KEEP SILENT (Completed) - Ter...

By verlitaisme

38K 3.9K 528

Kaisar dibunuh. Pengusaha IT terkenal itu ditemukan mati tanpa busana di bathtub apartemen mewahnya. Tidak ad... More

KEEP SILENT
Cast -1
Kaisar Mati
Alibi
Otopsi
Kamu Pikir, Kamu Waras?
Selebgram
Blind Love
Bukan Orang Baik
Siapa yang Berbohong?
Damn
Pengakuan
Smoothie
Nama di Atas Kertas
Langka
Kamu Perlu Tahu

D.P.R

1.3K 248 68
By verlitaisme

Zea ingat sekali bagaimana suara yang tadi didengarnya di ponsel. Suara mendesah yang memanggil nama Dipa-nya layaknya memuja. Suara perempuan yang terengah, sepertinya karena rasa nikmat.

Zea juga ingat sekali suara yang sangat dikenalnya, memuji lekukan tubuh, memuja desahan dengan desahan.

Zea ingat sekali, juga yakin sekali, kalau dirinya sedang dikhianati.

Ketika akhirnya dirinya berlari karena kalut demi mencari pertolongan seorang Chen, Zea ingat saat dirinya tiba-tiba membeku karena kecewa. Ada yang mengiris, ada yang patah, ada yang membuat amarahnya berkobar sampai muncrat. Sialnya, dia tidak dapat menahan semua desakan. Hingga akhirnya tubuhnya sendiri lunglai tak berdaya.

Kali ini, tetesan air matanya sungguh tak dapat dibendung. Mengalir di sudut-sudut mata.

"Apa kamu sudah sadar, Ze?"

Zea hafal betul, kalau itu adalah suara Chen. Suara khawatir yang didengarnya berkali-kali beberapa waktu terakhir.

"Zea?"

Lalu, sentuhan terasa mengusap kedua ujung matanya. Disusul dengan suara helaan napas yang terdengar sebagai ungkapan kecemasan.

"Cinta. Sungguh-sungguh memuakkan. Apakah kamu satu dari sekian banyak orang yang rela mati, atau membunuh karena dia yang kamu cintai?"

Tidak. Zea tidak memiliki keberanian untuk membuka mata. Dia seperti seekor siput yang enggan keluar dari cangkang saat ini. Dia ingin bersembunyi. Ingin menghilang. Ingin kembali merebut Dipa. Dan seperti yang Chen bilang, jiwa marahnya ingin sekali menghukum mati Aeera. Perempuan yang dipanggil Dipa dengan hikmat melalui desahan, seolah pantas disembah.

"Andai saja kamu rela berbagi denganku sedikit saja. Aku tahu bagaimana sesak ketika cinta bertepuk sebelah tangan."

Kemudian, sebuah genggaman mengisi sela-sela jemari. Chen, psikolog itu, apakah sedang menggenggam jemarinya? Meremasnya pelan, sebelum akhirnya menghadiahi kecupan di punggung telapak tangan Zea.

Tidak nyana, ada hati yang berbunga. Mengganti perasaan merana tadi, dengan kupu-kupu kecil yang menggelitik perut.

"Pasti berat bagimu ...."

Seharusnya Zea tahu, kalau sejak awal Chen sudah jatuh cinta padanya. Sejak awal, sejak kakinya menjejak ke apartemennya hari itu, dan memaki karena tempat tinggal yang sungguh berantakan.

Seharusnya dia tahu, bagaimana mungkin Chen mau menunggunya sampai tengah malam, saat dia harus memgantar makanan ke rumah Dipa. Atau Chen yang rela menyambanginya ke taman kota malam-malam.

Sesi konsultasi hari ini, pasti hanya sebuah alasan. Iya, alasan! Agar Chen bisa berada di dekatnya. Argh! Seharusnya Zea tahu itu, seharusnya dia sadar.

Remasan di jemarinya melonggar, membuat kepanikan merasuk dengan segera. Refleks, tangannya menggenggam, menahan agar genggaman itu terus berada di sana.

"Kamu sudah siuman?" Suara Chen terdengar sangat menarik saat ini.

Perlahan Zea membuka mata, menatap Chen yang sedang menatapnya dengan kecemasan yang penuh harap.

Senyum manis segera disematnya di bibir. Ah ... tidak ada yang salah dengan Chen. Lelaki ini tampan, ke mana Zea selama ini sehingga tidak menyadari kenyataan di depan mata.

"Chen ...." Zea sungguh tidak dapat menahan senyuman. "Aku ... aku ...."

Chen mengerutkan kening.

"Aku ...." Wajah Zea tiba-tiba terasa panas, ada sedikit rasa malu menguar. "Chen ... aku pun, memiliki rasa yang sama denganmu ...." Zea rasa, wajahnya benar-benar merona saat ini.

Entah apa yang terjadi, tetapi Chen terlihat sebisa mungkin melepas genggaman dari tangannya. Setelah berhasil lepas, psikolog itu pun mundur beberapa langkah.

"Sial ...," gumam Chen dengan pandangan tak percaya ke arah Zea.

Zea bangkit dari berbaring dengan susah payah, duduk di ranjang besar yang entah punya siapa. 

"Seharusnya kamu mengatakan dari awal kalau kamu menyukaiku. Jangan diam-diam mengecup punggung tanganku." Zea mengatakannya dengab tersipu, dengan riak-riak bahagia yang menggelitik perut.

"Kamu gila?" Chen menghela napas.

"Enggak! Aku dengar semua ucapanmu tadi, hanya terlalu lelah untuk membuka mata." Zea berkelit.

"Bagaimana dengan Dipa?" Chen melontarkan pertanyaan.

"Dia udah enggak berharga ...."

Chen melongo, jelas sekali kalau lelaki itu sedang merasa tidak siap dengan kejutan. Sementara entah mengapa Zea tidak bisa mengendurkan otot-otot bibir yang terlanjur mengembang. Namun, keduanya tersentak, lagi-lagi dikejutkan oleh dering ponsel Chen.

"Ya?!" Terdengar Chen menjawab dengan tergesa dan suara keras. Kemudian, keningnya berkerut, sebagaimana Zea juga turut mengerutkan kening.

Tidak lama, terlihat Chen menurunkan ponsel dari telinga. Matanya memandang Zea dengan tidak yakin.

"Ada apa?" Zea bertanya dengan penasaran.

"Anita bilang dia menemukan sesuatu yang menarik terkait kasus Kaisar. Kamu mau ke ikut ke rumah sakit?" Chen melangkah mendekati lemari dan membuka pintunya. Ditariknya mantel berwarna hitam dari sana. Kemudian berbalik sambil mencoba mengenakan mantel, tapi memaki begitu menyadari kalau Zea sudah berdiri sangat rapat dengan di belakangnya. "Sial!"

"Apa ini kamarmu?" Detektif itu bertanya sambil menatap sekitar. Takjub dengan pernak-pernik modern yang terdapat dalam ruang tidur itu.

"He'em." Chen menjawab bergumam, sambil memperbaiki letak mantel yang belum sempurna.

Zea membelakakkan mata, tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Dia benar-benar berada di kamar Chen, membuat hatinya berdebar tak karuan.

"Ini enggak seperti yang kamu bayangkan, Erotomanian!" Chen mendorong kening Zea dengan telunjuknya, lalu berjalan melewati perempuan itu ke arah pintu.

Sialnya, sentuhan pada kening membuat hati Zea kalang kabut. Kedua kakinya seakan melekat tak sanggup bergerak.

"Apa kamu enggak mau ikut?"

Suara Chen membuat Zea memutar tubuh secepat kilat. Terlihat Chen sudah membuka pintu kamar lebar-lebar. "Aku ikut!" sahutnya, lalu segera menghampiri pujaan hati yang baru.

***

Chen mengetuk pintu yang di daunnya bertuliskan nama Anita Ayudika. Tidak menunggu sampai dengan penghuni di dalamnya menjawab, didorongnya pintu terbuka dan masuk ke dalam. Zea tentu saja mengikuti rapat di belakang.

Keduanya segera disambut oleh Anita. Perempuan itu terlihat bersandar di meja kerjanya sambil mengamati berkas di tangan. Kepalanya terangkat untuk menatap tamu-tamunya yang datang.

"Kamu ikut?" Anita bertanya sambil menatap Zea.

"Aku pemilik kasus ini. Jika ini berkaitan dengan Kaisar Hengkara." Zea mendengkus, matanya menatap penampilan Anita yang tidak terlihat sebagaimana layaknya seorang ahli forensik. Dia terlalu gaya, bahkan terlalu seksi malam ini.

Bagaimana tidak? Malam ini dia memakai gaun berwarna pink dengan satu tali yang terlihat terlalu ketat membalut tubuh juga belahan dada yang rendah. Dia lebih seperti hendak menggoda lawan jenis, dari pada bekerja.

"Apa kamu akan berkencan setelah ini?" Terlontar juga pertanyaan sarkastik dari mulut Zea.

Anita mengerutkan kening.

"Pakaianmu terlihat tidak pantas." Zea menambahkan.

Anita mendengkus, seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Terlalu pendek," Zea menunjuk rok bagian bawah, "terlalu rendah ...." Ditunjuknya juga bagian dada.

Anita mengubah posisinya menjadi berdiri tegak, tubuhnya tidak lagi bersandar di meja. Sementara Zea terus menatap dengan pandangan tidak suka. Bukan apa-apa, detektif itu hanya merasa tidak suka jika ada perempuan yang--bisa jadi--sedang mencoba menggoda orang yang dicitainya.

"Apa kamu akan terus mengomentari penampilanku, Reserse? Apa tidak tertarik dengan penemuan baru yang baru saja kutemukan tentang kematian Kaisar Hengkara?" Anita bertanya dengan sedikit mengancam.

Tidak lama terdengar suara batuk. Zea menoleh, menemukan Chen yang mengepalkan tangan di depan mulut. Suara itu ternyata dari dia. 

"Kamu sakit?"

"Kamu sakit?"

Kedua perempuan itu bertanya nyaris bersamaan. Kemudian keduanya saling melempar pandang dengan tidak suka, sebelum kembali fokus pada Chen yang terlihat memijat kening yang sebenarnya tidak sakit.

"Kalian akan membuatku sakit setelah ini." Chen menjawab seraya berjalan menuju kursi yang berada di dekat Anita. Kemudian, dia duduk di sana. "Capat katakan, penemuan baru apa yang kamu temukan, Anita?"

Anita menghela napas. Ia berjalan memutari meja dan duduk di kursi kerjanya, sementara itu Zea segera duduk berdampingan dengan Chen, di kursi kosong sebelahnya.

"Dermatopathia pigmentosa reticularis ...." Anita menyebut sesuatu yang terdengar asing, membuat Zea mengerutkan kening. "Seseorang yang terlahir tanpa sidik jari."

Zea menganga, kemudian tawanya lepas. Rasanya terdengar lucu mendengar bahwa ada seseorang yang lahir tanpa sidik jari.

"Kenapa tertawa? Apa ada yang lucu?" Anita memberengut.

Zea cepat mencoba menetralisir tawanya, kemudian menoleh ke arah Chen yang sedang menatapnya dengan tatapan memohon. Entah memohon untuk apa.

"Chen ... apa kamu dengar apa katanya?" Zea mencondongkan tubuh ke arah Chen. "Manusia tanpa sidik jari? Yang benar saja!"

"Ini memang langka, Zea! Hanya sekitar dua puluh orang di dunia yang tercatat menderita kelainan ini! Karena itulah setiap jejak yang ditinggalkan, tidak dapat dibaca oleh teknologi apa pun!" Anita menerangkan dengan berapi.

Zea terdiam, sepertinya Anita benar-benar serius. "Apa tadi namanya?" Zea kembali bertanya.

"Dermatopathia pigmentosa reticularis, DPR." Kali ini, Chen yang menjawab.

Zea menoleh kembali ke arah Chen. "Apa ini ada hubungannya dengan psikologi?"

Chen menggeleng. "Murni kelainan genetik ...."

Zea mengangguk, pandangannya kemudian kembali teralih ke arah Anita. "Apa di negara kita ada yang tercatat terkena kelainan ini?"

Anita terlihat berpikir sejenak, kemudian menggeleng. 

"Apa artinya kita mengalami jalan buntu lagi di kasus ini?" tanya Zea dengan putus asa.

"Tidak tercatat, bukan berarti tidak ada. Biasanya, diturunkan pada perempuan," jawab Anita.

Zea mengehela napas. Padahal kalau ada yang tercatat, dia hanya harus mencari dan mengintrogasi orang tersebut. Argh!

"Apa kamu memiliki ide, Chen?" Zea menoleh ke arah si psikolog, yang terlihat sedang menunduk dengan lesu. "Chen?" ulangnya.

Chen mengangkat kepala, membuat mata mereka bersirobok. "I have no idea, Zea. Blank!"

Author notes:

Apa kamu sudah ada bayangan siapa pelakunya? Kalau belum, terus dukung cerita ini, ya. Jangan lupa vote, comment, and shares.

Love you! 





Continue Reading

You'll Also Like

122K 4K 17
*VERY OLD AND CRINGE* The people of the Server keep on appearing in the world of Quirks and heroism. Can they survive the attack on the USJ, can they...
155K 4.1K 52
"You can't catch me!" I shouted and started running. He chased after me and soon enough he caught me. Suddenly,it started raining. He twirled me arou...
10.6M 1.7M 71
Cakrawala Agnibrata, dia selalu menebar senyum ke semua orang meskipun dunianya sedang hancur berantakan. Sampai pada akhirnya kepura-puraannya untuk...
38.6K 2.3K 7
āžŗ "š™ƒš™¢? š™Šš™ š™„ š™Ÿš™Ŗš™Øš™© š™¬š™¤š™ š™š š™Ŗš™„ š™¤š™£š™š š™™š™–š™® š™–š™£š™™ š™—š™šš™˜š™–š™¢š™š š™Žš™š™žš™£š™žš™˜š™š™žš™§š™¤." ā”ā”ā”ā”ā”ā” āžŗ Y/N, sudden...