Jemari Yerisha menari-nari di atas keyboard komputernya. Terhitung sudah sejam ia mengurung diri di kamar, fokus mengerjakan novel terbarunya.
Mumpung ada ide, mari langsung eksekusi, begitu pikir Yerisha.
Ketika sejam tepat mengurung diri di kamar, Yerisha menghentikan aktivitasnya, meregangkan badannya yang terasa kaku usai sejam-an duduk di depan komputer.
Usai meregangkan badan, Yerisha memfokuskan pandangan menatap layar komputer, membaca kembali paragraf demi paragraf yang telah ia tulis.
"Kok kurang ngena ya," gumam Yerisha merasa ada yang kurang dalam tulisannya. Tulisannya terasa datar dan tanpa roh sehingga akan sulit menarik pembaca.
"Apa riset yang kulakukan kurang?" gumam Yerisha meraih ponselnya membaca ulang artikel dan jurnal yang ia gunakan sebagai bahan riset untuk menulis cerita. Topik yang akan ia angkat di novel terbarunya sangat menarik, karena itulah Yerisha begitu bersemangat. Ia ingin mengangkat isu mental illness, di mana isu itu sebenarnya bukanlah hal baru, tapi untuk rakyat di negaranya masihlah sangat minim pengetahuannya tentang isu itu.
Yerisha menaruh ponselnya ke meja, mungkin memang benar riset yang dilakukan kurang, mungkin ia perlu ke toko buku untuk mencari buku yang akan membantunya menulis.
Yerisha segera beranjak dari kursi menuju ke arah lemari, ia harus bersiap-siap bila ingin pergi ke toko buku.
"Yerisha, bisa bantu mama?" Panggilan sang mama dari luar membuat Yerisha menaruh kemeja yang akan ia kenakan di kasur dan menuju pintu untuk membukanya.
"Bantu apa, Ma?"
"Bisa bantu mama membeli bahan kue?"
"Boleh. Kebetulan aku mau keluar ke toko buku."
"Sama siapa? Luke?"
Yerisha terkekeh dan menggeleng. "Sendirian, Ma."
"Yaudah kamu perginya sama Ode saja, Yer," saran sang mama sambil tersenyum lebar.
***
Yerisha dan Ode bersama-sama membeli bahan kue pesanan mama mereka terlebih dahulu di toko langganan sang mama. Setelahnya mereka ke toko buku tiga lantai yang berada di jalan jenderal Sudirman. Saat Ode memarkirkan motor di basement, Yerisha memutuskan ke dalam lebih dulu. Lantai tiga dipilihnya karena deretan rak buku segala jenis dan judul ada di sana. Untuk memudahkan pencarian ia mencari buku sesuai kata kunci di mesin pencarian yang terdapat di beberapa titik di tempat itu. Barulah ketika mengetahui buku yang ia cari masih tersedia, Yerisha langsung meluncur mencari buku tersebut.
Sementara itu Ode yang menyusulnya ikut melihat-lihat deretan buku di sana. Kalau Yerisha memilih buku yang membahas mental illness, Ode lebih memilih melihat-lihat rak komik dari berbagai judul. Pilihan Ode tentu saja tertuju pada komik serial detektif Conan yang sudah ada sejak ia kecil itu. Biasanya ia hanya membaca lewat website, bukan versi cetaknya. Tentu rasanya berbeda antara membaca lewat layar komputer atau ponsel dengan versi cetaknya. Ode mengambil salah satu volume komik detektif Conan yang sudah terbuka dari plastik pembungkus, salah satu hal yang menyenangkan saat berada di toko buku adalah bisa membaca dengan gratis, berjam-jam pun tak masalah asal memiliki rasa malu yang tinggi dan mental baja.
Yerisha memilih satu buku yang bertema mental illness sebagai bahan referensi, kemudian ia menuju ke rak novel, mencari novel yang mengangkat isu mental illness dalam ceritanya, ia ingin melihat bagaimana penulis tersebut menggambarkan mengenai topik itu dengan luwes tak seperti novelnya yang kaku dan tak memiliki ruh. Banyak membaca baik itu referensi maupun karya orang lain tentu akan membantu Yerisha untuk berkembang dan menghasilkan tulisan yang lebih baik.
Setelah memilih satu novel yang mengangkat soal isu mental illness, pandangan Yerisha seolah tertarik pada deretan novel bertema romance yang bersejajar memenuhi rak novel. Romance adalah genre utama banyaknya novel yang belakangan memenuhi dan menduduki top ten dalam hal penjualan. Yerisha teringat dengan kata-kata Saelin, menulis romance tak harus dia sendiri yang merasakan, ia bisa mencari referensi dari membaca novel romance misalnya. Kata-kata Saelin itulah yang menggerakkan tangannya untuk terulur dan menyentuh salah satu judul novel populer yang diterbitkan oleh penerbit yang dimiliki papanya. Sebenarnya bisa saja ia meminta papanya membawakan novel itu tapi Yerisha lebih suka membelinya sendiri.
Dari judulnya yang berada di cover belakang, Yerisha sudah merasa tertarik. Ia membaca bab pertama novel itu saking penasarannya. Membaca novel romance nyatanya membawa Yerisha ke dunia lain. Menarik.
Saat hendak menginjak ke halaman kelima, bunyi nada dering ponselnya yang cukup keras membuatnya terusik dan segera mengecek ponselnya.
Apakah Ode menghubunginya untuk mengajaknya pulang?
Ternyata tidak. Saelin yang menghubunginya.
"Halo, Sae."
"Yer, kasih tahu dong kesukaan kak Ode apa. Ya. Ya. Please," ucap Saelin di seberang sana dengan nada memohon. "Apa aja, Yer. Mulai dari warna, tim bola favorit, barang kesukaan—"
Yerisha sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya saat Saelin berbicara dengan kalimat cepat ban sedang ngerap. Dia sedikit bingung mengapa Saelin tiba-tiba penasaran dengan kesukaan Ode.
"Halo Yerisha. Halo, kamu masih di sana kan?"
"Iya masih. Kamu kenapa sih Sae tiba-tiba nanyain kesukaan Ode?"
"Mau ngasih hadiah ke kak Ode."
"Memang dia ulang tahun?" tanya balik Yerisha, kemudian ia buru-buru meralat pertanyaannya itu. "Tapi dia lahir duluan dibanding aku."
"Ihhhh bukan hadiah buat ultah."
"Terus?"
"Hadiah buat wisudaan kak Ode lah."
Wisuda? Hah?
"Jangan bilang kamu lupa, Yer."
Iya Yerisha lupa. Padahal mamanya sudah memberi pengumuman di pertemuan keluarga Minggu lalu padahal. Astagaaaaaaa. Mengapa ia bisa lupa. Ia juga lupa belum mencarikan hadiah buat Ode.
"Hmmmmmm, Sae nanti kutelpon balik ya. Aku sedang di jalan soalnya."
"Eh Yer—"
Sambungan langsung terputus bahkan saat Saelin belum menyelesaikan kalimatnya. Yerisha kemudian mencari keberadaan Ode di lantai itu. Ode yang sebelumnya ada di bagian komik sudah tak ada di sana. Segera setelah membayar bukunya, Yerisha turun ke lantai bawah dan menemukan Ode tentang melihat-lihat gitar yang terpajang di sana. Toko itu memang lengkap tak hanya buku, peralatan tulis, alat musik dan olahraga semua ada. Usai melihat-lihat gitar, Ode mampir ke rak album musik. Ia begitu antusias melihat deretan album baru maupun lawas itu.
Yerisha mendekat sengaja sepelan mungkin agar tak mengganggu aktivitas Ode yang terlihat menyukai segala sesuatu tentang musik.
"Kamu suka siapa?" tanya Yerisha membuat Ode menoleh dan menaruh album di tangannya ke tempat semula.
"Apa?" tanya Ode memberi tatapan bingung.
"Maksudku kamu suka lagu siapa?"
"Oh." Ode mengangguk paham lalu menjawab,"aku suka semua lagu Sheila on 7 terutama Sephia."
Yerisha membulatkan mata. "Kenapa Sephia? Bukannya lagu itu tentang—"
"Kekasih gelap?" sela Ode yang langsung diangguki oleh Yerisha dengan cepat.
"Kekasih gelap pun juga manusia, Yer," ucap Ode mengalihkan pandangan ke arah lain berusaha menutupi tatapannya yang berubah sendu.
"Ap—" Sebenarnya Yerisha ingin bertanya lebih lanjut tapi Ode keburu melanjutkan kalimatnya.
"Aku suka lagunya indah," tambah Ode yang diangguki oleh Yerisha.
Ya jujur bagi Yerisha lagu Sephia memang bagus, didengar beberapa kali pun tak membosankan.
"Liriknya terasa pas."
"Hah? Apa, De?"
Ode tersenyum tipis sambil memandang kosong rak album di depannya.
"Liriknya membuat kita merasa kasihan sama Sephia tapi— udahlah Yer, kita pulang yuk," ajak Ode teringat pesanan mama mereka yang mungkin saja akan digunakan.
"Mama pasti udah nungguin," tambah Ode sebelum Yerisha sempat bertanya lagi.
Kalimat Ode barusan terasa menggantung bagi Yerisha.
Tapi ia lebih memilih memendam rasa penasarannya lalu mengikuti Ode yang berjalan ke luar lebih dulu, saat itulah ia mengirim pesan pada Saelin.
Yerisha: Sae, kamu tahu tokonya bang Duta SO7?
"Yer." Ode menyerahkan helm pada Yerisha yang langsung diterima gadis itu.
"Yer," panggil Ode sekali lagi kini membuat Yerisha yang tengah mengaitkan tali helm mendongak.
Ode mengulurkan tangan, menggantikan tangan Yerisha untuk mengaitkan tali helm milik gadis itu. Untuk beberapa detik, Yerisha tak berkedip memandang wajah Ode yang begitu dekat dengannya.
"M-makasih," ucap Yerisha tergagap usai Ode membantunya dan menjauh.
"Untuk?"
"Semua," jawab Yerisha kikuk.
"Kalau kamu merasa perlu berterimakasih cukup bayar aku, Yer."
"Hah?" Mata Yerisha membulat hendak mengajukan protes karena Ode tiba-tiba menjadi materialistis.
"Cukup bayar dengan datang ke wisudaan akhir minggu ini. Bisa?"
Tatapan Ode yang penuh harap membuat Yerisha mengangguk dengan segera.
"Iya, bisa. Aku bisa."
"Terimakasih, Yerisha." Ada kelegaan dan kebahagiaan di wajah pemuda itu.
Saelin: tahu. Mau beli baju?
Yerisha: bukan. Mau ketemu bang Duta. Mau minta tandatangan.
Aku suka Sephia karena—
Lagu itu membuatku sadar diri.
-tbc-
Jangan baper. Jangannnnnnnnnnnnn
Oh iya bagi reader OTY kalian punya kesempatan loh dapet hadiah dari grass media dengan menjadi best reader ^^ yuk simak rulesnya ya.