Love: The Butterfly Effect [C...

By storiesbyyola

978K 99K 3.3K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... More

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 3: More beautiful than I ever imagined
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 8: Nothing less, nothing more
Ch. 9: Before sunrise
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?
Ch. 13: It's been a long time
Ch. 14: I didn't have a girlfriend
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 18: Who did this to her?
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 20: Wake up call
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 25: About fried rice
Ch. 26: One step at a time
Ch. 27: Seems like you are the only exception
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 32: I'm yours
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 34: Things will happen when it has to happen
Ch. 35: Her fears
Ch. 36: Someone from the past
Ch. 37: Trust and honesty
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 43: Can time heal a broken heart?
Ch. 44: It's never too late to try
Ch. 45: Make things right
Ch. 46: A chance to make things right
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Ch. 6: You deserved it

20.4K 2.2K 24
By storiesbyyola

LUNA

Ini adalah nasi goreng kedua yang kumakan hari ini. Pencarian makan malam kami di jalan utama tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Mengingat guest house yang kami tinggali berada di tengah pemukiman warga dan sudah hampir tengah malam, tidak ada banyak gerobak makanan yang masih menjajakan jualannya. Ada yang menjual sate ayam dan sate kambing, tetapi penjualnya mengatakan kalau dagangannya sudah habis. Aku dan Aksa harus berjalan beberapa meter lagi hingga menemukan gerobak nasi goreng yang berjualan di depan minimarket dua puluh empat jam.

"Kok bisa kepikiran buat ikut MUN, Lun?" tanya Aksa setelah dia selesai dengan makan malamnya.

Aku mengangkat sebelah tanganku, meminta Aksa untuk menunggu selagi aku mengunyah makananku.

"Kenapa, ya?" Aku balik bertanya setelah berhasil menelan sesuap nasi goreng. "Awalnya nyoba karena iseng dan penasaran. Waktu SMA sempat aktif di ekskul debat, tapi pas kuliah nggak ada UKM kayak gitu lagi." Aku meringis pelan. "Pas submit pendaftaran dan kirim requirements juga cuma modal nekat. Mungkin gue lagi beruntung aja kali, ya?"

"Jangan rendah diri begitu. Seharusnya lo merasa percaya diri dengan kemampuan lo. Nggak semua orang bisa ikut MUN. Cuma orang-orang terpilih aja yang bisa mewakilkan universitas sampai ke ranah internasional dan faktor keberuntungan itu kecil." Aksa menatapku dalam. "You deserved it."

Bibirku terbuka, sedikit terperangah karena ucapannya. Seharusnya aku kedinginan sekarang karena terpaan angin malam yang menyapu kulit, tetapi suatu kehangatan yang tak mampu kujelaskan justru melingkupi tubuhku. Terutama di bagian hati.

"Thanks," gumamku sedikit bersemu, kehabisan kata-kata.

"Ada rencana ikut MUN lagi?"

Aku melepaskan sendok yang ada di genggaman. Dengan keantusiasan yang mendadak menyeruak, aku mengangguk cepat. "Lagi persiapan buat Harvard World MUN."

Bola mata Aksa melebar. Rahangnya jatuh ke bawah. Reaksinya yang agak berlebihan itu membuatku tidak tahan untuk tidak tertawa. "Harvard World MUN?" Aksa berdecak kagum. "One of the largest international MUN conference these days."

Aku terkekeh. "I know. Conference-nya masih bulan Maret, tapi udah mulai persiapan dari sekarang dengan delegasi yang lain."

"Tahun ini diselenggarakan di mana?" tanya Aksa penasaran. "Tempat penyelenggaraannya selalu berubah setiap tahun, kan? Kalau nggak salah tahun lalu di Vancouver. Tahun ini di mana?"

Aku termangu, sedikit ragu untuk membagikan informasi ini. Aku tidak ingin membuat suasana hati Aksa kembali memburuk, tetapi tatapan mata Aksa yang mendesakku untuk memberikan jawaban akhirnya membuatku mau tidak mau mengalah.

Dengan napas yang berembus pelan, aku menyahut. "Melbourne."

"Melbourne?" Laki-laki itu tampak sedang memastikan. Aku mengulum bibir dan mengangguk, bersiap untuk menerima perubahan pada sikap Aksa. Namun, bukannya raut wajah mengeras yang kudapatkan seperti beberapa saat yang lalu, Aksa menyunggingkan senyum lebar. "Kita harus ketemu lagi nanti di Melbourne."

Aku terkesiap, sedikit tidak menduga Aksa akan menelan informasi ini dengan baik. Aku terdiam seraya meneliti raut wajahnya. Dia terlihat baik-baik saja, seperti tidak terganggu dengan kenyataan bahwa dia akan melanjutkan kuliah di Melbourne. Lantas, kenapa dia enggan untuk membicarakan hal tersebut dengan Haris beberapa waktu yang lalu?

Walaupun sedikit kebingungan dengan reaksinya, perhatianku lebih teralihkan dengan kalimat terakhirnya. Ajakannya untuk bertemu di Melbourne itu menimbulkan secercah harapan kalau hubungan kami tidak akan berhenti sampai di sini saja.

"Lo mau ke Melbourne juga?" tanyaku, pura-pura tidak mengerti.

"Gue ambil program KKI di UI," tuturnya dengan cengiran. "Semester depan gue harus lanjutin kuliah di University of Melbourne dengan Adam. Lisa juga lanjut di University of Queensland, kan?"

"Oh, ya?" Aku pura-pura terkejut. "Berangkat kapan?"

"Dua minggu lagi."

"Berarti sampai satu setengah tahun ke depan lo menetap di Australia, ya?"

Aksa meneguk teh manis hangat miliknya seraya menggerakkan kepalanya ke atas dan bawah beberapa kali. "Rencananya juga mau sekalian lanjut S2, tapi masih rencana."

"Di Australia juga?" tanyaku, merasa tertarik dengan informasi yang dia berikan. Jika Aksa memang berniat menetap di luar negeri cukup lama, itu artinya waktu yang kami punya sekarang sangat terbatas.

"Belum tahu. Pengennya ambil MBA di Stanford, tapi gue cuma mau kuliah di sana kalau dapat beasiswa atau bayar pakai uang hasil jerih payah sendiri," ungkapnya. "Kayaknya kalau gagal dapat beasiswa, lebih feasible kalau gue kerja dulu baru lanjut sekolah."

Aku berkomentar, "Realistis banget."

"Hidup emang harus realistis, Lun," timpalnya. Matanya yang sedikit bersinar menyorot lurus ke arahku. "Segala hal emang harus pada porsinya, jangan terlalu berlebihan, termasuk dalam hal menyusun mimpi dan rencana masa depan."

Sisi lain diri Aksa yang sangat bijak ini sangat berbanding terbalik dengan sosoknya yang santai dan suka bergurau. Aku merasa asing dengan sisinya yang satu ini, tetapi bukan berarti aku tidak menyukainya. Sosoknya yang seperti ini jauh lebih menyenangkan dibandingkan sisi dinginnya yang tanpa ekspresi.

"Lo salah makan, ya?" candaku. "Kok jadi serius begini?"

Sontak, Aksa tertawa renyah. "Woi! Emangnya gue nggak boleh serius?"

Aku menyengir kecil. "Lagian lo mendadak jadi super serius gini. Gue kan, jadi takut kalau lo tiba-tiba kemasukan sesuatu."

"Gue tahu lo takut sama hal-hal yang berbau hantu, jadi lebih baik lo nggak memulai sebelum lo ketakutan sendiri," kata Aksa dengan senyum misterius. "Kalau beneran ada—"

"Oke!" selaku panik, membuat Aksa tergelak. "Ganti topik!"

Aku mengusap lenganku ketika angin berembus dengan kencang. Aku lupa melapisi kaos berlengan pendek yang kupakai dengan jaket sehingga angin malam terasa kian menusuk hingga menembus tulang.

"Dingin?" tanya Aksa, mengernyit.

Aku mengangguk sekilas. "Sedikit."

"Sini, Lun." Tiba-tiba, Aksa menepuk kursi kosong di sampingnya. "Duduk di samping gue."

Aku membelalakkan mata. "Kenapa? Ada apa? Lo bisa lihat sesuatu, ya?"

"Mungkin?" tukasnya tidak yakin. Aku mengerang di dalam hati. Jawaban macam apa itu? "Makanya lo duduk dulu di samping gue sebelum ada kejadian aneh."

Menuruti perintahnya, aku segera mengambil tempat duduk di sampingnya dengan jantung yang berdetak kencang. Mataku langsung menyapu ke sekitaran tempat yang kami duduki. Sepi dan hening. Motor dan mobil yang lewat di jalanan pun bisa dihitung jari sejak kami duduk di sini. Pembeli nasi goreng ini pun hanya kami.

Aku menoleh, berniat untuk memastikan apakah Aksa memang memiliki kemampuan melihat makhluk halus atau tidak. Namun, pertanyaan yang sudah siap kuutarakan tertahan di ujung lidah ketika melihat Aksa melepaskan hoodie-nya dan menyerahkannya kepadaku.

"Dipakai," suruhnya. "Lo kedinginan begitu."

"Nggak usah," tolakku halus.

Aksa semakin menyodorkan hoodie-nya dengan raut wajah yang penuh rasa bersalah. "Seharusnya tadi gue nggak ngajak lo keluar tengah malam begini."

Serta merta, aku mengambil hoodie miliknya lantas mengenakannya di tubuhku. "Gue yang mau, kok."

Aroma woody yang khas dan unik dari parfumnya menyeruak masuk ke hidungku ketika aku menarik napas. Aksa mengubah posisi duduknya menjadi menghadapku. Aku menahan napas ketika wajahnya mendekat ke arahku. Tangannya terulur ke belakang tubuhku. Tanpa bisa kukendalikan, jantungku berdetak tiga kali lebih cepat karena jarak di antara kami yang kian menipis.

"Tapi, Lun, lo seharusnya tolak aja ajakan gue kalau lo emang nggak kuat dingin begini," katanya dengan nada yang rendah.

Tangannya yang berada di belakang tubuhku menarik tudung hoodie dan memakaikannya di kepalaku. Dia menarik tali hoodie di kedua sisi dan mengikat simpul tali tersebut di bawah daguku. Pandangan Aksa masih terfokus pada tali-tali tersebut sedangkan mataku tidak bisa teralihkan dari wajahnya.

Syaraf-syaraf di otakku langsung bekerja keras untuk mengingat setiap sudut wajahnya dan menyimpannya di salah satu kotak memori yang ada di sana. Dimulai dari alis tebalnya, manik mata hitamnya yang memancarkan kekhawatiran, hidungnya yang tidak begitu tinggi, bibirnya, lesung pipinya yang muncul sedikit, hingga rahangnya yang kokoh.

Aksa mendesah. Tangannya yang besar mendadak melingkupi kedua tanganku dan mengelusnya lembut. "Tangan lo dingin begini, Lun," tuturnya. "Pulang sekarang aja, ya? Takutnya lo masuk angin. Sisa makananya dibungkus aja."

Bola mata hitamnya yang menatap lurus ke arahku membuatku terkesiap. Aku menelan ludah susah payah. Kedekatan ini tidak baik untuk kesehatan hatiku.

Aku berdeham sambil berusaha menetralkan detak jantungku. "Ada tolak angin, kok," gurauku untuk mencairkan suasana. "Gue bawa buat jaga-jaga. Lagian mana bisa gue menolak ajakan lo?"

Aku menarik tanganku dari genggamannya kemudian menepuk bahunya dengan tenang. Padahal, sejak beberapa menit yang lalu puluhan kembang api sudah meletus di dadaku.

"Kenapa? Nggak bisa jauh dari gue ya, Lun?" tanyanya dengan mata yang berkilau. Semakin lama aku menatap manik matanya, aku semakin merasa hanyut dan tenggelam dalam momen ini.

Aku mengulum bibir, berusaha menahan senyuman yang dapat muncul kapan saja karena perilaku manisnya. Not that I'm complaining though.

"Bukannya gue yang harusnya nanya kayak gitu? Lo nggak bisa jauh dari gue makanya minta gue temenin beli makan malam?" tanyaku balik, tidak tahan untuk menggodanya.

Dia mendengus meski sudut bibirnya tertarik ke atas.

Aku memutar kedua bola mata. "Lo itu terlalu percaya diri!" cibirku. "Kalau gue nggak lapar, gue nggak akan mau nemenin lo cari makan malam-malam begini. Jalan kaki pula! Mending gue tidur di guest house atau main kartu UNO sama anak-anak yang lain."

Aksa mendengus. "Jelas-jelas tadi pas diajak main lo nggak ngerti gimana mainnya."

"Tapi, gue ini termasuk yang cepat belajar, lho!"

Lagi-lagi, Aksa tertawa. "Gue baru tahu kalau kalah selama tiga babak berturut-turut sampai muka berantakan ketutup bedak itu termasuk kategori cepat belajar."

"Itu namanya learning by doing, Sa," kilahku, tidak ingin kalah dalam perdebatan yang sebenarnya tidak cukup penting ini. "Kalau lo nggak keburu ajak gue keluar, gue yakin di babak keempat gue bakal menang."

"Anggap aja gue yang ajak lo keluar ini termasuk tindakan preventif sebelum lo kalah lagi dan muka lo jadi putih karena ketutupan bedak semua," tukasnya.

Baiklah. Aksa memang tidak pernah lelah dan kehabisan akal untuk menyahuti segala perkataanku. Persis seperti apa yang dia katakan di kereta saat perjalanan menuju Malang: dia akan meladeni semua argumenku setelah kami menginjakkan kaki di kota Malang. Tapi tentu saja aku tidak rela untuk menyerah begitu saja atas perbincangan ini.

Aku menyengir lalu berkata, "Kayaknya lo yang lebih butuh tindakan preventif buat hati lo sebelum lo mikir kalau gue tertarik sama lo sampai mau diajak jalan setengah kilometer tengah malam begini."

Dan ucapanku itu berhasil membuat Aksa terperangah.

Aku mengerling ke arahnya dan berniat untuk melanjutkan makan malam yang tertunda. Namun, suatu benda halus yang menyentuh kakiku membuatku kontan memekik kencang, membawa kakiku naik ke atas kursi, dan mencengkram lengan Aksa dengan kuat.

"Lun? Kenapa?" Aksa bertanya dengan nada panik yang kentara jelas. Aku menggeleng seraya menyembunyikan wajahku di lengannya. "Kenapa?"

Napasku memburu. Aku menunjuk ke kolong meja tanpa bergerak sedikit pun. "Nggak tahu," jawabku, agak merengek. "Ada yang nyenggol tadi."

Tubuh Aksa bergerak, sepertinya dia sedang mengecek makhluk macam apa yang berhasil membuatku ketakutan setengah mati seperti ini.

"Lun, coba lihat dulu, deh," pinta Aksa. Dia menggenggam kedua pergelangan tanganku, tetapi aku menolak tanpa berniat untuk mengikuti permintaannya. "Gue udah lihat dan itu bukan seperti apa yang lo pikirin."

Aku mendongak dan mendapati jarak yang terkikis di antara kami. Bola matanya yang berwarna hitam menyorotku dengan cemas sekaligus geli. "Apa?"

Aksa menggerakkan dagunya ke arah kolong meja diiringi dengan tawa kecil. Aku mengikuti arah pandangannya. Mataku langsung menangkap seekor kucing berwarna abu-abu yang sedang menjilati tubuhnya persis di tempat di mana sebelumnya kakiku berpijak.

Aku menjilat bibir bawahku lantas mengalihkan tatapan ke arah Aksa. "Sa," panggilku, nyaris seperti racauan. Aku menelan ludah susah payah. "Gue takut kucing."

Bukannya menyingkirkan kucing itu, Aksa justru melongo. Selama beberapa detik, kami hanya terdiam sampai akhirnya gelak tawa Aksa memecah keheningan. Dengan kesal, aku menghujamkan pukulan di lengannya seraya menyuruhnya mengusir kucing abu-abu tersebut.

"Lun! Sakit! Iya, iya! Gue usir nih kucingnya!" Aksa mengaduh, tetapi aku masih belum puas melampiaskan kekesalanku.

Kedua tangan Aksa tiba-tiba menangkap kedua pergelangan tanganku yang hampir mengenai tubuhnya. Laki-laki itu mencondongkan tubuhnya kepadaku seraya menggeram gemas.

"Kalau gue dipukul mulu gimana bisa usir kucingnya?" tanyanya dengan senyum jahil yang masih bermain di bibirnya. Dia menunduk lalu kembali menatapku. "Tuh! Kucingnya udah nggak ada. Takut kali dia gara-gara lo ngamuk."

Sekali lagi, aku memberikan tinjuan keras di lengannya.

Aksa memelotot. "Lun!"

Aku berdecih. "What? You deserved it."

Continue Reading

You'll Also Like

23.4K 2.7K 28
Sinopsis Jiang Suisui meninggal karena penyakit jantung bawaan di kehidupan sebelumnya, dan dia selalu menyesal bahwa dia tidak mengalami cinta yang...
821K 71.7K 43
Menjadi wanita lajang dengan masa depan yang gak pasti membuat orang tua Arum gigit jari. Dari dulu ia tidak pernah mengenalkan seorang lelaki pada m...
101K 9.6K 46
Natasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan be...
2.3M 319K 42
(Cerita Pilihan @WattpadChicklitID Bulan Januari 2023) Afif Akelio Ramaza Hi, Sherina. Saya udah lihat profil kamu. Bisa datang wawancara ke kantor d...