Hai, hai... welcome back.
Bagi pembaca setia choco, terima kasih banyak buat vote and comment nya.
Selamat membaca,
Chocomellow
***
Aku melangkah keluar dari lift. Berjalan kearah mejaku. Disampingku Edra terlihat sibuk dengan laporannya. Karena Kean memintanya untuk selesai hari ini. Sedangkan Pak Myer masih berbicara dengan seseorang diseberang line. Setelah mengambil satu saset coklat drink, aku bergerak kearah Pantry. Begitu aku memasuki pantry, terlihat pria jangkung yang berdiri membelakangiku. Aroma kopi tercium pekat, begitu dia menoleh, wajah Kean yang cerah terlihat.
"Udah selesai rapatnya?" tanya Kean. Aku mengangguk, lalu dia menyodorkan segelas coklat panas padaku. Satu tangannya memegang satu mug yang berisi kopi. Aku mengambil mug stroberi yang baru disodorkan Kean.
"Terima kasih pak," ucapku. Lalu Kean melangkah keluar, mengarah ke ruangannya.
"Ah, Micha. Laporannya saya tunggu sore ini, dan jangan lupa untuk membatalkan agenda saya malam ini," katanya. Lalu dengan senyum menggoda dia berlalu begitu saja.
Aku terdiam beberapa saat. Akhir-akhir ini Kean melancarkan serangan bertubi-tubi kearahku. Selama seminggu ini dia menjalankan aksinya. Terkadang dia menjemput dan mengantarku pulang. Saat kami berdua lembur, Kean akan membuatkan coklat panas untukku. Bos besar yang terlihat langka berada di pantry, sekarang semakin sering muncul dengan segelas kopi dan coklat panas. Dan beberapa hari yang lalu dia membelikan kami macaroon yang sangat enak. Tim Pak Myer yang ketiban rezeki semakin bertanya tanya dengan perubahan kepribadian Kean.
Aku menyesap coklat panasku. Mmm, ini sangat enak. Bahkan ini lebih enak dari buatan Alexi. Sambil menyesap coklat panas, aku kembali ke mejaku. Mengambil notes yang tadi aku bawa saat rapat. Hari ini aku harus menyelesaikan beberapa notulen rapat.
Dan akhirnya siang itu aku membenamkan diri dengan pekerjaanku. Pintu mahoni yang memisahkanku dengan Kean tertutup rapat. Dan begitu notulen rapat itu selesai, aku melangkah keruangan Kean.
"Pak ini notulen rapat hari ini," kataku, lalu menyerahkannya pada Kean.
Kean menatapku sebentar lalu membaca laporan yang aku serahkan.
"Oke, baiklah. Tolong panggil Edra untuk menyerahkan laporan yang saya minta kemarin." Kata Kean, aku mengangguk dan melangkah keluar. Begitu aku ingin membuka pintu, Kean memanggilku.
"Micha, kosongkan jadwalmu sore ini, ada yang perlu kita lakukan,"ucapnya.
"Apa ada meeting diluar pak?" tanyaku. Karena biasanya kami keluar karena ada pekerjaan mendadak yang membutuhkan penanganan Kean secepatnya.
"Bukan. Tunggu saja, akan ada kejutan untukmu," balasnya. Lalu kembali fokus pada dokumen didepannya.
"Baiklah. Kalau begitu saya permisi."
Aku memberi tahu Edra untuk menyerahkan laporannya. Lalu kembali mengecek jam di desktop komputerku. Sudah jam empat sore. Aku bersiap-siap dan mengemasi barangku. Lalu beberapa menit setelah Edra keluar dari ruangan Kean. Kean melangkah kearahku, mengajak pulang. Aku mengekorinya dari belakang. Tiba-tiba aku merasa antusias dengan kejutan yang akan diberikan Kean.
***
Kean membawaku sebuah taman bermain. Aku memandang daerah sekitar kami. Sejauh mata memandang, terdapat banyak wahana dan permainan yang membuatku gatal ingin mencobanya. Aku menoleh kearah Kean. Dia sedang sibuk dengan ponselnya. Menjelang dia selesai dengan chating yang sejak tadi dia lakukan, aku melangkah kearah penjual permen kapas. Membeli sebuah permen berbentuk beruang.
"Micha!" terdengar suara Kean yang memanggil namaku. Aku menoleh, dan melihat dia sedang panik mencariku.
Dengan tergesa gesa aku melangkah kearahnya. Tapi karena tempat ini terlalu ramai, itu membuatku sulit untuk mencapai tempat Kean.
"Pak, saya disini!" teriakku. Untungnya Kean mendengar suaraku diantara jerita orang-orang yang sedang bermain.
Melihatku yang tertimbun diantara para pengunjung, Kean melangkah cepat kearahku. Tak berapa lama, dia berhasil menyeberangi lautan manusia.
"Dari mana saja kamu?" tanyanya. Aku menyodorkan permen kapas kearah Kean.
"Membeli ini," jawabku.
"Saya kira kamu hilang, atau diculik seseorang." Ucapnya, lalu menarikku kesamping jalan yang sedikit lebih tenang.
"Siapa yang akan menculik saya ditempat seramai ini," balasku. Aku mencomot satu telinga beruang ditanganku dan memasukkannya kedalam mulut. Mmmm, manis dan lumer di mulut.
"Penculikan bisa dilakukan dimana saja Micha, lain kali kamu harus hati hati. Tadi kamu juga sempat terseret seret oleh pengunjung sini," kata Kean mengomel. Merasa dia tak akan berhenti mengomel sebelum aku patuh dan menuruti perintahnya. Akhirnya aku mengatakan apa yang ingin didengar bos setan ini.
"Baiklah. Saya minta maaf, karena pergi tampa ngomong dulu ke bapak. Lain kali saya pastikan untuk pergi setelah mendapatkan izin anda," ujarku. Lalu mencomot satu lagi telinga beruang ditanganku dan memasukannya kedalam mulut Kean.
"Sebagai permintaan maaf," kataku saat Kean bingung karena aku menyumpal mulutnya yang akan mengeluarkan omelan lainnya.
Kean menyesap permen kapas dariku, matanya masih menatapku tajam. Tapi aku tahu dia tak sekejam biasanya.
"Jadi ada apa bapak mengajak saya kesini?" tanyaku akhirnya saat Kean tak kunjung mengatakan tujuan kami datang ketaman bermain ini.
"Ayo kita bersenang-senang hari ini." Kata Kean, lalu memperlihatkan daftar yang dia buat didalam kertas padaku.
"Apa?" tanyaku, memastikan apa yang aku dengar tak salah sama sekali.
Kean, bos setan setan yang tahunya hanya bekerja sekarang mengajaku untuk bersenang-senang? Demi apapun yang ada dibumi dan dilangit. Apa dia baru saja kesambar petir? Kenapa dia bisa berubah seperti ini?
"Bapak yakin?" tanyaku sekali lagi.
"Yap, bukankah saya sudah katakan sebelumnya. Saya akan menggodamu dengan cara apapun, dan kali ini saya jamin jawabannya adalah yes," kata Kean.
"Anda sangat percaya diri pak," lirihku. Lalu mataku berkeliaran ke sekitar kami. Untungnya tempat kami berbicara cukup sepi karena sebagian pengunjung sibuk dengan permainan dan keluarga mereka.
"Tentu saja. Saya akan menghiburmu hari ini. Khusus untukmu," kata Kean, "Saya sudah menyusun jadwal apa yang akan kita lakukan." Lanjutnya.
Dia menyerahkan jadwal itu padaku.
"Kamu bisa pilih apa yang akan kita lakukan hari ini," tuturnya. Aku sibuk membaca jadwal dan daftar kegiatan yang dibuat Kean di kertas putih itu.
Menonton opera? Atau mencoba permainan di taman bermain ini? Sambil berfikir keras tentang apa yang akan kami lakukan. Ponsel Kean berderiing. Dia menjauh sedikit dan menerima telepon.
Aku kembali membaca jadwal Kean dengan antusias. Sepertinya mencoba semua wahana disini lebih seru. Apa yang pertama kali harus aku coba ya? Kora-kora?
"Pak, sudah saya putuskan. Ayo kita naik kora-kora," ajakku. Lalu melipat kertas itu dan memasukannya kedalam tasku.
"Micha, sepertinya kamu harus mengikutiku malam ini," katanya. Lalu menyeretku keluar dari taman bermain.
"Kita kemana pak?"
"Mungkin ke tempat semua orang kaya dari negara ini akan berkumpul," jawab Kean dengan acuh.
Kean berhenti, lalu menoleh kearahku.
"Tapi, sepertinya kita harus ganti kostum yang layak untuk itu." Katanya lagi, dan kembali menarikku keluar dari wahana bermain.
***
Yah, persis seperti yang Kean katakan. Ini benar-benar tempat semua orang kaya di negeri ini berkumpul. Aku membaca papan nama didepanku. Ternyata ini adalah acara pemakaman salah satu pengusaha besar. Aku memang mendengar, beliau sudah lama menderita penyakit. Dan sempat koma dua bulan lalu.
"CEO Diadem Coal baru saja meninggal, jadi kamu harus mendampingiku sebagai sekretarisku," kata Kean. Aku menatap Kean tak berdaya. Lidahnya yang tadi yang mengeluarkan madu, sekarang terasa pahit. Aku mendesah frustasi. Kemanapun aku pergi dengan Kean, ujung-ujungnya adalah kerjaan.
"Anda tak perlu mengatakan menyukai saya hanya untuk membawa saya kesini," sindirku saat Kean masih terdiam.
"Saya bahkan akan melakukannya dengan senang hati, bahkan tampa anda menyukai saya sama sekali pak. Karena ini adalah tugas saya sebagai sekretaris anda," ucapku mengejek Kean.
"Itu karena waktunya benar-benar tidak tepat, saya memang berencana mengajak kamu untuk menikmati wahana bermain." Kata Kean dengan frustasi yang sama.
"Saya kecewa," ucapku. Kean hanya terkekeh geli melihat wajah murungku.
Dia lalu membawaku masuk kedalam, begitu banyak wajah wajah Chaebol – panggilan orang kaya dalam Bahasa Korea – yang sering keluar-masuk tv. Kami menyapa dan mengucapkan bela sungkawa pada keluarga yang ditinggalkan. Setelah itu, Kean menyeretku keluar menyapa beberapa bos besar. Selama Kean mengobrol, aku sibuk memperhatikan keluarga almarhum.
"Apa yang kamu perhatikan sedari tadi?" tanya Kean, saat hanya tinggal kami berdua disana.
"Oh, itu..." aku menoleh kearah Kean, "Pria yang disana, dia juga anaknya Pak Abraham?" tanyaku.
"Iya, Kenapa?" tanya Kean.
"Wow, dia tampan sekali," jawabku dengan cepat. Itu memang benar, dia terlihat tampan dan berkharisma.
"Apa dia penerus selanjutnya, dia terlihat berkharisma." Lanjutku sambil masih terpana menatap laki-laki didepan sana.
"Micha," geram Kean, lalu menarik wajahku menghadap padanya.
"Apa yang kamu lakukan, sudah ada laki-laki tampan, kaya dan berkahrisma di sampingmu. Tapi kamu tergoda dengan laki-laki lain?" kata Kean seolah-olah dia tak percaya sama sekali dengan apa yang baru saja keluar dari mulutku.
"Bapak terlalu percaya diri. Lihat dia, dia terlihat keren, berkharisma dan hangat. Anda pernah dengar kalimat ini, semakin tua semakin berkharisma. Dia terlihat seperti itu," kataku melanjutkan dengan menggebu gebu. Tak peduli dengan Kean yang sudah ditutupi awan hitam, menahan amarah.
"Micha, kamu tergoda dengan dia? Yang sudah tua? Dibandingkan aku yang masih muda dan segar?" tanya Kean.
"Kenapa? Bukankah beda umur kalian tak jauh. Mungkin tiga hingga lima tahun. Dia belum terlalu tua, pak." Jawabku, dengan acuh dan masih menatap laki-laki yang sibuk menyapa orang-orang yang berkunjung.
"Wah, seharusnya saya tak membawamu kesini. Tadi siapa yang cemberut karena tak jadi main kora-kora?" tandas Kean tak suka. Mendengarnya berkata seperti itu, membuatku semakin ingin menjahilinya. Sikap cemburu dan kekanak-kanakan Kean ini sungguh diluar imajinasi.
"Disini juga lebih menyenangkan dari pada naik kora-kora pak, saya bisa cuci mata sepuasnya disini," aku kembali berkeliling melihat para bos besar yang masih sibuk mengobrol.
"Kamu benar-benar diluar dugaan," tandas Kean frustasi. Aku terkekeh melihatnya yang tak tahu harus berbuat apa agar aku tak lagi melirik para Chaebol yang mengguggah selera ini.
Sisa hari itu, aku habiskan untuk menenangkan Kean yang menggerutu sepanjang jalan.
***