Katanya, salah satu tanda kita sedang jatuh cinta itu jantung berdebar entah saat di dekatnya ataupun cuma saat memikirkannya saja.
Apa iya???
"Punya penyakit jantung kali ah itu," celetuk Saelin saat Yose sepupunya membacakan sepuluh ciri orang jatuh cinta dari sebuah artikel di internet.
"Beda keleusssss, Sae," sanggah Yose ingin melempar ponselnya ke muka Saelin tapi kok sayang, soalnya ponsel berlogo apel itu baru dibelinya.
"Ih masa mikirin doang berdebar?" Saelin nggak ngerti kenapa bisa begitu. "Yakin deh itu jantungnya yang bermasalah bukan karena jatuh cinta."
Yose memutar kedua bola matanya, jengah. Kemudian tatapannya beradu pandang dengan Yerisha yang tengah menyeruput es teh manis dengan sedotan. "Menurut kamu gimana, Rish?"
"Apanya yang gimana?"
"Jantung berdebar itu salah satu tanda jatuh cinta. Sebagai penulis, kamu pasti lebih tahu lah."
"Aku bukan penulis romance, jadi aku nggak tahu."
"Ya udah bikin satu novel romance," celetuk Saelin ikut nimbrung.
"Bukan keahlianku," jawab Yerisha lirih.
"Ishhhhhh Yerisha nggak asik."
"Romance itu susah buatku, Yoceline," sergah Yerisha. "Pernah mau bikin tapi gagal. I don't know why—"
"Mungkin karena kamu belum pernah ngerasain jadi susah."
"Ngerasain apa?"
"Jatuh cinta, pacaran—jangan jatuh cinta deh, yang simpel aja, suka sama lawan jenis misalnya." Yose mulai bersuara membuat Saelin menopang dagu, penasaran dengan obrolan mereka.
"Mungkin karena belum pernah ngerasain itu makanya bagimu nulis cerita romance itu susah."
Yerisha terdiam. Dia memang sangat kesulitan menulis bagian romance dalam novelnya, di novel pertamanya hanya ada sedikit sisipan kisah cinta, sementara di yang kedua sama sekali tak ada. Karena merasa tak ahli, Yerisha lebih memilih menyerah.
"Kalau menurutku nggak harus harus ngerasain jatuh cinta dulu supaya kamu bisa nulis cerita romance, Yer. Bisa aja kan kamu banyakin baca literatur, nonton drama atau film romantis untuk menguatkan feel. Nggak harus ngerasain dulu baru bisa nulis." Saelin mengutarakan pendapatnya yang berbeda pandangan dengan Yose. "Sama halnya seperti bila kamu ingin menulis dengan tema patah hati, masa kamu harus ngerasain patah hati dulu? Enggak kan."
Yose menyilangkan kedua lengannya, raut wajahnya menunjukkan kurang setuju. "Tapi lebih dapat feel-nya kalau kamu ngerasain juga. Seolah kamu adalah tokoh utama dalam ceritamu."
"Aku kurang setuju," sanggah Saelin.
"Ya udah kalau nggak setuju. Menurutku gitu kok."
"Udah udah. Kenapa jadi berdebat gini sih. Ini kenapa kita jadi bahas soal romance. Kan kita mau bahas soal —"
Yose segera membekap mulut Yerisha saat Aya dan Shasa memasuki kamar dengan membawa nampan berisi minuman dan gorengan. "Nanti aja."
Yose sengaja berbisik karena objek obrolan mereka sekarang sedang menatap penuh keingintahuan, ya begitulah Sagara bersaudara, selalu ada yang dibicarakan saat bertemu.
"Tadi aku ketemu kak Ode di bawah," celetuk Shasa sambil meniup gorengannya yang masih hangat karena baru digoreng. "Ternyata kak Ode ganteng banget ya."
"Kak Ode pakai kaos oblong putih, dan you know lah kalau cowok pakai kaos oblong putih atau item itu kadar kegantengannya bertambah," tambah Shasa.
"Lah, Sha. Engkau baru menyadari kalau sepupumu itu sangat tampan?" celoteh Saelin sengaja menggunakan bahasa formal untuk meledek Shasa.
"Hei Shasa kemana saja selama ini dirimu nak? Goa? Kutub? Bulan?"
Shasa mencebikkan bibir lalu memukul lengan Saelin yang meledeknya secara terang-terangan.
"Ih Saelin!!!!! Ngeselin banget sih!"
Semua tertawa mendengar rengekan Shasa dan Saelin yang masih menggodanya. Kecuali satu orang yang cuma terdiam sambil mengunyah gorengannya dengan pelan.
Yerisha.
Bukan cuma Shasa kok yang baru sadar Ode itu ganteng, Yerisha juga demikian.
Dan sejak nonton pertunjukan Tara Ilham, sejujurnya Yerisha tak bisa berhenti mengingat setiap detail kejadian hari itu. Bagai otaknya sengaja membuat kenangan hari itu adalah sesuatu yang diingat.
Sial! Kenapa aku malah berdebar sih.
"Yer, Yerisha," panggil sepupu-sepupunya khawatir karena Yerisha diam sambil memegangi dada sebelah kirinya.
"Hah? Apa?" Yerisha balik bertanya.
"Kamu sakit, Yer?" tanya Saelin dengan raut khawatir.
Sadar tangannya sedang memegangi dada, Yerisha buru-buru menurunkannya. Ia lalu menggeleng dan tersenyum.
"Seriusan? Dada kamu sesak? Atau—"
Yerisha menepis tangan Yose yang hendak memeriksa keningnya. "I'm Okay. Tadi cuma sedikit melamun saja."
"Ngelamunin siapa?" tanya Aya to the point.
"B-bukan siapa-siapa."
Yerisha yang tergagap malah membuat keempat sepupunya merasa aneh. Tatapan penuh keingintahuan mereka membuat Yerisha merasa terjebak.
"S-serius. B-bukan s-siapa-siapa. Ayolah jangan menatapku begitu," mohon Yerisha. Tapi elakan keras Yerisha makin menguatkan kecurigaan para sepupunya.
"Siapa Yer? Sini cerita," ucap Yose menepuk-nepuk pindah Yerisha.
"Kita nggak akan ember kok," tambah Shasa.
"Siapa cowok yang berhasil memenuhi kepala seorang Yerisha?" tanya Aya.
Mata Yerisha membulat, jelas kaget. Mengapa sepupunya begitu mudah menebak. Apakah ia memang begitu mudah tertebak.
Saelin memicing curiga. Entah bagaimana ia bisa tahu satu nama.
"Luke ya??" tebak Saelin membuat perhatian tertuju padanya.
"Luke sopo sih?" ucap Yose yang malah keceplosan ngomong Jawa.
"Ishhhhhh kenapa harus Luke sih Yerisha???? Aku nggak suka." Bukannya menjawab pertanyaan, Saelin malah heboh sendiri.
"Hah?" Gantian Yerisha yang bengong karena nama Luke tersebut.
Kok jadi Luke?
"Nggak like aku sama Luke."
"Ih apaan sih kamu, Sae. Kalau Yerisha sukanya sama Luke kenapa kamu ngelarang sih," protes Yose.
"Iya, Sae. Nggak boleh kayak gitu. Kalau Yerisha suka sama Luke ya udah kita harus dukung." Shasa ikut menimpali.
"Tapi aku tuh nggak like pakai banget sama Luke. Cowok lain aja Yer."
"Saelin nggak boleh gitu ah," ucap Aya.
"Nggak suka. Nggak suka. Nggak suka."
"Coba kalau kamu di posisi Yerisha, kamu pasti sedih dong kalau salah satu sama kita nggak setuju sama cowok yang kamu suka. Saelin nggak boleh egois," tambah Shasa.
"Iya sihhhhh. Tapi nggak suka Luke!!!!!"
Yerisha memandang keempat sepupunya dengan tatapan bingung. Keempatnya malah sibuk saking berdebat.
Yang membuat Yerisha miris adalah, mereka dengan mudahnya mengambil kesimpulan.
Ini bukan soal Luke.
Yerisha jadi merasa bersalah pada cowok itu yang nggak tahu apa-apa malah jadi objek ghibahan para sepupunya.
Ini itu soal otak Yerisha yang ngga berhenti mikirin Ode.
Ketukan pekan di pintu tak membuat perdebatan mereka soal Luke berakhir. Mereka malah kembali berdebat soal siapa yang seharusnya membuka pintu.
"Bukain pintu sana, Sae."
"Ya Shasa aja yang bukain."
"Aya aja deh."
"Kenapa bukan kamu saja, Yose?"
Ketukan yang kedua membuat Yerisha bangkit dari karpet dan beranjak ke arah pintu. Ia mengalahkan dan memutuskan membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, Ode sudah menunggu di depan pintu kamarnya yang membuat Yerisha mundur selangkah karena terkejut. Ya siapa yang tak terkejut melihat orang yang memenuhi otaknya tiba-tiba muncul.
"M-mau a-apa?" Yerisha ingin melakban mulutnya sendiri karena gemas, kenapa ia malah tergagap saat bicara dengan pemuda itu.
"Ini camilan." Ode menyerahkan sekantong kresek besar berisi camilan yang langsung diambil oleh Yerisha tanpa ragu.
Itu dari Dery." Ode menambahkan. "Dery di bawah. Nggak apa-apa kan kalau dia mampir?"
Yerisha terdiam. Yerisha tahu soal Dery yang sudah mengetahui soal dirinya dan Ode walau Ode tak cerita apapun.
"Nggak boleh ya?"
"Ah—s-silahkan a-aja."
Terkutuklah kamu mulut!!!! Kenapa gagap.
Ode tersenyum dan berucap. "Makasih, Yerisha."
Sial!!!
-tbc-
Maafkan aku ya yang lama banget updatenya. Lagi mode mager soalnya.
Masih nungguin kan?