aku menarik napas dalam lantas melemparkan senyum tipis kepada dua orang itu ketika dari ujung mata, aku melihat Luna berjalan ke arah kami bersama yang lainnya.

"We will talk about this later." Aku menutup pembicaraan ini sebelum menepuk tempat kosong di sampingku. Sambil bersusah payah menetralkan perasaan, aku memberikan cengiran kecil ketika jarak Luna hanya tinggal beberapa langkah dari kami. "Duduk di sini, Lun."

Bukannya aku tidak sadar dengan keengganan Haris dan Kevin menyelesaikan pembicaraan ini, tapi aku tidak ingin pembicaraan tersebut diketahui yang lainnya dan berpotensi menghancurkan sisa liburan ini.

"Nih, pecel punya lo," kata Luna seraya memberikan sebungkus kertas nasi. "Gue nggak tahu lo selapar apa makanya gue pesenin lontong juga."

Cengiranku semakin melebar. "Wow! Thank you. Gue nggak tahu kalau lo ternyata se-considerate itu sama gue."

Entah kenapa, aku benar-benar tidak bisa menahan mulut untuk tidak menggoda Luna. Bukannya apa-apa. Aku hanya penasaran dengan reaksinyayang sejauh ini nggak pernah mengecewakan.

"Bukan considerate," kilah Luna, sedikit sebal. Tangannya bergerak cepat untuk membuka bungkus pecel. "Gue cuma nggak mau aja lo ajak cari makan tengah malam pas lo lapar. Setelah muter-muter seharian sampai kaki gue rasanya mau putus, satu-satunya yang gue inginkan setelah sampai di guest house adalah rebahan."

Kontan, aku tertawa kencang. Benar, kan? Respons Luna tidak pernah mengecewakan dan yang paling penting, dia terlihat sama sekali tidak terpengaruh dengan semua godaan yang kuberikan. Jadi, dugaan Kevin kalau Luna berharap kepadaku itu sangat tidak terbukti.

Aku membalas dengan ringan. "Padahal waktu itu udah gue bayarin sebagai tanda terima kasih karena lo mau menemani gue makan."

Netraku masih nggak bisa lepas dari Luna yang sedang melahap makanannya dengan semangat. Sepanjang hari, Luna sukses membuatku semakin takjub. Entah sudah berapa banyak makanan yang masuk ke perutnya mengingat tadi siang setelah mengitari kebun teh, kami sepakat untuk wisata kuliner di kota Malang. Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dan tempat yang kami kunjungi itu cukup banyak. Seingatku, Luna juga tidak pernah absen untuk mencicipi makanan yang ada di setiap tempat. Makanya aku sedikit kaget melihat dia makan sekarang seolah seharian ini tidak ada sedikit pun makanan masuk ke perutnya.

"Pamrih banget!" cibir Luna.

Aku menggeleng pelan ketika melihat Luna mengibaskan rambutnya ke belakang untuk kesekian kalinya. Setiap dia menunduk untuk memasukkan sesuap pecel ke mulutnya, sebagian rambut panjangnya itu berjatuhan mengikuti pergerakan kepalanya. Semua orang yang melihatnya pasti tahu kalau Luna kesusahan karena satu tangannya memegang sendok dan tangannya yang lain memegang kerupuk.

"Ribet deh lo mau makan doang." Aku berdecak begitu Luna menyingkirkan helaian rambut yang akan ikut masuk ke dalam mulutnya. Tanpa ragu, aku menarik helaian rambut yang jatuh mengenai wajahnya kemudian menyatukannya dengan helaian lain yang berada di atas punggungnya. Aku memegang rambutnya sementara dia masih asyik melahap makan malamnya. "Nggak bawa kunciran?"

"Bawa," sahutnya singkat, tapi masih tidak ada tanda-tanda kalau dia akan menguncir rambutnya. Lalu, dia berbicara lagi dengan nada iseng. "Tangan gue keburu kotor. Nanti aja nguncirnya. Buat sementara lo pegangin aja dulu."

Aku mendengus, menahan gelak tawa karena nggak menyangka Luna akan mengatakan hal itu. Ditambah raut wajahnya yang sama sekali tidak merasa bersalah membuatku semakin gemas terhadapnya.

"Emangnya gue nggak lapar? Yang ada pecel gue keburu dihabisin sama Haris kalau gue pegangin rambut lo mulu." Aku menggerutu meski sebenarnya tidak keberatan untuk melakukannya. Tetapi, rasanya ada yang kurang kalau aku hanya menuruti permintaan Luna tanpa membalas ucapannya. "Mana kuncirannya?"

Luna menyodorkan tangan kirinya yang masih memegang kerupuk kemudian melihat ada kunciran berwarna hitam melingkar di pergelangan tangannya. Tanpa menunggu lebih lama, aku menarik kunciran tersebut dari tempatnya. Tidak sampai lima detik, rambut Luna sudah terkuncir satu dengan rapi.

"Makasih lho, Sa." Luna terkekeh. Senyum manis menghiasi wajahnya. "Gue nggak tahu kalau lo se-considerate ini sama gue."

Kali ini, pertahanan diriku rasanya nyaris runtuh. Luna sangat tahu bagaimana caranya memutarbalikkan setiap perkataanku dan membuatku mati kutu di hadapannya. Dengan dengusan pelan, aku berkata, "Daripada gue nggak bisa makan malam."

Saat aku berniat untuk kembali makan, tidak sengaja manik mataku dengan Haris dan Kevin bertabrakan. Mereka memandangku penuh arti. Aku yakin mereka sedang menahan diri untuk tidak berkomentar dan tersenyum berlebihan usai melihat interaksiku dan Luna secara langsung di depan mata.

"Gue baru tahu lo bisa seperhatian ini sama teman lo, Sa."

Aku nyaris tersedak pecel yang baru saja melewati kerongkongan ketika mendengar Haris berbicara rendah di telingaku. Dengan waswas, aku mengangkat kepala dan mengarahkan tatapanku ke sekitar. Sepertinya, tidak ada yang mendengar apa yang Haris katakan. Terutama Lisa dan Adam. Mereka asyik mengobrol berdua, mendiskusikan apa lagi yang akan dia beli setelah pecel mereka habis.

Aku merutuk kesal. "Shut up!"

"Kayaknya sama cewek lain nggak sampai sebegitunya deh, Sa," timpal Haris dengan nada rendah. Raut wajahnya yang menyebalkan dan sok tahu memaksaku untuk menahan diri agar tidak melemparkan pecel ke mukanya. "Yakin cuma teman?"

Dengan tatapan penuh peringatan yang kulayangkan kepadanya, aku menggeram pelan. "We are just friends. Nothing less, nothing more."

Namun, bukan Haris namanya kalau dia melepaskanku dengan mudah. Dia mengangguk dengan senyum miring terpatri di wajah. "We'll see."

*


LUNA

"Lun!" Lisa berteriak keras ketika melihat spot foto yang estetik. Aku hanya bisa mengembuskan napas lelah. "Sini! Foto dulu! Biar bisa dipamerin ke Mama dan Papa."

Sejak membuka mata pagi tadi, Lisa sangat bersemangat karena dia akan mendapatkan banyak spot berfoto yang bagus di Museum Angkut untuk menghiasi feeds Instagram miliknya. Dengan penuh antusias, dia memastikan baterai ponsel dan powerbank terisi penuh. Bahkan, Kevin menjadi korban kehebohannya karena Lisa terus-terusan mengingatkan Kevin agar tidak lupa membawa mirrorless kameranya. Selama liburan, laki-laki itu memang menjadi juru foto dalam kelompok ini. Lebih tepatnya, fotografer khusus untuk Lisa, juga Dinda.

Aku bersedekap, menggeleng pelan. "Tadi kan udah."

Lisa memutar kedua bola mata seraya menatapku dengan pandangan bosan. "Tempat fotonya kan beda. Lagian tinggal nyengir doang apa susahnya, sih? Susah banget diajak foto," keluhnya.

"Untung saudara kembar," gerutuku yang kemudian dihadiahi tawa kecil oleh Aksa.

Sedari tadi, kami memang selalu menjauh dari rombongan mengingat kami memiliki tujuan yang sama untuk menghindari Lisa yang tiada henti mengajak kami berfoto setiap baru melangkah seratus meter.

"Turutin aja, Lun." Aksa menyarankan dengan ringan. "Biar kalau lo kangen sama Lisa, lo bisa nostalgia lewat foto kalian selama di Malang."

Aku mendengus. "Emangnya ini zaman 80-an yang kalau kangen mesti kirim surat dan nunggu berhari-hari supaya suratnya sampai di tujuan? For your information, sekarang ada sebuah fitur bernama video call. Ada inovasi berupa Skype."

Aksa terperangah dengan pandangan tidak percaya. "Selalu ada jawaban untuk setiap hal ya, Lun," timpalnya sambil menahan senyum.

Aku menyeringai. Tanpa menanggapi perkataannya, aku melangkah mendekati Lisa yang sudah merengut karena menunggu terlalu lama. Setelah menyuruh Kevin mengambil foto kami, Lisa berganti pose beberapa kali sedangkan aku hanya mengikuti arahannya dengan setengah hati. Terkadang aku heran kenapa dia memilih masuk ke jurusan Manajemen untuk mengurus bisnis orang daripada mengejar karier untuk menjadi model.

Well, dengan wajah yang mulus tanpa jerawat, badan yang proporsional, dan keluwesannya bergaya di depan kamera, aku yakin Lisa lebih dari mampu untuk menjadi model terkenal se-Indonesia atau menjadi brand ambassador merk-merk fashion atau make up ternama.

"Mau berapa banyak, Lis?" keluhku ketika Lisa mengatakan 'lagi' untuk kesekian kalinya. "Udah banyak banget pasti. Udah ada yang bagus kan, Vin?"

Dengan tenang, Kevin mengangguk. Pandangannya tidak terlepas dari viewfinder kameranya. "Bagus semua, kok," sahutnya. Dia mendongak. "Lo mau foto sendiri nggak, Lun?"

Mataku membulat. Aku langsung menolak mentah-mentah tawaran itu. "Nggak usah, Vin."

"Nggak apa-apa, Lun. Tinggal berdiri aja di situ." Haris tiba-tiba menimbrung seraya menyuruhku untuk berdiri di sebuah spot yang tidak jauh dari tempatku berdiri. "Lo cuma cukup senyum, lihat kanan, lihat kiri, pasang ekspresi chic, lihat kamera, terus jalan secara natural."

"Yang bener aja!" gerutuku. Aku semakin bersungut. "Ini lo salah nyuruh apa gimana, sih? Atau mendadak amnesia? Oh. In case lo masih belum bisa membedakan kami berdua," aku menunjuk diriku. "Gue Luna." Lalu, telunjuk beralih ke Lisa. "Ini Lisa. Jadi, yang daritadi photogenic banget itu Lisa. Bukan gue."

"Supaya isi memori Kevin lebih variatif, Lun," tukas Haris, menyengir. "Lo mau foto Luna kan, Vin?"

Kedua alis Kevin tertaut. Matanya menatapku dan Lisa bergantian. Detik kemudian, dia mengulas senyum. "Boleh," ucapnya santai. "Kasian kamera gue kalau diisi muka Lisa semua."

Aku melongo. "In case lo lupa juga, gue sama Lisa itu kembar. Muka gue sama Lisa nggak ada bedanya."

Kevin menggeleng tidak setuju. "Beda."

"Apanya yang beda?" Aku nyaris histeris.

Aku meminta pertolongan kepada Adam dan Dinda yang sejak beberapa menit yang lalu memperhatikan kami, tetapi mereka sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kesediaan untuk menyelamatkanku. Berpose di depan kamera bukanlah kegemaranku. Berbeda dengan Lisa yang selalu luwes di depan kamera, aku cenderung kaku dan mati gaya. Koleksi fotoku juga tidak sebanyak Lisa. Sebagian besar foto-foto itu juga terpaksa diambil setelah perdebatan cukup lama dengan Lisa.

"Foto aja sih, Lun!" pinta Lisa, sedikit merengek. "Kapan lagi lo punya foto yang bagus dan estetik? Skill foto Kevin itu oke banget. Lo nggak akan menyesal!"

Sebelum aku sempat menolak lagi, Lisa sudah menarikku menuju tempat foto yang Kevin sarankan. Aku menyapu pandangan ke sekitar hingga manik mataku dan Aksa beradu. Dengan alis yang saling bertautan, Aksa melangkah mendekati Kevin yang sedang mengarahkan kameranya ke arahku sementara Lisa masih sibuk memberikan arahan.

Kenapa mendadak aku jadi model seperti ini, sih? Kenapa juga Aksa justru malah berdiri di samping Kevin dengan mata yang tertuju pada viewfinder? Berdiri di antara kerumunan orangwalaupun mereka sibuk dengan urusan masing-masingsaja sudah membuatku kehilangan muka. Dengan Aksa yang terlihat fokus memperhatikanku seperti inimeski sebatas melalui viewfindermenimbulkan keinginan untuk menggali lubang dan bersemayam lama di dalamnya.

Aku malu.

Rasanya aku ingin merengek dan memohon agar Kevin mengurungkan niatnya untuk menjadikanku objek fotonya, tapi aku tahu hal itu sia-sia. Maka itu, dengan pikiran yang kosong, aku hanya mengikuti arahan Lisa dengan kaku. Berjalan dengan tangan yang dimasukkan ke dalam kantong jumpsuit, lihat kanan, menoleh ke kiri, menatap kamera secara tidak sengaja, lalu menyibak poni dengan jari-jari tangan. Tidak sampai sepuluh menit, Kevin tersenyum puas karena sudah berhasil mendapatkan foto-foto yang dia inginkan.

"Bagus kok, Lun, hasilnya." Dia menggerakkan alisnya naik turun, menggoda, ketika aku berjalan ke arahnya. Melihatnya yang ekspresif seperti ini membuat bayanganku akan image-nya yang cool dan penuh ketenangan rusak tanpa bersisa. Sekarang aku paham kenapa Kevin bisa masuk ke dalam kelompok ini. "Kalau ada teman gue yang lihat foto ini, pasti mereka langsung minta dikenalin ke lo."

Ucapan Kevin sukses membuat yang lain tertarik dan berkumpul penuh sesak di sekitaran laki-laki itu. Reaksi mereka yang terlihat terpukau membuatku penasaran dan mencari celah kecil di antara mereka untuk melihat hasil foto yang ditangkap Kevin. Dengan berat hati, kuakui hasil fotonya memang sebagus itu. Bukan karena aku terlalu percaya diri, tetapi Kevin berhasil menangkap mood foto yang sesuai dengan keadaan sekitar sehingga hasilnya jauh melampaui ekspektasiku.

"Wow," gumamku, refleks.

"Bagus, kan?" Kevin tersenyum bangga.

Sontak, aku mengangguk. Dengan cengiran lebar, aku berkata, "Nanti kirimin juga ya, Vin, barengan sama fotonya Lisa."

Kevin mendengus geli. "Tadi aja nggak mau difoto," celetuknya. "Kasih lihat ke pacar lo sana, Lun. Pasti dia menyesal karena udah mengizinkan lo liburan tanpa dia."

Keningku berkerut. Aku memiringkan kepala lalu tertawa pelan. "Pacar dari mana?" tanyaku. "Gue nggak punya pacar, Vin."

"Makanya gue ajak Luna supaya bisa kenalan sama kalian," cetus Lisa dengan kedipan mata. "Siapa tahu di antara kalian yang masih jomblo, ada yang merasa tertarik atau cocok sama Luna. Lumayan, lah. Sekali dayung, dua pulau terlampaui."

Dari sudut mata, aku melirik Aksa, penasaran dengan respons yang akan dia berikan atas ucapan Lisa. Dia hanya berdiri tegap dengan mata yang menatap lurus ke arahku.

"Oh. Ada niat terselubung, nih?" Haris berkata heboh seolah ingin memanaskan suasana. Nada suaranya dibuat lebih memanjang di akhir. "Jadi, gimana, Lun? Udah ada yang cocok?"

Ini hanya perasaanku saja atau daritadi Kevin dan Haris memang terus-terusan melirik ke Aksa selama beberapa detik terakhir? Ada sedikit harapan yang tumbuh dihatiku bahwa apa yang kurasakan kepadanya ini tidak bertepuk sebelah tangan. Hati kecilku berharap Aksa memiliki rasa ketertarikan kepadaku. Tapi, hingga perbincangan itu diakhiri, Aksa sekalipun tidak menanggapi dengan gamblang. Dia hanya tertawa sesekali sambil melirikku. Reaksinya yang ambigu itu berhasil meninggalkan berbagai pertanyaan di benakku sepanjang hari itu, bersamaan dengan sedikit keyakinan kalau Aksa mungkin memiliki perasaan yang sama. 

Continue Reading

You'll Also Like

575K 87K 49
Tentang Levant Elenio Devara, yang melemparkan payung. Si bos berhati es yang membenci semua orang, termasuk hidupnya sendiri. Tentang Rintik Hafa...
1.9M 47.4K 28
Dimas Arya Mahesa adalah paket lengkap sosok impian semua wanita. Atlet taekwondo, pintar dan sangat cool. Jangan lupakan pula statusnya sebagai putr...
397K 44.3K 56
Why do people get married? Atau .... Why did she want to marry him? Maula bahkan harusnya ngerasa trauma kan? Dia udah dua kali loh menghadiri acara...
402K 40.2K 52
Tamat Romance. Comedy. Realistic Fiction Seri #AhsanFamily 2 Hanindya, a functional engineer. Kenalan dengannya akan membuatmu tahu tentang betapa he...