MAHKOTA BERDURI

By NCDzilhaq

233 18 5

Rahasia apakah yang akan disingkap seorang ksatria dan seorang pemuda desa tentang dunia sihir yang penuh mar... More

Sungai
Rahasia
Buku Warisan
Peringatan
Lari dari Masalah
Kesaksian
Keputusan Tak Terduga
Sesuatu yang Pantas Diketahui
Mimpi dan Merlin
Menyelamatkan Aumora
Pintu Tersembunyi
Padang Rumput Lagi
Pavillion
Orchenbjerg
Tipuan dan Permen
Kabut Asap
Cerita Sang Pangeran
Di Atas Gunung
Hutan Penuh Misteri
Levitarium
Serigala dan Mantra-mantra
Pertarungan di Atas Menara
Tujuh Sekawan dan Para Pemburu
Awal Dunia Baru
Kembalinya Sang Putri
Teka-teki
Quadron Pertama
Quadron Kedua
Kematian dan Quadron Ketiga
Buah dan Motivasi
Final Quadron
Sang Raja dan Penyihir
Keputusan Sang Raja
Ancaman Mangkuk Batu
Eorland Bebas
Pesta Besar di Wye Dungeon
Menghalau Bayang-bayang
Hari Keempat

Pasukan Berkuda

36 4 3
By NCDzilhaq

Musim gugur, 4090 M.A, Riverway.

Catherine mengeluh. Ia terpaksa menghentikan pekerjaannya di kebun demi mencari Rosie Pepperwhite ke seluruh rumah. Selama bertahun-tahun ia menjadi pengasuh kepercayaan keluarga Pepperwhite, tapi dia tidak pernah secapek ini. Sepanjang siang, ia telah mencari ke kamar, halaman belakang, dan terakhir, ia mencari di kebun. Sesekali ia bertanya pada tetangga, tapi jawabannya selalu tidak tahu. Karena menyerah, ia pun kembali ke rumah. Gwyneth, si juru masak, hanya menanggapi sambil mengeleng-gelengkan kepala. "Sudahlah, Cathy. Tanpa disuruh pun dia pasti datang makan siang."

"Oh, jadi kau mulai membela dia, ya?" gerutu Catherine. "Anak itu selalu saja bikin masalah. Kau masih ingat apa yang dia lakukan pada jemuranku?"

"Ya, dia mengejar-ngejar ayam sampai menabrak tiang jemuran, lalu merubuhkannya," kata Gwyneth. "Tapi, itu kan sudah tiga tahun yang lalu! Sekarang ia sudah besar!"

"Ya, sudah besar, tapi sifat bengalnya itu masih ada! Ingat keluarga Grimsby mengeluh salah satu domba mereka nyasar ke sumur tua? Siapa lagi biang keroknya? Ugh, seandainya kau jadi aku, apa yang bisa kaulakukan selain mengomel, Gwyneth?"

Gwyneth mengangkat bahu. Tangannya sibuk menguliti kentang. "Well, kalau kau bertanya, apa yang bisa kulakukan selain mengomel—mungkin aku akan bersabar."

Catherine mendengus kesal, lalu duduk menumpukan kepala di tangan kiri. "Awas saja kalau setan kecil itu ketemu," gumamnya. "Sabar, katamu? Bagaimana aku bisa bersabar? Dia berniat membuatku jengkel!"

Sementara kedua wanita itu membicarakan dirinya di dapur, Rosie Pepperwhite cekikikan, mengawasi dari jendela dapur yang terbuka. Ia diam-diam merangkak di balik tumpukan labu di halaman belakang, memutar ke kebun di depan rumah, lalu melompat keluar dari pagar kayu setinggi setengah meter. Dilihatnya di sepanjang jalan setapak Riverway yang penuh kesibukan petani, dedaunan kuning membentuk gundukan di bawah pepohonan yang meranggas. Musim Gugur tahun ini akan sangat hebat, pikir Rosie, dengan lentera dan lilin-lilin Halloween, serta dongeng-dongeng hantu, betapa sempurna!

Sambil terus berjalan, Rosie berpapasan dengan anak-anak yang bermain Tangkap-Penyihirnya-Lalu-Dibakar, sebuah permainan kuno yang diciptakan setelah insiden mengerikan terjadi di Moontrose. Permainan itu melibatkan seorang anak berperan sebagai penyihir yang diikat kedua tangannya oleh teman-temannya menggunakan tali, kemudian disuruh menyentuh teman-temannya menggunakan gagang sapu yang digenggamnya. Apabila temannya ada yang kena, temannya itulah yang harus menjadi penyihir berikutnya. Si anak yang berperan sebagai penyihir menjerit-jerit setengah tertawa sambil bersusah payah memukul tangan teman-temannya menggunakan gagang sapu, tapi gagal.

Rosie lalu meneruskan berjalan, hingga sampai di jembatan kecil yang melintang di atas sungai. Terlintas di benaknya percakapan Catherine dan Gwyneth barusan. Rosie sebetulnya tidak ingin membuat mereka repot, hanya saja dia merasa tidak layak diperlakukan seperti anak kecil lagi. Dua hari lagi, ia akan berusia tujuh belas tahun. Tidak boleh ada lagi perlakuan seperti anak kecil, tidak ada lagi dipaksa makan, tidak ada lagi dipaksa mandi. Tapi, yah, itu sih kalau Catherine sependapat dengannya, kan?

Melewati senja, riuh orkestra tonggeret mulai bermunculan di setiap sudut Riverway. "Itu artinya aku harus pulang," gumam Rosie.

(***)

Rosie berjingkat-jingkat menyelinap ke dapur, mengendap-endap di balik lemari makan, kemudian mencuri semangkuk sup yang masih panas. Namun saat ia baru akan mengambil sendok di lemari, suara berdehem keras mengejutkannya.

"Aha, ketemu juga kau!"

Rosie nyaris menjatuhkan supnya ketika menoleh ke belakang. Sosok tubuh lebar Gwyneth yang terkekeh-kekeh membuatnya menghela napas lega.

"Oh, Gwyneth! Kukira tadi kau Catherine!"

"Firasatmu meleset!" tawa Gwyneth. "Dan sebaiknya kau cuci tangan dulu sebelum makan."

"Baik, tenang saja, aku tidak lupa dengan tata krama," ujar Rosie. "Bagaimana keadaan Nenek?"

"Dia masih tidur," jawab Gwyneth. "Aku sudah memintanya makan siang, tapi dia tidak bangun. Yah, namanya juga orang tua. Semua orang tua kan begitu."

"Aku akan menengoknya kalau begitu."

"Jangan!" cegah Gwyneth. "Dia butuh istirahat. Aku tak berani, karena selain galak, lebih-lebih karena ingatannya melemah, ia mungkin tidak ingat siapa saja penghuni rumah ini."

"Ah, masa?" kata Rosie. "Aku yakin Nenek akan baik-baik saja. Kalau memang dia tidak ingat lagi pada wajahku, biarlah dia hanya ingat dengan sifat bandelku."

Dengan demikian, Rosie pergi ke kamar neneknya. Gwyneth hanya geleng-geleng kepala. Meskipun sifatnya bengal minta ampun, Rosie begitu sayang pada neneknya. Neneknya-lah orang yang membawa Rosie ke rumah itu. Kepergian kedua orang tua Rosie yang misterius membuat nenek Rosie mengambil sang cucu untuk tinggal bersamanya. Satu orang lagi yang tinggal di rumah itu bersama Nenek, Rosie, Catherine, dan Gwyneth adalah pelayan muda bernama Joseph yang amat pendiam. Dia sangat menyayangi Rosie seperti adiknya sendiri. Meskipun keluarga kecil itu tidak kaya, mereka menjalani hidup dengan bahagia.

Nenek masih tidur nyenyak sambil mendengkur. Kain bantal yang selesai direnda diletakkan di pangkuannya. Perlahan-lahan Rosie mendekati kursi neneknya. Nenek tetap mendengkur, tenggelam dalam mimpi-mimpinya. Rosie mengelus tangan neneknya, lalu pergi. Ia bergegas kembali ke halaman rumah, lalu menggali sebuah lubang tempatnya menyimpan sebuah peti rahasia. Tadi, ketika bersembunyi, Rosie diam-diam mencari batu putih untuk menghias kalungnya yang tersimpan dalam peti itu. Batu putih yang ditemukannya memiliki bentuk seperti bintang segi lima. Rosie pun mengikat batu tersebut dengan tali sebagai liontin. Setelah jadi, dipandanginya hasil karyanya itu dengan bangga. 

Tiba-tiba, Rosie mendengar suara Catherine dari kejauhan. Ia buru-buru naik ke kamarnya menggunakan tali yang dipasang di bingkai jendela. Tali itu segera ditariknya kembali sebelum berbaring diam di kasurnya, tepat ketika Catherine juga naik ke kamar. Rosie terkikik-kikik sendiri dari dalam selimutnya. Setelah memastikan semua beres, Catherine turun.

"Mudah sekali meloloskan diri darinya!" gumam Rosie sembari mengelus kalung batu putihnya dengan geli. Setelah itu, ia menenggelamkan diri ke dalam tidur pulas yang sesungguhnya.

(***)

Halloween kali ini membuat wanita-wanita Riverway amat antusias. Labu-labu yang dipanen dinaikkan ke atas gerobak untuk diolah. Mereka juga buru-buru mencari buku resep hidangan Halloween. Oh, jangan bayangkan makanan Halloween di Riverway berupa permen dan kue manis. Makanan khas Halloween warga Moontrose adalah stump-neep, sejenis puding labu. Soal dekorasi rumah, Riverway punya kekhasannya sendiri dibandingkan daerah-daerah Moontrose lainnya. Kalau keluarga-keluarga miskin mendekorasi pintu dan jendela dengan daun-daun myrtle, keluarga-keluarga yang lebih kaya memasang lentera kelap-kelip dari akar pohon yang digantung di atas pagar, diisi lilin yang malam harinya dinyalakan. Pria-pria Riverway yang mulanya sibuk pergi ke ladang kini banyak yang pulang demi menyiapkan pesta makan malam bersama keluarga. Sementara itu, anak-anak yang iseng berlarian di halaman, memakai seprai lusuh menutupi tubuh untuk menakut-nakuti tetangga.

Rosie turun dari kamarnya setelah lama tertidur. Saat ia menuju ke dapur dengan mata mengantuk, tahu-tahu tangan Catherine sudah menjewer telinganya.

"Baru sekarang kau bangun, heh? Enak sekali kau tidur dan menghilang seharian sementara aku berusaha menjaga penghuni rumah ini tetap hidup!"

"Awww... Cathy! Lepaskan!" erang Rosie. "Memangnya aku harus selalu berada di rumah terus? Aku butuh cari udara segar!"

Catherine mendesah. "Daripada kau menghilang nggak jelas, mending kau bantu Joseph membersihkan kandang ayam!"

"Oh, jadi aku yang harus membersihkan kandang ayam sementara kau dan Mr Lodrick saling bercengkrama di pagar? Ya, Catherine, aku tahu dia tidak bisa melepaskan pandangannya darimu, setidaknya ketika istrinya tidak memperhatikan," Rosie membalas sambil menyeringai.

Muka Catherine langsung merah padam. Sambil menggerundel, dia pergi membawa nampan berisi puding dan sup untuk Nenek, sementara Rosie tertawa penuh kemenangan. Dia suka menggoda Catherine, namun sebetulnya dia sayang kepada pengurus rumah itu. 

Tiba-tiba, terdengar ribut-ribut di luar. Seorang tetangga, Mr Faye, sedang beradu mulut dengan seorang pemuda tak dikenal yang mengenakan mantel bertudung hitam. Istrinya tampak pias di pintu, berusaha menyuruh mereka diam tapi sia-sia. Ditambah gonggongan anjing peliharaannya, Sober, keramaian semakin menjadi-jadi. Para tetangga yang penasaran berebut mengintip dari jendela rumah.

"Pergi kau! Jangan harap aku melihat wajahmu lagi!" bentak Mr Faye. Ia mendorong pemuda itu sampai nyaris tersungkur, lalu mengajak istrinya masuk sebelum membanting pintu. Pemuda yang diusir tadi tampak salah tingkah. Ia berjalan dengan tergopoh-gopoh meninggalkan rumah Faye. Mantelnya yang panjang berkibar-kibar ditiup angin. Dia tidak berbalik. Rosie bertanya-tanya, siapa pemuda itu? Sepertinya ia habis melakukan perjalanan jauh, karena mantel yang dikenakannya tampak lusuh dimakan cuaca.

Peristiwa ini betul-betul menarik—sangat langka dan seru untuk diselidiki. Maka, setelah para tetangga pulang, Rosie diam-diam merangkak ke bawah jendela rumah Faye untuk menguping percakapan di ruang tamu.

"Aku sudah bilang berkali-kali, Rowena, jangan mengizinkannya masuk!"

"Mau bagaimana lagi, James? Aku tak bisa memperlakukan tamu kita seperti itu," elak istrinya. "Sudahi saja permusuhan ini, beri dia ampun!"

"Dia sendiri yang memulainya, lalu dia berharap bisa kembali mendapatkan ampun dariku? Tidak akan! Ingat apa yang dia lakukan? Dia nyaris membuat Angus kehilangan nyawa!"

"Aku tahu—tapi masalah itu kan sudah berlalu. Angus sedang sakit, James. Tidak ada gunanya kau menambah-nambah beban pikiran dengan menyimpan dendam pada pemuda itu. Lagipula, dia dan teman-temannya akan..."

"Aku tidak peduli! Mereka sudah membahayakan anak kita satu-satunya, Rowena!"

"Kita tidak bisa terus menerus menyalahkan orang lain, James. Semuanya sudah terjadi!"

Mr Faye terisak. "Oh, Rowena... aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Aku harap pemuda itu tidak pernah datang kemari. Semoga dia menanggung akibat dari dosanya karena mengajak anak kita mengikutinya!"

"James! Jangan berkata seperti itu!" seru istrinya. "Sungguh... kau sudah kelewatan..."

"Kelewatan bagaimana? Oh, jangan bilang kau membelanya, Rowena! Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?"

"Aku bersumpah, James! Tidak ada!"

"Kalau begitu kenapa kau terus-terusan membela keparat itu?!"

Rosie menempelkan telinganya semakin kuat ke jendela. Hening sejenak, sebelum Mrs Faye menjawab dengan suara gemetar. "Aku membelanya karena itu hal yang benar. Kau sudah kelewatan, James! Dia berusaha memperingatkan kita!"

"Memperingatkan? HA!" tawa Mr Faye menggema. "Dari kejahatan macam apa? Hantu? Penyihir? Kau selalu percaya dongeng-dongeng Halloween kuno, Rowena."

"Itu bukan dongeng, James! Dia berusaha memperingatkan kita tentang hal itu."

"Peringatan itu hanyalah akal busuknya, Rowena. Biarkan dia pergi. Kalau dia berhasil ditangkap prajurit kerajaan, itu malah lebih bagus. Sudah bukan tanggung jawab kita lagi melindunginya."

Rosie sadar dia sudah terlalu lama menguping, jadi ia pun segera merangkak kembali ke rumah lewat pintu belakang. Pikirannya kalut tentang bahaya yang diperingatkan oleh si pemuda asing. 

Hantu dan penyihir. Tidak mungkin. Gwyneth bilang, para penyihir sudah dibinasakan sejak dua ratus lima puluh tahun yang lalu. 

Rosie bergidik. Apa maksud semua ini?

Malamnya, keluarga kecil Pepperwhite makan dengan ceria. Mereka saling melontarkan canda dan tawa, kecuali Joseph yang hanya terdiam. Rosie tidak terlalu menyimak. Ia terlalu sibuk memikirkan apa yang didengarnya dari pasangan Faye. Tak ada satupun di meja makan yang memperhatikan Rosie menerawang, kecuali Nenek. Ia menangkap keanehan pada cucunya. Seusai makan, Rosie mencuci piring-piring di dapur. Saat itulah, tahu-tahu Nenek sudah berdiri di belakangnya.

"Apa yang terjadi padamu, young lass?" kata Nenek sembari tersenyum. "Kau sedang tidak enak hati rupanya?"

Rosie terkesiap, lalu berbalik. "Ya, sepertinya begitu," jawabnya sambil memaksa tertawa.

Neneknya mendesah. "Menemukan sesuatu hari ini?"

"Oh, ya, tentu saja! Aku lupa memberitahu Nenek, aku tadi menemukan batu putih yang bagus. Bentuknya unik, seperti bintang..."

Nenek tergelak. "Oho, sungguh? Kupikir ceritanya lebih dari itu."

"Hmmm, yah, sebenarnya tidak penting—hanya mendengar ribut-ribut di rumah keluarga Faye tadi."

"Lalu?" tanya Nenek antusias. "Apa yang terjadi?"

"Entahlah," sahut Rosie. "Sepertinya, James marah pada seorang pemuda dan mengusirnya, begitu."

Nenek balas menatap ke arah mata Rosie yang sehijau apel. "Bagaimana dengan peringatan pemuda itu?"

"Peringatan? Nenek tahu dari mana soal peringatan?" Rosie terkejut.

"Ya, aku suka menduga-duga," kata Nenek, senyumnya mengindikasikan sesuatu yang misterius. "Apa benar?"

Rosie masih bingung, tak tahu harus menjawab apa, namun tatapan neneknya menandakan bahwa jawaban apapun itu bukan masalah asalkan ia menjelaskannya dengan runtut. "Well, pemuda itu asing, tidak jelas dari mana asalnya. Siapa tahu dia cuma menakut-nakuti suami-istri Faye, bukankah begitu?"

"Yaaa... bisa juga. Tapi, Sayangku, tidak baik mencampuri urusan orang lain. Kau tidak tahu apa yang sedang mereka hadapi," angguk Nenek, mengusap-usap dagu dengan tangannya yang keriput. "Ah, aku akan kembali merenda. Jangan lupa, Sayangku, katakan pada Joseph untuk mematikan lentera depan rumah sebelum dia tidur."

"Baik, Nek, aku akan bilang padanya nanti," sahut Rosie.

"Anak pintar," senyum Nenek, lalu dengan langkah terseok-seok ia menuju kamarnya.

Rosie memandang lentera kayu yang digantung di atas pagar mereka sambil menerawang. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu setelah menaruh kembali piring-piring ke rak untuk ditata, ia naik ke kamarnya dan berbaring. Ia tidak tertidur, hanya terdiam sambil mendengarkan suara anak-anak bermain mercon di depan rumah. Sejenak kemudian, terdengar suara harmonika yang begitu merdu dari kandang ayam. Rosie melongokkan kepala sedikit ke balik jendela. Joseph-lah yang memainkannya. Suara harmonika itu seolah meringankan pikiran Rosie yang tengah berkecamuk. Selagi ia memejamkan mata, seluruh Riverway serasa tenggelam bersama kesadarannya.

Malam itu, Rosie bermimpi tentang pasukan berkuda. 

Awalnya, ia tidak yakin apakah ia bermimpi atau tidak, karena mimpinya terasa sangat nyata. Ia berdiri di sebuah padang rumput dengan kaki telanjang, mendongak ke arah matahari terbenam dengan takjub. Rosie bisa menyaksikan penunggang-penunggang dalam pasukan itu mendekat ke arahnya. Mereka semua terlihat gagah dengan baju zirah dan pedang. Kuda-kuda yang tinggi besar berlari dengan lincah. Tapi tiba-tiba seekor kuda meringkik keras, dan penunggangnya terjatuh...

Tiba-tiba, sebatang anak panah meluncur, menembus baju zirah si penunggang. Berkelebat darah berceceran, teriakan perang, bunyi sangkakala, dan kaok burung gagak yang berputar-putar di udara...

Rosie ketakutan. Dicobanya bangun, namun pemandangan yang sama terpapar di hadapannya. Rosie mencoba menjerit sekencang-kencangnya, namun suaranya tenggelam dalam dentingan baja dan dompakan ladam yang beradu dengan tanah. Debu-debu beterbangan... kepala terpenggal... tubuh mati berserakan...

Rosie tak bisa bergerak. Seekor kuda hitam legam dengan mulut dan ladam bersimbah darah menerjang ke arahnya. Matanya menyala-nyala seperti bara api. 

"Bangun, bodoh!" umpat Rosie pada dirinya sendiri. "BANGUN!"

Syukurlah kali ini, Rosie sungguh terbangun. Terengah-engah, ditatapnya sekeliling. Gelap gulita dan hening. Tak ada suara kecuali napasnya sendiri yang terputus-putus. Rosie mengusap keringat dingin di dahinya. Dia baru ingat pesan neneknya, tapi Joseph pasti sudah mematikan lentera, karena depan rumah mereka juga sudah gelap gulita. Dia pun kembali merebahkan diri, tidur lebih cepat dari perkiraannya, namun tanpa mimpi yang mengganggunya. 

(BERSAMBUNG)

Continue Reading

You'll Also Like

35.1M 886K 30
COMPLETED Two teenagers, a party and the unmistakeable mate pull, but what happens when it follows with a steamy night and a rejection the next day...
83.5K 3.4K 26
""SIT THERE AND TAKE IT LIKE A GOOD GIRL"" YOU,DIRTY,DIRTY GIRL ,I WAS TALKING ABOUT THE BOOK🌝🌚
226K 3.8K 59
𝐈𝐍 π–π‡πˆπ‚π‡ π–¬π–Ίπ—‚π—Œπ—‚π–Ύ 𝖦𝗋𝖾𝖾𝗇, 𝖺 𝗐𝖾𝗅𝗅-π—„π—‡π—ˆπ—π—‡ π–Όπ—ˆπ—‡π—π–Ύπ—‡π— π–Όπ—‹π–Ύπ–Ίπ—π—ˆπ—‹ π—‚π—Œ 𝖽𝖾𝗆𝖺𝗇𝖽𝖾𝖿 π—π—ˆ 𝗉𝖺𝗋𝗍𝗇𝖾𝗋 𝗐𝗂𝗍𝗁 𝖬...
148K 9.4K 43
Elizabeth has been ruling her kingdom for 3 years now. She's gone through countless advisors in those 3 years. When she's finally ready to give up on...