Under Your Spell

Par TheReal_SahlilGe

387K 72.1K 212K

Sejak keterkaitannya dengan masalah paradoks Lana, mau tak mau Sidney harus terlibat dengan urusan para Sine... Plus

01 - The Heir
02 - Becoming
03 - Something Crazy
04 - Sosok
05 - Dalam Bahaya
06 - Target
07 - Good Couple
08 - Sisi Gelap
09 - Manusia Separuh Iblis
10 - Di Balik Mantra-mantra
11 - Mereka Datang
12 - Escape
13 - Feeling Fantastic
14 - Survive [A]
14 - Survive [B]
15 - Agreement
16 - Sabotase
17 - Jangan Dibuka
18 - The Lonely Demon/Ripped Heart
19 - Sabotase Alam Bawah Sadar
20 - Mempesona
21 - Terperangkap
22 - K A T A S T R O F E
23 - Time And The Stories in Between
24 - Limbung
25 - I Got Your Back
26 - Hopless Rivality
27 - I'm sorry, I miss you
29 - Jiwa-jiwa yang Digadai
30 - Rajah dan Nektar
31 - Here I Am Trying
32 - Born To Fight
33 - Kangen, Itu Saja
34 - Moral of The Story
35 - The And [TAMAT]
36 - New Era

28 - Kekalahan Yang Manis

11.3K 1.9K 9.5K
Par TheReal_SahlilGe

Halooo. Selamat siang/sore/malam/pagi.

Widih, ini teh update again? Seneng banget ya jadi kalian. Tinggal tau baca aja. Zzz. Lol.

Apa kabar?

Sedang di mana sekarang?

Bagaimana mood kamu hari ini? Pasti meroket karena UYS up lagi. Iya.

Saya mau tanya-tanya dulu ah sebelum bikin kalian nangis di bab ini.

Jawab ya, ini perihal hidup dan mati. Hahaha. Canda.

1. Pernah ngalamin putus cinta yang menyakitkan, nggak?

2. Kamu pernah diputusin atau kamu yang mutusin?

3. Pernah diselingkuhin?

4. Pernah selingkuh? Eit, selingkuh itu bukan cuma sekadar kalian menjalin hubungan lagi dengan orang lain. Tapi chat yang kamu hapus karena takut ketahuan pasangan kamu itu juga termasuk loh. Xixixi.

5. Pernah merasa bersalah banget karena bikin pasangan kamu sedih, nggak?

6. Pernah ikhlas melepaskan, nggak?

7. Pernah berpikir kamu nggak layak buat pasangan kamu karena doi terlalu baik sementara kamu sering buat kesalahan, nggak?

8. Pernah ditinggal pas lagi berharap-berharapnya, nggak?

9. Pernah kecewa hebat, nggak?

10. Pernah terjebak di hubungan yang toksik, nggak?

11. Pernah mendapat happy ending setelah pendekatan lama, nggak?

12. Sekarang masih joms atau usah sold out?

Wuf.

Anyway, mumpung masih bulan Juni makanya saya coba sempatkan unggah. Iya tahu seneng banget kalian. Makanya awas ya kalau bab ini sepi. Nggak akan unggah cepat lagi.

Guys, bab ini pernah diomongin admin @writtenby.sahlilge di instagram. Um, saya dulu nulis ini sambil perih-perih gimana gitu perasaannya. Mungkin nanti di antara kalian ada yang sampai nangis. Atau cuma sakit hati aja. Jadi, lebih baik coba siapkan tisu or whatever.

Bab ini harus banget pakai lagu. Karena ini sensasinya bakal damage banget. Play lagu berjudul Heather by Conan Gray. Trust me, ini lagu pas banget tanpa meleset. Good cry here.

Selamat membaca. Bantu saya temukan typo.

***

*****

BAB 28

[Sidney]

Juno adalah orang yang bisa membuat gue tertawa lebih banyak, menangis lebih sedikit, dan tersenyum lebih lebar. Kami teman. Jiwa kami seolah sudah mengambil perjanjian di alam ruh jauh sebelum kehidupan ini, bahwa kesejatian pertemanan kami akan sekuat itu di kehidupan nanti. Gue masih ingat waktu pertama kali kami berdua kenal. Aneh dan bodoh dan super dan luar biasa. Sebuah insiden yang mungkin nggak akan pernah dilupakan anak Nuski seangkatan, dulu.

Gue ingin berteriak sekencang keheningan tentang betapa bahagianya dia kembali. Gue tahu, segalanya dalam hidup gue sedang dalam kekacauan yang hebat. Sebelum ini gue merasa rumpang dan kehilangan navigasi. Kepada siapa pun rasanya masih nggak bisa tepat buat cerita dan mengadu. Namun ternyata, gue cuma perlu seorang teman untuk melepaskan semua beban itu. Teman bukan sembarang teman. Tapi teman yang tepat.

Memiliki satu teman yang sejati rasanya luar biasa. Harta karun di garis X sebuah peta. Seperti kata sebuah kutipan, true friends are never apart, maybe in distance but never in heart. Itu benar. Kedatangan Juno seolah mengembalikan sisi gue yang sebenarnya. Bukannya memang harus seperti itu? Teman terbaik adalah dia yang bisa memunculkan sisi aslimu dan bukan sisi yang dibuat-buat?

Sejenak gue lupa rumah dan semua masalah yang sedang gue hadapi. I don't know, but I feel everything will be alright since this guy came back to the earth.

"Ready?" kata Juno. Dia sudah berdiri di tepi gedung dengan sayapnya yang membentang siap mengepak. Dia mengajak gue untuk berlawatan di angkasa. This is like all human's dream. Flying around in the sky with bestie and to set free.

"Sayap lo jelek," ledek gue.

Nggak. Sayap Juno benar-benar luar biasa. Seperti tidak bisa disentuh karena bukan fisik. Berwarna putih dengan kombinasi rona merah jambu dan keemasan. Ada banyak sekali kerlip seperti bintang dan seolah semua angkasa tertuang di sana. Sayapnya bukan seperti bulu burung. Tapi susunan nebula yang tersebar di antaranya angkasa. Juno memilik aroma yang asing. Aromanya maskulin, lembut, mahal, dan elegan di saat yang sama. Gue lebih senang menyebut aroma suci. Entah suci dalam artian apa.

Gue nggak pernah menduga akan ada manusia semacam Juno. Dia punya takdir yang ditulis oleh Tuhan dengan megah. Meski gue tahu di balik keindahan itu, tersimpan perih patah hati yang berkeping-keping. I know my guy. Dia orang yang sangat filantropis dan setia. Juno seperti pinguin -yang hanya akan jatuh cinta satu kali seumur hidup. Dia orang yang percaya bahwa cinta itu satu dan tak terbagi. Namun sayangnya, kini cintanya entah ke mana.

Apa mereka putus? Apa mereka berantakan? Apa mereka hanya membuat jeda? Gue nggak tahu. Mereka terlalu indah untuk selesai. Mereka terlalu fantasi untuk dianggap biasa. Mereka adalah dua manusia yang memegang waktu. Ada banyak rahasia di mata Juno. Dia belum menceritakan semuanya. Mustahil dua tahun pergi tanpa terjadi sesuatu. Lima kali nyaris mati? Pertikaian macam apa yang sudah dia lalui? Cintanya pergi. Perselisihan sehebat apa yang sudah terjadi?

Juno menoleh ke arah gue. Angin berembus menggerakkan rambut-rambut pendeknya. Matanya sayu berkantung. Seperti tidak pernah tidur selama berhari-hari. Drunken eyes. Seolah dia sedang memikirkan seluruh dunia. Matanya menyembunyikan terlalu banyak luka yang nggak semudah itu untuk diuraikan dengan bahasa atau pun rumus matematika.

Juno bukan cowok yang seperti gue atau kebanyakan. Dia si Jenius yang penuh dengan filantropi. I mean, he is cool. Dia orang yang paling bisa menyembunyikan patah hatinya untuk tidak menjadi obrolan bersama. Kisahnya adalah rahasia. Dan gue merasa bangga menjadi bagian dari kisah hidupnya. Gue bangga ditakdirkan untuk berteman dengannya.

Gue membentangkan sayap gue yang kokoh dan kuat. Iblis di dalam sana tak banyak bereaksi. Gue nggak tahu, apa mungkin itu karena energi Juno beresonansi sedemikian rupa?

"Lo nggak akan bisa mengimbangi laju terbang gue. Jadi gue akan bergerak dengan mode paling lambat," ujarnya, "tapi itu sepertinya masih terlalu cepat buat lo. Jadi, sebisa mungkin lo harus mengejar gue."

"Ini nggak akan lama, kan? Karena ada yang nggak beres di rumah."

"Tenang aja. Nggak sabar amat mau putus sama pacar," ucapnya terkekeh.

Duh, it's ain't like that. Gue termenung sesaat. "Lo yakin gue harus mutusin Sahnaz?"

Juno tidak langsung menjawab. Dia kembali menatap lurus ke hamparan kota yang berantakan dan lengang. "Gue lebih suka menyebutnya lo membebaskan Sahnaz."

"Bukan karena biar gue sama-sama kembali menjomlo kayak lo, kan?"

Juno mengedikkan bahu. "Meh. Gue nggak kepikiran itu. Tapi boleh juga," dia menjeda sesaat, "You know, an old say, sometimes the hardest thing and the right thing are the same."

Gue mengernyitkan dahi, "Maksudnya?"

"Hal yang tepat kadang datang dari pengambilan keputusan yang berat. Lo tahu Sahnaz jelas-jelas teralihkan sama cowok lain. Lalu kalau lo masih berusaha menggenggam Sahnaz lagi pasti segalanya nggak akan sama seperti sebelumnya. Lo akan terus terbayang semuanya," cara dia berbicara meyakinkan meski penuh ironi.

"Tak ada alasan untuk mempertahankan adalah alasan terbaik untuk melepaskan, Sid. Ada banyak situasi dalam cinta yang terlalu percuma untuk diperjuangkan keras-keras. Ini bukan tentang bagaimana kita menjadi setia atau tidak setia pada cinta itu sendiri. Dan cinta memang gila. Tapi kita harus tetap waras dalam setiap keputusannya."

Just waw. Gue terbungkam. Kalimatnya tertata dan mengenai pada setiap poinnya.

"Gue tahu kok," Juno menoleh ke gue lagi, "Pasti di dalam diri lo sekarang penuh dengan pertikaian antara kenyataan yang telah lo ketahui dengan sekian banyak pertentangan yang lo rasakan. That's the worst battle, Sid. Dan kemenangan paling hebat dari pertikaian itu adalah ketika lo benar-benar berani untuk merelakan apa yang nggak bisa lo ubah lagi." Lalu dia kembali menatap ke depan. Menarik napas.

"Sahnaz, Timoty, bahkan Lexi. Mereka bukan sekumpulan kebetulan dalam hidup lo. Di dunia ini nggak ada yang namanya kebetulan. Yang ada hanya momentum di mana manusia, tempat, dan waktu sedang bertemu pada garis singgung yang sama dan berkaitan menguntai sebuah pergelaran mahadahsyat yang kita sebut sebagai takdir. Dan lo harus belajar menerima akhir dari apa pun itu kalau lo mengharapkan sesuatu yang baru untuk dimulai. Itu rumus merelakan."

"Dan itu rumus yang lo pakai juga untuk menghadapi ketidaktahuan lo akan keberadaan Lana?" tanya gue begitu dia selesai.

Tapi dia tidak menjawabnya. Alih-alih malah menjatuhkan dirinya dari puncak gedung, sebelum kemudian mengendalikan sayapnya melesat sangat cepat menuju ketinggian di atas awan dan melampauinya.

Gue tanpa menunggu langsung mempersiapkan sayap gue dan mengepak kuat mengejar. Dalam hidup, gue nggak pernah merasa patah dan semangat di saat yang sama. Gue tersenyum lebar.

Di atas sana awan berlubang bekas lesatan Juno. Benar-benar tampak menarik karena lubang itu memberi jalan sinar matahari yang tersembunyi di baliknya. Gue terus mengepak sampai tinggi meski susah untuk menyamai kecepatan Juno. Hingga akhirnya gue berhasil menembus lapisan awan itu, di atas sana, cahaya kehidupan bersinar terang benderang. Terang di atas gelap. Juno mengapung di atas lautan awan yang membentang sejauh mata memandang.

Mungkin hanya di kehidupan gue iblis dan malaikat bersahabat dekat.

Gue mendekati Juno. Dua sayap yang berbeda sedang berusaha menyeimbangkan diri di atas ketinggian. Kegelapan dan harapan.

Di atas sini angin berkelabat kencang menggeser gumpalan awan. Suhu bahkan lebih dingin dari di bawah sana meski matahari terlihat. Ketinggian memang indah, tapi juga dingin dan penuh guncangan. Seperti posisi keberhasilan seorang manusia dalam urusan apa pun.

Gue menoleh ke sisi Juno. Ekspresi wajahnya seperti tenang dan menang. "Harapan masih ada," ujarnya.

"Ini pertama kalinya gue terbang setinggi ini," gue bersuara sambil turut menatap sekeliling, "Selama ini lo menikmati yang beginian?"

"Dan sendirian," Juno menoleh ke gue, "It's nice I finally having a partner here."

Gue tersenyum lebar. "Mungkin kita harus sering melakukan ini."

Sekali lagi dia mengabaikan omongan gue. "Lo harus lihat ini," ucapnya. Lalu dia membuat gerakan sayap seperti mendayung. Tak lama setelahnya di depan kami terbentang macam-macam akses menuju entah dimensi atau apa. Semacam sebaran portal yang jumlahnya banyak dan itu mengelilingi kami seolah kami sedang berada di ruang mega CCTV yang memantau pergerakan semesta dari zaman ke zaman. Setiap aksesnya menayangkan kehidupan yang bermacam-macam berdasarkan sebaran waktu.

"Waw," gue terpukau.

Seketika suara di sekeliling bukan lagi desing angin. Tapi gemerincing aneh yang saling sahut menyahut dari segala arah.

"Gue perlu satu tahun untuk memahami ginian," kata Juno dengan senyum yakin.

"Jadi lo bisa melihat semuanya?"

"Nggak semuanya. Tapi banyak," jawabnya, "Itu masa depan," tunjuk Juno pada sebuah portal akses yang paling besar ruangnya, "Cuma mau ngasih tahu ke lo kalau semua kekacauan ini pasti berakhir."

"Harusnya lo tahu kan cara menyelesaikannya?" tanya gue penasaran. Gue mikirnya kalau Juno bisa menjangkau masa depan, mestinya dia juga bisa meraba solusi untuk katastrofe yang terjadi sekarang. Semacam win-win solution.

"Um. Bisa sih gue cari tahu. Tapi ada sesuatu yang harusnya itu tetap terjadi. Gue merasa seseorang sedang bergerak menyelesaikan inti permasalahannya sekarang, Sid."

"Maksud lo?"

"Ada seseorang atau beberapa yang sedang berusaha menyelesaikan bencana ini."

"Ya jelas, itu kalian para Sinestesian, kan?"

"Kami melawan, Sid. Rencana sudah dijalankan sekarang. Tim gue sudah menyebar melaksanakan tugasnya masing-masing. Tapi, gue kenal satu orang lagi yang katanya tahu solusi dari bencana ini."

"Who then?"

Lagi-lagi dia tidak menjawab dan malah mendayung sayap sekali lagi sampai semua hamparan portal hilang. "Oke, cukup," katanya, "sekarang lo harus turun ke bawah dan selesaikan semuanya."

Byarrr. Gue dikembalikan pada kenyataan lagi.

***

*****

[Timothy]

Calon mantan pacar Sahnaz, di luar dugaan gue. Dia iblis pencemburu yang ternyata nggak bisa diremehin. Dammit!

Saat gue masuk ke rumah itu, Sahnaz lagi nangis di sofa. Dia bahkan langsung menoleh begitu gue membuka pintu karena mengira yang baru saja masuk adalah Sidney. Kami berpandangan sebentar. Gue berdiri di dekat pintu. Sahnaz akhirnya turut berdiri dan berjalan mendekat ke arah gue.

"Tim, bawa aku pergi. Aku mau ikut kamu aja," kalimat pertama yang diucapkan Sahnaz. Wajahnya berderai air mata.

Gue tercenung langsung. Padahal gue niat datang ke sini untuk menyelesaikan semuanya karena Juno meminta agar gue berpikir jernih pada permasalahan ini. Lalu sekarang apa?

Sahnaz berjalan lebih dekat dan langsung memeluk gue kencang-kencang sampai tubuh gue terdorong ke belakang. Dia lantas meminta agar diajak keluar rumah saja karena dia nggak nyaman ada di rumah itu dan mulai merasa aman ketika gue datang. Kami duduk di undakan teras rumah Sid kemudian.

Sahnaz masih terisak parah di dada gue. Gue bingung karena semua ini penuh dengan pertentangan yang di luar rencana. Tapi Sahnaz meminta tolong agar gue membawanya seolah sebelum ini gue sama dia tidak ada berantem. Padahal, ya gitulah, kenapa dia sampai meminta ke rumah ini.

"Kamu mau kan ajak aku pergi? Kamu bisa kan jaga aku biar bisa melalui semua ini? Tim?" rengek Sahnaz.

"Naz," gue beringsut mengangkat kepala Sahnaz, "Gue mau, tapi setelah apa yang gue lihat, ternyata ada yang lebih berhak dari gue."

Tapi Sahnaz malah menggelengkan kepala dan memukul lengan gue berkali-kali sambil nangis.

"Dan gue nggak mau ada perselisihan di atas perselisihan," lanjut gue sambil berusaha memegangi tangan-tangan Sahnaz yang terus bergerak.

"Naz, gue cinta sama lo, oke? Tapi-."

"Tim! Aku udah lihat Sid seperti apa dan itu menakutkan. Harusnya aku nggak pernah balik ke sini. Mulai jatuh cinta sama kamu adalah kesalahan paling benar yang pernah aku ambil dalam hidup. Kamu cuma main-main sama aku?" pukul, "Kamu bercanda sama semua kalimat manis kamu?" pukul, "Kamu nggak bisa melihat apa yang sudah aku korbankan untuk melangkah ke kamu?" pukul, "Tim! ... Aku ... mau ... ikut .... kah-muh!" isaknya terus menerus.

Gue benar-benar bingung. Gue mau tapi gue nggak bisa.

"Lo lihat gue baik-baik!" hardik gue, "Naz! Lihat!"

Sahnaz seperti baru menyadari kalau bibir bawah gue terluka.

"Gue dibanting. Dan gue nggak mau ada perkara lagi karena Juno sudah terlibat di urusan ini. Gue bisa ngasih perlawanan apa pun yang gue mau, tapi gue memutuskan untuk nggak melakukannya karena nggak ada gunanya."

Sahnaz masih menangis meski nggak sehebat tadi. "Jangan berpikir di posisi gue mudah. Gue sanggup bertarung buat lo. Namun ini rumit. Lo tahu persis apa yang sudah lo perbuat dan itu juga menyakitkan buat gue. But somehow that didn't stop you," suara gue serak di ujung kalimat dan perasaan gue mulai membiru.

"Terus kamu mau pergi sendirian tanpa tujuan setelah ini?"

"Gue nggak tahu! Atau mungkin gue cuma mau menawarkan diri ke Wilwa untuk dimakan sama mereka karena gue merasa selalu menjadi alasan kenapa semua orang pergi!" kata gue dengan cepat karena emosi mendesak di pelupuk mata.

"You are the only person who made me love my self, while at the moment you made me hate my self too," ujar Sahnaz dengan deraian di pipi. "Kita memang memulai dengan salah. Tapi akhirnya aku tahu ini kesalahan paling benar yang pernah aku lakukan, Tim. I do love you. But, silly me, thinking you cared!"

Sial. Kenapa cewek bisa semenyerang ini kalau ngomong? Tapi enggak! Dia salah. Gue peduli sama dia. Gue cuma bingung gimana cara terbaik mengatakannya di saat seperti sekarang yang semuanya serba salah.

"Gue peduli sama lo bahkan sampai ditengah kepelikan seperti ini gue masih mau mendatangi lo untuk memperjelas," jawab gue sekenanya.

"Terus kenapa masih buat alasan?" Sahnaz masih memaksa, "aku takut. Aku siap di-judge seperti apa oleh Sid, asalkan aku bisa pergi. Dia sudah nggak bisa menerima aku sepenuh itu lagi."

"Dan gue juga harus mundur untuk menyelamatkan semuanya," sergah gue karena gue masih nggak bisa berpikir jernih.

Tiba-tiba pintu di belakang kami terbuka. Gadis kecil muncul dari balik pintu dan mengintip. Memberi tatapan bingung karena mungkin dia nggak mengenali gue atau pun Sahnaz yang tetap nggak mau menoleh ke belakang. Gue tersenyum sedikit pada gadis kecil itu. Tatapannya murung lalu dia menutup pintu.

"Lebih baik gue ajak lo ke Sid. Dia bisa mengendalikan diri dan nggak selalu terlihat seperti itu, Naz."

"Aku nggak mau, Tim! Aku sudah merasa semuanya salah. Kamu ngerti nggak sih?" tangannya memukul dada kiri gue. "Aku nggak mau di sini! Itu aja."

"Iya, tapi ayo lo ikut gue ke mobil. Sid ada di sana. Harus lo yang ngomong sendiri. Gue sudah cukup."

"Tim."

"Naz, plis jangan mempersulit," pinta gue benar-benar, "Ini nggak sulit. Gue bakal nemenin lo ngomong. Ada Juno di sana makanya lo nggak perlu khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi."

Setelah membujuk beberapa kali lagi akhirnya Sahnaz mau. Namun begitu sampai di mobil, Sidney dan Juno tidak ada. Gue memang terpikir untuk langsung pergi dengan mobil itu. Tapi gue nggak bisa. Ada banyak yang harus gue bicarakan sama Juno. Dan itu harus tersampaikan karena ini menyangkut penyelesaian bencana ini.

Ini terlihat menarik saat akhirnya Sid dan Juno datang dan seolah dari langit. Habis ke mana mereka?

Sahnaz langsung bersembunyi ke belakang punggung gue sambil memegangi lengan gue erat-erat. Ini aneh karena Sid melihat semuanya. Gue tidak tahu harus memulai dari mana. Sementara itu Juno seperti sengaja berdiri lebih jauh dari kami. Bahkan gue yakin dia nggak bisa mendengar percakapan kami nanti.

Sid menatap gue dan Sahnaz. Sayapnya sudah menyusut. Masih ada kilatan kesal di matanya. Namun alisnya yang mengendur juga mengisyaratkan dengan jelas, bahwa ini bukan yang dia inginkan. Ada cinta yang sangat sulit untuk dipertahankan, namun di saat yang sama belum serela itu untuk dilepaskan.

Kami diam cukup lama. Satu-satunya suara yang terdengar hanya isak tangis Sahnaz.

"Naz, udah," kata gue lirih berusaha melepaskan cengkeraman Sahnaz dari lengan gue. Dan Sid melihat dengan matanya sendiri betapa Sahnaz malah nggak mau lepas dari gue. Ini membuat gue bingung harus bagaimana.

Sid menatap ke arah Sahnaz yang masih sembunyi. Mulutnya seperti ragu-ragu ingin mengatakan sesuatu.

"Aku selalu pengin kamu bahagia meski itu berarti ketika tanpa kehadiranku, Naz," kata Sid yang sepertinya dikuat-kuatkan mengatakan itu.

Gue menunduk. Sahnaz menangis sesenggukan di punggung gue dengan suara ditahan-tahan. Gue merutuk dalam hati karena sadar ternyata ini nggak semudah itu.

"Aku selama ini sudah berusaha keras," suara Sid bergetar, "berusaha jadi yang kamu inginkan. Berusaha jadi pacar yang nggak memalukan untuk kamu kenalkan ke temen-temen kamu."

Damn.

"Tapi aku sadar nggak pernah memenuhi kata cukup untuk kamu," kata Sid lagi yang direspons sebuah gelengan oleh Sahnaz. Gue merasakan gelengan itu di punggung. "aku berusaha memahami ini. Dan kamu nggak sepenuhnya salah. Kamu memang harus memilih yang terbaik."

Seketika gue mendongakkan kepala ketika mendengar itu. Jantung gue mencelos.

"Aku tipikal orang yang memberi kesempatan tanpa batas," Sid mengatakan itu dengan mata berlinang, yang pada jedanya linangan itu meluncur. Sekarang gue adalah segaris retak di antara dua hati yang patah. "Jadi ketika ... akhirnya aku menyerah untuk kamu. Please understand that it took everything ... everything that was left inside of me to let you go for someone new and someone you falling for." Mata Sid memerah jelas dengan parit-parit basah. Bibirnya bergetar dan sebagai cowok gue sampai ikut merasakan itu.

Seperti ada gunung es yang melebur di dalam diri gue. Menyaksikan semua ini membuat gue tak ingin sampai ikut terhanyut. Tapi semua tekanan dingin yang ada di sini sudah cukup untuk membuat mata gue turut mengembun.

Sahnaz semakin terisak di belakang gue tanpa mengatakan apa pun.

"Aku mungkin bisa mengusahakan untuk tetap mencintai kamu setelah semua ini. Tapi jauh di dalam diri kita pasti tahu itu nggak akan sama lagi," kata Sid sekali lagi sebelum dia beralih menatap gue.

Kemudian telunjuk Sid mengacung lurus ke arah gue. Telunjuk yang gemetar. Gue menatap lurus padanya dengan dada bergemuruh, perasaan yang buyar, dan mata berkaca-kaca. Ini benar-benar sulit karena gue mulai tahu akan seperti apa ini berakhir.

Lalu dia maju satu langkah sampai menyentuhkan telunjuk itu di dada gue. Dia ingin mengatakan banyak hal. Mulutnya hanya bungkam menahan semua umpatan dan barangkali makian kasar buat gue. Dia hanya mengetuk-ngetukkan telunjuknya di dada gue sebanyak empat kali. Namun kemudian dia menepuk pipi gue pelan namun sedikit bertenaga.

"She's yours," pasrah Sid ke gue dengan suara tersendat.

Lalu dia melangkah pergi dengan cepat ke arah rumahnya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Tapi gue seolah bisa mendengar semua yang belum dia katakan.

Gue memutar badan namun tepat berhadapan dengan Juno yang menatap dari jauh. Pada saat yang sama air mata gue benar-benar jatuh setelah penuh pertentangan batin menahan semuanya. Juno menggelengkan kepala dari jauh bermaksud untuk mencegah gue. Lalu dia menggerakkan dagunya mengisyaratkan agar gue pergi. Dia tahu gue hanya akan pergi ke rumah Sahnaz.

Kebimbangan gue berakhir pada sebuah anggukan. Lalu gue membalik badan untuk kemudian memeluk Sahnaz. Dia menangis lebih hebat dari sebelumnya. Gue mengusap bagian belakang kepalanya.

"Maafin gue sudah cinta sama lo," lirih gue tak jelas.

Sahnaz terisak-isak menyembunyikan wajahnya di dada gue. Lalu gue menuntunnya lunglai untuk masuk ke dalam mobil. Gue membantunya memasangkan sabuk pengaman. Gue mengecup keningnya sekali lagi dengan perasaan getir. Gue merasa hilang arah. Semuanya terasa benar dan salah di saat yang sama.

Sebelum gue mulai menyalakan mobil. Dari jauh gue melihat Juno menganggukkan kepala ke gue. Lalu dia melangkah pergi ke arah rumah Sidney. Gue mengembuskan napas sesak yang tertahan. Sahnaz bersandar lemas pada pundak kiri gue masih terisak hebat. Dalam gerakan sigap, gue menyalakan mobil dan membawa dia pergi.

Ini bukan kemenangan. Hanya kekalahan manis yang tetap pedih untuk dijalani.

***

*****

Sakit banget reeeeeek.

Huhuhu. Bingung ya mau memihak siapa.

Apa komentar kamu untuk bab ini?

Apa perasaan kamu selama baca bab ini?

Bab ini banyak yang quotable banget dialognya. Tag saya ya kalau mau jadiin instastory.

Akhirnya satu telah menemukan titik kejelasan meski penuh dengan pengorbanan.

Tapi guys, yang harus kalian tahu. Semua yang terjadi di antara keempat tokoh utama ini sejatinya di dunia nyata sering terjadi. Jadi ini bad romance yang sebenarnya pengin saya tulis sefamiliar mungkin makanya saya nekat untuk mengangkatnya.

Kita memang akan sulit untuk memihak. Itu nggak salah. Itu wajar. Kita cuma perlu melihat bagaimana kedewasaan mereka terbentuk setelah belajar pada kesalahan yang telah mereka mulai sendiri.

Kalian harus belajar, lebih baik setia dari pada memulai api. Love your lover. Cintai pasanganmu. Hargai kehadirannya. Memilih untuk bersamamu adalah hal indah yang pernah dilakukannya dalam hidup.

Bye, Mas Author pamit.

See you next chapter.

Eh, masih pada mau next chapter nih? Nggak bosen sama UYS?

Uday mau tamat loh. Huhuhu.

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

21.4K 1K 9
aku siap dan menerima kesabaran yang kau lakukan..
486 98 9
"kau tau? aku sangat hancur" -Park jihoon
39.3K 6.7K 5
[CERPEN] Aku akan menceritakanmu sebuah kisah. Kisah tentang betapa kejamnya dunia ini, menggilas orang-orang dari kalangan bawah. Kisah tentang beta...
12K 1.4K 5
[Pemenang The Wattys 2018 Kategori The Originals] Imaji - Arman ingin dicintai, tapi oleh siapa dan dengan siapa? Rimba Raya - Ia anak kutukan, lahir...