A Lover (Alec & Alea)

By luisanazaffya

205K 19.9K 1.7K

Alec Cage, tak mampu menahan lonjakan gairah yang begitu menggebu ketika menemukan keindahan begitu sempurna... More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 33
Part 34
Ebook A Lover
Part 35
Part 36
Part 37
Part 38
Part 39

Part 4

5.8K 560 76
By luisanazaffya


A Lover

Alec & Alea

###

Part 4

###


Kali ini, Alea setuju dengan pendapat Arsen tentang melakukan perawatan tubuh. Bukan untuk persiapan acara pernikahan, melainkan untuk memperbaiki moodnya yang sedang naik turun tak terkendali karena aksi penyelamatan nyawa sekaligus kemesuman pria itu padanya.

Seharian penuh Alea memanjakan tubuhnya untuk melakukan perawatan mulai dari rambut, wajah, kulit, dan kuku. Rambutnya terasa lebih ringan, lembut, dan berkilau. Pusing di kepalanya lenyap tak bersisa karena pijatan di kepala dan tubuhnya terasa lebih ringan dan bersih. Kulit di wajah dan seluruh tubuhnya pun terasa mengencang kembali setelah pagi hari ia merasa lebih tua sedikit karena emosinya yang tak terkendali gara-gara rekaman dan ... Alea menggeleng keras ketika ingatannya memutar kembali kenangan menjijikkan itu. Semenit saja ia mengingat semua itu, jerih payahnya selama seharian ini akan sia-sia.

Sekarang, setelah tubuh, pikiran, dan hatinya terasa lebih segar dan lebih harum. Alea memikirkan rencana selanjutnya untuk menghabiskan sorenya. Tangannya sudah merogoh ke dalam tas tangan yang menggantung di lengan kiri dan mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Arza dan membuat jadwal makan malam dengan pria itu. Namun, mobil hitam pekat yang berhenti tepat di depannya membuat Alea menyumpah dalam hati. Sekali lagi, ingatan ketika Alec menyelamatkan nyawanya dan mengganti pakaian basahnya kembali terngiang di kepala.

"Masuklah." Wajah Alec melongok dari pintu mobil yang dibuka lebar-lebar di hadapan Alea. Menampilkan senyum terlalu ceria di wajah dan matanya yang dingin.

"Apa yang kaulakukan di sini?" sinis Alea.

"Apa Arsen tidak memberitahumu? Aku akan menjemputmu di salon dan membawamu untuk makan malam bersama ibu tiriku?"

Alea ingat telah mengabaikan tiga panggilan tak terjawab di ponselnya dari Arsen beberapa saat setelah ia menyelesaikan perawatan kuku. Kenapa akhir-akhir ini kakaknya itu selalu membawa kabar buruk saat menghubungi ponselnya?

"Masuklah." Alec menggeser tubuhnya ke pojokan menyediakan tempat untuk Alea ketika masuk.

"Aku bisa pulang sendiri," tolak Alea. Memutar tumitnya untuk mengitari mobil Alec dan menuju pinggiran jalan mencari taxi. Namun, di langkah kedua Alea menghindar, seorang pria bersetelan gelap dan kacamata hitam menghadangnya. Saat menoleh ke belakang pun, Alea dihadang oleh wajah berbeda tapi penampilan yang sama dengan orang pertama. Memaksa langkah wanita itu hanya tertuju pada pintu mobil yang terbuka untuknya.

Alea masih berdiri lama dalam ancaman tanpa suara dari Alec melalui kedua pengawal pria itu. Ia tak bisa membayangkan, apa yang akan Alec lakukan di dalam sana. Pria itu tak henti-hentinya mengambil kesempatan dalam kesempitan terhadap dirinya tanpa melewatkan sedikit pun waktu ketika mereka bersama. Siapa yang tahu tindakan apa lagi yang menunggunya di dalam sana.

"Jika kau tidak punya niat merusak rencanaku, aku pun tidak punya niat apa pun, Alea. Kau bisa memegang janjiku." Alec meyakinkan Alea dengan keraguan yang tampak jelas menghiasi wajah wanita itu. Dengan ketakutan yang sempat melintasi wajah Alea ketika wanita itu melihat wajahnya, sudah tentu Alea tahu apa saja yang telah ia lakukan terhadap wanita itu selama pingsan kemarin. Semalaman ia tak henti-hentinya mengingat adegan demi adengan dan tak sabar untuk bertemu Alea hari ini. Jika bukan karena pekerjaannya yang menumpuk dan beberapa situasi yang harus ia pahami lebih dalam lagi, mungkin ia akan menghabiskan hari ini dengan melakukan perawatan tubuh yang sama dengan yang dilakukan oleh Alea. Jika ada perawatan tubuh untuk pasangan calon pengantin seperti berendam bersama, tentu lebih baik dan Alec tak akan melewatkannya.

Itu adalah kalimat ancama, bukan kalimat menghibur yang ditujukan untuk menenangkan Alea dari kewaspadaan terhadap bahaya yang mengintai. Tanpa bantahan, Alea masuk dan mengambil tempat sejauh mungkin dari jangkauan Alec. Setidaknya di mobil ada sopir yang akan menjadi saksi kekurang ajaran Alec. Kecuali pria itu tak punya malu dan memaksakan kehendak terhadap dirinya di depan sopir pria itu sendiri. Dan memang pria itu tak punya rasa malu seperti yang Alea perkirakan. Saat mobil mulai memasuki jalanan, Alea tersentak kaget dengan tangan Alec yang tiba-tiba merengkuh pinggangnya dan membawa tubuhnya ke pangkuan pria itu dalam gerakan ringan seolah tubuhnya hanyalah gumpalan kapas.

"Aa ... apa yang kaulakukan, Alec?" Alea meronta dan kedua telapak tangannya berusaha memisahkan tubuhnya dari Alec. Namun, satu tepisan tangan kanan Alec mampu menghentikan rontaan Alea hinggan wanita itu tak berkutip dalam dekapan dan pangkuan Alec. "Lepaskan!" Alea masih mencoba menunjukkan penolakannya lewat suara di saat tubuhnya lemah dan tanpa daya terhadap kekuatan Alec.

"Kau sangat harum." Hidung Alea mengendus lengan atas Alea yang telanjang karena hari ini Alea tampak sangat seksi, anggun, dan bersinar dengan gaun berwarna emerald. Rambut Alea yang sedikit bergelombang bergerak begitu ringan saat kepala Alea bergoyang. Menguarkan aroma teh yang menenangkan. Bukan wangi khas Alea yang dikenali Alec, tapi wangi kali ini lebih menggoda dan menggelitik nuraninya untuk bertindak lebih dari sekedar endusan.

Kali ini Alea menyalahkan cuaca panas yang membuatnya memilih mengenakan dress tanpa lengan saat berangkat tadi pagi. "Hentikan, Alec! Atau aku akan berteriak?"

Kecupan Alec merambat dari bahu, leher, dan berhenti di telinga Alea lalu berbisik dengan nada menggoda bercampur desahan. "Kauingin berteriak?"

Bulu kuduk Alea meremang, tubuhnya gemetar dan napas panas Alec yang menerpa lehernya terasa membakar. Reaksi asing yang membuat Alea bergidik, menggapai akal sehat, Alea berusaha menyadarkan diri. Tahu Alec tak peduli jika ia berteriak sekalipun untuk menarik perhatian orang di sekitar mereka. Jalanan yang padat dan suara mesin mobil di sekitar pun akan meredam suara teriakannya. "Kumohon." Alea menampilkan wajah memelas. Menundukkan kepala lebih dalam demi menjauhkan wajah Alec yang masih berkutat di sisi wajahnya dan berusaha memisahkan punggungnya yang menempel di dada Alec.

"Kita belum menikah. Aku ... aku merasa sangat tak nyaman dengan semua ini." Kali ini permohonan Alea berubah menjadi cicitan.

Alec termangu dengan gemetar ketakutan dari tubuh di pangkuannya. Alec melepas cekalannya di tangan Alea dan menjatuhkannya ke samping.

"Apa kau belum pernah berkencan dengan seorang pria?" tanya Alec.

Alea membuang pandangannya. Satu-satunya pria yang ia cintai sekaligus ia kencani hanyalah Arza. Dan Arsen sudah berpesan bahwa hubungan macam apa pun di antara dirinya dan Arza jangan sampai diketahui oleh Alec atau Arza yang akan menjadi sasaran buruan Alec. Alec sudah menetapkan pilihan padanya sebagai ganti jabatan yang diberikan pada Arsen. Sangat tidak adil untuk Alea. Dan sedikit godaan untuk merusak rencana Arsen terasa sangat menggiurkan, tapi ia tahu ke mana arah kakacauan itulah yang membuatnya menahan diri.

Lalu, bagaimana dengan dirinya? Apakah hidup sebagai pelacur –karena teman tidur rasanya terlalu halus dengan sikap kurang ajar yang sesuka pria itu lakukan padanya- Alec akan membuatnya baik-baik saja? Apakah hatinya akan baik-baik saja?

Alec terkekeh. Telunjuknya menyentuh dagu Alea dan membawa tatapan wanita itu kembali padanya. "Apa kau memang sepolos ini, Alea?"

Meski wajahnya menghadap wajah Alec, Alea tetap tak membuat kontak mata dengan pria itu. Takut Alec bisa membaca atau menafsirkan kebohongan di maniknya. Alea pun bergerak menarik tubuhnya turun dari pangkuan Alec dengan gerakan sehati-hati mungkin dan bersyukur pria itu tak mencegahnya meski tangan kiri pria itu masih menempel di pinggangnya.

"Baiklah, demi menghormati kepolosanmu, aku akan menahan tanganku untuk menjelajahi sudut-sudut tersembunyi tubuhmu. Tapi ..." Alec berhenti sejenak. Tangan kirinya yang berada di belakang punggung Alea kini terangkat menangkup dagu Alea dan mengusapkan ibu jarinya di sepanjang bibir Alea yang merah merekah. "Aku tak bisa berjanji untuk yang satu ini."

Alea menelan ludah dan berharap gumpalan di tenggorokannya mereda, tapi ketegangan yang diciptakan Alec memiliki dampak lebih besar. Gumpalan di tenggorokannya semakin mengganjal dan menghentikan udara masuk ke dalam paru-parunya. Membuat Alea kesulitan bernapas.

"Bernapaslah, Alea. Kau tak perlu setegang itu." Tawa Alec sedikit mencemooh. "Mulai sekarang, biasakan dirimu lebih rileks saat bersamaku. Meski kau sangat cantik jika berbentuk patung sekalipun, aku tak suka menjadikan benda mati sebagai wanitaku."

Alea mengambil napas dalam-dalam tepat ketika Alec menurunkan tangan dari dagunya dan kontan tubuhnya pun beringsut ke pojokan hingga punggung menyentuh pintu mobil. "Kenapa?" Suara Alea bergetar hebat.

"Kenapa?" Alec sedikit memiringkan kepala dengan pertanyaan Alea yang mengandung ketidakjelasan.

"Kenapa kau memilihku sebagai istrimu?" Pertanyaan itu hampir menyembur menjadi sebuah makian jika Alea menaikkan sedikit saja nadanya. Dalam hati pun Alea tetap berharap bisa memaki jika dirinya tidak dikalahkan oleh ketakutan yang mendera hatinya begitu intens terhadap aura Alec. Entah, meski pria itu terlihat bersikap tenang dan terkadang memberinya ancaman-ancaman kecil yang memaksa Alea menuruti kata-kata pria itu. Alea tahu, aura gelap yang ia lihat dari Alec hanya sebagian kecil hal yang sengaja ditunjukkan pria itu.

"Bukankah Arsen sudah memberitahumu?"

"Kau bisa menolaknya jika tidak menyukaiku."

"Sayangnya, pesonamu cukup menampar keangkuhanku dan membuatku tunduk memuji keindahan wajahmu."

"Dengan wajahmu, kau bisa mendapatkan wanita mana pun yang kauinginkan dan menginginkanmu." Alea menekan kata terakhirnya. Sekaligus menjelaskan pada Alec bahwa ia tidak termasuk salah satu deretan wanita yang menginginkan Alec. Meski hatinya harap-harap cemas Alec akan tersinggung dengan kalimatnya. Tetapi, sepertinya pria itu sama sekali tak terpengaruh. Alec malah terdiam, sedikit mengerutkan kening seolah berpikir. Dengan senyum ringan yang menghiasi kedua sudut bibirnya, sudah jelas bahwa pria itu tak peduli dengan penolakan Alea terhadap dirinya.

"Hmm, bagaimana jika kubilang bahwa aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama?"

Alea sudah sangat bosan dengan kalimat familiar yang selalu diucapkan pria-pria yang mencoba mendekatinya. "Saat melihat wajahku untuk pertama kalinya, kebanyakan pria akan mengatakan hal yang sama. Tetapi, tak sungguh-sungguh tahu apa yang mereka katakan. Dan aku sudah terbiasa memaklumi kekeliruan mereka."

"Lalu, bagaimana jika kukatakan, bahwa semua ini bukan tentangmu Alea."

Alea membeku. Mendadak aura gelap Alec menciptakan ketegangan yang begitu pekat di ruang tertutup itu.

"Semua ini adalah tentang diriku yang menginginkanmu. Aku tidak diperintah, akulah yang memerintah, Alea. Kenapa aku harus memikirkan cara menjelaskan padamu bagaimana seseorang harus menginginkanku? Bukankah kau yang seharusnya memikirkan cara itu untuk dirimu sendiri?"

Alea tahu ada saatnya ia bersuara ketika diberi kesempatan membuka mulut. Tetapi, sekarang adalah saatnya ia berhenti bersikap seperti anak kecil yang merongrong karena kebebasannya dikekang dan menahan diri dengan segala kerendahan hatinya untuk tak membantah sepatah kata pun kalimat Alec. Hanya itu pilihan yang ditetapkan oleh Alec.

"Dan ... di mana cincin yang kuberikan padamu?"

Dengna gugup, Alea membuka tas tangan yang ada di sampingnya dan mencari-cari benda logam tersebut di salah satu kantong. Arsen sudah memperingatkannya untuk selalu membawa benda itu ke mana pun meski tak harus memakaianya sebelum ia berangkat tadi pagi.

"Apa kau melepaskannya karena sesi perawatanmu tadi?"

Alea hanya terdiam. Menggelengkan kepala hanya akan membuat Alea semakin tersudut, meski ia tahu pasti Alec pasti membaca kebohongannya dengan mudah. Sejak awal ia tak mengenakan cincin itu dan berharap ia memiliki sedikit keberanian untuk menentang kesepakatan kakaknya dan Alec dengan membuang cincin itu ke tempat sampah.

Alec terkekeh. "Sedikit berbohong untuk menyenangkan hatiku tak akan membuatmu mati, Alea. Aku bahkan hampir mengira kau membuangnya dengan sengaja. Maafkan aku."

Alea menghembuskan napasnya sepelan mungkin. Tak menolak saat Alec mengambil cincin itu dari tangannya dan menyisipkan benda mungil berkilau itu di jari manisnya. Pun menghadiahkan kecupan di punggung tangan Alea untuk mengakhiri sentuhan intim tersebut. Rasa jijik yang ditimbulkan pun tak berani Alea tunjukkan. Alec benar, pria itu tidak diperintah, tetapi yang memerintah. Posisi dan keadaan Alea saat ini tak mampu memungkinkan bagi wanita itu untuk menyangkal.

***

Alea mematut pantulan wajahnya di cermin tinggi yang disediakan di ruang ganti. Gaun malam itu sangat indah seperti yang ia sukai. Warna merah gelap dengan hiasan permata di sepanjang lengan, kainnya yang lembut menempel ketat di tubuh bagian atasnya sebelum mengembang jatuh ke pinggang dan kaki membuat Alea tampak sangat cantik seperti biasanya. Hanya saja, belahan samping yang akan memamerkan kaki telanjangnya di samping kananlah satu-satunya hal yang ia sesali. Kulit pahanya tentu akan terekspos begitu jelas saat ia melangkah.

"Apa kau sudah siap?" Pantulan tubuh Alec yang bersandar di pinggiran pintu membuyarkan lamunan Alea ketika memikirkan bagaimana cara agar kakinya tak terlalu kelihatan saat ia berjalan nanti. Selalu saja, keberadaan Alec membuat tubuh Alea bereaksi waspada dan ketegangan seketika membuat tulang punggungnya tak nyaman. Ruang ganti yang seharusnya tak bisa dimasuki sesuka hati oleh pelanggan lain pun sama sekali tak memberi batasan pada Alec untuk muncul tiba-tiba tanpa peringatan seperti saat ini. Ah, Alea lupa. Mungkin saja Alec menyewa seluruh butik hanya untuk mempersiapkan dirinya di acara makan malam dengan keluarga pria itu. Jika Arsen saja mampu melakukan hal semacam ini, Alec pun lebih dari sekedar mampu, bukan.

"Kau selalu terlihat cantik mengenakan pakaian apa pun." Pandangan Alec begitu jeli menelusuri tubuh Alea dari atas hingga bawah. "Aku sedikit penasaran, apakah kau akan secantik ini juga saat tak mengenakan apa pun?"

Alea meremas belahan di samping kanan pahanya. Pujian Alec lebih mengarah ke sebuah pelecehan dan hatinya bergemuruh oleh rasa panas. Kemarahan yang bahkan tak mampu ia perlihatkan mengingat Alec lah penguasan tempat ini untuk sekarang.

"Tenanglah, Alea. Aku tak akan menelanjangimu di sini atau pun saat ini. Aku akan menepati kesepatakanku dengan Arsen dan menghormatimu sebagai seorang wanita. Aku hanya merasa sedikit menyesal menentukan hari pernikahan kita yang seharusnya bisa dilakukan lebih cepat."

Alea bersyukur dan sedikit bisa bernapas dengan lega, satu-satunya hal yang menahan Alec untuk tidak berbuat mesum dan kurang ajar padanya adalah pernikahan mereka yang akan dilakukan minggu depan. Ia tak bisa membayangkan jika semua batasan itu tak ada dan Alec bebas melakukan apa pun padanya. Melecehkannya, memperkosanya. Alea tak mampu berpikir sejauh dan semengerikan itu.

"Cepatlah!" Alec mengulurkan tangan sebagai isyarat agar Alea segera mendekat. "Mobil sudah menunggu."

Alea pun melangkah mendekat dengan setiap langkah yang dipenuhi kewaspadaan. Hingga mereka duduk di bagian belakang mobil, sepanjang perjalanan, dan turun di restoran bintang lima yang tak asing baginya. Sedikit pun Alea tak berhenti bersikap waspada.

Seharusnya Alea tak terkejut melihat Arsen duduk di salah satu kursi di ruang pribadi yang ia dan Alec masuki. Kakaknya itu tengah sibuk berbincang dengan wanita paruh baya yang tak asing baginya. Rambut gelap yang lurus dan rapi tergerai membingkai wajah cantik dan terawat milik wanita itu. Alea langsung mengenali wanita itu sebagai ibu tiri yang dikatakan oleh Alec. Jean Cage.

"Kalian terlambat," ucap Jean dengan senyuman ringan menyambut kedatangan Alec dan Alea.

Alec menarik satu kursi di samping Arsen dan mempersilahkan Alea duduk sambil menjawab, "Aku hanya berjanji akan datang. Bukan datang tepat waktu."

"Hai, Alea. Malam ini kau terlihat cantik sekali."

Alea hanya mengangguk tak nyaman. Selama ini, sosok Jean Cage baginya hanyalah nama yang ia kenali sebagai nyonya besar keluarga Cage. Salah satu nama keluarga yang cukup besar dan sangat dikenal, dikagumi, dan dihormati oleh orang-orang di kalangan atas. Selain itu, Alea tak tahu lebih banyak dan sama sekali tak berniat mencari tahu. Apalagi mencoba lebih akrab dengan wanita yang mungkin akan menjadi mertuanya.

"Apa yang kalian obrolkan?" tanya Alec sambil duduk di satu-satunya kursi kosong yang terletak di samping Jean Cage dan Arsen.

"Arsen akan membuka cabang baru di Singapore. Kurasa inilah sebabnya ayahmu mempercayakan CGH padanya. Meskipun harus merelakan nama besar kita untuk mengangkat nama Mahendra, kupikir hanya orang sepertinyalah yang pantas jadi pimpinan MH."

Alec berdecak sekali dan tersenyum tipis dengan pujian berlebih Jean Cage. Jean Cagelah satu-satunya orang yang menarik dirinya dari lubang persembunyian dan mendorong dirinya menduduki tahta milik ayahnya. Sekaligus merebut kembali MH dari genggaman Arsen karena merasa ayahnya telah menganaktirikan dirinya dengan posisi CEO yang diduduki oleh Arsen. Apa pun niat yang dimiliki Jean Cage, Alec tak peduli. Selama hal itu tidak mengganggu kehidupan pribadi atau mengusik dirinya. Alec pun sudah memastikan bahwa semua aset dan saham yang diwariskan padanya sama sekali tak ada yang mencurigakan. Pemberian ayahnya semasa hidup terhadap Jean Cage pun lebih dari cukup bagi wanita itu untuk hidup bermewah-mewahan hingga mati. Kecuali, jika Jean Cage mulai bersikap serakah dan menyentuh miliknya melewati batas tanpa tahu malu. Alec pun akan mulai memikirkan tindakan selanjutnya.

"Bolehkah aku sedikit khawatir kau akan menggerogoti Cage Group dengan rencana pernikahan ini, Arsen?" Pertanyaan Alec mendadak memudarkan senyum di wajah Jean dan Arsen. Alea pun yang merasa menjadi pion Arsen ikut terpaku akan pertanyaan Alec yang tanpa basa-basi menusuk tepat ke sasaran. Suasana mendadak diliputi kecanggungan selama beberapa saat.

"Aku tak pernah menyentuh apa yang bukan milikku, Cage. Aku sudah menyerahkan satu-satunya hal terpenting di hidupku padamu." Arsen berhenti sejenak, tangannya menyentuh bahu Alea tanpa melepaskan tatapan matanya yang terpaku dengan manik Alec. "Tidakkah itu cukup menunjukkan ketulusanku untuk berteman denganmu?"

Jean berdehem. Memecah ketegangan di antara Alec dan Arsen serta kecanggungan Alea. "Sepertinya ini pembicaraan yang cukup berat untuk acara makan malam keluarga. Setelah menunggu kalian berdua, sebaiknya kita tak melewatkan makan malam sebelum kembali pulang, kan?" Jean mengangkat satu tangan kanan memanggil dua pelayan yang menunggu instruksi darinya di depan pintu. Kedua pelayan itu bergegas mendekat, salah satu meletakkan menu di tangannya ke masing-masing kursi sedangkan yang lain bersiap mencatat pesanan.

Makan malam itu berlangsung tenang, sedikit menyinggung persiapan pernikahan yang sudah tertangani lima puluh persen dan diperkirakan akan secepatnya selesai. Penanganan yang mengejutkan bagi Alea karena baru dua hari yang lalu tanggal pernikahan diputuskan. Rupanya Alec benar-benar bertekad menikahinya. Bahkan gaun pengantin sudah mulai dibuat dan dipastikan selesai sehari menjelang hari pernikahan. Alea tak akan bertanya darimana pria itu memilihkan ukuran yang tepat untuk tubuhnya, tapi Alea berharap ukuran itu meleset dan sedikit mengacaukan rencana karena pilihan yang diambil tanpa sedikit pun mempertanyakan keputusan darinya sebagai calon pengantin wanita.

"Apa yang akan kaulakukan jika aku benar-benar kabur tepat di hari pernikahan?" tanya Alea dalam perjalanan pulang di dalam mobil Arsen.

Arsen mendesah bosan sambil melonggarkan dasi dan membuka kancing kemeja teratasnya. "Apa aku harus menempatkan empat pengawal sekaligus untuk mengawasimu, Alea? Agar kau melupakan rencana konyolmu itu?"

"Apa kaupikir aku tak bisa melakukannya?" tantang Alea.

"Kupikir, kau harus ke rumah sakit untuk memberitahu mama tentang kabar bahagia ini, Alea. Akhir-akhir ini keadaan mama memburuk, mungkin mendengar putri bungsunya menikah akan sedikit memberinya semangat untuk bangun dari tidur panjangnya."

Seketika, dalam sedetik penentangan di wajah Alea lenyap. Tubuhnya membeku dan kesedihan yang begitu kental menyebar memenuhi permukaan wajah Alea.

"Dan jika kau benar-benar kabur di hari pernikahanmu, lalu Alec memutuskan jabatanku serta mengambil semua yang dimilikinya dariku. Apa kaupikir aku akan mampu membiayai perawatan mama dengan semua alat-alatnya yang tidak murah itu?"

Bibir Alea terkatup rapat. Sudut matanya memanas dan tatapannya mulai berkaca-kaca.

"Jadi, pikirkan sekali lagi saat kau memutuskan untuk menentang pernikahan ini, karena di detik itu jugalah kau membunuh mama. Apa kau masih memiliki niat untuk kabur sekarang, Alea?"

***


Well, di sinilah Author jatuh cinta pada sisi lain dari Arsen. Meskipun di awal dia terlihat serakah, setidaknya dia masihlah seorang kakak yang bertanggung jawab pada adik-adik dan keluarganya. Setuju???


Saturday, 13 June 2020


Continue Reading

You'll Also Like

217K 1.2K 24
[21+] Diadopsi oleh keluarga kaya raya bukan bagian dari rencana hidup Angel. Namun, ia anggap semua itu sebagai bonus. Tapi, apa jadinya jika bonus...
253K 15.9K 42
Masalah besar menimpa Helena, ia yang sangat membenci bodyguard Ayahnya bernama Jason malah tak sengaja tidur dengan duda empat puluh empat tahun itu...
1.3M 43.8K 44
Hay guys ini cerita pertama aku, jadi kalau misal ada typo atau kurang seru maap yaa, hehehe soalnya masih pemula. aku harap kalian sukaaa Azka Raffa...
1.2M 59.5K 50
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...