KEEP SILENT (Completed) - Ter...

By verlitaisme

37.8K 3.9K 528

Kaisar dibunuh. Pengusaha IT terkenal itu ditemukan mati tanpa busana di bathtub apartemen mewahnya. Tidak ad... More

KEEP SILENT
Cast -1
Kaisar Mati
Alibi
Otopsi
Kamu Pikir, Kamu Waras?
Selebgram
Blind Love
Bukan Orang Baik
Siapa yang Berbohong?
Damn
Pengakuan
Smoothie
D.P.R
Nama di Atas Kertas
Kamu Perlu Tahu

Langka

1.1K 204 66
By verlitaisme

Chen terbangun dengan kepala pening luar biasa. Entah bagaimana caranya dia terdampar di dapurnya sendiri, terbaring di lantai, dan tanpa pakaian. Sekali lagi matanya memejam sesaat, sebelum akhirnya bangkit untuk duduk.

Dapur ini sungguh berantakan, botol wine kosong di meja, gelas berkaki tinggi yang yang posisinya tidak berdiri tegak, melainkan teronggok setengah pecah. Plasik-plastik pembungkus makanan ringan yang berhamburan di mana-mana.

Kening Chen mengernyit, bangkit berdiri sembari mengomel sendirian. Dia sama sekali tidak mengingat kalau semalam dia mabuk. Sendirian? Sontak ia menunduk, menjelajahi tubuhnya sendiri yang tidak mengenakan selembar pakaian pun, dan memaki.

Diusapnya wajah dengan kasar, tadinya ia hendak melangkah ke arah kamar tidur untuk mandi dan berpakaian. Namun, ponsel yang teronggok di meja marmer menarik perhatian. Diraihnya ponsel dan memeriksa history panggilan.

Ada dua nomor yang muncul, nomor-nomor yang membuatnya mengernyit.

Nyaris saja ponsel lepas dari tangannya saat tiba-tiba sebuah panggilan masuk, nama Anita segera tertera pada layar. Cepat disentuhnya layar untuk menjawab.

"Ya!" Tanpa disadari suaranya meninggi.

"Chen?"

"Siapa lagi? Memangnya kamu mau menelepon siapa?" Chen menjawab seraya melangkahkan kaki ke arah kamar, menuju kamar mandi di dalam sana.

"Maaf. Habis, biasanya suaramu tidak pernah setinggi barusan."

Chen menghela napas, menyadari kalau dirinya tadi kelewat terkejut sehingga menjawab panggilan dengan cara tidak pantas.

"Maaf," Chen meraih bath robe yang tergantung dibalik pintu kamar mandi, "ada apa?" tanyanya sambil berusaha mengenakan jubah mandi seraya melangkah mendekati ranjang.

"Aku rasa Zea mengetahui sesuatu mengenai seseorang yang mengidap DPR. Entah info dari mana, tapi semalam dia ke rumah sakit, membawa sebuah nama padaku."

Chen yang baru saja berhasil memasukkan sepasang tangan pada bath robe-nya, mendadak terdiam.

"Chen?"

"Apa benar ada orang seperti itu di negara kita?"

"Memangnya kamu tidak tau?"

"Kenapa aku harus tau?"

Tawa Anita bergema di ujung telepon, membuat telinga Chen sakit. Diletakkannya ponsel di antara telinga dan bahu, sementara tangannya berusaha mengikat tali di pinggang.

"Lucu?" Chen sambil mendudukkan diri di pinggir ranjang.

"Maaf." Anita menghentikan tawa. "Bagaimana kabar Puri?"

"Mengapa kamu menanyakannya?"

"Aku hanya khawatir."

Kening Chen mengernyit, kemudian memaki dalam hati. Diputusnya panggilan tanpa pamit. Jantungnya berdentum-dentum, mendadak khawatir akan keselamatan Puri. Bagaimana jika keselamatannya terancam hanya karena Zea mengetahui kalau dia pernah jatuh cinta pada Puri? Sindrom yang dialami Zea bisa saja membuat detektif itu gelap mata.

Cepat dia menyambung panggilan ke Zea.

"Ya?" Suara yang menyahut terdengar seperti orang setengah sadar.

"Kamu belum bangun?"

"Chen? Aku sudah bangun, ada apa?"

"Kata Anita kamu ke rumah sakit semalam? Kenapa enggak ajak aku?"

"Karena ini tidak berkenaan dengan mental, Chen ...."

Chen menghela napas berat sebelum bertanya, "Apa ada kaitannya dengan seseorang?"

"Seseorang?"

"Puri ... misalnya?" Chen mengucap tiap kata dengan hati-hati.

"Apa kamu ingin aku ke rumah sakit jiwa sekarang dan membunuh perempuan itu?" Suara Zea tidak lagi terdengar sesantai tadi.

"Ah, bukan begitu, Ze." Chen berusaha mengoreksi ucapan, sepertinya dia sudah membangunkan rasa cemburu si detektif, dan ini bukan hal yang bagus. "Tetapi aku rasa ini tidak ada sangkut pautnya dengan dia bukan? Karena Puri memiliki sidik jari di tangannya."

"Apa kamu ingin aku benar-benar mendatangi perempuan itu, lalu membunuhnya?"

"Kenapa kamu jadi sinting begini, erotomanian?" Chen mendengkus.

"Padahal kamu juga suka, akui saja!" Zea terdengar percaya diri.

Sontak Chen menjauhkan ponsel dari telinga, memandang benda pipih itu seakan jijik. "Sinting!" serunya, lantas memutus panggilan.

Semoga saja benar apa yang dikatakan si detektif. Semoga saja dia tidak akan melakukan hal buruk terhadap Puri.

Tetapi, Chen tidak tenang. Hatinya tidak akan terpuaskan apabila dia tidak memastikan sendiri keadaan Puri. Bisa jadi dia tidak lagi memiliki rasa berlebihan terhadap perempuan itu, tapi perasaan bersalah selalu saja melingkupi hatinya. Sejak dulu, sejak dia berusaha memisahkan perempuan itu dari Kaisar.

Maka di sinilah Chen berada, di sebuah rumah sakit jiwa di mana dia menitipkan Puri.

"Pak Chen!" Seseorang perawat bahkan sudah menyapanya sebelum dia tiba di meja informasi. Chen menoleh, dia mengenal perawat itu. Namanya Rika, perawat yang dibayarnya khusus untuk menjaga Puri. "Mau menjenguk Puri? Mengapa tidak berkabar terlebih dahulu?" Rika bertanya saat sudah berdiri di hadapan Chen.

Chen menyungging senyum. "Tadinya nggak niat jenguk, tapi mobilku malah berbelok ke sini."

"Apa ini yang dinamakan cinta?" Rika terkekeh menggoda.

Chen merengut, berpura-pura kecewa dengan apa yang dia dengar.

"Itu bercanda, Pak. Aku paham. Perasaan seorang Kakak ke adik, 'kan? Mantan pasien. Begitu?" Rika berbisik.

Chen kembali mengulas senyum. Senang karena perawat itu masih ingat dengan penjelasannya mengenai hubungannya dengan Puri. "Benar. Jangan lupa itu ya ...." Chen balas berbisik, lalu keduanya tertawa.

"Mau ketemu Dokter Cato? Dia baru saja meresepkan tambahan dosis untuk Puri."

"Dosis? Benzodiazepin atau lorazepam?" Tiba-tiba Chen merasa khawatir. Apa halusinasi yang dialami Puri menjadi semakin parah?

"Keduanya," jawab Rika.

Chen menghela napas. "Aku akan bertemu Puri lebih dulu, baru Cato. Minta dokter sialan itu untuk menungguku." Bergegas ia melangkah menyusuri lorong yang akan membawanya ke kamar Puri. Kamar terujung, kamar terbaik. VIP.

Chen berhenti sejenak di hadapan pintu yang tertutup. Ada Puri di dalam sana, yang mungkin tidak mengenalinya lagi. Atau jika pun kenal, mungkin akan meledak karena membencinya. Bagaimana gadis itu tidak membenci dia yang membuatnya terdampar di sebuah rumah sakit jiwa?

Chen ingat sekali hari itu, saat Puri berontak untuk dibawa. Hanya saja, dia mejadi terlalu sering histeris, berhalusinasi parah tentang Kaisar, kekasihnya yang sudah mati. Hanya itu cara yang terpikir oleh Chen, karena sesi konsultasi tidak lagi berhasil.

Perlahan psikolog itu meraih kenop dan mendorong pintu terbuka. Seorang perempuan dengan atasan dan celana panjang biru, terlihat terduduk di atas ranjang. Itu Puri. Gadis itu segera menoleh ke arah Chen dengan senyum mengembang.

"Apa kamu menanti seseorang?" Chen berjalan mendekat, merasa bersyukur karena sepertinya suasana hati Puri sedang baik.

"Aku nungguin kamu ...." Senyum itu terlihat tulus.

Chen menghentikan langkah dengan segera, dadanya berdesir. Menyenangkan rasanya mengetahui kalau gadis itu tidak melupakannya, juga tidak marah.

"Aku merindukanmu," Puri merentangkan kedua tangannya, "Kaisar ...."

Seakan ada panah yang menghunjam jantung, kesenangan tadi sirna seketika. Kedua bahu Chen segera lunglai di sisi tubuh. Sepertinya, Puri sedang berhalusinasi lagi.

"Kaisar, sayang ...." Puri menggerak-gerakkan kedua tangan, meminta siapa pun itu yang ada di benaknya untuk mendekat.

Dengan enggan Chen mendekat, duduk di sisi ranjang yang jaraknya cukup dekat. Telapak tangan Puri mengusap wajah Chen, lelaki yang saat ini mungkin tampak seperti Kaisar di matanya.

Chen berkali-kali menghela napas, membiarkan tangan lembut itu mengusap pipinya berkali-kali. Lagi pula, dia bisa apa?

"Tadi malam seseorang meneleponku. Perempuan." Puri menarik tangannya dari wajah Chen, wajah penuh senyumnya berubah menjadi sangat serius.

"Telepon? Kamu memiliki ponsel?" Chen mengerutkan kening. Dia sudah melarang Rika untuk memberikan ponsel pada Puri, tapi barusan Puri bilang ada seseorang meneleponnya?

Puri menggeleng. "Rika meminjamkannya padaku," katanya.

Chen kembali menghela napas. Bisa-bisanya Rika menyalahi aturan yang ditetapkannya. Namun, di sisi lain Chen pensaran.

"Siapa yang meneleponmu?"

"Perempuan. Dia tertawa keras sekali." Puri memeluk dirinya sendiri, wajahnya seakan ketakutan. "Dia bilang kamu sudah mati. Katanya, "Kaisar sudah kubunuh! Rasakan!"" Mata Puri membelalak, jelas sekali rasa takut sedang menguasai.

Chen melihat Puri mulai bergetar hebat, amarah dan ketakutan terlihat jelas dari wajah perempuan itu.

"Katanya, kamu sudah mati! Kaisar mati! Kaisar mati!" Puri mengulang-ulang ucapan seraya menjerit.

Chen segera naik ke ranjang, menekuk kedua tangan Puri ke dada, menyilangkan kedua tangan itu untuk menyentuh kedua bahu yang berlawanan. Telapak tangan kanan di bahu kiri, demikian sebaliknya tangan kiri di bahu kanan. Kemudian, dipeluknya tubuh mungil itu. Erat. Salah satu tangan Chen menekan tombol di sisi ranjang.

"Tenang, Puri ... tenang."

"Kaisar mati! Kaisar mati!" Puri menjerit dengan suara yang melemah. Tidak lama, pintu terbuka, bersamaan dengan beberapa perawat yang masuk.

***

"Aku mau mengganti Rika dengan perawat yang lain. Tolong diatur." Chen berbicara dengan jemari yang mengetuk-ngetuk meja. Di hadapannya seorang dokter berusia sekitar pertengahan 40, menurunkan kaca matanya hingga di cuping hidung. Menatap Chen dengan senyum kasihan.

"Hanya Rika yang bisa tahan dengan kelakuanmu. Dia nyaris tidak pernah berbuat kesalahan. Sudahlah, terima saja." Dokter itu terkekeh.

Chen menghentikan pekerjaan jarinya, menatap tajam ke arah Cato, si dokter kejiwaan. "Puri jadi semakin bertambah parah? Kamu menambahkan dosis obatnya, bukan?"

"Dia tidak bisa menerima kenyataan, kalau kekasihnya meninggal dunia. Ini melelahkan. Aku juga tau kalau dia kelelahan. Tapi segala hal harus dihadapi, bukan dilupakan." Cato mengangkat kaca matanya, sehingga berada pada posisi yang benar. "Bagaimana keadaanmu?"

Chen melempar pandangan ke arah lain. Jika berbicara dengan Cato, sudah pasti rahasianya juga akan diubek-ubek. Dokter ini sudah terlalu banyak tahu.

"Ayolah, kita sudah bersama selama tiga tahun. Aku hampir tau semua hal tentang kamu." Cato meringis. "Apakah kamu sudah bisa berkeringat sekarang? Genggaman pada benda-benda di sekitar apakah sudah lebih mengerat? Atau gelas sampanye masih sering terlepas dari tanganmu?"

Chen memejamkan mata seraya menarik napas panjang dan dalam.

"Ini langka ...."

"Sudahlah, Cato!" Chen memperingatkan, matanya terbuka lebar, sementara dadanya berdebar kencang.

"Butterfly hug! Do it!" Cato menunjuk ke arah Chen, memerintah dengan tampang serius.

"Aku tidak memiliki gangguan emosi!" Chen meradang.

"Tapi sekarang kamu sedang emosi." Wajah serius Cato berubah menjadi cengiran, membuat Chen mendengkus lelah. Usia mereka bahkah terpaut lebih dari 10 tahun, tapi usia memang tidak menjamin kedewasaan seseorang. "Kamu terlalu serius, Psikolog muda."

"Semua orang di sekitarku sakit jiwa, bisa jadi aku tidak. Tapi kelainan ini membuatku menjadi sakit jiwa. Ditambah aku harus bertemu kamu, ditambah ada seorang erotomania yang mengejar-ngejarku, ditambah aku harus mengurus mantan pasien yang---"

"Yang kamu cintai." Cato berdeham.

"Tidak lagi!"

"Baiklah. Pernah kamu cintai ...." Cato mengoreksi.

Chen menatap Cato dengan gusar. "Hanya kamu yang tau tentang aku, 'kan?"

Cato manggut-manggut. "Ini rahasia."

Entah mengapa Chen merasa tidak yakin. "Aku akan membunuhmu jika ada orang lain yang tau!" Chen bangkit dari duduk, kemudian berbalik hendak keluar ruangan.

"Aku bisa merekomendasikan seseorang untuk melakukan sesutu dengan garis-garis itu. Mau coba?" Cato menawarkan dengan tawa di akhir kalimat.

Chen mengabaikan, menarik pintu membuka, keluar, kemudian membanting pintu ruangan itu sekeras mungkin.

***

Chen mengendarai mobilnya dengan pelan. Sulit menambah kecepatan di saat jalanan sangat macet seperti saat ini. Suara musik tahun 90-an mengalun syahdu dari radio, seakan mencoba menghapus kegalauannya seharian ini.

Namun, tentu saja itu tidak berhasil. Meski Zea tidak melakukan apa pun pada Puri, kenyataan bahwa ada perempuan lain yang meneror Puri dengan membawa-bawa kematian Kaisar membuatnya gusar. Membuatnya ingin buru-buru mencari tahu siapa pembunuh Kaisar sebenarnya. Atau, apakah Zea yang meneror?

Heran, bagaimana bisa detektif setidak kompeten Zea diberikan kasus sebesar ini? Lalu, apa-apaan Anita menyebut-nyebut manusia tanpa sidik jari?

Ponsel Chen berdering, ditekannya earphone bluetooth yang terpasang di telinga tanpa melihat siapa yang menelepon.

"Chen, kamu di mana?" Zea.

"Dalam perjalanan pulang."

"Kamu berpergian dan tidak mengajakku?"

"Karena aku tidak ingin kamu bertemu perempuan yang hendak kamu bunuh."

"Kamu menemui Puri?"

Chen berdecak. Kesal dengan pikiran bahwa Zea yang mungkin meneror Puri.

"Apa hatimu sebegitu sakitnya mengetahui bahwa aku pernah mencintai Puri?" Chen bertanya. "Sampai-sampai kamu harus meneror gadis malang itu dengan membawa-bawa kematian kekasihnya?"

"Aku? Menelepon Puri?"

Atau ... bukan Zea?

"Bukan kamu?"

"Aku tidak terbiasa meneror dengan kata-kata. Yang aku akan lakukan ketika aku marah seperti saat ini adalah, mendatanginya langsung dan menusuknya tepat di jantung!"

"Ze---"

"Sayang, aku sedang sibuk!"

Napas Chen terhela lega. Tetaplah sibuk, Zea. Batinnya.

"By the way, aku tidak menelponmu untuk membahas Puri." Suara Zea yang sempat meninggi kembali merendah. "Aku ingin memintamu menggali informasi, Psikolog tampan."

"Itu tugasmu."

"Aku malas berhubungan dengan Dipa dan Aeera!"

"Dipa dan Aeera?"

"Dipa mengakuisisi semua saham milik Kaisar di perusahaan susu. Aku mau menyelidiki mereka secara diam-diam."

"Ada hubungannya dengan kasus Kaisar?"

"Ya. Bisa jadi, pelakunya bukan manusia tanpa sidik jari ...."

Chen otomatis menggigit bibir bawahnya. Dibaliknya salah satu telapak tangan yang sedang berada di atas kemudi, menatap miris pada telapak mulus tanpa satu pun garis. Langka.










Continue Reading

You'll Also Like

10K 1.4K 11
Ketika seorang gadis yang ibunya baru pergi untuk selamanya bertemu dengan seorang laki-laki ceria pegawai toko bunga. "Aku baru dua kali bertemu den...
15.2K 3.3K 25
[ #1 ๐˜„๐—ฎ๐˜† ๐˜ƒ ๐˜๐—ต๐—ฒ ๐˜€๐—ฒ๐—ฟ๐—ถ๐—ฒ๐˜€ ] Who will be the perfect one for Mr. Xiao De Jun?
104K 2.5K 12
ุญุณุงุจูŠ ุงู„ูˆุญูŠุฏ ูˆุงุชุจุงุฏ ๐Ÿฉถ - ุญุณุงุจูŠ ุงู†ุณุชุง : renad2315
49.8K 1.7K 32
Gwen knows her father is keeping a huge secret from her. She knows she's bionic. She knows, literally everything. But what's her father hiding? Gwen...