Under Your Spell

By TheReal_SahlilGe

387K 72.1K 212K

Sejak keterkaitannya dengan masalah paradoks Lana, mau tak mau Sidney harus terlibat dengan urusan para Sine... More

01 - The Heir
02 - Becoming
03 - Something Crazy
04 - Sosok
05 - Dalam Bahaya
06 - Target
07 - Good Couple
08 - Sisi Gelap
09 - Manusia Separuh Iblis
10 - Di Balik Mantra-mantra
12 - Escape
13 - Feeling Fantastic
14 - Survive [A]
14 - Survive [B]
15 - Agreement
16 - Sabotase
17 - Jangan Dibuka
18 - The Lonely Demon/Ripped Heart
19 - Sabotase Alam Bawah Sadar
20 - Mempesona
21 - Terperangkap
22 - K A T A S T R O F E
23 - Time And The Stories in Between
24 - Limbung
25 - I Got Your Back
26 - Hopless Rivality
27 - I'm sorry, I miss you
28 - Kekalahan Yang Manis
29 - Jiwa-jiwa yang Digadai
30 - Rajah dan Nektar
31 - Here I Am Trying
32 - Born To Fight
33 - Kangen, Itu Saja
34 - Moral of The Story
35 - The And [TAMAT]
36 - New Era

11 - Mereka Datang

8.5K 1.8K 1.3K
By TheReal_SahlilGe

Song: Zombie by Damned Anthem.

*****************

CHAPTER 11

[Sidney Vancouver]

Samar-samar gue bisa mendengar suara. Perlahan gue membuka mata. Blur. Gue mengucek mata dan meregangkan badan yang terasa seperti baru digebukin masa. Lalu terkejut ketika mendapati gue terbaring hanya memakai celana dalam dan berbalut selimut. Mata gue melebar dan melihat waspada ke sekeliling. Seketika ngos-ngosan. Nggak ada siapa pun.

Pakaian gue di mana?!

Tak lama kemudian gue mendengar seperti ada seseorang yang membalik halaman buku di ruang depan. Lalu gue berjalan ke arah pintu masih memakai selimut kayak kebab. Gue membuka pintu perlahan, sedikit demi sedikit untuk mengintip. Itu Lexi yang sedang membaca buku di sofa.

Gue menutup mulut dengan tangan. Ya Tuhan. Apa gue habis diperkosa? Apa Lexi telah memanfaatkan situasi genting ini untuk nakalin tubuh indah gue?

Gue melangkah mundur kedodoran. Tanpa sengaja gue menginjak selimut yang gue pakai sampai membuat gue tersandung dan jatuh gedebuk ke lantai kayu.

"Sid?" panggil Lexi dari luar. "Lo udah bangun?"

Gue terkejut dan buru-buru menutupi tubuh gue dengan selimut lagi. Langkah Lexi terdengar mendekati kamar. Gue segera bangkit namun lagi-lagi menginjak selimut dan kembali terjatuh. Lalu pintu terbuka. Gue duduk terpojok di dekat tempat tidur. Apakah seperti ini rasanya ternodai seperti di sinetron-sinetron?

"Lo ngapain meringkuk di lantai?" tanya Lexi heran.

"Jangan mendekat!" seru gue cepat-cepat. "Lo habis ngapain gue?" napas gue ngos-ngosan. Begidik membayangkan Lexi yang mungkin sudah melihat setiap jengkal tubuh gue, memfotonya, dan tertawa penuh skandal.

"Apaan sih?" tanya Lexi sebal.

"Kenapa gue nggak pakai baju? Siapa yang lepasin semuanya? Di mana baju dan celana gue?"

Lexi memutar bola matanya. Tangannya melipat di dada.

"Baju lo sobek karena dirusak oleh diri lo sendiri makanya dilepas. Celana lo basah kuyup semuanya. Jangan pura-pura lupa sama apa yang sudah terjadi."

Hah?

"Dan bukan gue yang lepasin pakaian lo. Orang lain. Tukang yang benerin kaca. Mas-mas," tambahnya.

Mata gue kiyip-kiyip memproses semuanya. Sampai akhirnya sisa-sisa sel otak gue yang masih hidup terhubung. Gue mengembuskan napas lega.

Kemudian Lexi berjalan ke arah gue beberapa langkah. Mulutnya komat-kamit tanpa suara. Gue menatap bingung. Lalu dia menjentikkan jari dan tersenyum seolah berhasil melakukan sesuatu.

Lexi lantas keluar dari kamar.

Gue masih heran sama perbuatannya barusan. Namun anehnya, ketika gue mau benerin selimut, ternyata gue sudah berpakaian tertutup. Lah, kok bisa? Kapan gue memakai sweater dan celana training? Gue lalu meraba-raba tubuh gue untuk memastikan kalau baju ini sungguhan. Dan itu memang sungguhan.

Cepat-cepat gue berjalan keluar dari kamar. Masih tetap selimutan khawatir pakaian yang gue kenakan cuma ilusi. "Lo yang bikin gue pakai baju lagi?" tanya gue spontan.

Lexi yang sudah kembali duduk di sofa menatap sungkan ke arah gue. "Kenapa? Mau disulap biar lo telanjang sekalian?"

Gue terkesiap. Menelan ludah.

Teringat apa yang terjadi tadi siang, gue lalu mengambil ponsel di meja kasir. Tiga belas panggilan tak terjawab dan puluhan pesan WhatsApp dari Sahnaz. Menahan diri untuk nggak membukanya sekarang karena gue nggak tahu harus ngasih penjelasan apa.

Gue mengerjap. Hari sudah malam. Lexi sedang baca buku di sofa ditemani satu cangkir berisi minuman panas dan sepiring kue pukis. Gue terbangun persis beberapa menit menjelang azan Isya. Jadi selama itu gue hilang kesadaran.Menoleh ke arah Lexi yang lagi khusyuk membaca sambil memijit-mijit keningnya. Dia bukan cuma membaca. Tapi seperti menghafalkan sesuatu.

Gue pergi ke kamar mandi untuk memastikan sesuatu. Karena ingatan gue terakhir kali adalah gue masuk kamar mandi dan seperti mengacau. Namun ketika gue sampai di sana, kamar mandi gue baik-baik saja seolah nggak pernah terjadi apa-apa.

"Ada yang mau lo jelasin ke gue?" gue bertanya begitu kembali ke Lexi dan duduk di seberangnya.

"Lo jadi demit. Mecahin keran. Ngerusak cermin. Teriak-teriak. Jatilan. Minta makan beling," jawab Lexi tak serius dengan wajah yang masih fokus ke bacaan.

"Lex gue serius."

"Serius."

"Lo nggak serius."

Dia lalu menutup bukunya dan menatap gue dengan tatapan menelisik. "Sepertinya setelah makhluk itu memakan semua perasaan negatif lo yang tersisa sekarang adalah lo yang jauh lebih baik. Lo kelihatan nggak murung lagi," kata Lexi setelah berlagak menganalisa. Tapi memang gue merasa super segar.

"Jadi?"

"Gue punya banyak hal untuk dijelasin. Tapi setelah kita buat kesepakatan."

"Kesepakatan apa?" tanya gue mengambil satu kue pukis dan memakannya.

"Lo harus tinggal di Remember Me untuk sementara. Semacam karantina. Sampai gue bener-bener tahu solusi untuk situasi lo."

"Apa? Lo gila?"

"Lo yang gila kalau masih mau menyangkal apa yang gue pinta." Wajah Lexi serius. "Tadi siang gue yang jemput pacar lo dan antar dia sampai rumah. Gue udah bikin alasan semasukakal mungkin biar Sahnaz nggak mau ke Remember Me. Tapi kayaknya lo juga perlu ngomong sesuatu ke dia secara langsung," Lexi menjeda, "karena kayaknya dia lagi punya masalah juga."

Gue berhenti mengunyah begitu mendengar kalimat terakhir Lexi. "Masalah apa?"

"Dia nggak mau cerita. Mungkin karena dia maunya cuma cerita sama lo."

Pikiran gue langsung gelap. Lalu gue bergegas ke arah cantelan jaket. "Juno pernah bilang, waktu gue kesurupan ada orang yang namanya Ustaz Tarjo yang bisa nyembuhin gue. Jadi sekarang gue cuma perlu nyari orang itu aja. Dan semua ini akan berakhir."

Lexi menaruh buku di atas meja. Lalu menatap seolah gue baru saja mengatakan sesuatu yang tolol.. "Bukannya gue nggak percaya sama ilmunya ustaz yang lo sebutin tadi. Tapi ini beda, Sid."

"Apanya yang beda?" tanya gue sambil meraih jaket di cantelan.

"Tunggu. Lo mau ke mana?"

"Pulang," jawab gue. "Lalu nemuin Sahnaz. Atau nyari Ustaz Tarjo dulu." Gue buru-buru.

"Seriously?"

"Lex."

"Nggak. Gue nggak bakal biarin lo keluar dari tempat ini. Gue sudah lihat seperti apa perubahan wujud lo ketika makhluk itu mengambil alih diri lo. Lo pasti juga ngerasain sebrutal apa makhluk itu dalam diri lo, kan? Lalu sekarang lo mau pulang dan memungkinkan seluruh keluarga lo dalam bahaya? Lo mau membahayakan Sahnaz juga?"

"Sekarang gue udah nggak apa-apa."

"Iya, tapi begitu lo keluar dan perlindungan dari Remember Me memudar, bukan nggak mungkin kalau lo bakal kembali jadi seperti yang lo takutin." Lexi berbicara dengan penekanan memaksa. Wajahnya terlihat sangat kelelahan.

"Sekarang lo baru bangun, bukannya meminta penjelasan atau sedikit arahan dari gue, lo malahan pengin langsung pulang?" Lexi semakin memberondong gue, "Gue tadi jemput pacar lo dari sekolahnya karena lo masih nggak sadar waktu dia telepon belasan kali. Dan gue juga harus bikin alasan semasukakal mungkin supaya dia nggak minta ke sini. Gue capek dengan hari ini! Jadi, plis, dengerin gue dulu," Lexi nyaris meluap-luap.

Gue ingin menentang, tapi melihat wajahnya yang seperti ... benar-benar malas berdebat dan kelelahan, akhirnya gue berusaha dengerin apa maunya. Lalu gue kembali duduk seperti anjing yang takut digeretak pemiliknya.

Kemudian dia menjelaskan satu persatu mengenai apa yang terjadi pada diri gue. Dia menguraikannya perlahan, bagaimana iblis itu bereaksi di tubuh gue, apa yang mungkin bisa terjadi, apa saja risikonya, dan apa saja pantangannya. Dia menjelaskan apa saja yang terjadi hari itu secara detail. Termasuk hal mengejutkan tentang rahasia buku-buku. Siapa itu Kalima, Quentin, dan Alistair. Dan apa persamaannya antara kasus Mas Bahri dengan Gue.

Gue membelesak di sofa dengan perasaan lemas.

"Jadi yang benerin kamar mandi lo juga? Dengan mantra reparasi?" tanya gue masih agak ragu.

Lexi mengangguk.

"Dan lo nggak kesusahan menghafal empat ratus empat puluh empat mantra?" tanya gue lagi.

"Di mata lo mantra-mantra itu akan terlihat seperti kalimat-kalimat dengan aksara yang asing. Bukan seperti alfabet. Tapi di mata gue, itu lebih seperti getaran energi yang cuma perlu gue sentuh dan mereka akan terserap ke dalam memori gue melalui ujung-ujung jari ketika gue menyentuh halamannya. Yang susah cuma ketika gue harus mempraktikannya satu per satu atau mengingat apa kegunaan setiap mantranya. Gue sudah menyerap mereka sebanyak tujuh puluh persen. Nggak akan gue selesaikan di sini karena ada beberapa proses pemulangan ruh Alistair yang nggak boleh lo lihat. Maksud gue, kami sudah berjanji."

Gue terkesiap dengan semua yang Lexi ceritakan.

"Jadi-. Jadi mantra yang sudah lo hafal sekarang, mereka hanya akan bekerja untuk benda-benda?"

Lexi mengangguk. "Ya. Sebenarnya, menurut gue inti dari mantra-mantra itu hanyalah pada perintahnya. Yang membedakan cuma tingkat konsentrasi gue pada benda apa yang gue kehendaki. Seperti mengadakan, menghilangkan, mengurangi, menambahkan, menggerakkan, menghancurkan, memperbaiki, dan semacamnya. Itu yang nggak dipahami oleh Bramantya sehingga dia harus mencatat semuanya sampai beratus-ratus. Padahal cuma perlu memahami perintahnya aja." Dia menyandarkan punggung di sofa. Mengusap wajah dengan kedua tangannya.

Oke, jadi sekarang gue tahu kenapa kamar mandi itu bisa diperbaiki seperti semula dan kenapa tiba-tiba gue sudah pakai baju.

"Lo udah makan?" tanya gue.

"Nasi, belum. Gue dari tadi di sini terus, jaga-jaga lo ngamuk. Sambil berurusan sama mantra-mantra ini."

"Oh." Gue terhenyak. "Makasih."

Lengang sesaat.

"Jadi, gue nggak akan bisa sembuh dari pengaruh iblis ini?" tanya gue.

Lexi menghela napas. "Mungkin bisa, tapi gue belum tahu. Antonim dan Sinonim cuma bisa pergi kalau inangnya mati. Dan lo pasti nggak mau mati, kan?"

"Kalau iblisnya? Maksud gue, Antonim mungkin bisa hilang kalau gue mati. Tapi mungkin iblis bisa keluar kalau gue diruqyah," ujar gue. "Asli, gue nggak lagi bercanda soal ruqyah."

"Jadi lo mau berusaha nyari yang namanya Ustaz Tarjo?"

Gue mengangguk. "Masalahnya adalah gue nggak tahu dia orang mana. Gue nggak pernah nanyain Juno."

Lexi lalu mendengus. "Masa iya harus gue daftarin lo ke acara ruqyah yang di tivi-tivi."

"Ya jangan lah."

Lengang yang datang kemudian terbuyarkan oleh suara perut gue. Lantas gue memesan paket ayam goreng skala rame-rame ke restoran cepat saji melalui aplikasi. Makanannya datang setengah jam kemudian.

Gue sama Lexi makan berdua. Satu ember ayam goreng dan empat gelas kola.

Hari sudah semakin merangkak menuju malam. Gue mengabari Ibu untuk nginep di Remember Me tanpa alasan apa pun. Langsung dapat izin karena gue emang jarang nginep di luar selain di rumah Juno. Dan itu sudah sangat lama sejak terakhir gue nginep di luar.

"Menurut lo gue harus ngabarin Sahnaz gimana?" tanya gue ke Lexi yang lagi makan satu paha ayam. "Asli, gue bingung karena semua pesannya belum gue buka. Gue bahkan nggak tahu dia ngirim pesan apa."

"Ya balas aja sebisa lo. Lagian gue udah bilang ke dia kalau lo lagi sakit. Jadi gue yakin banget dia nggak bakal memberondong lo dengan banyak pertanyaan yang nggak penting," jawab Lexi.

Gue masih bingung. "Masalah apa sih kira-kira? Maksud gue yang Sahnaz bilang ke lo. Dia cerita banyak, nggak?"

Lexi menghentikan aktivitas makannya. Tatapannya bergerak aneh seperti ingin mengingkari sesuatu. "Oke. Sebenernya gue udah janji sama dia untuk nggak bilang ke lo. Tapi karena, gue kira lo beneran harus tahu. Asalkan, lo janji untuk nggak berbuat yang macem-macem."

"Apa?"

Lexi diam sesaat. "Dia mau pindah kota ngikutin orang tuanya yang dipindahtugaskan."

Gue tertegun sesaat. "Serius?"

"Ada satu lagi. Ini nggak diakui sama Sahnaz ke gue, tapi waktu gue antar Sahnaz pulang, ada satu cowok yang ngikutin motor gue. Dan cowok itu masih satu sekolah sama Sahnaz. Entah bagaimana gue merasakan energi cowok itu seperti familiar. Mirip energi yang gue lihat waktu pertama kali gue datang ke sini. Persisnya ketika lo lagi mungutin pecahan kaca pintu."

"Oke." Gue langsung mengaitkan banyak hal. "Ada lagi?" tiba-tiba kening gue mengetat. "Kalau sampai cowok itu macam-macam lebih jauh sama Sahnaz, dan entah apa urusannya sama gue. Awas aja kalau sampai ketemu," rahang gue gemeretak dengan sendirinya. "Dia bakal menyesal berurusan sama siapa."

"Sid?"

"Gue bakal robek perutnya. Gue bakal congkel matanya. Gue bakal potong urat nadinya. Gue bakal cabut jantungnya. Gue bakal-."

"Sid!" seru Lexi melempar tulang ayam ke wajah gue.

Seketika gue buyar dan wajah gue sedikit kebas. Napas gue ngos-ngosan. "Gue nggak tahu kenapa dengan sendirinya mulut gue bilang seperti itu," ujar gue.

Lexi menelan ludah. "Sepertinya lo sama sekali nggak boleh terpancing emosinya. Lo jadi berpikir seperti psikopat."

Untuk sesaat entah gue maupun Lexi sama-sama mengatur napas dan menghentikan aktivitas makan.

Gue mengusap wajah bingung. Ini nggak akan jadi lebih baik.

Namun ketika keadaan kembali terkendali, gue tiba-tiba merasakan sebuah firasat yang aneh. Gue seperti memiliki sebuah insting yang sangat kuat. Sebagian tubuh gue meremang.

Tak lama kemudian, orang-orang di luar sana berlarian seperti ada sesuatu yang menakutkan sedang mengejar dari arah Timur. Kendaraan-kendaraan bergegas putar arah. Ada beberapa yang memilih keluar dari mobilnya dan lari.

Gue dan Lexi saling tatap. Sebuah getaran terasa dari lantai. Terjadi lindu kecil. Lalu dengan sendirinya semua lampu di Remember Me padam. Gue dan Lexi bergegas pergi ke arah pintu. Namun pintu itu sama sekali tidak bisa dibuka. Tak lama kemudian secara serentak kaca-kaca Remember Me berubah menghitam seolah tidak ingin membiarkan sesuatu dari luar melihat kami yang ada di dalam sini.

"Hei!" gue protes ke Remember Me. "Ini apa-apaan, sih?"

Kami berdua sama sekali nggak bisa melihat apa yang terjadi di luar sana. Yang kami tahu hanya suara jeritan yang terdengar sahut menyahut dan geraman-geraman aneh, banyak sekali, seperti ramai-ramai. Gue lalu mengintip dari lubang kunci. Terlihat orang-orang berlarian kacau. Sampai akhirnya ada seorang pedagang asongan yang sedang berlari kesusahan sambil memanggul kardus dagangannya dan langsung ditubruk oleh tiga sosok yang sangat menyeramkan seukuran orang dewasa. Satu menyerang kaki, yang satu lagi menerkam bagian perut, dan yang lain menggigit-gigit leher.

Lalu sosok yang lain benar-benar berlari kencang mengejar orang-orang yang kalangkabut menyelamatkan diri.

Gue seketika menjauh dari pintu karena terkejut dengan apa yang gue lihat. Ketika Lexi hendak mengintip, salah satu makhluk itu balas mengintip persis di lubang kunci yang sama. Itu membuat Lexi sontak berteriak dan mundur. Seolah itu pancingan, makhluk itu lantas menggeram keras-keras. Tangannya berusaha mencakar-cakar pintu.

Gue dan Lexi mundur bersamaan. Wajah kami saling tatap dan seratus persen bingung dengan apa yang sedang terjadi di luar sana. Satu hal yang jelas, mereka sangat banyak dan bisa berlari kencang.

Seketika pikiran gue langsung terlempar pada keluarga gue di rumah dan Sahnaz. Bagaimana dengan mereka?

Jeritan kesakitan dan teriakan ketakutan warga di luar sana terdengar semakin ramai.

"Ini apaan, Lex?" tanya gue dengan suara gemetar.

Lexi yang selama ini seperti nggak punya rasa takut bahkan mendekat ke arah gue. Dia memegangi lengan gue sebagaimana seorang cewek yang ingin mencari sedikit rasa aman. "Gue nggak tahu!" jawab Lexi dengan suara setengah berbisik.

Lalu tak lama kemudian Remember Me benar-benar seperti dikepung. Banyak, sekali.

******************

Continue Reading

You'll Also Like

180K 22.5K 21
[ a spin off to Childhood Memories, feel free to read this one without read the first one BUT it might be a spoiler for the first one ] Ini cerita te...
21.4K 1K 9
aku siap dan menerima kesabaran yang kau lakukan..
22K 4K 3
Apalagi yang perlu saya cari di luar ketika lantai rumah saya sudah menumbuhkan bermacam-macam cara untuk bertahan hidup? Apalagi yang perlu saya car...
428K 12.4K 5
"Ambu, kalau seorang ratu harus menanggung beban sebesar itu, biarkan aku jadi jelata saja. Aku tidak ingin bersama dengan raja yang tak setia." 🌺�...