Selamat Membaca,
Chocomellow.
***
Kean mengantarkanku pulang. Selama di perjalanan tangannya tak lepas menggengam tanganku.
"Apa kamu tidak kesulitan mengemudi dengan satu tangan?" tanyaku saat Kean tak juga berniat melepaskan tanganku.
Aku kembali menarik tanganku ketika Kean berhenti di lampu merah. Tapi setelah itu, dia kembali menggenggam tanganku dan menarikku mendekat padanya.
"Tidak juga, aku menyukainya," kata Kean. Lalu tersenyum dan mengeratkan genggaman tangan kami.
Akhirnya aku membiarkan Kean menikmati kedekatan kami. Karena sejujurnya aku juga menyukai caranya menggenggam tanganku. Terasa hangat dan nyaman.
Begitu kami sampai di apartement ku. Kean masih belum melepaskan tangan yang masih menjalin jari-jariku dengan kuat.
"Pak, saya harus pulang." Kataku saat Kean tak juga melepaskan tanganku.
"Namaku," pinta Kean.
"Sorry, kebiasaan. Ayolah Kean, ini sudah malam. Besok kamu juga ada rapat pagi," pintaku.
Kean membalikan badannya dan menghadap kearahku. Dia menatapku lama.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanyaku. Matanya menyorotku dalam. Dan wajahnya terlihat gembira. Bibirnya tersenyum tipis dan semua itu membuatku salah tingkah.
"Beri aku lima menit, aku tak ingin berpisah denganmu." Jawabnya, masih betah menatap wajahku lama.
"Aku tidak tahu kamu ahli menggombal seperti ini. Apa kamu berlatih sepanjang malam? Sudah berapa banyak wanita yang terjerat rayuanmu?" tanyaku menggoda Kean.
"Tapi aku rasa itu tidak cocok dengan wajah datar dan mata tajam itu." Kataku dan terkekeh melihat wajah Kean yang tertekuk masam.
"Aku tidak belajar menggombal. Selain itu, tak ada wanita yang lebih pantas untuk aku rayu selain kamu." Jawab Kean dengan percaya diri.
"Kenapa kamu berfikir seperti itu? Diantara banyaknya wanita cantik diluar sana, kenapa hanya aku yang pantas?" kataku tertarik dengan jawaban kekanak-kanakkan Kean.
"Entahlah, aku tak pernah memikirkannya. Mungkin karena aku tidak tertarik," jawab Kean polos.
Terkadang aku ingin membuka kepala Kean. Dan melihat isi otakknya. Bos setan ini, meskipun dia dingin, pemarah, dan perfeksionis tapi dia terlalu jujur dan blak-blakan.
"Cantikan mana aku dibandingkan Mbak Anjani," tanyaku.
Mbak Anjani adalah sekretaris direktur keuangan. Dia dikenal sebagai salah satu perempuan yang cantik di perusahaan.
"Tentu saja Anjani," jawab Kean jujur.
Bos setan ini. Saking jujurnya, dia bahkan tak memikirkan sakit hati yang akan ditanggung oleh orang yang mendengar jawabannya. Wajahku dengan cepat berubah sangar mendengar jawaban Kean.
"Memang kenapa kalau dia cantik. Tapi aku tak menyukainya. Aku hanya menyukai Michael. Wanita didepanku," mendengar itu wajahku langsung memerah.
Aku rasa laki-laki ini memang belajar menggombal dari seseorang. Kean yang aku kenal adalah laki-laki dingin dan buas. Mendengar dia mengucapkan kalimat rayuan dengan nada lembut seperti itu membuat telingaku geli mendengarnya.
"Aw," teriak ku. Aku dengan cepat melepaskan tautan tangan kami dan menggenggam telingaku. Lalu turun mengusap sedikit tubuhku yang juga merinding mendengar rayuan Kean.
"Kenapa? Ada yang salah?" kata Kean terkejut dengan rekasiku.
"Telingaku geli mendengar rayuanmu, Ke." Ucapku lalu mengusap kembali telingaku.
"Benarkah?" tanya Kean tak percaya. Lalu dia tertawa melihatku masih mengusap wajah dan telingaku yang sekarang memerah.
"Mmmm, itu benar-benar terdengar menggelikan. Aneh saja mendengar bos bengis yang biasanya bersikap dingin dan marah-marah setiap hari melancarkan rayuan seperti ini," jelasku masih mengusap wajahku menghilakan rasa geli yang tiba-tiba menggerayap di seluruh tubuhku.
Kean tertawa mendengar komentarku.
"Baiklah, aku harus masuk," kataku dan membuka pintu mobil.
"Micha,"
Aku menoleh ketika Kean memanggilku. Dia menarikku mendekat padanya. dan mencium keningku singkat.
"Mimpi indah, Micha." Ucapnya lalu mengelus pipiku yang merah dengan ibu jarinya.
Aku mengangguk menjawab permintaan Kean.
"Kamu tahu apa yang aku maksud dengan 'mimpi indah' kan?" tanya Kean.
"Tentu saja. Aku akan memimpikanmu, Bos." Kataku dan menjepit kedua pipinya dengan tanganku.
Aku tersenyum melihat wajah Kean yang tampan berubah menjadi ikan Koi yang meminta makan. Kean melepaskan tangaku, dan meraihku ke dalam pelukannya.
"Kurasa aku juga akan bermimpi indah malam ini," kata Kean. Lalu melepaskan pelukan kami.
"Baiklah, jangan sampai kamu nggak mau bangun karena memimpkan aku." Balasku. Dan Kean tertawa mendengar ucapanku.
"Kurasa aku tahu bagaimana menggelikannya ucapanku barusan," kata Kean. Aku tertawa karena menyadari ucapanku juga sama menggelikannya dengan Kean.
"Hati-hati di jalan," ucapku lalu membuka pintu mobil.
Aku masuk setelah melihat Kean menghilang dari area apartement ku.
***
"Lo belum tidur?" tanyaku saat ku lihat Raka mulai mengakarkan pantantnya di depan televisi. Aku melangkah kearah dapur dan mengambil segelas air.
"Belum," jawabnya. Dia melirikku dan menatapku penasaran setelah melihat raut wajahku yang tersenyum bahagia.
"Lo kenapa mbak?" kata Raka setelah memperhatikanku yang tak berhenti tersenyum.
"Nanti gue cerita," ucapku dan melangkah kearah kamar.
Sementara aku bersih-bersih, Raka berteriak dari depan pintu kamarku.
"Lo nggak di apa-apain Kak Kean kan?" tanya Raka curiga.
Aku melangkah membuka pintu kamarku dan menjawab Raka dengan wajah sebal.
"Lo kira gue cewek apaan," kataku ketus.
"Minum nih, obat herbal yang diminta mama." Kata Raka, lalu menyodorkan nampan padaku.
"Yah, siapa tahu. Lo kehilangan kendali diri karena lihat badannya Kak Kean yang aduhai," lanjutnya.
"Hehehe... badan Kean memang bagus," ucapku lalu kembali mengingat kejadian waktu aku di dapur Kean untuk membuatkan kami sarapan.
"Tuh kan, gue takutnya bukan Kak Kean yang nyerang, tapi lo."
"Enak aja. Iman gue nggak segitu tipisnya ya Ka. Gue juga masih punya otak." Ucapku tak terima dengan perkataan Raka.
"Udah habisin tuh obat," ucap Raka.
Aku dengan cepat meneguk habis isi mangkuk yang ada dinampan. Argh, benar-benar pahit.
"Ini benaran obat buat imun tubuh. Nggak lo tambahin racun kan? Pahit banget," ucapku.
"Harusnya gue tambahin racun tadi. Gue jadi nyesal sekarang," lirihnya dan mengambil nampan dari tanganku.
Raka lalu melangkah kearah dapur. Sedangkan aku melanjutkan bersih-bersih di dalam kamar.
Setelah selesai membersihkan make up. Kemudian mengganti baju dengan jaket dan baju tidur. Aku melangkah keluar. Raka sudah tidak ada di ruang tamu.
Begitu aku mengetuk pintu kamar Raka, bocah tengil itu muncul dengan memeluk bantalnya. Tampa babibu, aku masuk kedalam kamarnya.
Tak mempedulikan Raka yang merungut tak senang, aku menjatuhkan diri dikasur.
"Ka, gue akhirnya terima Kean." Ucapku dan Raka menatapku dengan wajah datar.
"Gue udah tahu, lo nggak mungkin bakal nolak Kak Kean." Katanya, seolah-olah kata tidak memang tak mungkin keluar dari mulutku.
"Gue akhirnya punya pacar," teriakku sambil menggerakan kaki dan tanganku dikasur.
Aku mengulang kalimat yang sama beberapa kali. Hingga Raka berteriak kesal padaku.
"Mbak, lo jangan bertingkah kayak gini di depan orang lain ya. Bisa-bisa lo malu-maluin gue," tandasnya kesal.
"Peduli amat, yang penting gue udah punya kekasih sekarang." Kataku dengan senyum dan nada bahagia.
"Gue punya pacar," teriaku sekali lagi. Dan Raka bergerak menutup wajahku dengan bantal yang sedari tadi di peluknya.
"Mbak lo malu-maluin, ih. Kayak orang nggak pernah pacaran." Ejek Raka ketika aku memukulnya dengan memb*bi buta saat dia membekap mulutku dengan bantal.
"Emang gue nggak pernah pacaran, tapi sekarang gue udah punya pacarrrrrrr..." terikakku dan Raka mendesah frustasi mendengarku berterik sekali lagi.
"Dasar jomblo menahun," canda Raka.
"Akhirnya gue punya pacar," sanggahku dan memeletkan lidah kearah Raka. Dia tertawa melihat tingkah laku ku.
Dan aku mensabotase Raka semalaman untuk menceritakan semua kejadian malam ini. Hingga di terkatuk-kantuk dan terkulai lemas di samping tempat tidur.
***