Love: The Butterfly Effect [C...

By storiesbyyola

848K 90.4K 3.1K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... More

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 6: You deserved it
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 8: Nothing less, nothing more
Ch. 9: Before sunrise
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?
Ch. 13: It's been a long time
Ch. 14: I didn't have a girlfriend
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 18: Who did this to her?
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 20: Wake up call
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 25: About fried rice
Ch. 26: One step at a time
Ch. 27: Seems like you are the only exception
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 32: I'm yours
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 34: Things will happen when it has to happen
Ch. 35: Her fears
Ch. 36: Someone from the past
Ch. 37: Trust and honesty
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 43: Can time heal a broken heart?
Ch. 44: It's never too late to try
Ch. 45: Make things right
Ch. 46: A chance to make things right
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Ch. 3: More beautiful than I ever imagined

22.4K 2.4K 76
By storiesbyyola

LUNA

Taruhan yang kubuat bersama Aksa sepertinya akan kumenangkan. Ini sudah jam setengah dua siang dan film keempat yang kami tonton baru saja berakhir, tetapi Kevin masih terlelap di tempat duduknya. Beberapa kali aku menengok ke belakang untuk mengecek keadaan, tapi yang aku dapatkan hanyalah Kevin dengan mata yang terpejam dan kepala yang bersender ke jendela.

"Udahan dulu nontonnya," cetusku ketika film keempat sedang menampilkan credit title. "Lapar, nggak? Kita udah kelewatan jam makan siang gara-gara keasikan nonton."

Aksa melepas earphone yang menyumbat telinganya. "Siapa yang tadi ditawarin makan sama petugas kereta tapi menolak karena nggak mau acara nonton filmnya keganggu?"

Aku memutar bola mata ketika mendengar Aksa meledekku. Aku mulai terbiasa dengan sikap usilnya setelah menghabiskan waktu sekitar delapan jam di sampingnya. Namun, tidak kupungkiri, sikapnya itulah yang mampu menghilangkan rasa canggung yang kumiliki di pertemuan pertama ini. Pembawaannya yang kelewat santai itu membuatku merasa sudah mengenalnya bertahun-tahun sehingga aku tidak perlu menahan diri untuk menjadi diriku sendiri.

"Mau ke gerbong restorasi, nggak?" tanyaku seraya mengambil dompet yang ada di dalam tas, tapi aku mengurungkan niatku. Aku menyeringai kepada Aksa begitu pandangan kami beradu. "Lo kalah taruhan, kan?"

Aksa mengerjapkan mata lalu menggelengkan kepalanya. Dia menatapku takjub. "Gue kira lo udah lupa karena keasikan nonton," timpalnya. Tak lama kemudian, dia berdiri lalu membungkukkan sedikit tubuhnya seolah dia adalah pelayan di restoran. "After you, Princess."

Dengan susah payah, aku berusaha untuk menahan senyum, tetapi sayangnya usahaku tidak berhasil karena aku bisa merasakan sudut bibirku berkedut dan tertarik ke atas dengan sempurna. Dengan wajahnya yang good looking, sikapnya yang manis itu merupakan poin plus yang bisa membuat setiap perempuan bertekuk lutut. Aku yakin, pasti banyak perempuan yang luluh terhadapnya.

Termasuk diriku—jika aku tidak bisa mengontrol perasaanku.

Kami baru saling mengenal dalam hitungan jam, tetapi rasanya aku ingin mengangkat bendera putih dan menyerah akan pesonanya. Tapi, tentu saja aku tidak menunjukkan kekagumanku secara terang-terangan. Ketika melewatinya yang sedang tersenyum jenaka, aku mendelikkan mata.

"Belum ada dua puluh empat jam sejak kita ketemu, lo udah berani bikin panggilan spesial buat gue?" tanyaku, pura-pura tidak terima. Tetapi sepertinya Aksa merasa sudah cukup mengenalku sehingga dia hanya terbahak, tidak menganggap ucapanku adalah hal yang serius.

Lagi pula, aku juga tidak benar-benar merasa keberatan dengan panggilan itu.

"Oh, in case you are wondering, gue punya banyak panggilan spesial buat lo kalau lo merasa 'princess' itu terlalu kekanakan," balasnya penuh percaya diri. "Atau panggilan itu kurang spesial?"

Aku menyikut pinggangnya pelan, menyuruhnya untuk berhenti menggodaku. Walaupun dia menanggapi dengan tawa kecil, setelahnya dia tidak berkata apa-apa. Aku tahu dia hanya bercanda sehingga aku berusaha mengendalikan diri dan tidak menganggap apa yang dia katakan adalah sesuatu yang spesial.

"Eh, mau ke mana?" Haris bertanya ketika kami melewati tempat duduknya.

Di belakangku, Aksa menyahut. "Ke gerbong restorasi."

Aku membalikkan tubuh seraya melihat Haris dan Dinda yang sedang menyemil sebungkus biskuit. "Mau ikut, nggak?" tawarku. "Eh, kalian udah makan belum, sih?"

"Tadi gue udah beli nasi goreng, sih," jawab Dinda dengan nada menggantung. Dia tampak berpikir sebentar. "Mau ikut, deh. Mendadak kepengen makan pop mie."

Haris dan Aksa menyemburkan tawanya.

"Woi!" Haris menyeletuk seraya menyentil kening Dinda dengan gemas. "Perasaan lima menit yang lalu lo baru mengeluh karena merasa berat badan lo naik. Gue juga seorang saksi yang mendengar lo bersumpah mau diet. Tapi, ini ngomong-ngomong dari sejak kita berangkat mulut lo nggak berhenti ngunyah. Apa kabar diet?"

Dinda bersungut kesal. Dia beranjak dari tempatnya lalu memukul puncak kepala Haris dengan enteng. "Diet bisa dimulai besok," katanya ketus.

"Ngomongnya besok mulu," timpal Aksa jahil. Tak lama kemudian, dia mengaduh karena Dinda memukul lengannya dengan kencang. "Duh! Lo kalau mukul sakit banget, Din!"

Dinda melotot sambil berkacak pinggang. "Beruntung bukan mulut kalian berdua yang gue pukul!" semburnya. Dia mengarahkan tatapannya ke Haris lantas bertanya, "Mau ikut nggak, Ris?"

Haris mengangguk cepat. "Yuk!"

Aku berniat untuk mengajak Lisa dan Adam, tetapi saat melewati tempat duduknya, mereka sedang tertidur dengan tangan saling menggenggam. Tidak tega untuk membangunkannya, aku berlalu begitu saja.

"Mau makan apa, Lun?" tanya Aksa ketika kami sedang melihat menu yang tersedia.

Karena jam makan siang sudah lewat, beberapa makanan sudah habis. Hanya tersisa nasi goreng dan nasi rames. Tidak perlu waktu yang lama bagiku untuk menentukan pilihan. "Nasi goreng aja."

Aksa memesankan makan siang kami kepada petugas kereta sementara aku, Dinda, dan Haris duduk di salah satu meja kosong yang ada di gerbong restorasi.

"Sejauh ini menyesal nggak, Lun, udah ikut kami ke Malang?" Haris bertanya seraya mengintip ke dalam cup pop mie. "Kalau jadi lo, gue lebih memilih buat pergi ke Bali daripada jadi bodyguard dadakannya Lisa."

Aksa menyusul kami dengan dua kotak makan siang di tangannya. Dia memberikan salah satunya kepadaku dan duduk di sampingku.

"Gue lama-lama bisa menyesal kalau lo semua terus-terusan ngomongin soal Bali," sungutku, yang langsung disambut tawa puas dari Haris.

Satu yang membuatku kurang lebih lega karena nekat ikut acara liburan ini adalah sikap terbuka dari teman-temannya Lisa. Mereka memperlakukanku selayaknya teman yang sudah mereka kenal lama sehingga aku tidak perlu merasa berlama-lama canggung cengan mereka.

"Kenapa mau ke Bali, Lun?" tanya Haris penasaran ketiga aku mulai menyuap makan siangku. "Lisa bilang, keluarga kalian setiap tahunnya selalu berlibur ke Bali. Dia bosan dan pengen cari suasana baru makanya ngajak pergi ke Malang. Lo nggak jenuh ke Bali mulu? Bali kan, penuh banget kalau lagi musim liburan."

Dinda mengangguk seolah menyetujui perkataan Haris. "Sumpek banget sampai rasanya nggak ada oksigen."

Haris memutar kedua bola mata untuk menanggapi ucapan Dinda. "Bocah satu ini emang suka overreacting. Maklumin aja, Lun."

Aku tergelak ketika Dinda tidak ragu untuk melayangkan kepalan tangannya ke lengan Haris.

"Kenapa, ya?" gumamku. "Karenameskipun crowdedgue suka sama suasana yang diberikan pas lagi di pantai. Kayak bikin tenang aja gitu. Tapi, ini berlaku buat pantai yang nggak ramai dan penuh, ya. Rasanya relaxing banget kalau sore-sore duduk di pantai, dengerin suara ombak sambil nunggu sunset."

Haris menyengir dengan raut wajah yang menyebalkan. "Dari muka lo yang kelihatan dreamy banget pas menjelaskan tentang pantai, gue paham kenapa lo ngotot banget pengen ke Bali."

Aku langsung menoleh ke Dinda dan mengacungkan jari telunjukku ke arah Haris. "Gue sekarang ngerti kenapa lo bawaannya kesal mulu sama dia."

Dinda menyahut cepat. "Iya, kan!" serunya heboh. Dia menggerakkan ujung dagunya kepada Haris dan Aksa. "Lo harus tahan-tahan sama dua manusia ini karena mulutnya sampah banget. Gue sendiri nggak paham kenapa bisa terjebak dalam lingkaran pertemanan sama dua makhluk ini."

Aksa menyeletuk dengan seringai kecil bermain di bibirnya. "Karena, gue selalu mau lo palakin setiap makan siang di KAFE?"

Kali ini, Haris yang menimpali. "Karena, gue selalu mau jemput lo di kosan dan antar lo ke kampus?"

Lagi-lagi, Aksa berkata, "Karena, gue mau jadi private tutor lo pas mendekati ujian dan pinjemin semua catatan gue?"

Haris tampak berpikir sebentar sebelum berbicara. "Karena, gue mau mendengarkan curhatan lo tengah malam tentang kegalauan lo yang nggak berujung? Atau karena"

"Shit." Dinda memotong pembicaraan mereka dengan umpatan diikuti dengan beberapa umpatan kasar lainnya. Pipinya memerah menahan malu. "Fine! Lo berdua menang."

Salah satu alis Aksa terangkat ke atas. Dia menunjukkan raut wajah polosnya seakan tidak mengerti maksud dari perkataan Dinda. "Emangnya ada perlombaan apa di sini?"

Aku menutup mulut dengan satu tangan, berusaha menahan tawa, tetapi usahaku gagal setelah Aksa dan Haris menyatukan telapak tangan sedetik untuk merayakan keisengan mereka sementara Dinda menggerutu pelan. Setelah obrolan singkat itu, semua orang fokus untuk menghabiskan makanan masing-masing.

Di sela-sela santapan makan siang, tiba-tiba Haris membuka suara. "Persiapan ke Australia gimana? Udah selesai semua?"

Untuk sejenak, aku sempat melupakan fakta kalau Aksa itu anak KKI UI dan harus melanjutkan kuliahnya di universitas partner yang ada di luar negeri. Seperti Lisa dan Adam, mungkin dia akan berangkat dalam hitungan beberapa minggu dari sekarang. Seharusnya, aku tidak merasakan perubahan emosi yang berarti, tetapi kenapa seperti ada yang memberontak di dalam diriku begitu tahu Aksa akan melanjutkan studinya di Australia?

Apa Aksa mendaftar di universitas yang sama dengan Adam atau Lisa? Atau dia mendaftar di universitas lain? Kenapa aku harus sepenasaran ini?

Aksa mengangguk samar. Bibirnya membentuk garis tipis. Dari raut wajahnya, aku menebak kalau dia tidak begitu menyukai pembicaraan ini. Perubahan raut wajahnya itu berubah cepat, tetapi dengan cepat dia mengendalikan dirinya sehingga senyum muncul di wajahnya, tetapi semua orang mungkin tahu senyum itu dipaksakan.

"Tinggal berangkat aja," ujar Aksa singkat. Aku hanya mampu mengernyitkan dahi, menatap mereka semua bergantian, dan memikirkan berbagai kemungkinan mengenai ke mana sebenarnya arah pembicaraan ini.

Aksa membuang muka, memilih untuk menundukkan kepala dalam-dalam seperti menolak untuk menatap temannya. Aku terpekur. Sisi Aksa yang satu ini merupakan sisi yang jauh berbeda dengan apa yang kulihat beberapa jam belakangan. Kali ini, Aksa terlihat kaku, dingin, dan sulit untuk didekati. Sangat berbeda dengan sosok hangat, perhatian, dan penuh canda yang mampu membuatku terbang hingga ke langit ke tujuh beberapa waktu yang lalu.

"Nggak usah dibahas, ya," pinta Aksa dengan senyum tipis.

Sebenarnya ada apa? Apa yang kulewatkan dan tidak kuketahui? Apa yang terjadi? Kenapa Aksa tidak suka dengan pembicaraan mengenai kelanjutan kuliahnya?

Seribu pertanyaan mampir di benakku, tetapi tidak ada satu pun pertanyaan yang berhasil kutemui jawabannya. Aku ingin berbicara untuk menanyakan apa yang terjadi di sini, tetapi aku cukup tahu diri. Ini pertemuan pertama kami dan aku tahu jelas batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar pada pertemuan pertama. Salah satu batasan itu adalah membicarakan hal yang sifatnya terlalu pribadi dan tidak mungkin untuk dibagikan ke orang lain.

Haris dan Dinda hanya bisa saling bertatapan dan menghela napas. Secepat topik mengenai kuliah itu diangkat, secepat itu pula topik itu dilupakan. Tapi suasana tegang masih melingkupi kami.

Aku berdeham pelan. Mataku melirik ke orang-orang yang ada di sekitarku. "Ke Malang mau ke mana aja, sih?" tanyaku, mencoba mencairkan suasana.

"Lisa nggak ngasih tahu?" tanya Dinda dengan kerutan dalam di dahinya. Dia melahap mienya, tetapi matanya masih terarah kepadaku.

Sejujurnya, Lisa memberitahuku secara lengkap mengenai destinasi wisata yang akan kami kunjungi sesampainya di Malang. Bahkan, itu salah satu caranya untuk mempersuasiku agar mau digiring liburan bersamanya. Tapi, di tengah kecanggungan ini, lebih baik aku sedikit berbohong supaya bisa mengalihkan pembicaraan.

A little white lie doesn't hurt, right?

Aku mendesah, berupaya menampilkan raut wajah yang bingung. "Dia cuma bilang katanya pergi ke tempat wisata yang ada di daerah Batu dan ke Gunung Bromo. Dia sendiri juga lupa."

Sorry, Lis. Gue jadi mengkambinghitamkan lo begini, batinku.

"Bisa-bisanya lupa padahal dia yang paling heboh bikin itinerary," keluh Dinda. Dia menyambar sebotol minuman manis milik Haris yang langsung dihadiahi pelototan oleh pemiliknya. "Bagi dikit doang, Ris!"

Haris mendecak karena kelakuan Dinda sebelum menjawab pertanyaanku. "Rencananya mau ke Museum Angkut, Jatim Park, dan Batu Night Spectacular. Katanya mau ke kebun bunga juga namanya Wisata Selecta. Ke kebun teh pagi-pagi juga ada di dalam rencana, tapi nggak tahu jadi apa nggak mengingat ada orang yang kalau tidur kayak orang mati. Susah dibanguninnya."

Aku menengok ke Aksa begitu tatapan mata Haris tertuju padanya usai mengucapkan kalimat terakhir.

"Tidur itu kebutuhan," ujar Aksa. Air mukanya tampak sedikit melunak dibandingkan beberapa menit yang lalu.

Mereka mengobrol dengan santai seolah topik sensitif yang disinggung beberapa menit yang lalu tidak pernah ada. Baguslah. Berarti usahaku tidak sia-sia.

"Manusia itu secara normal tidur cuma sembilan jam per hari," balas Haris dengan raut wajah serius seakan dia adalah seorang profesor yang sedang menjelaskan materi kepada mahasiswanya. "Bahkan, anak dari umur empat belas sampai tujuh belas tahun itu jam tidur normalnya sepuluh jam per hari. Lo tidur berapa jam sehari? Kalau lagi weekend aja bisa tidur lebih dari dua belas jam. Apalagi pas liburan semester begini?"

Aku membulatkan kedua bola mataku. "Serius?" tanyaku kaget. "Nggak pusing emangnya tidur selama itu?"

"Aksa doang yang bisa begitu." Haris menggerakkan alisnya naik turun, meledek Aksa.

Alih-alih meladeni Haris, bola mata Aksa berpendar ke arahku. Dengan lesung pipi yang dipamerkan, Aksa berceletuk. "Masih mau ke pantai nggak, Lun?" Dia menatapku lurus. "Ke pantai nggak ada di rencana, sih, tapi kalau lo masih mau ke pantai, kita bisa cari pantai yang bagus."

Hatiku kontan menghangat begitu mendapatkan perhatian darinya. Meskipun aku sudah berkata untuk tidak mengungkit Bali dan pantai sebelumnya, aku tidak bisa memungkiri perasaan senang yang melingkupi dada saat mengetahui Aksa ingin memenuhi keinginanku untuk berlibur di pantai.

Entah kenapa, aku merasa senang melihat sosok Aksa yang tampak familiar di mataku. Aksa yang dingin dengan aura mencekam menghilang begitu saja digantikan dengan sosok Aksa lain yang menyenangkan dan mampu memicu kupu-kupu di perutku kembali mengepakkan sayapnya.

"Nggak usah." Aku mengibaskan tangan. "Gue ikut kalian aja mau ke mana. Lagian, gue kan ikut cuma buat jadi bodyguard-nya Lisa."

Sontak, semua orang tertawa menanggapi candaku.

Tiba-tiba, Aksa menyentuh lenganku dengan ringan. Jantungku langsung berdetak tidak karuan atas kontak fisik itukontak fisik yang mungkin bagi Aksa tidak memiliki arti lain.

"Tapi, kalau di tengah jalan tiba-tiba lo kepengen pergi ke pantai, let me know, ya?" Dia mengedipkan sebelah matanya. "Gue yang akan bilang ke Lisa buat ubah rencana perjalanan kita."

Kalau seperti ini caranya, aku jadi ragu batasan yang kubuat untuk menahan diri agar tidak terlena dengan seluruh tingkah manis Aksa luruh begitu saja. Bagaimana pun juga, aku tahu kebersamaan ini tidak akan bertahan lama. Kami hanya memiliki waktu satu minggu dan aku bisa menebak bagaimana hubungan ini berakhir. Karena, setelah liburan di Malang ini, tidak ada alasan lain bagi kami untuk tetap dekat dan bertemu secara rutin.


*


"Kenapa Teknik Lingkungan?" Aksa bertanya saat kami sudah duduk di kursi masing-masing usai makan siang. Pada tahap ini, aku tidak lagi bertanya-tanya bagaimana Aksa bisa tahu jurusan kuliah yang kuambil. Siapa lagi dalangnya kalau bukan Lisa? "Emang passion lo ada di sana atau gimana?"

Aku mengulum bibir. "Karena gue tertarik sama apa yang dipelajari."

"Oh, ya?" Aksa menatapku penasaran. "Coba jelasin apa aja yang kalian pelajari di kampus. Gue nggak punya teman di jurusan Teknik Lingkungan, so I don't have any clue about that major."

"Ya, intinya, sih, gue belajar tentang konservasi sumber daya air, pengendalian pencemaran, pengelolaan kesehatan lingkungan, sistem drainase, pengelolaan sampah, dan lebih banyak lagi."

Aksa menatapku clueless, tidak mengerti satu pun kalimat yang keluar dari bibirku. Aku tidak bisa menahan tawa begitu melihat Aksa hanya melongo.

"Gini..." Aku menahan senyum dan mencoba menjelaskan. "Perkembangan industri yang modern pasti diikuti juga dengan dampak yang signifikan terhadap lingkungan. Contohnya, pabrik-pabrik meningkatkan polusi udara yang berasal dari cerobong asapnya. Kamilulusan Teknik Lingkunganharus mengendalikan pencemaran udara itu supaya bisa mencegah polutan mencemari lingkungan. Gue harus tahu kadar polutan dan persebaran emisi dari cerobong asap pabrik supaya pencemaran bisa diminimalisir dan upaya perbaikan apa yang bisa dilakukan kalau pencemaran itu nggak bisa dihindari."

Aksa masih terdiam, kedua bola matanya sedikit berbinar selagi menatapku dengan tertarik. Dia yang tampak begitu serius mendengarkan justru memacu diriku untuk memberikan informasi lebih mengenai apa yang kupelajari selama lima semester ini di bangku kuliah.

"Gue juga belajar tentang pengelolaan limbah B3. Karena limbah B3 ini termasuk limbah berbahayabukan cuma buat makhluk hidup tapi juga lingkungan sekitargue harus menggunakan bahan-bahan tertentu yang bisa menyerap kandungan berbahaya dalam pengelolaan limbahnya supaya efek dari limbah B3 bisa dikurangi," terangku. "Apa lagi, ya? Oh! Gue belajar tentang rekayasa air bersih dan air minum juga. One of my favorite subjects. Gue belajar tentang cara membangun IPAM, mendesain IPAM, dan menyalurkan air itu supaya kebutuhan air bersih dan air minum masyarakat bisa terpenuhi."

Senyum tipis menghiasi wajah Aksa setelah aku menjelaskan dengan menggebu-gebu. Well, aku memang secinta itu dengan jurusan yang kuambil sehingga aku tidak keberatan untuk menjelaskan panjang lebar kepadanya mengenai rekayasa air buangan industri, pengelolaan limbah, atau 6R.

"Lun, tahu nggak?" Aksa mencondongkan sedikit badannya ke arahku. Suaranya terdengar sangat berat dan dalam ketika berbicara. Manik matanya menatap lurus ke arah mataku. "When you explain those environmental thingsbecause you know what you like and what you do... you look beautiful. More beautiful than I ever imagined."

Akselerasi jantungku langsung meningkat dengan tajam hingga membuat telingaku mampu mendengar debaran jantungku sendiri. At this very moment, aku hanya berharap Aksa tidak menyadari efek yang muncul pada diriku akibat pujiannya itu.

Aku melenguh di dalam hati. Damn Aksa and his charm.


*


AKSA

Selama ini, aku hanya melihat sosok Luna melalui feeds Instagram milik Lisa. Dia termasuk orang yang aktif di sosial media dan sering membagikan momen penting hingga tidak penting di akunnya. Melalui beberapa foto yang terpampang di feeds Lisa, aku hanya bisa berdecak ketika melihatnya, mengagumi kecantikan Luna.

Aku nyaris membuka mulut lebar dan berhenti melangkah ketika mata kami beradu pandang untuk pertama kalinya di stasiun. She is beautiful. Aku bahkan bisa percaya kalau ada orang yang mengatakan bahwa dia itu model sampul majalah.

Setelah bertukar sapa dengannya dan menghabiskan lima menit pertama dengan duduk berdampingan dengannya di kereta, aku langsung menobatkan kalau Luna sangat berbeda dengan Lisa. Aura tenang penuh perhitungan dan mendominasi yang dimiliki Luna beberapa kali berhasil membuatku tercengang, sangat berbeda dengan sifat supel dan impulsif yang dimiliki Lisa. Belum lagi mulutnya yang tidak pernah kehabisan kata-kata untuk melemparkan berbagai macam kalimat yang membuatku nyaris tidak bisa berkutik.

Fakta lain yang berhasil membuatku terpana adalah Luna memiliki otak yang cerdas dan berwawasan luas. Aku kira, selama ini Lisa hanya overreacting ketika membanggakan kelebihan dan prestasi kembarannya, ternyata ucapannya benar. Kalau tidak, mana mungkin Luna bisa mewakili universitasnya untuk menghadiri LIMUN? Saat berbincang dengannya, tidak butuh waktu yang lama bagiku untuk mengetahui taraf kepintarannya serta kemampuan berargumentasinya yang berada di atas rata-rata.

A smart woman already looks beautiful in my eyes. But, combination of a flawless face and a brain is an absolutely lethal combination. And Luna have that lethal combination.

Kenyataan itu membuatku semakin pusing.

Jika dia bekerja sebagai konsultan lingkungan, seperti apa yang dia inginkan, aku yakin semua kliennya akan mengikuti semua perkataannya untuk memastikan perusahaan dapat beroperasi dengan lancar tanpa mengenyampingkan dampaknya terhadap lingkungan sekitar.

Mungkin aku kelihatan seperti orang bodoh karena cuma bisa melongo dan menyengir di setiap kesempatan ketika Luna menjelaskan tentang apa yang dia pelajari selama duduk di bangku kuliah, tetapi efek yang diberikan Luna kepada diriku memang nyatanya sebesar dan separah itu.

Meski ini baru pertemuan pertama kami.

Someone said, almost everyone will make a good first impression, but only a few will make a good lasting impression. And Luna, she is not only make a good first impression, but she makes her first impression very reliable and memorable.

At least, for me.

Continue Reading

You'll Also Like

6.5M 336K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
685K 66.2K 37
Pemenang Watty Awards 2019 kategori New Adult (Seri Pertama dari Coffee Series) "Dunia bukanlah sebuah permainan. Karena sekali kamu gagal, kamu tida...
556K 35.1K 33
Karena terlalu sering ditanyai tentang pasangan, Gauri nekat membuat keputusan gila, yaitu menyetujui tawaran dari istri sepupunya untuk melakukan ke...
1M 148K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...