Demon Blood
Tanpa absen sehari pun, Celin dan Celina tidak pernah lupa untuk meminumkan darah mereka kepada Erza saat omega lain sedang keluar. Sambil berharap kalau nona mereka secepatnya sembuh dan sadar, mereka tetap melakukan kegiatan tersebut hingga hampir 1 minggu terhitung.
Setiap malam menjelang, Celin dan Celina menggores telapak tangan juga lengan mereka dengan sebilah pisau secara bergantian. Menampung darah mereka sendiri disebuah baskom kecil yang Celin ambil dari dapur, sambil menahan perih juga sakit dari sayatan sebelumnya yang memang belum sembuh karena tidak diobati dengan benar.
"Nona pasti sembuh" ucap Celina gemetar sambil mengedip ngedipkan matanya agar tidak menangis.
Celin mengangguk lalu mencengkram lengan adiknya yang agar darahnya tidak lagi keluar, tempat itu sudah penuh dan mereka pikir ini semua sudah cukup. Mereka harus tidur sekarang dan harus memberikan darah itu pagi pagi sekali.
Bergantian memasangkan kain kasa dilengan masing masing, si kembar membereskan kamar mereka, menyembunyikan pisau juga tempat yang mereka gunakan dibawah tempat tidur lalu menutupinya dengan kain hitam. Setelah itu mereka beranjak menuju tempat tidur dan menutup matanya.
.
.
.
Pagi sudah datang walau matahari masih belum tampak menghiasi langit, dan disudut sana terlihat si kembar yang sedang berjalan mengendap endap menuju ruangan Erza.
Ada alasan kenapa mereka memberikan darah itu pagi pagi sekali. Pertama, karena tubuh mereka semakin sensitif dengan sinar matahari. Kedua, mereka sering merasa pusing yang tentunya karena kekurangan darah. Ketiga, mereka hanya ingin istirahat setelah memberikan darah ini, tubuh mereka terasa sangat lemas sekarang.
"Kakak pikir apa ada orang didalam sana?" tanya Celina sebelum membuka pintu ruangan Erza. Celin terdiam sambil menutup matanya, mencoba mendengarkan kalau kalau ada seseorang didalam selain nona mereka.
Celin menggeleng lalu membuka matanya untuk menatap Celina. "Tidak ada" jawabnya lirih.
Pada akhirnya mereka masuk kedalam, menutup pintu dan segera menghampiri nona mereka yang masih terbaring di atas tempat tidur.
Celin menarik sebuah kursi agar sampai saat meminumkan darah itu kepada nonanya dan Celina mengeluarkan 1 botol darah mereka yang sedari tadi dipeluknya. Celin mengambilnya dan menuangkan cairan merah itu sedikit demi sedikit kedalam mulut Erza sambil sedikit menekan bagian lehernya agar tertelan.
Waktu berlalu dan darah didalam botol itu sudah hampir habis Erza telan, namun 1 masalah tiba tiba datang kepada mereka. Celin dan Celina mendengar seseorang membuka pintu depan dan sedang berjalan menuju kamar tempat mereka berada sekarang.
Karena terkejut Celin yang membawa botol itu sempat menumpahkan sedikit darah kepakaian yang nona mereka kenakan, Celin buru buru turun dari atas kursi itu dan mencari tempat untuk bersembunyi. Dan naas nya lagi saat mereka akan bersembunyi, mereka sudah tertangkap lebih dulu.
"Apa yang kalian lakukan!" teriak Alex yang melihat Celin sempat memasukkan sesuatu kemulut Erza.
Sontak dua anak itu berdiri ketakutan sambil menyembunyikan botol tersebut dibelakang tubuh mereka, melihat sang Alpha menghampiri mereka dengan wajah marah tentu membuat mereka semakin tertekan harus melakukan apa.
"Apa yang kalian berikan kepada Erza!" tanya Alex dengan raut marah tepat dihadapan Celin dan Celina. Melihat kebungkaman sikembar, Alex beralih menatap kearah Erza dan menemukan bercak cairan berwarna merah di pakaian gadis itu.
Dengan cepat Celin memanfaatkan kesempatan itu untuk melemparkan botol yang di bawanya keluar jendela. Takut kalau Alpha sampai tau kalau mereka meminumkan darah kepada nona mereka.
Alex sempat melihat saat Celin melemparkan botol itu keluar, dia menggeram marah lalu mencengkram kedua lengan omega kecil itu. "Ternyata memang kalian"
Sedari awal Alex memang sudah curiga kalau Erza seperti itu karena ulah mereka, karena Erza sendiri hanya menghabiskan waktunya berasama dua anak ini saja setiap harinya. Jadi dipikirnya tidak mungkin orang lain dapat melakukan semua itu dengan mudah.
.
.
.
Samar, dia mendengar suara gaduh juga kicauan burung bersamaan. Menautkan alisnya, Erza merasakan kepalanya terasa begitu sakit sekarang. Dibuka perlahan matanya sambil menoleh kekanan dan kiri, mengingat apa yang terjadi kepada dirinya sendiri.
Berada didalam kamarnya sendirian ditemani oleh peralatan peralatan medis yang tergeletak pada sebuah meja tepat disampingnya. Erza menelan ludahnya sendiri setelah merasakan tenggorokannya yang sangat kering.
Gadis itu mencoba bangkit, rasa sakit tadi menghampirinya seketika. Seolah tersengat oleh arus listrik yang menjalar tanpa aba aba begitu saja. Erza terkejut dengan semua rasa sakit itu hanya bisa mengatupkan giginya tanpa berani berteriak.
Menarik nafasnya, Erza kembali mencoba bangun walau tubuhnya terasa semakin menyakitkan. "Ggrhh" erangnya setelah berhasil terduduk. Gadis itu kembali menarik nafas panjang sambil menatapi lengannya yang tersambung 4 kantong darah kosong.
Erza mencabut semua selang itu dari lengannya dan kembali menatap sekitar, mencari keberadaan Celin dan Celina yang tidak tertangkap matanya. Karena tidak menemukan seseorangpun didalam ruangan itu selain dirinya, Erza mencoba menggerakkan anggota tubuhnya yang masih terasa kaku juga sakit.
Ia menarik kakinya turun kelantai saat sudah dapat dikendalikannya lagi. Pelan pelan gadis itu berdiri dan berjalan jalan memutari tempat tidurnya sebentar sambil tetap memperhatikan sekitar, kenapa tidak ada seorangpun didalam kamarnya.
Lalu suara keramaian apa yang Erza dengar dari jendela kamarnya yang terbuka itu.
"Celin, Celina?" panggil Erza dengan suara seraknya mengelilingi ruangan itu hingga sampai di pintu depan.
Prang!
Erza menoleh kearah benda jatuh itu dan menemukan seorang wanita yang berdiri terkejut diambang pintu sedang menatapnya, menjatuhkan nampan berisi 4 kantong darah dengan tubuh gemetar.
"Kau baik baik saja?" tanya Erza khawatir dan hendak menghampirinya, namun wanita itu lari keluar kamarnya seketika.
Dapat didengarnya wanita itu berteriak teriak. "Luna sudah sadar! Luna sadar!"
Sedangkan Erza hanya bisa menatap wanita itu dengan wajah yang mengatakan "Hah?" tidak mengerti. Menghiraukannya, gadis itu berjalan sendirian di lorong dengan sedikit terseok seok mencari keberadaan 2 pelayan menggemaskannya.
Saat sampai di sebuah lorong yang cukup jauh dari kamarnya berada, diperjalanan dia mendengar sesuatu yang menyangkut pautkan nama Celin dan Celina.
"Benar, Alpha menghukumnya di aula bagian barat"
'Hukum?' batin Erza menautkan alisnya.
"Kasihan, mereka masih kecil" ucap iba salah satunya namun masih terlihat santai dengan hal itu.
"50 cambukan itu sangat menyakitkan, aku harap ada yang dapat meringankan hukuman mereka"
Terbelak seketika, gadis itu langsung lari begitu saja menuju kearah barat melewati kedua omega tadi. Membuat kedua omega itu ikut terkejut melihat Erza yang tiba tiba lari melawati mereka.
"Luna sadar!" panik mereka yang dapat Erza dengar.
Seolah tidak merasakan apapun Erza tetap berlari, sesekali matanya menatap kearah matahari berada. Mata hari yang barusaja terbit itu dapat dengan mudah menunjukkan jalannya menuju kearah barat.
Walaupun beberapa kali tersandung batu dan tidak memakai alas kaki, tidak menyurutkan Erza untuk menyelamatkan Celin dan Celina sebelum Alex melukai mereka.
Tidak lama berlari, diseberang sana dia dapat melihat sebuah bangunan yang cukup besar dengan suara hiruk piuk orang didalamnya. Mempercepat larinya, Erza berharap banyak kalau dia bisa menyelamatkan Celin juga Celina.
Erza masuk kedalam bangunan itu dan melihat tengah sana Alex sudah siap melayangkan cambuknya kepada Celin dan Celina yang terlihat menangis, tiba tiba tubuhnya terasa panas dan sekejap sampai ditengah tengah aula. Bahkan gadis itu sempat merebut cambuk yang Alex pegang dan menendang dada pria itu hingga terpental cukup jauh.
Hiruk piuk suara yang Erza dengar tadinya berhenti seketika, matanya melirik tajam kearah Alex yang bangkit setelah menerima tendangan dari Erza. Gadis itu mengatur nafasnya yang tersenggal senggal, amarahnya terasa tengah ada dipuncak yang paling atas.
Tanpa mengatakan apapun Erza melempar cambuk yang dibawanya dengan wajah marah lalu berbalik, mengangkat Celin dan Celina untuk digendongnya dan dibawa pergi begitu saja. Dan bersamaan, dipintu keluar semua omega mengerumuni Erza juga Celin, Celina. Membawa berbagai macam obat untuk Luna mereka.
Bukan hanya Alex, tapi semua orang yang berada di dalam aula itu dapat melihat semuanya dengan jelas. Tercengang dengan calon Luna mereka yang terlampau kuat hingga dapat membuat sang Alpha terpental dalam sekali tendang.
.
.
.
Dilain sisi, Erza yang menggendong Celin dan Celina bersamaan, meneduh sebentar dibawah pohon ridang. Ditatapnya kedua wajah anak itu yang memerah terpapar matahari dan penuh air mata, apalagi dengan tangannya yang penuh luka.
"Kalian membawa obat dan kain?" tanya Erza panik kepada semua omega yang mengikutinya.
Dan mereka segera memberikan apa yang gadis itu butuhkan, ikut mengobati Celin dan Celina yang terlihat menggenaskan.
"Ssstth, jangan menangis lagi. Okey" hibur Erza sambil mengusap air mata kedua anak itu, menutupi kepala Celin dan Celina dengan selimut yang salah satu omega lain bawa, juga mengusap usap punggung mereka.
Sedih saat menatap lengan si kembar terluka cukup parah, memeluk pelan kedua anak itu, lagi lagi Erza berbisik. "Itu akan segera sembuh" Erza pun berharap luka itu akan segera sembuh tanpa meninggalkan bekas, dia benar benar terpukul melihat betapa kejamnya Alex kepada Celin juga Celina yang masih anak anak.
Separah apapun masalah yang mereka buat, mereka masih anak kecil. Lagipula Celin dan Celina sangat pendiam menurutnya, jadi apa yang bisa mereka buat.
"Luna, kaki anda" ucap seorang omega, Erza melirik kearah kakinya yang berdarah mungkin karena tersandung batu ditengah jalan.
"Nanti saja" jawab Erza kembali memperhatikan Celin dan Celina.
Sebenarnya Celin dan Celina sendiri menangis bukan hanya karena merasakan perih dilengan mereka, tapi juga karena takut dan senang bersamaan. Takut karena Alpha yang mencambuk luka mereka dan takut melihat wujud nona mereka yang menggerikkan.
Dengan tubuh hitam, 4 pasang tanduk besar dikepalanya dan berpasang pasang mata merah yang menatap mereka. Baru pertama kali ini mereka menatap wujud iblis yang begitu mengerikkan seperti milik nona mereka.
Belum lagi mereka juga senang atas sadarnya Erza. Semuanya terasa bercampur menjadi 1 dan mereka bingung harus mengungkapkannya seperti apa.
.
.
.
Tbc
Hampir lupa aku kalau mau update:)
Btw, terima kasih sudah mau berkunjung di Arrhenphobia:) Dan untuk Luis sudah aku perbarui bab 9 juga 10nya.
Terima kasih sudah mau baca sampai sini:)