When Home Isn't Home

De naitalks

571 43 9

Ketika rumah tidak terasa ramah, tak ada pilihan bagi Jeffri, Jefian, dan Jeraldi selain bertahan serta meng... Mais

[petuah awal]
[0]
[1]
[2]

[3]

89 7 4
De naitalks

Hai! Sebelumnya terima kasih sudah membaca cerita ini, jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komentar kalian yaa 😊 Selamat membaca~!


Menjelang PPDB*, Fian, Aldi, dan Esa sibuk mengumpulkan berkas persyaratan. Beruntung karena sekarang semua dilakukan serba daring**, mereka tidak perlu repot-repot datang ke sekolah dan mengantri berjam-jam. Cukup mengunggah data yang diperlukan melalui situs web, kemudian menunggu hasilnya keluar di hari terakhir PPDB.

Untuk menghindari crash, Om Rayyan meminta ketiganya untuk mengunggah data di hari pertama. Maka dari itu, kini mereka berempat--berlima dengan Salsa yang kepo--tengah menunggu situs web PPDB dibuka pada pukul 00.00.

"Nanti Fian daftar duluan boleh nggak?" tanya Fian.

"Boleh, gak apa-apa kan?" Om Rayyan menatap Aldi dan Esa, yang dibalas dengan anggukan.

Salsa melihat-lihat berkas milik Fian yang ada di dalam map. "NEM 37,00 terus IPA dapet 100?! Gila?!"

"Hehe, kebetulan aja itu. Lagian Fian maunya masuk IPS nanti."

Seketika Salsa, Om Rayyan, dan Esa tercengang. Aldi sih, biasa saja karena tahu kakaknya itu sedang hoki. Fian sendiri yang mengakui hal tersebut.

Salsa beralih melihat-lihat berkas Aldi, dan ia kembali takjub karena Aldi memperoleh total nilai 28,90.

"Ya ampun, kalian tuh makannya apa sih? Otaknya pada encer banget," celetuk Salsa yang masih takjub dengan nilai UN kedua sepupunya itu.

"Banyak yang lebih pinter kok, Sal." Aldi menyanggah. "Teman Aldi di Surabaya banyak yang NEM-nya di atas 29,00. Itu juga matematika sama IPA banyak yang dapet 100."

Tambahan, Aldi sempat menangis ketika mengetahui NEM-nya untuk pertama kali. Pertama, karena tidak mencapai targetnya. Kedua, karena teman-temannya banyak yang mendapat nilai di atasnya. Ketiga, karena dia khawatir jika nilainya tidak cukup untuk mendaftar SMP di Depok.

Padahal begitu datanya terunggah di situs web, Aldi berada di urutan pertama pada daftar calon murid sekolah tujuannya. Terang saja hal ini menjadi topik pembicaraan ketika sahur.

"Keren ih si Aldi, nangkring jadi yang pertama di PPDB. Fian juga," puji Acha.

Aldi jadi sedikit salah tingkah. "Kan baru hari pertama, mana tahu besok ada yang nilainya lebih tinggi lagi."

"Seenggaknya kalau kegeser juga paling nggak jauh-jauh, jadi udah tenang," ujar Tante Gina, "kalau Esa agak ketar-ketir kan, soalnya nilai UN-nya gak begitu besar."

Raut wajah Esa semakin menekuk ketika ibunya menyinggung tentang NEM-nya yang kecil, sejujurnya dia sangat malu.

Aldi yang melihat dan peka akan hal tersebut langsung berinisiatif mengalihkan pembicaraan. "Oh iya, omong-omong, lebaran tahun ini ketupatnya tuh isinya bakalan nasi atau doorprize umroh gratis, ya?"

Sontak seisi ruangan tertawa mendengarnya, kecuali Esa. Ia memperhatikan Aldi yang sedang ikut tertawa renyah, membuat kedua sudut bibirnya sedikit terangkat.

Meski agak jayus, setidaknya guyonan Aldi berhasil mengalihan topik sebelumnya yang membuatnya merasa minder.

Namun Esa tetaplah Esa yang masih saja membenci sepupunya, sebaik apapun perlakuannya kepada dirinya.

-

Berhari-hari kemudian setelah sempat terjeda lebaran, akhirnya Aldi dan Fian resmi tercatat sebagai murid baru di sekolah masing-masing. Esa yang gagal mendaftar melalui nilai ujian pun diterima di SMP yang sama dengan Aldi melalui jalur zonasi. Kini, mereka tinggal menunggu hari pertama tahun ajaran baru tiba.

"Esa!"

Esa yang sedang rebahan di sofa ruang tamu sambil memainkan ponsel terinterupsi oleh panggilan Tante Gina. "Kenapa, Ma?"

Tante Gina keluar dari kamar dengan dua lembar uang seratus ribuan di tangannya. "Tolong beliin ayam bakar sebelas ya, terus minta tambahan sambal. Mama dari tadi nelepon gak diangkat terus soalnya."

"Esa doang yang Mama suruh? Teh Salsa sama Teh Acha?"

"Kan lagi pada pergi."

Oh astaga, pantas saja hanya Esa yang menjadi tumbal hari ini. Namun tiba-tiba sebuah ide muncul di otaknya.

"Ma, ajak Aldi nemenin Esa boleh, kan?"

"Coba tanyain aja dia mau atau nggak, kalua nggak mau ya udah kamu sendirian aja belinya."

Ya harus mau, lah, batin Esa, "Oke, Ma."

Esa mengambil kunci motor, lalu menghampiri Aldi yang habis mencuci gelas minumnya di wastafel dapur. "Ikut gue."

"Hah? Ke mana?" tanya Aldi keheranan.

"Beli makanan," jawab Esa, "ayo buruan, ah. Lama lu kayak siput."

Akhirnya Esa dan Aldi berboncengan ke warung ayam bakar yang terletak di seberang komplek perumahan. Warung sedang tidak ramai oleh pembeli, karena bukan saatnya jam makan.

Esa memarkirkan motornya. "Turun lu."

Aldi turun dari motor, kemudian Esa memberikan uang kepada Aldi. "Lu beli sebelas porsi ayam bakar plus tambahan sambal, jangan salah. Awas aja."

"O-oke ...." Aldi sedikit takut mendengar nada bicara Esa yang dingin. "kamu gak ikut turun?"

"Gak, gue nunggu di motor."

Baiklah, Aldi pun masuk ke warung seorang diri. Ia memesan makanan sesuai instruksi Esa, dan menunggu di salah satu kursi yang kosong.

"Esa lapo gak seneng karo aku, yo?" gumam Aldi, "koyok'e aku gak tau macem-macem karo arek'e."

(Esa kenapa gak suka sama aku, ya? Kayaknya aku gak pernah macam-macam sama dia)

Aldi larut dalam lamunannya, hingga pelayan warung ayam bakar membuyarkan lamunannya. "Permisi, masnya pesan ayam bakar sebelas porsi sama tambahan sambal, kan?"

"Eh, iya Pak. Jadi berapa totalnya?"

Setelah membayar, Aldi berjalan menuju parkiran motor. Anehnya, ia tidak menemukan baik Esa maupun motornya di tempat parkir.

"Mungkin Esa lagi pergi bentar," kata Aldi, "Tungguin dulu, deh."

Lima belas menit berlalu, batang hidung Esa tidak kunjung nampak. Aldi jadi panik, pasalnya ia belum terlalu hapal jalanan di sekitar komplek rumahnya. Bagaimana ia bisa pulang kalau begini caranya?

Untung Esa ingat bahwa ada yang namanya google maps, namun lagi-lagi ia berdecak kesal, aku kan gak hapal alamat rumahnya Om Rayyan?!

Makin paniklah si Aldi, hampir saja dia menangis putus asa kalau dia tidak ingat sesuatu.

Aldi mencoba bertanya kepada Jeffri lewat WhatsApp.

Jeraldi

|A Eji, tau alamat rumah Om Rayyan, gak?


Jeffri

|Jalan Dahlia Blok C1 no. 7

|Btw kok tiba-tiba nanyain alamat?

Jeraldi

|Gapapa, A. Makasih ya

Read.


Aldi mengetikkan alamat tersebut di kotak pencarian google maps. Setelah rutenya muncul, Aldi pun berjalan mengikutinya. Butuh waktu hampir sepuluh menit hingga akhirnya dia sampai di rumah dengan keringat mengucur di dahinya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Kok sendirian, Al?" Mama yang sedang duduk di kursi teras menjawab salam sekaligus bertanya. "Bukannya kamu tadi sama Esa?"

"Iya, cuma gak tau tiba-tiba dia-"

Tin! Tin!

Suara klakson motor membuat Aldi menoleh dan memicingkan matanya, kenapa Esa tiba-tiba muncul? Namun ia tetap membukakan pagar lebih lebar agar Esa bisa memasukkan motor.

"Kalian pulangnya gak barengan?" Mama kembali bertanya.

"Tadinya mau gitu, Tante. Kan sebenarnya Esa yang mau pesan makanannya, tapi sama Aldi disuruh nunggu di motor aja. Esa tungguin, kok gak datang-datang. Pas diliat ke warung, Aldi udah nggak di situ. Esa panik, terus nyariin Aldi ke mana-mana gak ketemu terus. Ya udah deh, akhirnya Esa pulang. Ternyata Aldi udah sampai duluan di rumah."

Lho?! Kok beda sama realitanya?!

"Ya ampun Aldi, kamu tuh ngapain sih pakai ninggalin Esa segala? Kan dia jadi repot tuh nyariin kamu ke mana-mana, untung kamu sama Esa gak kenapa-kenapa. Lagian kurang kerjaan banget kamu jalan kaki ke rumah padahal ada Esa yang bisa nganterin pakai motor."

Belum sempat memberi pembelaan, mama lagi-lagi mengomeli Aldi di depan Esa. Lagi-lagi pula, Aldi tidak dapat berbicara apa pun selain, "Iya, Ma. Maafin Aldi."

Mama geleng-geleng kepala. "Kalau gitu Aldi aja yang ngewadahin makanannya, Esa gak perlu bantuin. Jangan dibikin repot lagi orang lain tuh, Al."

"Iya, Ma ...."

Aldi berjalan dengan langkah gontai sambil menenteng plastik berisi ayam bakar dan sambal tersebut, lalu dari belakang Esa berbisik, "Thank you udah bantuin gue hari ini, hihi."

Setelah Esa meninggalkannya, yang bisa Aldi lakukan hanya menghembuskan napas dengan kasar.

Sampai kapan akan terus begini?

-

Pukul dua dini hari, semua orang masih terlelap tidur, begitu juga Fian. Namun tidurnya terusik ketika sayup-sayup terdengar isakan tangis di dekatnya.

Fian menoleh ke samping. "Al?"

Tak ada jawaban, namun punggung Aldi naik turun. Fian pun sadar ternyata isakan tangis itu berasal dari sang adik.

Fian menyentuh pundak Aldi. "Al, kok nangis malam-malam gini?"

Masih tidak mendapatkan tanggapan, Fian memutuskan turun dari kasur untuk melihat wajah Aldi yang membuatnya terkejut. "Heh, awakmu opo'o?!"

(Heh, kamu kenapa?!)

Seruan Fian membuat Jeffri yang tidur di kasur lain ikut terbangun. "Ribut amat, Fi. Tidur orang mah."

"Gak iso turu aku, delok'en ta Aldi nangis ngini yo gak nyenyak turuku."

(Aku gak bisa tidur, liat nih Aldi nangis gini ya tidurku gak nyenyak)

Jeffri mendudukkan dirinya sebentar, kemudian berjalan mendekati Fian dan Aldi. Ia bisa melihat mata Aldi yang sangat bengkak dan hidungnya yang sangat merah, khas orang yang sedang menangis.

Jeffri ikut menyentuh pundak adik bungsunya itu. "Aldi?"

"Hiks ... Hiks ...."

"Aldi, duduk dulu yuk? Biar enakan," pinta Jeffri lembut, membuat Aldi perlahan mendudukkan badannya di kasur, masih dengan isakan tangisnya yang terdengar pilu.

Jeffri memeluk Aldi sembari mengusap-usap punggungnya. "Nangis dulu gak apa-apa, kalau udah, cerita ke Aa sama Fian, ya?"

Aldi mengangguk samar, ia pun terus menangis di dada Jeffri. Tak lama Fian juga ikut memeluknya, bermaksud untuk menenangkan dirinya.

Semakin lama, tangisan Aldi semakin reda. Hingga akhirnya tak terdengar lagi, yang tersisa hanya suara napas yang belum stabil.

"Aa ambil minum dulu buat Aldi," kata Jeffri sambal berjalan keluar kamar, tak lama kemudian kembali dengan segelas air mineral di tangannya. "Al, ini diminum dulu yuk."

Aldi mengambil gelas yang disodorkan Jeffri, lalu menandaskan isinya. Setelah itu, dia menghapus jejak-jejak air mata di pipinya yang mulai mengering.

Jeffri mengelus kepala Aldi. "Ada yang mau Aldi ceritain, kah? Atau ada yang lagi Aldi khawatirin?"

Aldi menghela napas, lalu menjawab, "Esa."

"Esa kenapa?"

Malam itu, terkuak sudah segala keresahan dan kekesalan Aldi yang ia pendam bertahun lamanya.

-

"Aldi, Subuh Al."

Baru dua jam tertidur, tapi Aldi harus bangun untuk melaksanakan salat Subuh. Dengan masih setengah sadar, ia berjalan ke kamar mandi dan berwudhu. Setelahnya, ia mengenakan sarung lalu mulai salat.

"Assalamu'alaikum warahmatullah ...."

Selepas salat, Aldi terdiam sejenak. Entah mengapa dia ingin minum susu pagi ini, akhirnya Aldi beranjak ke dapur dan membuat susu cokelat hangat. Begitu jadi, ia langsung menenggaknya hingga habis. Saat Aldi meletakkan gelas di atas meja makan, ada secarik kertas kecil di hadapannya.

'Maaf.'

Dahi Aldi mengernyit, ia refleks memalingkan wajahnya ke kanan dan mendapati Esa sedang berdiri di sana.

"Eh, ngapain Sa?"

Esa menarik kursi dan duduk di sebelah Aldi. "Tadi malam, pas gue habis pipis, gue dengar suara agak berisik dari kamar lu."

"Eh? Keganggu ya? Sorry banget, aku nggak maksud gitu."

Esa menggeleng. "Gue yang minta maaf, karena udah nguping pembicaraan kalian bertiga."

"Maaf juga karena selama ini gue bersikap kurang baik--nggak, sangat tidak baik, ke lu. Padahal secara teknis lu lebih tua dan kakak sepupu gue."

Aldi masih diam, membiarkan Esa melanjutkan penjelasannya.

"Jujur, gue tuh minder sama lu, Al. Soalnya kan, lu pinter. Dari dulu selalu ranking satu, bahkan nama lu paling atas pas PPDB kemarin," ujar Esa, "sedangkan gue, gue gak pernah nyentuh peringkat di atas dua puluh, pun keterima SMP lewat zonasi."

"Makanya gue sebel sama diri gue sendiri, karena gue gak bisa kayak lu yang nyaris sempurna. Dan gue ngelampiasin itu dengan sikap ketus gue dan selalu nuduh lu bikin kesalahan, karena gue mau gue yang keliatan sempurna. Bukan lu."

"Awalnya gue seneng, tapi begitu denger omongan lu yang tadi malam, gue ngerasa jahat banget. Rasanya kayak gue udah ngebunuh kebahagiaan lu." Esa menghela napasnya. "Mungkin gue telat banget, tapi boleh kan, kalau gue minta maaf?"

Mendengarnya, Aldi tersenyum tipis. "Iya, udah dimaafin. Tapi jangan pernah berusaha lagi biar jadi kayak aku, soalnya kamu gak akan bisa."

"Kok gitu?"

"Ya karena kita beda, kita istimewa di hal yang berbeda. Kamu mungkin gak terlalu bagus di akademik, tapi kan kamu jago olahraga sama main gitar," ujar Aldi, "Mbok yo nyadaro ngono, lho."

(Ya harusnya kamu sadar gitu, lho)

"Eh, gitu ya?"

Aldi tertawa pelan. "Kok malah aku yang lebih tahu, gimana toh. Kamu ikut klub futsal, kan? Terus kata Om Rayyan, kamu jago di semua gaya renang."

"Gaya kupu-kupu masih belajar, sih," koreksi Esa.

"Keren, aku malah cuma bisa gaya bebas. Itu juga masih sering kelelep."

"Eh, yang bener aja lu," kata Esa tidak percaya.

"Serius, aku tuh lemah di olahraga."

Hening sejenak, kemudian Esa terkekeh pelan. "Gue pikir lu sesempurna itu."

"Ya makanya, salah kamu kalau pengen jadi kayak aku plek. Mau kamu jadi gak jago olahraga sama gitaran lagi?"

Esa menggeleng. "Tapi boleh kali minta otaknya secuiiiiil aja, hehehe."

"Yo wes, nanti tak ajari kalau ada pelajaran yang kamu gak ngerti. Tapi barternya ajarin aku main gitar, sama ...."

"Sama apa?"

Aldi berbisik, "ajarin ngomong pake gue-lu dong, mumpung belum masuk sekolah."

"Dih, ngomong aja coba."

"Err ...." Aldi menggaruk kepalanya. "Gue mau makan dhisik."

"BUAHAHAHAHAHA TETAP MEDHOK ULALA SHAAAY!"

Hilang sudah harga diri Aldi sebagai kakak sepupu di hadapan Esa.

[]

PPDB*) : Penerimaan Peserta Didik Baru

Daring**) : dalam jaringan (online)

Continue lendo

Você também vai gostar

1.7M 18.4K 40
Sebelum membaca, alangkah baiknya kalian untuk follow akun wp gw ya. WARNING 🔞!!! Yg penasaran baca aja Ini Oneshoot atau Twoshoot ya INI HASIL PEMI...
81.2K 7.8K 21
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
1M 86.2K 30
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
61.6K 12.4K 14
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] 21+ ‼️ Apa jadinya jika si berandal Jasper Ryker yang dijuluki sebagai raja jalanan, tiap malam selalu ugal-ugalan dan babak...