Determination ✔️

By dreama-queen

97.5K 17.8K 5.6K

[TRIGGER WARNING : Buku ini mengandung konten kekerasan pada anak] Ketika pindah ke apartemen barunya karena... More

Prolog
01. Si Room Boy Dan Kehidupannya
02. Si Pengacara Dan Kesehariannya
03. Si Tetangga Dan Kebohongannya
04. Jwi
05. Cara Berkenalan Yang Benar
06. Rahasia Dan Kejutan
07. Sosok Ayah
08. Titik Terang
09. Markas Orang Aneh
10. 2 Jenis Ibu
11. Luka
12. A Place Called Home
13. Dingin
14. Bidak Baru I : Knight
15. Bidak Baru II : Queen
16. Matikan Ponsel Saat Kencan!
17. Arti Anak Itu Apa?
18. Asa
19. Perseteruan Lama
20. SHIN
21. Petugas Dinas Sosial?!
22. Anggota Keluarga Baru
23. Sesuatu Dari Winwin
24. Romansa Merah Muda
25. Akhir Bahagia?
26. J I N W O O
27. Think Big
28. Rahasia Terakhir
29. Darah Yang Berbeda
30. 2 Burung Dan 1 Batu
31. Urusan Keluarga
32. Titik Balik
33. Peristiwa 9 Menit
34. Sebagai Seorang Kakak
35. Yang Bebas & Yang Terperangkap
36. Ketetapan Hati
37. Pengakuan
38. 4 Tahapan Status
39. Titik Terendah, Sementara
40. Perang Kata-kata
41. The Hunter & The Prey
42. Hurt Me Once, I'll Kill You Twice
43. Perihal Mengurus Anak
44. Now, We'll Be Okay
45. Terakhir Dan Pertama
46. Pembalikan Situasi
47. Bayangan Angka 3
48. Let's Winwin!
49. The Dark Side
50. Melawan Arus
51. Hadapi Atau Lari
52. Ini Soal Pilihan
53. Lucifer Juga Malaikat

Epilog

2.2K 327 169
By dreama-queen

Sepatu Park Jisung menginjak area parkir toko bunga itu, yang bagai oase di tengah gurun pasir.

Letaknya tidak strategis, tapi di situlah nilai keindahannya; toko itu memberi kesegaran di tengah kota yang padat, sekaligus menjadi bukti bahwa keindahan bisa kita temukan di mana saja. Aroma manis dan wangi yang tak bisa ditandingi parfum manapun terhirup olehnya begitu Jisung menarik napas, bersumber dari bunga-bunga yang sebagian berada dalam pot, sedangkan yang lain sudah terangkai rapi, siap diberikan pada orang terkasih.

Mawar menjadi ratu. Mawar menjadi bunga yang paling mencolok dan terbanyak, jauh mengungguli lily, snapdragon, carnation, dan poinsettia.

Pengetahuan Jisung tentang bunga tidak banyak, tapi ia berhasil mengenali beberapa, meski tebakannya meleset satu. "Mawar pink?" Ia bertanya, menunjuk bunga dengan kelopak berwarna pink yang semakin ke dalam berwarna putih kekuningan.

Pegawai atau pemilik toko bunga itu menggoyangkan jari telunjuknya ke kiri dan ke kanan. "Bukan, itu violet carson. Pernah nonton film V For Vendetta?"

Jisung menggeleng. "Belum pernah denger."

"Ya ampun, dasar bocah zaman sekarang!" Gadis itu berdecak, merasakan apa yang kadang dirasakan orang tua bila bicara dengan mereka yang usianya jauh lebih muda; halangan akibat perbedaan zaman dan terkadang malah miskomunikasi. "Itu film terkenal lho. Dan ini bunga yang ikonik dari film itu. Mau beli buat pacar?"

"Ah, bukan, bukan. Cuma buat ditaroh di rumah."

Seseorang tertawa dari belakang, merangkul pundaknya. Agaknya menerima panggilan dari teman tidak membuatnya ketinggalan percakapan mereka. "Dia badannya doang yang bongsor, tapi aslinya masih kecil. Game di hp-nya aja toon blast!"

"Toon blast?" Ulang si gadis bunga, kompak bergabung dalam ajakan tak langsung Irene menggoda Jisung.

Yang disambut oleh gadis itu, dengan tawa yang lebih keras. "Bener. Nggak punya pacar dia!"

Jisung hanya senyam-senyum pasrah. Kalau ada hal yang dia pelajari setelah tinggal bersama Irene, salah satunya adalah pantangan untuk tidak berdebat dengan wanita. Percuma saja. Di sekolah memang mudah membuat Chenle kesal, tapi tak ada yang ingin melihat Irene marah一kecuali ya di ruang sidang.

"Jadi mau beli bunga hias aja?"

Irene mengangguk. Kuncir rambutnya berayun-ayun di punggungnya. "Kaktus perawatannya gampang kan? Mau kaktus deh, biar dia nggak repot."

Mata si gadis bunga melebar takjub. "Kamu belajar berkebun? Jarang ada anak cowok yang suka kegiatan ini."

"Terpaksa," jawab Jisung, mengedikkan bahunya. "Buat bayar uang sewa rumah."

Irene terkikik. "Dia adek, tapi mulai belajar mandiri. Semacam itu."

"Wah, keren dong." Gadis itu mengangkat sebuah pot berukuran sedang, yang di atasnya berdiri batang kaktus berduri yang masih pendek. "Ini orchid cactus. Kalau udah tumbuh nanti cantik, ada bunganya warna merah."

Warna merah bukanlah warna favorit Irene, Jisung tak heran melihatnya memberengut. "Nggak ada yang warna ungu?"

"Ungu? Hm, tunggu sebentar." Gadis itu mondar-mandir, menggaruk kepala. Ada terlalu banyak bunga di sana, butuh waktu baginya untuk menemukan bunga yang sesuai selera Irene. "Ini. Yang ini namanya lavender Inggris. Si kecil yang banyak manfaatnya. Lavender bisa buat penghilang stres."

"Keren." Mata Irene berbinar. Apa saja yang berwarna ungu pasti menarik minatnya. "Gimana, Jisung? Cukup yang ini?"

Masih tertarik pada bunga dengan nama yang unik itu, Jisung meraih violet carson dan menyentuh daunnya. Seorang remaja yang dikelilingi bunga一dia menyerupai tokoh pangeran dalam manga, yang fokus pada pengamatannya hingga tak mendengar pertanyaan yang ditujukan padanya.

Tidak sampai Irene menjentikkan jari di depan wajahnya. "Jisung, hei! Suka yang ini?"

Jisung kembali tersadar dari lamunan. "Iya. Namanya bagus mirip nama orang."

"Asalnya emang dari nama artis," celetuk gadis bunga, lagi-lagi mengesankan dirinya dengan isi otaknya yang beragam.

Irene mengambil pot violet carson itu dan mengopernya pada Jisung. "Oke, kita beli kalau gitu. Biar ada 3 kayak keluarga kita. Ini kamu. Ini bunga Kakak." Jelas sudah dia menunjuk bunga yang mana. "Yang terakhir一" giliran si orchid cactus yang jadi sasaran telunjuknya. "Taeyong. Dia kan persis preman, padahal hatinya lembut."

"Lembut?" Jarang sekali Jisung mendengar Irene memuji Taeyong, dan itu membuatnya tertawa.

"Selembut kaktus maksudnya." Irene menyeringai, terbahak menyinggung adik lain yang saat ini tidak bersamanya.

Si gadis bunga membantu membawakan bunga Taeyong. "Nggak mau pilih-pilih dulu?"

Irene dan Jisung bertatapan, saling bertukar pandangan geli yang dikhawatirkan Joy menurun pada Jisung (beserta segenap kejahilan Irene) walaupun ia bukan kakak kandungnya. "Nggak usah. Ada yang nunggu kita soalnya."

Lee Taeyong membuka matanya.

Suara langkah kaki petugas yang menuju ke selnya membangunkannya. Adaptasi adalah istilah keren untuk membiasakan diri pada keadaan yang kadang tidak kau kehendaki, dan mau tidak mau, seseorang pasti akan mempelajari beberapa hal setelah beberapa minggu berada di penjara.

Ini sarang kekacauan; ketenangan hanya ada saat para tahanan tidur. Dan bahkan itu pun tidak terjamin seutuhnya.

"Oooh, enak banget ya tidurnya, 3905?"

Itu salah satu tradisi yang Taeyong benci; tahanan baru selalu dipanggil dengan nomor tahanan mereka. Para petugas itu terlalu malas menghafal atau hanya berharap tidak perlu menghafal nama mereka一sulit mengetahuinya dengan pasti.

"Waktunya tidur malah ngelamun. Waktunya makan malah tidur. Otakmu kebalik?"

Jangan salahkan Taeyong soal ini. Memang benar bahwa dia sering tidur di jam makan karena sengaja ingin melewatkannya. Siapa pula yang rela makan sup labu penjara yang melegenda itu?

Yang di hari pertama membuatnya bertanya-tanya apakah sup itu terkontaminasi bahan berbahaya dan apakah potongan-potongan labunya aman di makan atau tidak.

Pastinya tidak ada yang bersedia kecuali terpaksa.

Terserahlah apa kata orang tentang bahaya menunda makan. Dia lebih baik menunggu Irene dan masakannya daripada harus mencicipi sup yang lebih layak dikonsumsi ayam.

Taeyong jadi menyesal. Tidak seharusnya dia mengeluh karena makan ayam setiap hari di hotel. Nyatanya, masih ada banyak makanan yang lebih buruk. Kini dia rela berlari memutari penjara ini 70 kali bila itu artinya bisa makan ayam lagi bersama Seulgi.

Karma? Menyebalkan.

Selagi Taeyong masih menguap dan menghitung dalam hati sudah berapa lama dia terjebak di sini, si petugas melemparkan sebuah buntelan berat terbungkus kantong plastik yang mendarat di wajahnya. "Bangun, itu kiriman dari kakakmu."

Malas-malasan, Taeyong bangun dari tempat tidurnya yang setipis kertas一sehingga berbaring di sana nyaris tak ada bedanya dengan berbaring di lantai. Penanda lain bahwa dia sudah terlalu lama di penjara adalah rambutnya yang semakin panjang. Dulu, dia selalu menjaga kerapihan karena pekerjaannya, dan sekarang lihatlah, ibu Joy pasti akan mengomel saat memotong rambutnya nanti.

Candaan yang sering Irene ucapkan terwujud; beri dia rokok dan pakaian serba-hitam, maka dia akan tampak seperti preman sungguhan.

Membuka bungkusannya一yang masih melekat aroma khas mall一Taeyong menemukan ripped jeans, kemeja berlogo G terkenal dan sepasang sepatu abu-abu. Semuanya masih dilengkapi label harga yang bila dijumlah bisa digunakan untuk biaya makannya selama beberapa bulan.

Sedikit berlebihan, namun di sisi lain, selera Irene tak pernah mengecewakan.

Dengan paduan semua pakaian itu, dia akan jadi tahanan paling keren hari ini.

Whooops, yang benar adalah mantan.

"Bahwa terdakwa Lee Taeyong..."

Taeyong bisa merasakan adrenalin dan kegelisahan yang bercampur baur dalam darahnya, merasakan rasa frustrasi yang ibarat duri dalam nadi, dan jantungnya sendiri yang detaknya seolah terhenti.

Ini pertaruhan. Cinta dan masa depannya di pertaruhkan dan dia adalah orang yang paling sadar akan hal itu. Bohong kalau dia bilang dia tidak takut. Merupakan dusta jika dia berkata dia bisa menerima apapun keputusan hakim nantinya. Saat duduk di samping saudari yang sudah membelanya mati-matian, Taeyong tahu hanya ada satu hal yang dia inginkan一tidak peduli meski ada kesempatan mengajukan banding一yaitu kebebasan.

Dalam impian dan mimpinya sebelum dan sesudah tertidur, Taeyong membayangkan kelinci-kelinci yang berlarian di padang rumput, kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya, dan lumba-lumba yang keluar-masuk air laut dengan tubuh licin dan mata yang cerdas.

Kebebasan. Taeyong tahu harganya mahal. Sebagai ganti hidup dalam kandang, ada pengorbanan dan keringat yang harus dikucurkan.

Kebebasan. Taeyong bertanya, apakah semua ini masih kurang?

Lalu menatap sang hakim yang akan menjawab pertanyaan itu.

"Berdasarkan bukti-bukti dan pernyataan para saksi, Saya nyatakan tidak bersalah dan terbebas dari semua tuntutan. Dia terbukti hanya membela diri dan tidak layak tinggal di penjara lebih lama lagi. Dan dengan ini, sidang akhir kasus Lee Taeyong resmi berakhir."

Tok tok tok!

3 kali bunyi ketukan palu menggema ke seluruh ruangan.

3 kali pula Han kalah dari Irene yang membuatnya lepas kendali. Simpul ketenangannya terlepas, disusul pulpennya yang melayang menghantam lantai. Tekad untuk membela kawannya hancur dan harga dirinya tercoreng di saat yang sama一ia tidak bisa menerimanya.

Han mengeluarkan deretan panjang kata umpatan yang mustahil lolos sensor dalam tayangan TV nasional. Han marah besar. Sebegitu marahnya sampai mengabaikan tatapan menegur sang hakim atau apa pendapat orang tentang dirinya.

Kemudian, isakan teredam yang terakhir kali Taeyong dengar di pemakaman ayahnya meluncur dari bibir Irene.

Air mata yang ditahan. Tangis dan rasa sakit yang disembunyikan. Pengacara Lee Irene menutup wajahnya dan membiarkan emosinya meluap dalam pelukannya.

Badai sudah berlalu.

Kurang dari setengah jam setelahnya, Taeyong berjalan ditemani 2 petugas yang kini bersikap lebih longgar padanya. Tidak ada bentakan agar dia berjalan lebih cepat atau borgol yang melingkar di tangan. Tugas mereka hanya membimbing dan mereka melakukannya dengan baik.

Bersama keduanya, dia melewati koridor panjang yang membentang seakan tanpa akhir. Langit-langitnya rendah, terlihat bagai bisa jatuh dan menimpanya kapan saja. Catnya yang sewarna dengan sinar matahari terbit adalah bagian dari upaya sia-sia para petugas untuk membuat tempat itu terkesan tidak terlalu buruk. Tidak ada jendela. Hanya ada pintu yang tidak jauh dari sini dan dia akan melewati pintu itu sebentar lagi.

Taeyong mulai tertawa.

Dia masih tertawa saat berhenti di meja penerimaan, yang sudah menunggu seorang petugas dengan barang-barangnya yang sempat di sita.

Petugas itu telah membungkusnya dengan plastik yang mirip plastik laundry, lantas menyodorkannya padanya, termasuk pakaiannya sebelum ia diharuskan berganti dengan pakaian tahanan. "Nih," katanya. "Lee Taeyong, udah kapok sama sup labu? Jangan balik ke sini lagi, ngerti?"

Taeyong hanya mengangguk, sambil tertawa.

"Bagus, sekarang minggat sana!"

Kalau mengenai itu, Taeyong tidak perlu disuruh 2 kali. Ia segera melanjutkan langkahnya, melewati lapangan tempat sesekali tahanan diperbolehkan saling bercakap-cakap atau bermain, tempat pembakaran sampah, gudang alat kebersihan, lalu gerbang.

Penjaga di sampingnya membuka gerbang itu, menjabat tangannya, dan memberi beberapa petuah bijak yang lebih mirip pesan menakut-nakuti.

Taeyong berbalik memandang tempat tinggalnya selama beberapa minggu ini untuk terakhir kalinya, mengenang setiap moment dan merenungkannya. Ini pengalaman一pahit atau manis selalu memberinya pelajaran.

Tapi untuk yang ini, Taeyong memutuskan meninggalkannya di belakang. Dia ingin menatap ke depan dan hanya ke depan, menyongsong kebebasan.

Satu, dua, tiga.

Kaki Taeyong melangkah. Gerbang tertutup lagi di balik punggungnya.

Mata Taeyong terpejam.

Semilir angin adalah hal pertama yang menyapanya, membelai kulitnya, mengajak rambutnya menari dalam tarian yang hanya diketahui dedaunan dan bunga-bunga. Rona kebahagiaan tergambar jelas di wajahnya.

Selanjutnya...

Duar!

Joy dalam balutan gaun birunya menggesekkan party popper dan ketika meletup, benda itu mengeluarkan lebih banyak confetti aneka warna yang menghujani tubuhnya.

"Siapa nih? Kok makin ganteng pas rambutnya panjang?"

Namun party popper milik Winwin tampaknya mogok bekerja. Pemuda itu sudah memutar bagian bawahnya berkali-kali tapi hasilnya nihil. Winwin tersenyum menyesal.

"Dui bu qi, ge. Kayaknya punyaku rusak. Aku masih boleh wawancara buat buku baruku kan?"

Taeyong hampir melupakan permintaan Winwin seusai sidang kemarin, yang entah kenapa ingin melakukan riset berdasarkan pengalamannya sebagai pegawai hotel. Saat ditanya buku macam apa yang akan ia tulis, Winwin bilang itu rahasia...

"Boleh kalau dibayar."

Suho, polisi yang barangkali merangkap pacar kakaknya menepuk bahunya dan mengedipkan sebelah matanya. "Hey, hey, adik ipar! Sehat nggak nih? Nanti makan hanwoo yang banyak, biar sehat jiwa raga, gimana? Hahahaha!"

Seorang gadis mungil melesat keluar dari sebuah mobil ungu dan menubruknya dengan kekuatan penuh, bergelayut di lehernya sampai Taeyong kesulitan bernapas. "Keren kan kalau pakek baju pilihanku? Jangan lupa diganti uangku, oke?"

Remaja laki-laki jangkung menyusul Irene membawa buket bunga berwarna kuning yang diselipi baby's breath di sela-selanya, diiringi senyum malu-malu seperti biasanya.

"Jisung?"

Taeyong hampir tidak mengenalinya. Jisung yang ini berbeda; matanya terlihat meski dia menunduk berkat rambutnya yang lebih pendek, senyumnya lebar dan cerah, kakinya menapaki jalan dengan ringan, sama sekali tanpa beban.

Jisung menyapukan tangan ke rambutnya. "Aku potong rambut dikit." Mata yang selama ini ia tutupi bersinar-sinar tanpa poni. Dia menyerahkan buket bunganya. "Ini hadiah dari aku sama Kak Irene."

"Iya!" Sambung Irene dengan semangat. "Hadiah buat hari kebebasan!"

"Hari apa...?" Taeyong terheran-heran. "Ini sebenernya keluar penjara atau lagi wisuda?"

Mereka tertawa.

Dari Irene, Taeyong sudah tahu bahwa keluarga kecil mereka sekarang punya anggota baru. Bukan bayi tapi wajahnya seperti bayi. Lebih tinggi dari mereka berdua dan hobi menonton sepak bola serta bermain game anak-anak. Jadi saat ia memeluk Irene sekali lagi, Taeyong turut membawa Jisung ke dalam dekapannya.

"Norak kalian ini. Kenapa nggak sekalian bawa balon ulang tahun?"

Jisung nyengir. "Tadinya udah beli, tapi males niupnya."

"Halah!" Taeyong merebut buket bunganya dan balas memukul Jisung dengan bunga itu. "Pada nggak bener!"

"Yang nggak bener ada di sana tuh." Irene mengarahkan telunjuknya ke suatu titik. "Itu temenmu yang sama-sama nggak waras kan?"

Taeyong menjulurkan lehernya untuk melihat lebih jelas. "Mana?"

"Itu!"

Dan tepat usai Irene mengatakan itu, sebuah motor hitam mendekat dengan cepat. 2 orang yang mengenakan helm putih dan kuning melambai-lambai, berseru nyaring untuk memberitahukan kedatangan mereka.

Itu motor Doyoung, tapi Seulgi yang mengemudikannya, yang merupakan keputusan yang bagus karena Doyoung kerap menyetir selambat siput. Seulbear-nya tergelak bahkan sebelum mencapainya. "TAEYONG!!"

Tak kalah heboh, Doyoung setengah berdiri hanya untuk memberinya kecupan jauh yang membuat Taeyong mual. "CHAGIYA! KANGEN SAMA OPPA NGGAK?"

Lee Taeyong tersenyum pada mereka sebahagia dan sebebas burung-burung yang terbang tinggi di langit biru yang indah.

Asique, dengan ini NASI resmi dibungkus alias tamat alias kelar xixixixixi 😳

Kayak biasanya, tolong kasih pendapat buat ff ini ya, mau saran atau kritik juga boleh asal sopan
Beli jepit oren
Ditambah sendal
Jangan pelit komen
Ntar kulempar kentank 🥔😡

©GOTHUERZ

Continue Reading

You'll Also Like

2.1K 250 22
[COMPLETED] Sunwoo menemukan buku harian Jeno yang berada di loker sekolahnya. Tidak ada yang aneh akan hal itu, tetapi ini menjadi aneh karena buku...
1M 63K 36
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...
Kanigara By 1870

Teen Fiction

814 100 21
Semua orang tentu ingin memiliki hidup yang bahagia, termasuk Juan. Ia pikir hidupnya memang sudah bahagia, tapi ternyata ia hanya belum menyadari lu...
108K 11.2K 43
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...