Jangan lupa vote and comment nya ya
Selamat membaca
***
Mama menyeretku menyingkir dari Kean yang sedang menurunkan koper di bagasi. Saat ini aku dan Kean sedang ada di bandara, mengantarkan mama yang akan pulang hari ini. Sedangkan Raka sudah terjun ke Rumah Sakit sejak acara introgasinya yang gagal.
"Ada apa sih ma?" tanyaku ketika mama masih sibuk memperhatikan Kean yang sedang berbicara dengan seorang laki laki.
"Re... benarkan yang mama bilang. Kali ini mama seribu persen yakin." Katanya setelah memperhatikan Kean tak akan mendengarkan kami yang sedang sibuk menggosipkannya.
"Nggak mungkin ma. Mama ini ada ada saja. Udah ah, bentar lagi mama harus masuk." Ucapku sambil memperhatikan jam.
"Ih kamu ini. Dengar ya Re. Mama yakin betul setelah mama liat reaksi Kean hari ini. Dia tu suka sama kamu. Kamu nggak liat dia cemburu pas mama bawa bawa nama chef Rio. Masa kamu nggak curiga sih setelah liat reaksinya pagi ini." Aku diam mendengarkan perkataan mama.
Sudah terhitung tiga hari lamanya mama meneriak kan – Dia itu suka kamu Re, masa kamu nggak liat – yang terdengar seperti yel yel anak pramuka bagiku. Aku melirik Kean yang sedang mengambil troli untuk meletakkan koper dan barang bawaan mama yang lain.
Aku sadar reaksi Kean berlebihan pagi ini. Hanya saja aku tak habis pikir dengan kesimpulan mama. Kean tak mungkin menyukaiku. Meskipun aku sudah kenal dia sejak SMA, tapi bagi Kean aku sama dengan musuh saat ini. Karena aku dengan tega melemparkannya ke keluarganya yang sangat dia benci.
Awalnya aku dan Kean memang berteman dekat. Kami tinggal satu kompleks saat itu. Jujur aku juga sempat suka padanya. Kean muda adalah anak yang nakal dan termasuk kategori brandalan kala itu. Dia juga famous karena menjadi kapten basket dan masuk geng motor yang ugal ugalan. Kean juga sering buat onar. Tak hanya itu, Kean adalah contoh laki – laki playboy yang haqiqi.
Tapi hanya aku dan Kennrick yang tau jika sikapnya yang ditunjukkannya di depan semua orang adalah palsu. Kean ingin dikenal nakal dan bren*sek hanya untuk menghindari keluarganya. Lebih tepatnya kakeknya. Sejak kakaknya meninggal, Kean dan Kennrick pindah ke Bandung. Mereka berdua lebih memilih tinggal di rumah tante Maira. Kakak dari pihak ibunya. Sedangkan orang tua Kean berada di Singapore.
Bagi Kean, kakeknya memiliki andil yang besar dalam kematian kakaknya. Dan Kean membencinya. Dia bersikap nakal agar tak ada lagi yang menjadikannya kandidat penerus di keluarganya. Dan aku yang tau betapa dia membenci keluarganya malah menyeretnya masuk ke penjara yang selama ini berusaha dia jauhi. Wajar dia bersikap kasar dan membenciku. Tapi aku tak pernah sedikitpun menyesali keputusanku saat itu.
"Ma itu nggak mungkin. Mama liat dia. Banyak perempuan diluar sana yang akan mengejar dia. Dan mama lebih tau dari siapapun aku tak mau menjalin hubungan dengan laki-laki seperti Kean." Sanggahku.
"Lagian mama sudah tau itu Kean. Keanno teman SMA ku. Dan lebih dari apapun, aku yang mengkhianatinya terlebih dahulu. Jadi tak mungkin akan ada perasaan halus seperti rasa suka untuk ku maupun Kean." Ucapku mengakhiri pembicaraan kami, saat melihat Kean melangkah kearahku.
"Mama tau kamu masih takut Re. Tapi kalau perkataan mama benar, mama harap kamu tak akan lari." Ucap mama sambil menggenggam tanganku.
"Mama tenang aja. Aku sudah dewasa ma," ucapku membalas.
Aku dan Kean menunggu hingga mama masuk. Kemudian setelah memastikan mama berangkat dengan aman. Kami melangkah ke parkiran.
"Micha," panggil Kean saat aku ingin membuka pintu mobil.
"Ya?" aku menatap Kean yang terlihat ragu ragu.
"Apa ada yang ingin bapak sampaikan?" tanyaku saat Kean masih saja buka-tutup mulutnya tampa mengeluarkan suara apapun.
"Bisakah kamu tidak memanggil saya bapak kalau diluar jam kantor. Saya berasa jadi pedofil karena kamu panggil saya bapak terus." Ucap Kean dengan kesal.
"Hah? Pedofil? Kanapa begitu?" Aku menatap Kean dengan bingung. Sungguh aku sama sekali tak mengerti jalan pikirannya.
Kenapa dia berasa jadi pedofil karena aku memanggilnya 'bapak'?
"Itu karena kamu terlalu kecil hingga bisa dianggap anak anak. Saya juga nggak nyaman kamu sebut bapak seperti itu bahkan di luar kantor." Ucap Kean.
Aku mengakui tubuhku cukup kurus. Tapi bukan berarti badanku kecil. Tinggiku adalah tinggi rata-rata perempuan Indonesia. Tapi jika dibandingkan dengan besarnya badan Kean tentu saja aku akan terlihat lebih kecil. Hanya saja menganggapku sebagai anak-anak tidaklah tepat.
"Lalu saya harus memanggil anda apa?" tanyaku ketika Kean masih terlihat kesal.
"Sir? Bos? Atau haruskah saya memanggil anda... Tuan?" lanjutku dengan sedikit candaan. Tapi Kean malah membulatkan matanya karena tak habis pikir dengan ucapanku.
"Apa kamu gila? Kenapa kamu memanggil saya Tuan?" kata Kean setelah sadar dari shock nya.
"Maksud saya panggilan yang sering kamu gunakan waktu kita SMA dulu," ucap Kean melihatku masih binggung dengan tingkahnya.
"Memang saya biasanya panggil bapak apa? Kean? Keanno? Atau cunguk?" tanyaku saat kembali mengingat panggilan yang sering aku gunakan pada Kean.
Aku pikir yang terkakhir. Karena aku biasanya memanggil Denis yang juga sahabatku dengan panggilan yang sama. Tapi Kean terlihat kecewa karena aku tak memanggilnya sesuai dengan apa yang ingin di dengarnya.
"Hah... apa kamu sedang bercanda Micha?" ucapnya setelah mengendalikan ekspresi wajahnya menjadi datar seperti biasa.
"Sebenarnya saya tak ingat pak," ucapku dengan polos karena Kean terlihat semakin melotot mengetahui aku tak mengingatnya.
"Coba ingat ingat sekarang!" katanya dan masuk ke dalam mobil dengan kesal.
Aku menatap nanar Kean yang marah karena masalah sepele seperti ini. Sejak kapan laki-laki dewasa ini bertingkah laku seperti anak kecil?
Saat aku masih tak habis pikir dengan Kean. Dia malah berteriak kesal kearahku karena tak berniat masuk dan malah bengong di samping mobil. Aku membuka pintu mobil dan duduk di sebelah Kean.
"Saya benar-benar tak ingat pak," ucapku sambil memasang sabuk pengaman.
Kean menoleh kearahku, lalu menghidupkan mesin mobil.
"Ingat Ingat lagi," kata Kean.
"Kenapa bapak maksa saya harus ingat sih." Ucapku tapi Kean malah diam dan memanuver mobil ke luar dari parkiran.
"Kalau saya ingat bapak mau kasih saya hadiah?" godaku saat Kean masih betah dengan wajah masamnya.
"Baiklah. Kamu mau apa? Cake? Ice cream? Tunggu, bisakah kamu berhenti panggil saya bapak?" ucapnya kesal.
"Deal, kalau saya berhasil bapak harus traktir saya satu kotak ice cream. "Jawabku dengan cepat.
"Teeserah kamu," jawabnya datar.
Aku sibuk memikirkan panggilan apa yang dulu aku gunakan pada Kean. Mungkinkah itu kakak?
"Apa saya memanggil anda kakak?" tanyaku saat kami keluar dari bandara.
"Bukan"
"Mas? Akang?" tanyaku lagi.
"Jelas bukan, kita itu seumuran Micha." ucap Kean menoleh kearahku dengan pandangan sengit.
"Kalau begitu Oppa?"
"Bukan"
"Mas bukan, Akang bukan, Oppa juga bukan. Kalau begitu..." ucapku menjeda perkataanku. Kulihat Kean menoleh penuh harap.
"Bli?" tanyaku. Dan dia menghela nafas dengan frustasi. Aku tertawa melihatnya kecewa.
"Kalau bukan itu, lalu Mickey?" tanyaku, karena dulu aku sangat suka dengan Mini dan Mickey.
"No," ucap Kean cepat.
"Chubby?"
"No"
"Bunny? Sweety?'
"Bukan"
"Pinky?"
"No"
Aku melemparkan pertanyaan dengan cepat. Dan secepat itu pula Kean menjawab 'Bukan', 'No', hingga aku merasa apakah dulu aku pernah punya panggilan khusus untukunya? Atau jangan-jangan dia hanya sedang bercanda. Begitu aku menatap Kean, dia terlihat serius. Jadi aku merasa dia tak bercanda sama sekali.
"Cutie Pie?"
"Bukan"
"Bee?"
"Bukan"
"Mhiu?"
"No"
"Mi Amor?"
"Bukan"
"Saya menyerah" ucapku akhirnya. Karena semua nama panggilan yang ada di otakku sudah aku keluarkan. Bahkan tak satupun dari itu yang benar.
"Kamu yakin?" ucap Kean menatapku yang cemberut disampingnya.
"Terserah bapak."
"Kalau kamu menyerah sekarang, hadiah kamu bakal hangus. Sebagai gantinya saya akan menambah jumlah permintaan yang kita sepakati pagi tadi. Totalnya ada empat permintaan sekarang." Ucap Kean dengan mudah.
Sedangkan aku yang mendengarkan keputusannya merinding di sekujur tubuh. Aku cengong mendengarkannya memutuskan begitu saja.
"Kenapa bapak memutuskannya begitu saja? Saya belum setuju," ucapku cepat.
"Kamu bahkan tak berusaha mengingatnya." Kata Kean, menatapku lurus di mata.
Aku terdiam cukup lama. Lalu satu kata muncul diingatanku.
"Mungkinkah itu... Muru?" tanyaku.
Kean terdiam. Masih fokus ke depan. Melihat dia terdiam cukup lama dan raut wajahnya yang rileks. Aku yakin kali ini benar.
"Benarkah? Muru? Saya memanggi bapak muru?" tanyaku pada Kean yang masih diam.
"Kamu sudah tau sekarang. Jadi jangan panggil saya bapak lagi. Itu berlaku mulai sekarang. Di luar kantor kamu bisa panggil saya Muru." Jawab Kean menatapku serius. Dia bicara dengan nada yang tegas dan kuat.
Aku terkekeh. Kean terdengar seperti hakim yang menjatuhi hukuman mati pada terdakwa diruang sidang. Kata katanya mutlak dan tak bisa diganggu gugat.
"Saya nggak mau. Kenapa saya harus memanggil anda Muru? Anda itu bos saya. Sangat tidak sopan bagi saya memanggil anda dengan panggilan untuk anak kecil seperti itu." jawabku dengan cepat.
"Tapi kamu memanggil Edra, Ronald dan bahkan Dimas dengan nama mereka. Kenapa saya harus mendengar kamu memanggil saya bapak?" Aku menatapnya diam.
"Itu karena Edra junior saya. Lagian Ronald itu seumuran dengan saya. Sedangkan Dimas, meskipun dia senior saya dia itu sahabat saya." Aku menatap Kean yang fokus pada jalan yang ada di depan.
"Tapi kita juga seumuran. Ditambah lagi saya juga teman akrab kamu di SMA. Jadi tak ada alasan kamu tak boleh memanggil nama saya."
"Tetap tidak bisa pak. Anda kan bos saya." Ucapku tegas. Kean mengepalkan sedikit tangannya menahan kesal.
"Kamu bisa panggil nama saya mulai sekarang." Kean menoleh kearahku dan berbicara dengan nada tegas khas dengan perintah mutlaknya.
"Saya nggak bisa pak." Aku menjawab dengan nada tak kalah tegas dari milik Kean.
Kean hanya menghembuskan nafas guna menghilangkan kekesalannya. Sesaat kemudian dia menoleh dan mulai memanggilku lagi.
"Micha," Kean bersuara.
"Ya?" aku menoleh kearah Kean. Bibirnya masih tertutup rapat, belum berniat untuk kembali bersuara.
"Untuk permintaan pertama... "
Kean mulai berbicara. Aku mendengarkannya, tapi Kean kembali terdiam.
".... Saya ingin kamu pergi dengan saya ke acara pernikahan Alya lusa." Lanjut Kean.
Sejujurnya aku ingin pergi dengan Dimas. Tapi karena Kean mengajukan permintaan seperti ini. Tak ada alasan bagiku untuk menolak. Lagi pula aku juga menganggap ini sebagai cara bagiku untuk berterima kasih.
"Oke, Deal." Jawabku.
Kean terlihat gembira. Dia tersenyum dan menatapku.
"Oke, Deal." Ucapnya.
Hari itu Kean mentraktirku dua mangkuk ice cream sebagai hadiah. Dan weekend itu berakhir dengan tenang.
***