When Home Isn't Home

By naitalks

571 43 9

Ketika rumah tidak terasa ramah, tak ada pilihan bagi Jeffri, Jefian, dan Jeraldi selain bertahan serta meng... More

[petuah awal]
[0]
[1]
[3]

[2]

66 5 0
By naitalks


"Aldi, bangun. Udah mau sampai."

Aldi terbangun, cahaya berebut menerobos kedua matanya. Pendengarannya sedikit berdenging, menyesuaikan dengan tekanan udara di dalam pesawat. Ia menoleh ke Fian yang duduk di tengah. "Belum mendarat ya, Fi?"

Fian menggeleng. "Tadi sih katanya 15-20 menit lagi bakal landing di Soekarno-Hatta."

Ya, mereka sedang dalam perjalanan udara menuju Jakarta. Beberapa bulan terlewati, kini keluarga Winata benar-benar meninggalkan kota pahlawan yang telah menyimpan banyak cerita tiga tahun ke belakang. Aldi akan rindu menaiki jembatan penyebrangan orang dan menunggu di perpustakaan Balai Pemuda sampai dijemput pulang, Fian akan rindu kabur pada pelajaran bahasa Jawa bersama beberapa temannya, dan Jeffri akan rindu seseorang di sana yang ia tinggalkan dengan berat hati.

Menjelang pesawat mendarat, Aldi mengeratkan cengkraman tangannya pada kedua tangan kursi penumpang. Aldi selalu dihantui rasa cemas dalam keadaan seperti ini, terlebih ketika roda pesawat mulai menyentuh aspal dan menyebabkan pesawat bergoyang hebat. Tak jarang telapak tangannya sampai berkeringat.

Syukurlah, pendaratan kali ini berjalan tanpa halangan. Aldi menghembuskan napas lega, segera ia buka sabuk pengaman dan menyusul kedua kakaknya yang sudah lebih dulu mengantri turun dari pesawat.

"Lak mesti tanganmu kringetan maneh, yo?" tebak Fian, yang direspon dengan cengiran oleh Aldi.

(Pasti tanganmu berkeringat lagi, ya?)

Panas menyengat ibukota menyambut kedatangan mereka kali ini. Para penumpang berlomba untuk cepat-cepat memasuki gedung bandara, beberapa langsung berjalan ke arah pintu keluar, dan sebagian lainnya harus mengambil barang yang diletakkan di bagasi.

Jeffri dan papa mengambil trolley, kemudian menyusul mama, Fian, dan Aldi yang sedang mengambil koper mereka. Baru dua koper yang diambil, dua sisanya masih dalam antrian.

"Tadi kata Mama kopernya warna apa?" tanya Aldi.

"Biru tua sama abu-abu," jawab Fian, "nah tuh, kamu ambil yang lebih kecil aja, Al."

Setelah urusan koper selesai, kelimanya berjalan menuju lobi kedatangan. Aldi dan Fian sempat duduk di trolley, namun hanya sebentar karena Jeffri protes kesusahan mendorong. Kadang Fian memang tidak sadar kalau badannya cukup bongsor, begitupula Aldi yang meski paling pendek, tapi tetap saja dia termasuk tinggi untuk anak sebayanya.

Papa menekan keyboard pada ponselnya, lalu mendekatkan beda persegi panjang itu ke telinga. "Halo? Halo? Iya, Yan. Alhamdulillah udah nyampe nih, di lobi kedatangan. Luxio putih? Oke, ditunggu."

"Yang jemput kita Om Rayyan, Pa?" tanya Jeffri begitu papa selesai menelepon.

"Iya, mobilnya Luxio putih. Kita tunggu di sini aja."

Tak perlu menunggu lama, mobil yang dimaksud papa terlihat dari kejauhan. Begitu berada di dekat mereka, mobil itu berhenti dan sosok berkaus putih gading keluar dari mobil bagian pengemudi.

"Om Rayyan!"

Fian berlari kecil menghampiri omnya itu, membuat beliau tersenyum hangat. "Jefian! Apa kabar?"

"Baik, Om." Fian menyalimi tangan Om Rayyan, disusul Jeffri dan Aldi. Om Rayyan membantu papa memasukkan koper-koper ke bagasi mobil sembari mengobrol sebentar. Setelah beres, mereka semua masuk ke mobil dan Om Rayyan melajukan mobil meninggalkan Bandara Soekarno-Hatta.

"Ceritanya jadi orang Jakarta nih, mulai sekarang?" Om Rayyan membuka percakapan.

"Jakarta coret, lebih tepatnya," sahut papa diiringi kekehan pelan.

Aldi mencolek bahu Fian. "Jakarta coret kuwi opo seh maksude?"

(Jakarta coret itu maksudnya apa sih?)

"Jakarta pinggiran, alias Depok," jelas Fian, "soale awak dhewe lak tinggale ing Depok, dudu Jakarta, mek cedhek tok."

(Soalnya kan kita tinggalnya di Depok, bukan Jakarta, cuma dekat saja)

"Fian nanti mau SMA di mana?" Tanya Om Rayyan kepada Fian, membuat yang ditanya sedikit memajukan badannya.

"Eh, belum tahu sih, Om. Tapi kayaknya mau yang deket-deket rumah aja."

"Di SMA-nya Acha dulu aja kalau gitu, biar bisa sekalian tanya-tanya ke dia."

"Hehe, siap Om. Gampang itu, mah."

Om Rayyan melihat Aldi dari spion tengah. "Kalau Aldi barengan sama Esa ya kalau gak salah?"

"Iya Om, Aldi sama Esa kan seangkatan," jawab Aldi sekenanya.

"Hm ..." Om Rayyan nampak berpikir sejenak. "berarti Eji mulai masuk kuliah dong, tahun ini? Barengan sama Acha."

"Bener, Om. Kalau gak salah, Acha di arsitektur, ya?" Berbeda dengan Aldi, Jeffri berusaha untuk membangun obrolan dengan omnya itu.

"Haha, iya. Si Acha alhamdulillah keterima di arsitektur Gunadarma, Eji sendiri jadinya di mana?"

"Eji di Pancasila, Om."

"Wah, psikologi téa, ya?" Om Rayyan tersenyum. "Keren euy, cocok lah Eji di situ, yakin Om juga."

Mendengarnya, Jeffri ikut tersenyum senang. "Aamiin, makasih banyak Om Rayyan."

Tak dapat dipungkiri, Jeffri merasa tersanjung atas pujian sederhana Om Rayyan kepadanya. Ia semakin mudah untuk berdamai dengan takdirnya yang harus berkuliah di perguruan tinggi swasta, yang seringkali dipandang sebelah mata oleh masyarakat.

"Eji tuh awalnya ngotot pengen di Unair, cuma daripada misah-misah ya tinggalnya, mending sekalian di kampus sekitar Jakarta aja." Tiba-tiba mama berbicara. "Nyoba SNMPTN, SBMPTN, sampai SIMAK UI, gak ada yang lolos. Akhirnya terpaksa ambil Pancasila, deh."

Percaya atau tidak, suasana hati Jeffri seketika merosot tajam. Ayolah, untuk saat ini tidak perlu menceritakan bagian itu kepada orang lain, kan? Jeffri sedang berusaha menghibur hatinya, tapi mengapa mama selalu saja mengungkit-ungkit dan seakan merendahkannya? Tidak ingat siapa yang dulu memintanya untuk mendaftar di sana?

Akhirnya Jeffri memilih untuk menyandarkan kepalanya di kaca jendela mobil, lalu tertidur selama di perjalanan.

-

Petang hari, sebuah rumah yang kini dihuni oleh dua keluarga itu tengah menyiapkan hidangan untuk berbuka puasa. Jeffri, Fian, dan Aldi bersama ketiga sepupunya ikut membantu. Jeffri dan Salsa menata gorengan di piring, Fian dan Acha mencuci peralatan masak yang sudah selesai dipakai oleh kaum ibu-ibu, Aldi dan Esa menyiapkan teko dan gelas untuk menyeduh teh panas.

Sedikit penjelasan, Om Rayyan, adik kadung papa, dan Tante Gina dikaruniai dua anak perempuan yaitu Salsa dan Acha, serta Esa yang menjadi anak terakhir dan lelaki satu-satunya. Salsa berusia tiga tahun di atas Jeffri, Acha seumuran dengan Jeffri, dan Esa sepantaran dengan Aldi. Sebagai anak tertua, Salsa kini sedang menuju semester akhir di bangku kuliah keperawatan.

Acha dan Salsa menyambut kedatangan saudaranya dengan antusias, namun tidak dengan Esa. Dia biasa saja, bahkan cenderung menjauhi Aldi. Sebab sedari siang, Esa selalu menanggapi ucapan Aldi dengan cuek dan ketus.

Sebenarnya sejak dulu, Aldi tahu jika Esa tidak menyukainya, entah mengapa. Tetapi Aldi tetap berusaha bersikap baik kepada Esa.

"Sa, tehnya ada di mana?" tanya Aldi sambil menenteng teko bening, Esa menunjuk salah satu kabinet dapur menggunakan dagunya tanpa berkata apa-apa.

"Oke, thanks." Aldi membuka kabinet yang ditunjuk Esa dan mengambil dua kantong teh, lalu memasukkannya ke bagian penyaring pada teko.

Esa hanya terdiam, ia meletakkan cangkir terakhir di atas nampan. "Gue udah selesai, sisanya lu yang kerjain. Gue sibuk."

Giliran Aldi yang terdiam menatap Esa yang melengos pergi dari hadapannya, kemudian menghela napasnya yang sedikit berat. Baiklah, setidaknya Esa sudah menata cangkir dengan rapi, sisanya biar dia saja.

Sembari menunggu air yang direbus matang, Aldi memindahkan cangkir-cangkir yang sudah disusun Esa ke meja makan. Di sana, ada Jeffri dan Salsa yang baru saja selesai menata gorengan di piring.

"Lho, si Esa mana, Al? Gak bantuin?" tanya Salsa yang heran melihat Aldi hanya sendirian.

"Bantuin kok, Sal. Tadi dia yang ngambilin cangkir dari lemari," jawab Aldi, "balik dulu ke dapur ya, mau nyeduh teh."

Benar saja, air rebusan nampaknya sudah matang. Aldi mematikan kompor, lalu menuangkan air ke teko. Dipasangnya alat penyaring beserta dua kantong teh di dalamnya, kemudian ia tutup teko itu. "Sip, udah jadi."

Aldi meletakkan teko di meja makan, sepertinya keluarganya belum berkumpul. Dia memutuskan untuk kembali ke kamar dan tiduran sebentar sampai menjelang azan Maghrib.

Sekitar sepuluh menit menuju berbuka, keluarga besar tersebut telah berkumpul semua di ruang makan. Mereka mengobrol untuk mengulur waktu.

Allahu Akbar! Allahu Akbar!

"Alhamdulillah."

Satu per satu menyeduh teh panas dari teko, beberapa ada yang menambahkan gula agar terasa manis. Setelah membaca doa, mereka pun membasahi kerongkongan dengan teh tersebut.

"Ah, tehnya enak," puji Enin, "siapa yang nyeduh tehnya?"

"Aldi Nin-"

"Esa yang bikin," salip Esa, "Aldi cuma ngeluarin cangkir, sisanya Esa yang ngerjain."

Aldi terkejut bercampur bingung. Pardon?

Papa memandang anak bungsunya. "Kamu gak bantuin?"

Sialnya, lidah Aldi justru kelu ketika ia harus menjelaskan yang sebenarnya.

"Kenapa gak bantuin Esa? Aldi jangan keenakan gitu, dong. Masa kamu cuma ngeluarin cangkir terus Esa yang ngerjain semuanya? Gak boleh gitu, Aldi. Kamu juga bagian dari penghuni rumah ini sekarang, jadi harus bantuin. Ngerti?"

"I-iya. Ngerti, Ma."

Sejenak atmosfer di ruang makan terasa dingin, namun Tante Gina dan Om Rayyan kembali mencairkan suasana dengan topik obrolan yang tak pernah ada habisnya.

Sedangkan Aldi hanya bisa menunduk, sekilas ia bisa melihat Esa tersenyum penuh kemenangan. Meski tanpa menatap dirinya, Aldi tahu senyuman itu ditujukan untuknya.

Aldi tidak tahu harus membenci Esa atau dirinya, sebab hati kecilnya berontak namun ia sendiri tidak tahu mengapa tidak bisa melakukan perlawanan.

[]


Let's meet 3J's cousins!

Salsabila Clarinta

Acharyna Cantika

Ahmad Esa Priandana

Continue Reading

You'll Also Like

93.6K 14.3K 19
Yang publik ketahui, kedua pemimpin perusahaan ini sudah menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum orang tua mereka pensi...
85.5K 5.8K 26
"MOMMY?!!" "HEH! COWOK TULEN GINI DIPANGGIL MOMMY! ENAK AJA!" "MOMMY!" "OM!! INI ANAKNYA TOLONG DIBAWA BALIK 1YAA! MERESAHKAN BANGET!" Lapak BxB ⚠️ M...
293K 30.2K 33
warn (bxb, fanfic, badword) harris Caine, seorang pemuda berusia 18 belas tahun yang tanpa sengaja berteleportasi ke sebuah dunia yang tak masuk akal...
338K 28.1K 39
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...