Under The Blue Sky

By Song_Hua

13.6K 523 215

Pangeran Riel Feloren adalah satu-satunya orang yang berhasil melarikan diri saat Istana Kerajaan Floren dise... More

PENTING SEBELUM MEMBACA!!!
Chapter 1: Under Attack and Escape [1]
Chapter 3: Under Attack and Escape [3]
Chapter 4: Hug and Cry

Chapter 2: Under Attack and Escape [2]

239 33 8
By Song_Hua

Chapter 2

Under Attack and Escape
Bagian 2

*****

Riel membuka mata lagi setelah beberapa jam berlalu, ketika matahari berada tepat di atas kepala. Dia mengusap mata lalu membenarkan posisinya, bersandar pada pohon yang berada di tepi sungai.

Riel meringis dan sadar sepenuhnya ketika rasa nyeri itu kembali menyerang tubuhnya. Kedua pergelangan tangan serta punggung bagian kanannya luka akibat serangan gargoyle.

Riel menjulurkan kepala ke sungai. Air yang jernih itu bisa memantulkan dirinya. Dan betapa mengerikan penampilannya saat ini. Tidak ada baju mewah, melainkan piyama yang ditutupi oleh jubah, rambut pirang panjang yang berantakan, dan wajah yang penuh luka.

Riel menyentuh wajah dan bintik-bintik cahaya hijau temaram muncul di antara jemarinya. Dalam sekejap, memar di ujung bibir dan di pipi hilang tanpa bekas. Kemudian, ia menarik napas perlahan dan menutup mata. Tubuhnya mengeluarkan cahaya hijau yang membuat semua lukanya menghilang. Benar-benar hilang tanpa bekas. Riel sedikit bangga pada dirinya. Setidaknya dia menguasai sihir penyembuhan, walaupun serangannya tidak begitu kuat. Hanya saja, setelah mengeluarkan sihir semacam itu, tubuhnya kembali melemah. Riel kembali menyandarkan diri pada pohon dan hendak memejamkan mata lagi sambil meraba-raba rumput. Matanya membelalak ketika tangannya tidak menyentuh sesuatu yang selalu bersamanya selama ini.

"Tongkatku? Dimana tongkatku?" Riel panik. Dia berdiri dan melihat-lihat sekitar.

Dia tidak menemukannya.

"Gawat! Jangan-jangan jatuh ke sungai dan terbawa arus?" Riel menatap sungai di depannya dengan ragu.

Riel berusaha menenangkan diri. Dia terdiam beberapa saat untuk mengingat-ingat.

Semalam, tongkat sihir kayu itu masih bersamanya. Bahkan ketika jauh ke jurang dan terombang-ambing di sungai, Riel masih menggenggamnya. Pada malam itu, dia bertahan pada tepian sungai dan naik ke darat, kemudian bersandar pada pohon, lalu tertidur. Tongkatnya masih bersamanya.

"Kalau tidak salah..."

Riel kembali mengingat-ingat. Ketika dia membuka mata, ada seorang pria, kan? Apa yang dilakukannya, ya?

"Ah, sialan. Dia mencuri tongkat sihirku!" seru Riel, sudah berhasil mengingat.

Benar. Pria itu mengambil tongkat Riel selagi dia setengah sadar.

"Kurang ajar sekali!" pikir Riel sebal.

Dia berdiri dan melihat sekitar. Pepohonan di tempat ini tidak begitu rindang dan tinggi, jadi bisa memudahkan Riel untuk menelusuri lebih jauh.

Riel memasang tudung jubah kemudian melangkah perlahan, berjalan di tepian sungai. Suara binatang yang melewati semak-semak membuat jantung Riel berdebar keras. Walaupun sekarang terang benderang juga cerah, Riel masih ketakutan dan tidak bisa menghilangkan sosok gargoyle maupun wajah Douglas dari benaknya. Jika dia diserang saat ini, hal yang hanya bisa dilakukan yaitu melarikan diri.

Riel kesal pada dirinya sendiri. Kenapa dia tidak bisa menggunakan sihir tanpa tongkat itu? Padahal sepupunya, ibunya, neneknya, dan semua penyihir di istana bisa menggunakan sihir tanpa tongkat. Sekarang Riel meruntuki dirinya, kenapa menjadi sosok yang begitu lemah. Bahkan, dia tidak tahu apa kelebihannya. Dia memiliki fisik yang lemah dan tidak berbakat, tapi kenapa ayahnya bersikeras menjadikannya raja Kerajaan Floren berikutnya? Padahal adiknya, Ciel, sudah diperkirakan akan menjadi pemimpin yang kuat di umurnya yang masih lima tahun.

Riel terus berjalan hingga telinganya menangkap banyaknya suara orang yang bercakap-cakap. Suara keributan itu tidak membuatnya takut dan malah memberanikan diri untuk mendekat.

Betapa senangnya Riel ketika melihat kerumunan orang yang berlalu-lalang di sebuah pasar. Pasar itu ada di tepi sungai. Senyuman Riel sempat mengembang namun hilang saat merasakan sakit di perut yang diiringi suara menyedihkan. Dia segera memeluk perut yang mulai berisik sambil mengedarkan pandangan ke sekitar.

Hidungnya menangkap aroma yang menggoda dan mengikuti ke mana arah tersebut.

Tak jauh dari tempat Riel berdiri, ada sebuah warung kecil yang menjajakan berbagai kue di sana. Tanpa membuang waktu lagi, Riel menuju ke tempat itu.

"Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu, Tuan Muda?" sapa pria gemuk yang menjadi penjual itu dengan ramah.

Semua kue yang dijual benar-benar menggoda, nyaris membuat Riel meneteskan liur.

"Ummm... aku menginginkan ini," tunjuk Riel pada sebuah kue isi.

"Harganya lima possca."

"Tapi... aku tidak punya uang," ujar Riel lirih.

Air muka pria itu langsung berubah, "Maaf, Nak. Pengemis dilarang ke sini. Hush! Hush!" usir pria itu seperti mengusir seekor binatang.

Riel menggenggam jubahnya erat lalu mundur perlahan dengan takut, mengira pria tersebut akan melemparkan sesuatu di balik meja itu.

Baru pertama kali Riel diperlakukan seperti ini. Ada perasaan kesal dan sedih di hatinya. Selama ini, semua orang berbaik hati kepadanya, tidak pernah sekali pun berkata dengan nada tinggi apalagi sampai mengusir seperti itu.

"Aku bukan pengemis!" teriak Riel dalam hati. Dia tidak meminta, hanya berkata tidak punya uang. Benar-benar pria yang menyebalkan, membuat Riel tidak tahan untuk mengutuk. "Semoga saja kau cepat bangkrut!"

"Dimana aku bisa mendapatkan makanan?" Riel memegang perutnya lagi, meratapi nasib. Ini juga pertama kalinya dia kelaparan. Seharusnya sekarang dia makan siang bersama keluarganya.

Sambil berjalan dengan gontai, Riel tidak sengaja menabrak seseorang yang sedang membeli buah-buahan. Segera saja Riel meminta maaf dengan suara serak tanpa menatap orang itu.

"Hei, hati-hati! Kau punya mata tidak sih?" tanya orang itu bernada tinggi.

"Cih. Sudah jelas-jelas aku ini punya mata, kenapa dia mempertanyakan hal konyol seperti itu?"

"Sudahlah, Raven. Abaikan saja. Ini apelmu. Total harganya 20 possca," ujar si penjual buah-buahan.

"Tidak ada diskon, kah, Nyonya Molle?"

"Ahahaha... Aku sudah mendiskonnya."

"Heh... tapi kenapa harganya tidak berubah?"

"Perasaanmu saja. Hahaha."

Riel tidak mempedulikan pembicaraan omong kosong itu. Dia terus berjalan sambil terus tertunduk, memeluk perut yang semakin berisik.

Tiba-tiba, tubuhnya ditabrak seseorang dari belakang hingga orang itu menjatuhkan barang belanjaannya.

"Kau lagi?" ujar pria yang menabrak Riel sambil memungut apelnya yang berguling.

Setelah memungut tiga apel yang terjatuh, dia berdecih pada Riel.

"Ada apa sih dengan orang-orang di tempat ini?" tanya Riel melirik sebal pada pria itu.

Ketika Riel meliriknya, pria itu mulai menjauh. Pria itu bertubuh tinggi dan rambutnya hitam pekat, sedikit berantakan. Pakaiannya serba hitam tanpa lengan, seperti pakaian para pemburu. Otot-otot lengannya jelas terlihat. Dibandingkan tubuhnya, Riel lebih tertarik pada pisau belati naga yang berada di sabuk kirinya. Pisau itu sangat indah.

"Sepertinya aku pernah melihatnya di suatu tempat?" Riel mengerutkan dahi kemudian memiringkan kepala sambil memegang dagu. "Tapi di mana, ya?"

Riel mengingat-ingat. Memorinya kembali diputar dari kejadian kemarin malam seperti sebuah film yang dipercepat.

"Sosok itu... Ah! Dia si pencuri!" seru Riel, membelalak. "HAI, TUNGGU!"

Tidak mempedulikan berpasang mata melihat ke arahnya, Riel segera berlari mengejar pria itu. Ramainya pasar membuat Riel sulit untuk menggapainya. Beberapa kali dia menabrak orang yang diakhiri dengan umpatan. Riel terus berlari dan berlari. Pria itu terasa semakin jauh padahal dia hanya berjalan dengan santai. Terengah-engah, Riel menyusulnya hingga keluar dari pasar. Pria itu berbelok di tikungan dan Riel mengejar lagi.

"Tunggu!" teriak Riel yang berhasil membuat pria itu menoleh.

"Tidak salah lagi," Riel menyeka keringat lalu menghampiri orang itu dengan napas memburu.

"Ada urusan apa denganku?" tanya pria itu mengerutkan dahi dengan bertanya-tanya. "Aku tidak mengenalmu--"

Riel langsung menyambar kerah bajunya, "Kau, kan, yang mencuri tongkatku?! Di mana itu sekarang?!"

"Hah? Aku?" kedua alisnya terangkat.

"Ya, kau! Kembalikan tongkatku atau kau akan... ku... pukul..."

Bruk!

Tubuh Riel langsung ambruk setelah merasakan pusing serta sakit yang menusuk perut. Pria yang di depan Riel kebingungan, tidak tahu mau melakukan apa. Ditinggal saja atau ditolong? Dia terdiam sejenak, berpikir, kemudian berdecih sambil meruntuki sisi kemanusiaannya sebelum meraih tubuh orang asing di depannya itu.

***

Riel membuka mata perlahan. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit kayu sebuah ruangan, kemudian dia sadar bahwa dirinya sedang berbaring di atas karus yang tidak empuk sama sekali. Riel bangun, mengedarkan pandangan sekitar. Ruangan ini begitu sederhana. Hanya ada sebuah kasur, sebuah nakas di sampingnya, dan sebuah lemari pakaian.

"Kamar siapa ini? Kenapa aku bisa berada disini?"

Kryuuuk~

Riel merintih lagi saat sakit itu kembali menyerang.

"Apa aku akan mati? Aku benar-benar lapar."

Riel keluar kamar dan semakin heran mendapati dia berada di sebuah rumah sederhana. Semua terbuat dari kayu, bahkan di beberapa bagian sudah mulai lapuk. Riel menuju ruangan belakang yang ternyata adalah dapur. Tidak ada seorang pun di sana. Kemudian dia beralih pada halaman belakang, tidak ada apa-apa di sana selain pepohonan. Riel kembali ke ruangan tengah. Benar-benar rumah yang kecil, bahkan lebih kecil dari kamarnya sendiri. Siapa penghuni tempat ini?

Pandangan Riel menangkap sekantung apel yang tergeletak di atas meja ruang tengah. Tanpa pikir panjang lagi, Riel menyambar sebuah apel, mengelapnya menggunakan siku lalu memakannya dengan lahap sambil duduk di kursi kayu panjang di dekat meja tersebut. Padahal hanya apel, kenapa terasa begitu nikmat sekali? Riel terus memakan apel sebanyak empat buah sampai perutnya penuh.

Tiba-tiba pintu terbuka saat apel kelima sedang dimakan. Pria berpakaian serba hitam itu terkejut melihat Riel, begitu juga dirinya.

"Sejak kapan kau sadar?" tanya pria itu heran lalu meraih kantung kertas di atas meja. Matanya membelalak lebar, "Kau memakan semua apelku?!"

Riel menelan apel di mulut lalu mengelap bibir dengan lengan piyama, "Aku lapar," lalu meletakkan apel kemudian berdiri. "Sedangkan kau mencuri tongkat sihirku! Kembalikan!"

"Oi, oi. Bukannya berterima kasih malah marah-marah," ujar pria itu ketus.

Riel melipat tangan kemudian memalingkan wajah, "Terima kasih...," yang diucapkan dengan pelan. Dia menarik napas kemudian menatap orang itu lagi. "Nah, di mana tongkatku sekarang?"

"Sudah kujual," jawabnya santai.

"Apa?!" sekarang Riel yang membelalak.

"Sudah kujual. Kau tidak dengar?" pria itu mengerang.

"Kau jual?!" Riel menjerit kemudian menarik kerah pakaian pria itu lagi. "Kenapa kau lakukan itu?! Tega sekali kau!"

"Hentikan," dia menepis tangan Riel sambil merengut. "Tentu saja kujual karena aku butuh uang untuk bertahan hidup."

"Tapi tidak seperti itu juga caranya!" seru Riel keras. Napasnya memburu. Ingin sekali dia meninju pria ini, namun ia urungkan niat seperti itu. Bagaimana jika pria itu membalas pukulan Riel? Dalam sekejap Riel bisa remuk di tangan kekar itu.

Riel terduduk lemas lalu bulir-bulir air mata yang ditahannya sejak kemarin malam akhirnya tumpah juga. Bagaimana bisa nasibnya berubah 180 derajat seperti ini? Dia seorang pangeran, hidup di istana yang megah di kerajaan yang maju pula, selalu dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangi dan memanjakannya, tidak pernah kelaparan, tidak pernah ambruk, dan tidak pernah mengalami kesulitan hidup seperti sekarang ini.

Detik berikutnya, Riel menangis sejadi-jadinya. Jika dilihat Allena, dia akan diejek terus-menerus karena menangis. Wanita itu selalu berkata bahwa laki-laki tidak pantas menangis, namun di situasi seperti ini tidak bisa membuat Riel menahan perasaannya lebih dalam lagi.

"Walaupun... hiks! aku bukan penyihir hebat, tapi setidaknya... hiks! tongkat itu sangat berharga bagiku... hiks! Hiks! Benda itulah satu-satunya yang bisa... hiks! membuatku bertahan hidup! Hueeeee...," Riel berusaha menyeka air matanya berulang kali, tapi tetap meluncur keluar.

Pria itu berdecak sambil mengacak-acak rambut, "Diamlah. Oke, aku mengaku salah. Tapi mau bagaimana lagi, tongkat itu sudah terjual dan uangnya sudah kupakai untuk belanja. Sekarang aku tidak punya cukup uang untuk membelinya kembali."

Riel menatap pria itu sejenak lalu kembali menangis. Suara tangisannya semakin keras.

"Tongkat sihirku! Huaaaa!"

Pria itu mengerang, tidak kalah keras dari suara Riel, "Ahhh! Baiklah. Baiklah! Aku akan ke toko itu untuk mengambilnya kembali."

Riel terisak dan bertanya dengan lirih, "Benarkah?"

"Ya!" ujar pria itu, menekuk wajah. "Tapi saat ini sedang tutup. Toko itu akan buka kembali setelah matahari terbenam."

Riel mengusap kedua mata yang sudah banjir. Dia berusaha menghentikan tangisnya ketika sadar pria itu memandanginya sedari tadi.

"Kau...," ujar pria itu menyipitkan pandangan sambil memegang dagu. "Rambut pirang panjang, mata biru seperti permata... Hm... Ah! Kau salah satu orang yang tinggal di istana? Siapa kau? Pangeran? Saudara pangeran? Pelayan?"

Riel bergeser sedikit menjauh dari pria tersebut. Ingin dia berkata bahwa dia adalah anak pertama dari Raja Ramon dan Raja Ezra, namun perkataan Allena melintas di kepalanya.

"Jangan ada yang tahu kau seorang pangeran dan memiliki 'itu'!"

Riel meneguk ludah, menatap pria itu was-was, "A--Aku hanyalah seorang anak dari penasihat Raja yang tinggal di dekat istana."

Prianitu melipat kedua tangannya dan masih bertanya dengan alis terangkat, "Dan kau seorang penyihir? Kelas apa? Mage? Summoner? Wizard? Enchanter? Sorcerer?"

"Ugh. Menyebalkan. Banyak tanya!" pikir Riel sebal.

"Wizard. Hanya penyihir biasa," gumam Riel dengan gigi terkatup.

"Wizard? Ppfffttt!" pria itu menutup mulutnya, ingin menahan tawa, tapi pada akhirnya dia terbahak. "Hahaha! Penyihir macam apa kau ini? Bukankah para penyihir kelas wizard bisa melakukan sihir tanpa tongkatnya?"

"Maaf-maaf saja aku tidak seperti itu!" Riel mendengus keras sambil membuang muka.

"Dasar lemah," ejeknya.

"Iya, aku memang lemah," kata Riel ketus.

"Hahaha! Astaga... kau ini lucu juga," pria itu menyeka air yang sedikit keluar dari mata lalu mengulurkan tangan, mengajak bersalaman. "Aku Kalt."

Riel melirik uluran tangan itu lalu kembali membuang muka, "Hmph!"

"Kau tidak mau menjabat tanganku setelah aku menyelamatkanmu yang pingsan karena kelaparan dan membiarkanmu memakan apel-apelku?"

"Bukankan tadi penjual itu memanggilmu Raven?"

Dia mendesah, merasa gagal menipu laki-laki di hadapannya, "Ah, ya, ya. Aku Raven. Kalt itu namaku yang lain. Ternyata kau tidak mudah dibodohi, ya?"

"Semoga saja begitu," ujar Riel masih ketus lalu melirik pada pria itu.

Ternyata wajahnya tampan. Kedua pasang mata seperti batu amber itu memiliki tatapan tajam dan misterius. Hidungnya tinggi dan tegak lurus, sangat sempurna. Bibirnya tipis berwarna merah muda. Rambutnya yang berantakan sehitam arang membuatnya terlihat semakin keren. Jujur, Riel baru pertama kali melihat ada orang yang lebih tampan dari kedua sepupu kembarnya.

"Riel," Riel menjabat tangan pria itu.

"Heh. Nama dari abjad yang sama," Raven tersenyum, menampakan deretan gigi putihnya.

Kerutan di wajah Riel perlahan berganti menjadi senyuman karena melihat senyuman Raven. Namun tetap saja, senyuman itu tidak bisa Riel artikan dengan senyuman tulus. Dia seolah menyembunyikan sesuatu.

"Omong-omong, kenapa kau bisa sampai sejauh ini dari istana?" tanya Raven duduk di sampingnya.

"Memangnya di mana aku sekarang?"

"Masih di ibu kota Floren, tapi ini sudah jauh dari istana."

Riel menunduk dan mendesah, "Istana diserang."

"Jadi rumor itu benar? Tapi tidak ada perubahan sama sekali di tempat ini. Kudengar Raja dan anggota keluarga lainnya ditahan."

Riel mengangguk kemudian mengepalkan kedua tangan, "Ya. Hanya aku yang berhasil melarikan diri. Aku harap yang lain juga bisa lolos."

Riel tahu betul bahwa Douglas mengincar dirinya agar bisa menguasai seluruh negeri. Walaupun dia tidak pernah bertemu iblis itu sebelumnya, dia tahu suatu hari Douglas akan mengambil 'itu' kembali. Namun tidak secepat ini. 18 tahun terlalu singkat dan Riel belum sempat menikmati hidup sepenuhnya.

"Tapi... jika dibiarkan terus, kegelapan akan menguasai tempat ini, kan?" gumam Riel.

Raven angkat bahu tidak peduli, "Yap, kau benar. Tapi setidaknya ganti pakaianmu itu," lalu berjalan ke kamar. "Kau akan terus memakai piyama?"

"Tapi, aku tidak ada pakaian lain selain i--"

Tiba-tiba Raven melemparkan pakaian tepat ke wajah Riel. Riel berkedut sebal, namun pria itu tidak peduli. Raven menuju dapur dan Riel beranjak dari kursi, menuju kamar tadi dan mengganti pakaian.

Pakaian yang Riel kenakan benar-benar sederhana dengan warna pudar yang membosankan; kaus berwarna krim yang sedikit kebesaran serta celana pendek selutut berwarna cokelat. Mulai saat ini, tidak ada lagi pakaian bagus, tidak ada lagi makanan enak, bahkan tidak ada lagi kasur besar dan empuk. Riel meratapi hidupnya sekarang dan di satu sisi dia merindukan keluarganya. Sore hari seperti ini biasanya dia berkuda bersama Ciel.

Riel keluar kamar sambil membawa pakaiannya dan mendapati Raven berdiri di ambang pintu, berbicara dengan seseorang. Sepertinya mereka terlibat dalam pembicaraan yang serius, bisa dilihat bagaimana Raven meninggikan suara kemudian membanting pintu.

"Benar-benar orang yang kasar dan tidak elegan," cibir Riel sambil bergumam.

"Kenapa dengan tatapanmu itu?" tanya Raven galak.

Riel menggeleng cepat, "Tidak ada apa-apa."

Raven menarik napas untuk menenangkan diri. Setelah emosinya mereda, dia mengulurkan tangan. "Berikan pakaian kotor itu padaku."

Riel menatap pakaiannya lalu beralih pada Raven dengan heran, "Untuk apa?"

"Dicuci, tentu saja," jawab Raven mengambil piyama itu. "Jubahmu juga."

Riel menggenggam jubah yang masih bergantung di punggungnya, "Tidak. Kau akan mencurinya!"

"Hah? Enak saja kau menghakimiku seperti itu," Raven merengut dan dengan enteng melanjutkan ucapannya. "Aku tidak akan mengambilnya karena tidak menarik sama sekali."

Riel melepaskan jubah sambil bersungut-sungut, "Jangan kau jual!"

"Tentu saja tidak, bodoh," ujar Raven mengerang untuk kesekian kali lalu menuju pintu.

"Bo--'Bodoh' kau bilang?! Dimana sopan santunmu?!" seru Riel mengikuti Raven yang tidak mempedulikan omelannya sama sekali.

"Oi, Ramiro!" panggil Raven pada seorang anak kecil yang sedang bermain bersama temannya di samping rumah.

Anak kecil itu menoleh lalu menghampiri Raven, "Ada apa?"

"Cuci ini," Raven menyerahkan pakaian itu pada Ramiro.

"Vanya bilang, dia tidak akan mau mencuci pakaianmu lagi sebelum kau membayar hutangmu kemarin," Ramiro mengerutkan bibir. "Kau harus membayar terlebih dahulu kali ini."

"Dasar pelit," Raven merogoh saku celana lalu menyerahkan kepingan koin pada bocah laki-laki itu.

Bocah itu tersenyum, "Oke! Besok akan kuantar kalau sudah kering," lalu berlari ke rumah yang berada tak jauh dari sana.

"Aku tidak tahu kalau mencuci pakaian harus membayar," gumam Riel.

Raven menghela napas, "Inilah kehidupan yang sebenarnya, Anak Istana."

"Cih!" Riel mencibir pada Raven yang meninggalkannya begitu saja. "Eh, mau ke mana kau?"

"Mencari makanan, lalu apa lagi? Aku tidak mau ada orang yang mati kelaparan di rumahku. Tetaplah di situ, jangan kemana-mana. Kau akan menarik perhatian dengan warna rambut terangmu itu jika berkeliaran."

Riel melirik poninya lalu memegangnya. Benar juga. Jika dia keluar, maka akan menarik perhatian banyak orang. Rata-rata keturunan bangsawan memiliki rambut terang. Hanya ada beberapa saja yang berambut gelap seperti sepupunya.

Riel kembali masuk ke rumah dan duduk di kursi panjang itu lagi. Apel yang digigitnya sekali masih ada di sana, sudah berubah menjadi kekuningan. Sungguh disayangkan kalau apel itu tidak dimakan, jadi dengan senang hati Riel menghabiskannya.

*****

To be continued...

----------
Ini part 2 dari chapter 1 🤣
Maaf kepotong lagi 😂

Jangan lupa vote dan komen ya 😘

Kamis, 3 September 2020.
----------

Continue Reading

You'll Also Like

418K 29.1K 42
menikah dengan duke Arviant adalah hal yang paling Selena syukuri sepanjang hidupnya, ia bahkan melakukan segala cara demi bisa di lirik oleh Duke Ar...
589K 9.7K 11
Judul Sebelumnya : My Cold Husband Selena Azaerin, itulah namanya, walau dirinya bekerja sebagai agen intelijen negara, dia tak pernah kehilangan sif...
1.7M 134K 102
Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Thalia mengalami kecelakaa...
892K 86.5K 30
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...