Office Mate (PUBLISHED by Kar...

By shaanis

493K 77K 24.7K

SEBAGIAN CERITA TELAH DIHAPUS SEHUBUNGAN DENGAN KEPENTINGAN PENERBITAN [Bab 18 s.d. akhir] Office Mate (beker... More

MEET THE CAST
1. PASQUE TECHNO
2. ZIZI
3. REVISI LAIN
4. MASAYU
5. I LIKE IT
6. SERIUS
7. MENGHINDAR
8. PACAR
9. LEAP
11. THE END
12. HOT NEWS
13. SERENA STORY
14. SIRENA
15. TAHIR VS WEDANTA
16. REASON
17. MARITAL STATUS
18. KISS MARK
19. HUSBAND AND WIFE
20. LIES
21. SUSPICIOUS
22. PREGNANCY
23. MEMORY
24. ANAYANG SHUHA & SINHA TARENDRA
25. PERJODOHAN
26. HASHMI
27. MAS ARMAN
28. BERBEDA
29. NOSE KISS
30. PENGAKUAN
31. SAME PROBLEM, SAME SOLUTION
32. THE ONLY ONE
33. BEST FRIENDS
34. FRIENDS ADVICE
35. PILIHAN
36. IN RELATIONSHIP WITH
INFO PRE-ORDER
SPOILER BUKU

10. TRUST ISSUE

13.3K 2.1K 598
By shaanis

"Yoyo masih ngambek nih?" tanya Fanya saat seminggu kemudian Yoshua masih tidak muncul di pantry lantai enam, tempat mereka biasa makan siang bersama.

"Yoyo beneran khawatir, Fan... lihat sendiri di grup dia heboh." Sera mengingatkan.

Memang benar, tepatnya ada puluhan panggilan tidak terjawab dan di grup chat mereka Yoshua panik karena Fanya tidak bisa dihubungi. Karena mengingat permintaan Fanya tentang dua jam itu, Yoshua kemudian benar-benar mengecek ke apartemen. Masayu yang tahu kode apartemen Fanya mau tak mau akhirnya memberi akses juga pada Yoshua.

"Ponselnya aku tinggal di kamar, terus aku nggak sangka udah dua jam aja pas mulai nempelin Isaac," kata Fanya, benar-benar tidak menyangka.

"Kata Yoyo, udah hampir tiga jam waktu dia sampai apartemen," ucap Lulu.

"Lagian kamu sendiri, Fan... yang minta tolong ke Yoyo." Sera tak habis pikir.

"Iya, tapi serius, aku nggak sangka Yoyo mau beneran datang dan memastikan."

Masayu membagikan sebotol yogurt dan saat akan mengulurkannya pada Fanya, Masayu memberi tatapan serius. "Waktu tahu soal aku dan Pascal, malamnya Yoyo chat aku, bukan untuk minta tolong supaya nggak dipecat atau menjelaskan sesuatu... dia justru tanya, am I happy about this? dan dia tanya, apakah Pascal memperlakukan aku dengan baik."

Fanya kian merasa bersalah, "Gimana dong, tiap aku sapa juga langsung pergi aja orangnya."

"Dia lagi ngincer Air Jordan retro sih, Fan..." Lulu memberitahu.

"Oh ya? dia ukuran berapa?" tanya Fanya langsung mengambil ponsel dan melakukan pencarian produk. "Buset, ini harganya saingan sama Dior dotted incaran gue."

"Yoyo, ukuran empat dua," kata Sera.

"Ini kalau barangnya sampe dan Yoyo masih cuek, fixed, libatkan kekuasaan," kata Fanya sembari membuat order untuk sepatu tersebut.

"Barang apaan?" suara Yoshua terdengar bersamaan dengan pintu pantry terbuka.

Fanya langsung menoleh dan beranjak menyambut, "Yoyo..."

Dengan mudah Yoshua menjauhkan kepala Fanya, "Jauh-jauh lo... masih trauma gue."

Masayu dan Sera tertawa, sementara Lulu menatap bingung, "Yoyo trauma? bukannya marah?"

"Ya marah, ya trauma, campur-campur..." kata Yoshua lalu duduk, "Tapi lama-lama makan siang sama Rafael kayak kerja dua kali, anaknya dikit-dikit nanya kerjaan, ck!"

"Nggak coba makan siang bareng Isaac aja, Yo?" canda Sera.

"Dih, kalau bisa menghindar, mending menghindar... traumatis banget pemandangan malam itu." Yoshua menatap Fanya yang kembali duduk, berlagak bergidig.

"Kenapa emangnya? Fanya diikat-ikat, Yo?" tanya Lulu

"Justru sebaliknya, gue telat sepuluh menit aja, Isaac yang mulai diikat-ikat Fanya."

Mendengar itu, Fanya terkekeh, "Enak aja, gue kan pasrah anaknya."

"Mana ada," sanggah Masayu dan Sera bersama-sama.

"Pokoknya ya, Fan... kalau lain kali ada masalah sama Isaac jangan lari ke gue."

Fanya mengangguk, "Iya, gue langsung cabut aja clubbing, mabok, terus—"

"Fan, ya ampun," tegur Sera.

"Yoyo udah nggak sayang sama aku, Mbak..." Fanya pura-pura bersedih.

"Nggak mempan." Yoshua cuek dengan tingkah Fanya dan mereka memilih mulai makan.

Lulu mengunyah sembari menatap Fanya dan Yoshua yang kemudian sudah sibuk membahas sepatu Air Jordan, "Fanya pasti nggak telanjang, karena Yoyo bisa santai gitu," tebak Lulu.

"Belum sampai Fanya telanjang aja, Yoyo udah trauma," canda Masayu.

"Aku rasa lebih ke faktor Isaacnya sih, iya kan, Yo?" tanya Sera.

Yoshua tertawa, "Dua-duanya sih, ya awalnya lega lah, Fanya nggak papa dan mereka jelas baikan... tapi astaga..." Yoshua menatap Fanya tidak setuju. "Lo kan cewek ya? kalem sedikit lah, coba kalau Isaac cowok brengsek? udah abis lo."

"Belakangan ini dia manis banget, nggak sampai nikah kayaknya umur perawan gue."

"Fan, please..." Sera menggelengkan kepala.

"Duh... Mbak, rasanya nggak tahan sendiri, nggak cukup dicium sama dipeluk doang."

Lulu menghela napas lalu menyentuh foto idol korea di layar ponselnya. "Untung gue memandang aja udah senang,"

"Ini beda, Lu!" kata Fanya dan menatap anggota termuda di grup mereka. "Iya, kalau gue lihat Ben Affleck atau Chris Evans, rasanya udah senang, halu sendiri... tapi kali ini, sama si manusia satu ini, Mr. Isaac Lewis, gue mulai nggak sabaran aja gitu kalau dapat jatah bibir."

"Aku pikir, saat kamu udah begini, terus Isaac niatnya baik dan mumpung dia masih bisa menahan diri, ya udah fokus aja ke arah yang sah," kata Masayu

Fanya menggeleng, "Soal menikah... maunya yakin dulu, Isaac bisa dipercaya dan bisa menetap sama aku."

"Gue rasa ya, Fan, pertahanan dirinya Isaac ini patut diacungi jempol... udah kalian satu apartemen, pacaran mulu dan nggak bablas, luar biasa itu!" Yoshua mengacungkan jempol.

"Nggak pacaran mulu, kadang dia balik gitu, cuma makan bareng terus pamit kerja lagi... beberapa hari ini aja jatah bibir gue sebatas kecupan mau tidur... makanya gregetan."

"Bapak sama Ibu komentarnya gimana? Isaac tinggal bareng kamu, udah lumayan lama lho ini, mereka tahu kan?" tanya Sera

"Isaac berani tinggal karena ngomong dulu sama mereka, alasannya menumpang karena jarak kantor lebih dekat." Fanya geleng kepala, "Dia pikir bisa mengelabuhi Bapak sama Ibu."

Lulu tertawa, mereka pernah bertemu orangtua Fanya dan merasa bahwa Nadine dan Rilant Lee sangat berjiwa muda, "Terus, mereka gimana, Fan?"

"Bapak bilang, itu apartemenku jadi kalau mau tinggal harus tanya aku dan kanjeng ibu, langsung aja nyasar, harus ingat pencegahan ya? beda warga Negara agak repot kalau hamil duluan." Fanya lanjut bercerita, tertawa saat mengingat wajah syok Isaac.

"Bu Nadine memang deh, TOP!" Masayu mengacungkan jempolnya.

"Eh! pakai pengaman enak nggak sih?" tanya Fanya, tatapannya mengarah pada Masayu, lalu saat sadar Masayu tak akan menjawabnya, Fanya beralih pada Yoshua.

"Enak nggak enak, itu barang perlu, seperti kata kanjeng Ibu biar nggak repot," jawab Yoshua.

"Buat cewek rasanya juga enak kan, Yo?" tanya Fanya.

"Tergantung lakinya." Yoshua menatap Fanya serius. "Coba pikir apa yang Masayu tadi bilang, Fan... jarang-jarang ada lelaki potensial dan waras mau sama lo."

"Ih, lo pikir Rick nggak waras?"

"Beda kelas Rick sama Isaac," ucap Yoshua dan diikuti anggukan dari yang lain. "Coba deh, pikir... buat lo ini emang masih hitungan bulan, tapi buat bule kayak dia, yang biasanya pulang dari pub atau bar aja bisa kencan terus lepas ketegangan... ini tuh suatu yang luar biasa banget, menahan diri, memilih mengenal lo secara personality, menghadapi semua kegilaan dan entah hal nakal dan lancang apa yang keluar dari mulut lo."

"Belum cukup, Yo..."

"Apanya yang belum cukup? secara fisik, mental, materi, gue yakin Isaac memenuhi espektasi."

"Apa karena Isaac belum bilang cinta, Fan?" tanya Lulu.

Sera dan Masayu menatap Fanya, menunggu jawaban. Yoshua mengibaskan tangan, "Ya ampun, Lulu... tanpa perlu bilang, jelas mereka berdua udah dalam gelembung yang namanya cinta."

"Tapi pernyataan itu perlu, Yo." Masayu kukuh dan Lulu mengangguk.

"Nggak ada pernyataan aja mereka udah nyaris bercinta gitu kok," ucap Yoshua.

Fanya menghela napas, "Nggak sih, aku rasa aku juga nggak perlu pernyataan yang gimana, dari sikap-sikap aku bisa merasa kalau Isaac serius, aku cukup terkesan sebenarnya... dia mau mencoba mengerti dan nggak pakai emosi walau ada kebiasaanku yang beneran ganggu dia."

"Tuh! dan asal lo tahu ya, Fan... Isaac udah bukan anggota klub tenis lagi, demi lo tuh!"

Para perempuan seketika terkesiap, "Hah, serius, Yo?"

"Yes, orang gue yang kirim pengembalian kartu anggotanya, mahal lho!"

"Dia belum ngomong apa-apa," kata Fanya, tapi belakangan memang sudah tidak membahas hal tersebut. Isaac benar-benar sibuk dan setelah makan malam biasanya langsung pamit untuk bekerja kembali di kamar.

"Kadang cowok nggak ngomong bukan berarti nggak peduli juga, mereka cuma nggak suka ungkit-ungkit masalah yang udah lewat atau yang mereka rasa nggak penting," kata Masayu dan menatap Fanya, "Tinggal kamunya Fan, sejauh mana mau berusaha percaya."

Tak bisa menanggapi Masayu dengan kata-kata, Fanya memilih memberi senyum tipis.

>> [office mate] <<

I-spam: weekend ini tinggal di rumahku, mau?

Fanya menerima chat tersebut pada Jum'at sore, ia berpikir-pikir sejenak tapi akhirnya segera memutuskan dan membalas.

Zifanya Lee: malamnya clubbing dulu? hehehe

I-spam: dinner aja di luar, dimanapun kamu mau.

Fanya langsung tersenyum, segera menyelesaikan sisa pekerjaan dan begitu jam pulang tiba, ia mengabari Isaac untuk menunggu di basement.

"Para sekretaris sekarang semakin di depan, cuuyy..." suara itu menghentikan langkah Fanya.

"Nggak nyangka juga sih gue seleranya para boss sebatas itu aja." suara lain menimpali.

Fanya sudah yakin sejak hubungan Masayu dan Pascal terendus banyak pihak, pastilah itu akan jadi bahan gunjingan dimana-mana.

"Kalau Pascal gue maklum sih, Masayu nggak hanya tampangnya yang bikin insecure... bodynya juga bikini models banget... kalau Fanya? Isaac nonton apa coba dari dia? tampang standar, bodynya apalagi, sama yang janda aja bagusan yang janda."

Gunjingan itu membuat Fanya melongo seketika, sialan benar!

"Yoshua aja nggak nafsu sama Fanya, ini Isaac bisa-bisanya..."

Fanya langsung bersiap-siap, menghela napas dan mengibaskan rambut, Fanya melanjutkan langkahnya. Para perempuan, empat perempuan yang kesemuanya merupakan junior di divisi call centre langsung saling pandang.

Fanya tersenyum, "Nanti gue tanyain ya, Isaac nonton apa dari gue... tapi sekadar kalian tahu, selain tampang sama body yang standar ini, gue punya otak yang mungkin nggak kalian punya," katanya lalu begitu saja memasuki lift yang terbuka. "Dan yang jelas gue punya mulut yang bikin Isaac ketagihan sih, he's yummy, baby..."

Fanya sengaja menjulurkan lidahnya lalu membuat gerakan menjilat yang provokatif, wajah para perempuan itu langsung kikuk dan kebingungan menanggapi. Pintu lift menutup dan Fanya kembali memasang wajah kesalnya, sialan!

>> [office mate] <<

SECRETARY LINE

Zifanya Lee: digosipin sama geng haha-hihi, katanya tampang sama body gue yang standar ini bisa-bisanya dapetin Isaac! damn!

Serena Sera: geng haha-hihi?

Luela Rizqy: anak-anak call centre Mbak, sama Fanya disebut geng haha-hihi

Masayu Djezar: percaya diri aja, Fan...

Luela Rizqy: udah kebal ya, Mas?

Masayu Djezar: kadang masih suka bete tapi belakangan mulai cuek, takut kalau terlalu dipikir jadi gangguan buat si baby dan yang jelas bikin Pascal kesal.

Armandito Yoshua: tapi emangnya lo nggak penasaran Fan, Isaac suka lo gara-gara apa?

Luela Rizqy: Fanya manis kali, percaya diri dan otak kreatifnya jalan.

Armandito Yoshua: sebagai cowok, buat gue daya tarik pertama tetap fisik, cakep, seksi, tinggi, pendek, besar... itu diperhitungkan, baru setelah kenalan... pakai otak dan perasaan menilainya.

Zifanya Lee: apes banget cewek yang sekolah tinggi, yang berbakat dan mandiri kalau otak cowok kayak lo semua, Yo!

Masayu Djezar: Yoyo ga usah didengar, Fan... semua perempuan itu cantik, unik, dan seksi itu bukan sekadar penampilan, tapi pemikiran brilian juga bikin kita seksi.

"Ada masalah apa? sibuk banget?" tanya Isaac yang sedari tadi menyetir dalam keheningan.

"Nggak ada apa-apa, kita dinner di apartemen ajalah, aku malas keluar," jawab Fanya.

Isaac menoleh dengan tatapan serius, "Tapi jadi menginap di tempatku kan?"

"Iya." Fanya kembali memperhatikan ponselnya, "Kamu mau apa? steak? spaghetti?"

"Steak boleh, minta medium well ya, nanti kita panggang sendiri sampai welldone."

"Oke." Fanya melakukan pemesanan dan saat mereka sampai di apartemen, bertepatan dengan petugas mengantar pesanan tiba. Isaac membayar dan Fanya menerima dua paper bag dengan logo restoran langganan mereka.

Begitu masuk dan melepas sepatu, Fanya langsung membawa paper bagnya ke dapur.

"Zifanya, kalau lepas sepatu—"

"Anggap itu tugas rutin kamu ajalah, pindahkan sepatuku ke rak," sela Fanya karena ia memang kerap kali tak peduli dengan sepatu yang dilepasnya.

Isaac geleng kepala, "Kamu sendiri juga harus membiasakan, kamu sering lari ke pintu kalau ada paket atau pesanan sampai, pasti sakit kalau jatuh karena heels setinggi ini," katanya sembari memindahkan sepasang Saint Laurent pump berwarna putih ke rak.

"Iya, iya..." kata Fanya dan kali ini melempar tasnya ke sofa.

Isaac yang lewat, nyaris saja terkena lemparan tas tersebut, "Zifanya..."

"Oh, sorry, nggak lihat sih." Fanya beralasan dengan wajah tanpa dosa.

"Karena kamu nggak lihat, seharusnya kamu mendekat dan letakkan tasmu baik-baik."

"Iya, iya... ya ampun, kamu lebih bawel dari kanjeng ibu deh," kata Fanya dan langsung tertawa-tawa memeluk lengan Isaac, jurus andalan agar pria itu tidak semakin cerewet.

Isaac menghela napas tapi tersenyum juga, "Kalau ditegur, langsung begini."

"Hehehe, sini aku bukain dasi sama jasnya." Fanya beralih ke hadapan Isaac, membuka simpul dasi dan sekalian melepaskan jas, menyisakan pria bule dengan kemeja biru muda dan celana bahan. Menatap jahil, tangan Fanya beralih ke bagian depan gesper di celana Isaac.

Isaac menahan tangan Fanya, "Zifanya..."

"Kalau ada orang yang tanya ke kamu, kenapa tertarik padaku? apa jawabanmu?"

"Karena kamu menarik."

Jawaban itu membuat Fanya geleng kepala, "Nanti akan aku ajari kamu cara menjawab pertanyaan itu dengan baik," katanya, sekilas berjinjit dan mencium pipi Isaac. "Karena tadi pagi aku siapkan sarapan, sekarang kamu yang siapkan dinner kita, oke?"

Isaac tertawa, "Oke."

Sebelum melangkah ke kamarnya, Fanya menatap pintu kamar tamu yang selama ini ditempati Isaac, "Kamu mau packing juga nggak?"

"Nggak, tas kerja sudah aku tinggal di mobil... kamu aja packing, yang banyak... supaya setiap saat mau menginap di rumahku, bisa langsung pergi saja."

Fanya hanya menanggapi dengan tawa dan beralih memasuki kamarnya. Fanya packing sekadarnya, lalu ia memilih mandi cepat dan memakai gaun terseksi di lemarinya. Backless night dress berbahan satin dengan kombinasi tali renda yang terikat di belakang leher Fanya. Hanya butuh satu tarikan serius untuk melepaskan gaun tersebut dari tubuh Fanya. Tapi karena penampilan ini adalah untuk rencana kejutan, Fanya mengambil outer, menyamarkan keseksian gaunnya. Fanya berdandan habis-habisan, malam ini akan jadi hari bersejarah.

Fanya keluar dari kamar membawa travel bag ukuran standar, ia meletakkannya di dekat tas tangannya lalu beranjak ke ruang makan. Isaac berdiri di depan lemari es, "Kamu mau wine? kita masih punya sisa yang..." suara pria itu menghilang saat menoleh ke arah Fanya.

"Aku mau jus aja," jawab Fanya sembari duduk di kursi, ia tahu Isaac menyukai penampilannya.

"Kamu cantik banget." Isaac terang-terangan memuji saat beralih ke meja makan, membawa sebotol jus jeruk. Fanya hanya tersenyum sembari menyodorkan gelas.

"Masa?" tanya Fanya meski di bawah meja, sebelah kakinya sudah menggesek main-main ke kaki Isaac. Pria bule itu tertawa, menahan kaki Fanya dan perlahan menggeleng.

"Makan dulu, supaya aku nggak lapar sama hal yang lain."

Kalimat itu membuat Fanya meringis tapi ia mengangguk. Mereka mulai makan dan meskipun percakapan yang dibangun hanya seputar hari kerja, tapi Fanya menyadari itu hanya sebuah usaha pengalihan pikiran. Isaac bahkan tak sekalipun balas menggoda, atau berlama-lama memandangnya. Saat mereka selesai makan juga, alih-alih meninggalkan bekas alat makan, Isaac memaksa untuk mencucinya dulu. Fanya tersenyum-senyum saja menunggu di depan.

Mereka berangkat dua puluh menit kemudian, kemacetan sempat membuat Fanya kesal, tapi ia menyenangkan diri bahwa ini akhir pekan, besok adalah hari libur. Fanya sudah tersenyum-senyum lagi, membayangkan bangun tidur dalam pelukan pria sejati. Mendadak jantungnya berdebar ritmis dan ada gelenyar tak masuk akal merambati punggungnya.

"Entah kenapa aku gugup sama sikap kamu," ucap Isaac

Fanya tertawa, "Aku sendiri juga gugup sama sikapku."

"Apapun rencanamu, aku nggak mau clubbing."

"Aku juga nggak mau, aku maunya di rumah aja sama kamu... pacaran panas."

Isaac tertawa kemudian membelokkan mobil memasuki kawasan tempat tinggalnya. Masih satu blok lagi sampai rumah Isaac terlihat tapi rasanya Fanya sudah tidak sabar. Ia tersenyum-senyum menatap pria bule di sampingnya.

Penjaga rumah mengangguk formal ketika membuka gerbang depan, Isaac menghentikan mobilnya di depan garasi. Fanya turun dan membantu Isaac membawa barang-barang. Fanya mendengar bahwa penjaga rumah memberitahu belum lama ada telepon untuk Isaac, mereka kemudian membicarakan beberapa hal tentang situasi rumah selama tidak ditinggali. Fanya mengabaikan percakapan itu dan beranjak ke kamar utama.

Fanya memoles ulang dandanannya, lalu menyemprotkan parfum dan sembari menunggu Isaac ia memilih-milih koleksi bir di lemari es kecil dekat nakas. Fanya mengambil yang paling ringan dan meminumnya sembari berbaring di tempat tidur.

"Zifanya..." panggil Isaac dan ketika membuka pintu kamar, pria itu tertawa, "Kamu ngapain di sini? kamar kamu di—"

"Aku mau tidur sini," sela Fanya sembari menegakkan tubuh dan turun dari tempat tidur.

Isaac menatap tidak yakin, "Aku minta pengurus rumah siapkan kamar tamu, aku beli beberapa gaun untuk kamu di sana dan..." suara pria itu menghilang seiring Fanya menguraikan sabuk yang menahan outer di tubuhnya.

Fanya melepaskan outer tersebut, melangkah mendekati Isaac. "Mana yang lebih buat kamu penasaran? aku pakai gaun pembelian kamu, atau aku nggak pakai gaun apapun..."

Jari-jari Fanya terangkat, mengelus dada Isaac dan sebelum pria itu menjawab, Fanya berjinjit untuk mencium. Dengan segera ciuman Fanya dibalas, panas dan menuntut. Fanya membiarkan saat Isaac mendekapnya untuk memperdalam ciuman mereka. Tepat sebelum Fanya menggeliat tak sabar, Isaac perlahan menguraikan dekapan.

"Kalau pacaran panas yang kamu maksud lebih dari ini... aku nggak yakin bisa berhenti nanti," ucap Isaac dan jelas sangat berhati-hati memegangi pinggang Fanya.

Fanya tersenyum dan mencium pipi Isaac, "I'm ready for this, I want you to be my first."

Tampak perdebatan dalam tatapan mata Isaac, helaan napasnya juga terasa memberat. Fanya tahu kekasihnya merasa ragu dan ia yang kembali meyakinkan. Fanya mengangkat tangannya untuk menarik simpul pita di belakang lehernya.

Isaac menghentikan, "Not yet," katanya.

"Then?" tanya Fanya sembari menarik sebelah alisnya.

Jawaban Isaac berupa gerakan cepat menutup pintu, menguncinya lalu menarik Fanya. Pria itu duduk di pinggiran tempat tidur dan tanpa ragu Fanya begitu saja duduk di pangkuannya. Isaac tertawa, menahan punggung Fanya, "Kenapa kamu mau melakukannya?"

"Aku udah nggak puas sekadar dapat jatah bibir."

"Kamu yakin? kita bisa sama-sama ke Beijing untuk bertunangan dulu dan—"

"Ah lama!" gerutu Fanya lalu mencondongkan wajah, memangut bibir Isaac, memaksa pria itu untuk kembali larut dalam kemesraan. Beberapa kali dalam ciuman atau kecupan yang mereka bagi, Fanya merasa bahwa Isaac masih berusaha menahan diri. Tapi Fanya sudah terlalu yakin dengan keinginannya ini dan lagi, semakin ia berusaha menempelkan diri pada Isaac, rasanya semakin tak tertahankan.

"Please, I want you so bad," pinta Fanya saat Isaac menjauhkan wajah dari lehernya.

"Aku sudah terbiasa dengan pertahanan diri saat bersamamu dan kali ini benar-benar terakhir kali aku bertanya, kamu yakin?"

Malas menjawab dengan kata-kata, Fanya beralih turun dari pangkuan Isaac lalu menarik simpul pita di belakang lehernya. Bahan satin dingin itu jatuh di pengelangan kaki Fanya dan tanpa ragu, Fanya melangkah kembali menuju Isaac.

Fanya menangkup wajah Isaac dan mengecup bibirnya, "Aku bunuh kamu kalau masih cerewet, tanya yakin atau tidak," bisiknya.

Isaac tertawa, menarik Fanya dan sekaligus membaringkan diri. Karena kaget, Fanya memekik pelan, hidungnya nyaris membentur dagu Isaac tapi kemudian dengan cepat pria bule itu mengubah posisi, membuat Fanya berada di bawahnya.

Pikiran Fanya langsung nyaris kosong saat Isaac mulai menciuminya, dari pangkal leher melambat ke bawah, kecupan lembut pada awalnya lalu berganti sesapan yang jelas meninggalkan jejak-jejak kemesraan. Ketika Fanya berpikir bahwa Isaac akan mengabaikan hal yang membuatnya tak percaya diri, pria itu justru berlama-lama disana, membuat Fanya nyaris terisak karena penghargaan itu.

Tahu bahwa hal yang dilakukannya membuat Fanya emosional, Isaac beralih mengecupi wajah Fanya lagi. "You're beautiful and sexy, my oriental goddess," bisik Isaac lalu mencium Fanya lama.

Ketika Isaac beralih melakukan penelusuran lagi, Fanya jadi mengerti kenapa banyak perempuan menggeliat tak sabar ketika perut mereka dikecupi dan Fanya mencoba tidak memprotes saat Isaac tak segera beralih dari bagian dalam pahanya. Dan seperti mengerti apa yang kekasihnya inginkan, perlahan Isaac menurunkan kain terakhir yang membalut tubuh Fanya. Jika sebelumnya Fanya bisa menahan erangan atau desahan dalam yang akan keluar dari mulutnya, kali ini Fanya ingin menjerit ketika mulut dan jemari Isaac memberinya kenikmatan pertama.

Suasananya terasa kian mendebarkan setelah gelombang pertama itu terlewati, Fanya berusaha menormalkan napas. Ia beralih bangun, mengulurkan tangan dan melepasi kancing-kancing kemeja Isaac. "Kamu harus membiarkanku menjilat otot perutmu kali ini," kata Fanya, meski ini kali pertamanya, ia tak mau bertingkah pasif apalagi amatir.

Isaac tertawa, "Astaga, Zifanya..." ucapnya geli meski senang juga dengan kejujuran itu.

Kancing kemeja terakhir terlepas, tapi belum sempat Fanya mengelus deretan otot padat yang terlihat, terdengar ketukan cepat di pintu kamar. Fanya yang terkejut reflek memeluk Isaac.

"Sebentar," kata Isaac nyaris berteriak, napasnya terasa berat saat menguraikan pelukan Fanya lalu melepas kemejanya untuk menutupi tubuh telanjang kekasihnya itu.

Isaac beranjak mengambil kaus dari lemari sembari mengatur napas, setelah berpakaian barulah pria itu membuka pintu. Pengurus rumah terlihat cukup panik saat bicara, "Nona Adela datang dan menunggu di ruang tamu, katanya ada hal mendesak, beliau sangat pucat."

Wajah Isaac langsung diliputi kecemasan, sejenak menoleh pada Fanya, "Aku akan segera kembali," katanya dan langsung beranjak.

Fanya mengancingkan kemeja Isaac lalu ikut beranjak keluar kamar, "Siapa Adela ini?"

Wajah pengurus rumah tampak tidak yakin tapi menjawab lirih, "Kakak ipar Mr. Lewis yang tinggal di London, sudah sejak pagi menghubungi kemari."

Fanya mengangguk dan setelah pengurus rumah beranjak kembali ke dapur, ia diam-diam pergi ke ruang depan, memperhatikan Isaac sedang bicara serius pada seorang wanita bule. Fanya menyipitkan mata saat wanita itu mulai menangis.

"They found out, please... come home with me to explain this..."

Kalimat itu membuat Fanya mengerutkan kening apalagi Isaac langsung menanggapi dengan berkata bahwa pria itu memang berencana pulang. Fanya mengerjapkan mata bingung ketika Isaac juga meminta Adela untuk tenang karena tangisan perempuan itu bisa mempengaruhi kehamilan. Adela menanggapi dengan langsung memeluk Isaac, tampak tersiksa dan sedih.

Isaac membalas pelukan itu, mengelus-elus punggung Adela lembut. Fanya mulai berpikir dan hasil pemikiran dalam kepalanya langsung membuatnya mual. Ini bahkan lebih mengerikan dari perselingkuhan yang dilakukan Rick. Fanya tak bisa menunggu penjelasan, apalagi permintaan maaf, ia langsung menatap kunci mobil di meja dekat telepon.

Fanya berlalu begitu saja melewati ruang tamu, Isaac dan Adela yang berada di sana tampak sama-sama terkejut, keduanya saling melepaskan diri. Fanya hanya menatap dingin sembari melangkah ke pintu, sengaja membantingnya saat keluar.

"Zifanya..." Isaac memanggil saat Fanya melangkah menuju mobil.

Fanya langsung masuk mobil, mengabaikan Isaac yang  berlari mendekat. Isaac terus berkata bahwa Fanya harus mendengar penjelasannya, ada kesalahpahaman. Fanya tak peduli, begitu mesin mobil menyala, Fanya langsung membawanya pergi.

| to be continued . . . |


uwaa apa yang terjadi?? wakakakaka~

ah iya aku ingatkan ulang ya, office mate ini bukan cuma cerita Fanya-Isaac tapi ada juga Sera dan pasangannya, lalu yang lainnya juga... dan bagian untuk Fanya-Isaac ini hanya 12 bab pertama, sekarang udah sepuluh, tinggal dua lagi... ehehehe jadi kawin nggak kira-kira?? hayoo~

Continue Reading

You'll Also Like

258K 36.1K 38
[PART LENGKAP] May contain some mature convos and scenes Bagi Abigail Williams, El adalah tempatnya berkeluh kesah setelah diputus oleh para mantan...
10.8K 703 13
𝐂𝐮𝐦𝐚 𝐤𝐢𝐬𝐚𝐡 𝐄𝐯𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐧𝐝𝐮𝐰𝐢𝐧𝐚𝐭𝐚(𝐜𝐨𝐰𝐨𝐤 𝐤𝐞𝐥𝐚𝐬 11) 𝐝𝐚𝐧 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐢𝐨 𝐁𝐚𝐠𝐚𝐬𝐤𝐚𝐫𝐚 (𝐜𝐨𝐰𝐨𝐤 𝐤𝐞𝐥𝐚𝐬 10), 𝐦𝐞...
1.5M 8.5K 23
Menceritakan kehidupan seorang lelaki yg bernama Nathan. dia dikenal sebagai anak baik yg tidak pernah neko neko dan sangat sayang pada keluarganya...
347K 23.9K 36
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...