After I Die

De darevestevn

106K 16.7K 566

[MYSTERY; THRILLER • END] Suatu pagi di akhir musim dingin, Avaline Ives tewas dalam sebuah kecelakaan. Itu t... Mais

• 1 • Canda Mara
• 2 • Luka Jiwa
• 4 • Teman Manusia
• 5 • Antara Lara
• 6 • Petak Umpat
• 7 • Lari Sembunyi
• 8 • Garis Singgung
• 9 • Bukan Telepati
• 10 • Seperti Telepati
• 11 • Bandar Udara
• 12 • Langit Menjelang
• 13 • Perkara Dulu
• 14 • Garpu Runcing
• 15 • Merosot Turun
• 16 • Perang Sentimen
• 17 • Formasi Berjalan
• 18 • Pikiran Ganda
• 19 • Rongga Usang
• 20 • Berat Sebelah
• 21 • Semak Hati
• 22 • Langkah Beku
• 23 • Terbujur Kaku
• 24 • Diskusi Maut
• 25 • Pupus Asa
• 26 • Pintu Masuk
• 27 • Kepik Hancur
• 28 • Tiada Batasan
• 29 • Akar Hijau
• 30 • Putih Oranye
Bukan • 31 •
Bukan • 32 •

• 3 • Hitung Mundur

5K 833 26
De darevestevn

Kepingan memori mulai menyatu sempurna, membentuk rangkaian suatu peristiwa. Gemerisik pada rekaman yang tengah diputar menghilang perlahan. Warna-warna menjadi lebih jelas, potongan tak berbentuk kian menajam, suara-suara bertambah nyaring. Kini ingatan itu telah kembali, terngiang di kepala dengan tempo lamban. Hingga aku bisa mengetahui apa yang terjadi setiap detiknya dengan detail.

Saat aku berjalan diawasi pohon-pohon hutan, sebuah mobil meluncur dari belakang. Melaju kencang, tidak memberi kesempatan pengemudinya menginjak rem. Tulang belakangku terbentur keras, menyentakkan tubuhku ke depan dengan tangan mendarat terlebih dahulu. Aspal memarut telapak tanganku hingga kulitnya mengelupas kecil-kecil. Wajahku mencium tanah tanpa perlindungan apapun. Dan tidak berhenti di sana, tetapi menyapu jalan beberapa meter ke depan. Darah tercecer dan cahaya putih mengakhiri pandanganku.

Benarkah aku sudah mati?

Banyak sekali persoalan berdesakkan di benakku, meminta jawaban. Namun justru pertanyaan itu yang keluar dari daftar pertama, kedua, ketiga, kesekian.

Aku jelas sudah mati.

Kecelakaan yang menimpaku terlalu parah dan aku tidak mungkin bertahan dalam waktu lama. Pasti jantungku berhenti berdetak saat ambulans menyerobot lampu merah dan bunyi sirenenya menarik perhatian semua orang.

Apa yang kusaksikan di rumah juga cukup jelas, bahwa upacara kematianku sedang diselenggarakan. Di tambah pulangnya ingatan yang sempat pergi beberapa waktu lalu. Aku tak tahu mengapa kenangan itu terasa sangat nyata, seakan-akan aku terus mengalaminya ketika mengingatnya. Tentang penjagalan babi itu ... aku saja tidak tahu persis bagaimana gambarannya. Terkadang kejadian yang berlangsung lima menit silam pun tidak terekam baik oleh pikiran. Barangkali karena hidupku telah berakhir. Karena aku bukan lagi seorang manusia.

Aku arwah orang mati sekarang.

Yang menjadi masalah adalah: jika aku memang sudah tiada, lalu apa sekarang? Mengapa aku masih berkeliaran di dunia ini, dunia orang-orang yang masih hidup yang tak mampu menyadari eksistensiku? Untuk apa?

Aku pernah membaca buku tentang kematian yang kutemukan di gudang dan kini sudah didonasikan. Di sana dijelaskan bahwa seseorang yang telah mati akan menetap selama 40 hari sebelum pindah ke alam baka. Mereka tinggal untuk menyelesaikan perkara yang masih mengganjal hidupnya selama di dunia. Entah balas dendam, atau mungkin wasiat. Tapi aku tidak merasa harus melakukan sesuatu untuk membuat diriku tenang di akhirat nanti.

Suara di kepalaku berbisik inilah waktu yang tersisa bagiku untuk merelakan segala yang pernah kumiliki. Kurasa itu benar. Keluarga, sahabat, orang-orang yang berpengaruh di hidupku ... takkan terasa mudah pastinya. Namun waktu yang singkat lebih baik daripada tidak sama sekali.

Tuhan masih belum mau bertemu denganku. Dia ingin menghukum hambanya yang penuh dosa ini selama 40 hari. Terkungkung penyesalan, terjerat rasa bersalah, mari kita lihat apa yang akan menderaku.

Kujawab pada diri sendiri: Ya. Aku benar mati. Dan kini hidup keduaku bakal berlangsung menyedihkan. Enam minggu ke depan, akan datang kematian terakhirku.

• •

Aku meringkuk di sudut ruangan, terjepit etalase usang yang penuh dengan kotoran. Bangunan rendah seluas 210 yard ini sebentar lagi akan roboh, sudah terlalu lama berdiri tanpa perawatan. Apalagi dinding-dindingnya keropos di makan rayap. Bagian depan kios terlalu terlihat, sinar matahari dapat masuk dan menyinari sampah daun yang tertiup angin dari kawasan hutan. Di belakang meja tinggi masih terdapat barang-barang rusak yang beberapa tahun sebelumnya pasti masih berfungsi. Ruangan dalam yang dipisahkan oleh sekat tak menarik dikunjungi, sisa makanan milik kucing atau binatang apapun yang pernah kemari berserakan di lorongnya. Jadi aku memilih tempat paling mendingan di pojok, meskipun aku yakin seluruh sisi tempat ini sudah dijelajahi tikus. Bangunan ini sungguh ditinggalkan untuk menjadi toko hantu. Tidak benar-benar dikosongkan, tidak ada yang nekat mengangkut perkakas yang tersisa. Dan ternyata alasan paling tepat toko material ini kapiran sampai sekarang adalah sebagai tempat menyendiri seorang arwah.

Aku kemari untuk bersembunyi, entah dari apa. Mencari sahabat yang banyak dibenci orang: kegelapan-bersamanya merenungi betapa mengecewakan takdir bertindak.

Seluruh tubuhku mati rasa. Aku tidak bisa merespon cubitanku sendiri, seolah yang kulakukan hanyalah imaji. Oh. Tentu saja, aku arwah. Arwah tak perlu makan, minum, tidur, serta hal-hal semacamnya. Arwah tidak bisa merasakan sentuhan fisik. Arwah tak kasat mata di penglihatan manusia. Arwah tidak memproduksi air mata, itu sebabnya aku terpuruk tapi tidak menangis. Maka kukatakan pada diriku sendiri, "Selamat datang di kehidupan baru."

Pagi ini pasti udara terasa dingin, menyusup dari celah-celah dinding. Hampir seharian aku mendekam tak berdaya―mencoba berteman dengan rasa sepi, sebab nantinya aku akan selalu sendirian. Bayangan itu membuatku takut, bergentayangan tanpa digubris seorang pun. Bisa jadi seekor anjing menyalak apabila aku mendekatinya. Bagaimana dengan hewan lain?

Aku merasa lelah tidak bisa melakukan suatu hal. Yang kukerjakan hanyalah berpikir dan berpikir lebih keras untuk meledakkan isi kepala.

Pada akhirnya kubiarkan ingatanku berkelana jauh, sangat jauh dari masa kini. Mengunjungi memori asing yang masih tersimpan rapi.

Pergilah tidur sebelum matahari bangun
Bayangkan kau berbaring di padang rumput nan hijau
Tutup matamu atau jatuhkan daun-daun
Tak perlu takut sendiri, ku menjagamu

Hewan-hewan datang, ingin berteman
Siapapun mengagumi dengkuranmu
Oh gadis kecil yang menawan
Bermimpinya jangan buru-buru

Boleh bangun asal bahagia
Tersenyumlah, jangan coba-coba menangis
Buka matamu ketika kau baik-baik saja
Jangan mencariku, aku di belakangmu, manis

Dad selalu menyanyikan lagu itu padaku. Setiap pulang bekerja, dia memangku tubuh mungilku di sofa ruang tengah. Televisi dibiarkan menyala tanpa suara. Dengan nada bercanda Mom mengadu kesulitan membuatku tidur. Kemudian Dad mulai bersiul merangkai nada-nada dasar, menambahkan lirik yang selalu berganti tiap malamnya, menjadi sebuah lagu ciptaannya sendiri. Lagu yang berhasil membuatku terlelap di pangkuannya.

Tidak. Suaranya tidak sebagus yang kau bayangkan. Biar begitu, aku merasa terhubung dengan Dad setiap kali mengingat melodinya. Entah bagaimana kenangan itu sedemikian kuat, padahal aku masih berusia tiga tahun. Kini sudah 13 tahun berlalu dan aku masih berandai-andai bisa bertemu dengannya lagi.

Sang surya hampir membumbung tinggi. Hari sudah siang ketika aku bangkit meninggalkan toko.

Kamis. Sehari setelah kematianku.

Aku tak berniat kembali ke rumah dalam waktu dekat, masih banyak orang yang akan datang mengucapkan bela sungkawa. Menyaksikan mereka bersimpati kepada keluargaku terasa berat. Aku tak sanggup dengan raut kesedihan Mom. Aku tidak suka menghadiri kematianku sendiri. Aku juga benci mendapatkan belas kasih dari banyak orang. Oh, itupun jika mereka benar-benar tulus. Aku ingin tahu siapa saja yang berpesta atas kepergianku. Tetapi itu tidak penting, bukan?

Kuputuskan untuk pergi ke markas Laskar Detektif. Aku belum sempat menandatangani surat pengunduran diri yang seharusnya dilakukan kemarin, artinya bisa saja statusku masih tertulis anggota di sana. Berita insiden yang merenggut nyawaku pastilah sudah terdengar sampai mereka. Selain ingin tahu apa yang mereka lakukan, aku perlu menjauh dari rumah sementara.

Lokasi markas agak jauh dari titik keberadaanku. Harus menyusuri empat blok ke barat daya untuk mencapai Fort Meadows Street. Aku ke sana dengan bus. 15 menit sekali bus berhenti di pemberhentian otomatis guna menurunkan penumpang sekaligus memperoleh penumpang. Kemudian kembali melaju dan berhenti di halte selanjutnya. Sistem ini memudahkanku karena tidak perlu repot-repot menghadang mereka agar bisa naik.

Aku berdiri di dekat pintu seraya mengamati para penumpang. Mereka betul-betul tidak merasakan kehadiranku. Ketika seseorang turun dan secara tak sengaja bahu kami bertabrakan, seolah tidak ada yang pernah terjadi di antara kami. Dia tak merasa tersentuh, aku pun begitu. Dan itu bukan karena aku menembusnya, arwah tidak bisa menerobos materi.

Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kali melalui jalur setapak yang membelah pemakaman umum. Lintasannya berkelak-kelok sepanjang seratus meter kurang. Melewati nisan demi nisan membuatku bergidik ngeri membayangkan diriku terkunci di bawah sana. Aku memberanikan diri melirik kesana kemari, tapi tak menemukan yang kupikirkan.

Ada lapangan bola kecil yang rumputnya hijau tua setinggi mata kaki. Lalu terlihatlah gedung bergaya modern yang berdiri megah memancarkan keindahannya, mengusir sensasi horor dari lingkungan tak terhuni sekitar.

"Ini gila tidak?" tanyaku pada Haylee saat pertama kali melihatnya. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa kagumku. Bangunan itu benar-benar memesona. Seperti jenis rumah kaum eksekutif. Serambinya berbentuk potongan separuh lingkaran, muat untuk satu set tempat mengobrol berupa kursi rotan dan meja pipih bundar.

Haylee menatapku dengan sorot penuh makna. "Yah, kurasa begitu."

Aku heran mengapa komunitas liar bisa memiliki markas-mereka lebih menyukai sebutan markas ketimbang yang lain-sebagus ini. Organisasi yang diresmikan oleh pemerintah pun sepertinya belum tentu memegang sekretariat pribadi semewah yang kulihat. Laskar Detektif tidak patut diremehkan. Orang-orang di dalamnya selalu dipastikan memiliki kapasitas memadai. Sebelum dilantik menjadi serdadu resmi, calon anggota dilatih sampai memenuhi kriteria ketuntasan. Mereka memang bersungguh-sungguh untuk menjadi penyidik sejati. Aku bisa membaca kuatnya visi misi komunitas. Sayangnya aku seringkali berpikiran kecil. Aku hanya manusia beruntung yang terseret pergaulan hingga bisa menjadi bagian dari mereka. Aku tidak seharusnya berada di sana. Tetapi semuanya sudah terjalani.

Minivan biru arbei muncul dari arah berlawanan dengan kehadiranku. Mereka menggunakan jalan samping yang terhubung langsung ke jalan raya. Decit ban yang bergesekan dengan rumput lapangan sampai ke telingaku. Mobil itu mengurangi kecepatannya dan berhenti di depan markas.

Sejumlah orang keluar menampakkan diri. Hampir semuanya mengenakan pakaian hitam. Empat remaja serta dua orang dewasa, lima di antaranya aku tahu siapa. Kurasa mereka baru saja berziarah di tempatku.

Renatta, wanita 20an yang bertahta sebagai wakil ketua komunitas, mendorong pintu dan masuk diikuti yang lain. Tak terkecuali aku.

Lampu ruang tamu dinyalakan. Penerangan di tempat ini memang perlu. Walau jumlah tingkap melebihi tiga, gorden yang menghiasi bingkai berkaca itu terlalu mewah untuk dilawan bias matahari. Aku langsung paham satu remaja yang terlihat asing itu bernama Flo, nyaris melupakannya sebab kami jarang bertemu dan dia baru saja bergabung satu pekan lampau. Kekecewaan merambat ketika tak menemukan Serro di antara mereka, berarti dia tidak menghadiri kepergianku. Kendati demikian, senang mengetahui Efra datang.

Renatta berbalik menghadap kelima anggota Laskar Detektif, mengernyitkan dahi untuk membenarkan letak kacamatanya. Semua diam memperhatikan. Sofa yang ditata serupa huruf U panjang sebelah, melingkar di sekeliling meja kaca-tampak nganggur.

"Yah, tentu saja. Ada yang harus kita bicarakan, terutama bagi anggota kosong." Wanita itu bisa dibilang kaku dalam percakapan, pembawaan formal terlalu melekat pada kepribadiannya. Renatta tergolong pendiam, tegas, dan memang berjiwa pemimpin. Dia akan berusaha tampil seprofesional mungkin. Namun, wajah sok misteriusnya membuatku tidak suka.

"Seperti yang kita ketahui, salah satu saudara kita telah tiada. Hidup Avaline Ives terenggut akibat kecelakaan mobil. Meskipun dirinya telah mengundurkan diri―dalam kurung belum resmi―, setidaknya Avaline pernah menjadi bagian dari kita. LD berduka untuknya." Aku tercekat mendengar namaku disebut. Di lingkup komunitas, kami saling memanggil dengan nama depan. Salah satu implementasi rasa kekeluargaan. "Rapat diadakan pukul tiga sore, kita bakal membahasnya lebih lanjut."

"Apakah aku diundang?" tanya Gale, pria dewasa berjanggut tipis. Secara terang-terangan dia naksir kepada Renatta, akan tetapi si wanita terlihat sukar diluluhkan. Kabar lain mengatakan Gale telah mempunyai seorang anak. Semakin sulit sudah.

"Kau tetap mengurus serdadu tahap tiga. Buat diskusi yang menarik dan ambil anak-anak yang pantas."

Pembicaraan habis di situ. Lampu kembali dimatikan, semua orang pergi dengan urusannya masing-masing. Aku sendirian, lagi.

Tenggorokanku kering, terbakar rasa panas. Mungkin emosiku meningkat sampai menimbulkan keresahan fisik. Arwah tidak seharusnya minum, tapi aku berjalan ke dapur untuk mencari sebotol limun dingin di lemari es. Sembari bertanya-tanya apakah aku bisa mengambilnya.

Bangunan ini terbilang luas namun penataannya sederhana. Kami dibuatkan jadwal piket kebersihan dengan pembagian tugas bergilir. Dengan demikian, perawatan terus berjalan.

Langkahku berhenti di ambang portal tanpa pintu yang menghubungkan dapur dengan lorong ruang duduk. Aku bersandar di sana seraya memerhatikan remaja laki-laki yang sedang menyeduh minuman. Punggungnya membelakangiku, tapi aku mengenal postur tubuhnya di luar kepala. Dengan postur tinggi dan kurus yang tidak terlalu, tubuhnya ukuran yang ideal bagiku. Keningku akan sejajar dengan dagunya apabila kami berdiri cukup dekat. Rambut hitam legamnya membuatnya sulit ditemukan di antara kegelapan. Tapi bentuk potongannya memudahkan orang-orang menebak di mana dia berada di tengah keramaian.

Aku tersenyum ketika sebuah ide melintas untuk menjahilinya. Sekalian menguji kemampuan arwahku―apa saja yang bisa kulakukan? Bisakah aku terlihat seperti hantu?

Sebelum itu terjadi, Serro berbalik badan. Tangannya menggenggam jus berwarna oranye. Dia tersentak ke belakang, membuat sebagian minumannya tumpah mengenai kaos begitu pandangannya jatuh ke arahku. Dia berkedip.

"Avaline?" bisiknya lirih dengan wajah tertegun.

"Benarkah itu kau?" Aku membelalak, terkejut atas pernyataannya, tak percaya dengan apa yang kudengar. Bibirku terkatup rapat, tidak tahu harus berkata apa. "Aku melihatmu, Avaline."

C o n t i n u e d .

Don't forget to share your mind.
Have a nice mood🍒

Dareve Stevn

Continue lendo

Você também vai gostar

26.8K 2.1K 30
~Bayangan Mafia di Balik Kerudung~ Semua bermula ketika seorang pria tampan yang terluka di sekujur tubuhnya, di temukan tidak berdaya di belakang...
208K 49.5K 80
[Pemenang Wattys 2021 Kategori Fantasi dan Dunia Paling Atraktif] Ketika dunia telah lenyap bersama sejarah jauh tertimbun berselimutkan perairan tan...
368K 47.7K 95
Judul Asli:生了豪门继承人我膨胀了(重生) Author:Orange Boat Negara:China Tipe:Web Novel Genre:Drama, Romance, Slice of Life Pada tahun kelima belas setelah salah d...
712K 100K 29
(Completed) Dunia kini berbeda. Badai datang dan tak kunjung berhenti. Salju pun mengubur seluruh kota serta seluruh kehidupan di bumi termasuk di I...