[DS#2] Between Me, You and Wo...

By Fionna_yona

905K 54.7K 1.9K

Cerita ini seri kedua dari Dimitra series. menceritakan putra kedua keluarga Dimitra yang berprofesi sebagai... More

Wajib Baca
Prolog
Mr. Gio Armano Kenneth Dimitra
Little Girl
Bingung ๐Ÿ˜ฎ
What I've Done?
Kemarahan Arman
Would You Forgive Me?
Start Falling
Asha
bukan update
Arman's Anger
Atasan Aneh!
Bisa-bisa Jatuh Cinta
Gadis Kesayangan
I'm Right Here
Pretty Boy
Yes, I Would
I'm The Only One
Mempertahankan!
Serigala Betina๐Ÿบ๐Ÿบ
He's Back
Dimitra's Future Daughter-In Law
Give You All Of Me
Like A Child
Malu ๐Ÿ™ˆ
Arman's Promise
He Did It
Have A Nice Dream
Girl's Quarrel
Pencarian Dimulai
Lega
Kemungkinan Terburuk
Aku Janji โœŒ
Tolong Jaga Dia
Keras Kepala
Pengusiran
Meminta Penjelasan
Pamit
Heran
Saving Her
Penjelasan
Janji
Meminta Restu?
Sempurna
Calon Menantu Dimitra
Selamat Malam ๐Ÿ˜ด
Apa Aku Pantas?
Like an Alpha ๐Ÿบ
Pantas Saja!
Bad Party
Bad Party, or Not?
Fitting
๐ŸŽŠThe Day๐ŸŽŠ
The Happy Ending? or Not?
Sucker
Sweetness in Ibiza
๐Ÿ›ซ Flight Home ๐Ÿ›ฌ
Sehat-Sehat
Kemurkaan Arman
Tunggu Sebentar
Princess Ella
Ketenangan
A Day With Ella
Welcome To The World
Prahara
Maaf
Jangan Pergi!
Maafkan Aku
Awas Saja!
Baiklah
Remarried
Takut
Selamat Malam๐Ÿ˜ด
Scary Couple
Alvian Sakit
Anak Serigala๐Ÿบ
Kembar Berdebat
Janji Arman
Ketika Si Kembar Berkelahi
Cepat Bangun!
Cepat Sembuh
Pelajaran Kecil ๐Ÿ˜ˆ
Good Daddy
Dimitra's Next Daughter In Law
Insecurity
Like Father Like Son
Like An Angel
Terima Kasih (End)
Special Part 1 #1

The Wise Albern

9.7K 620 41
By Fionna_yona

Albern sedang mendrible bola di tangannya saat sepupunya menepuk bahunya dan membuat dia mendengus dengan cepat.

"Kak... jangan marah lagi dong!" Pinta anak itu.

"Kita udah dimarahin dan dihukum loh sama ayah kami," ujar satu orang lagi.

Albern malah melempar bola itu ke Alden, adiknya, sementara dia memilih duduk di pinggir lapangan.

"Kak..."

"Berisik tahu nggak?!" Marah Albern akhirnya.

Alden dan Alvian tahu kakak mereka masih marah. Baru dua hari lalu, Kaysha akhirnya datang ke rumah dan memaafkan semua orang yang tempo hari memakinya. Namun, tidak dengan Albern. Anak itu masih shock dengan permintaan Kaysha yang ingin pergi darinya. Albern marah dan kesal tapi, tidak bisa berbuat apa-apa.

"Sudahlah, kalian pulang dulu saja. Kak Albern sedang dalam mode bisa dibujuk. Sebenarnya bukan kalian saja, ayah kami juga dimusuhi oleh kak Albern," ujar Alden.

"Om Arman juga?" Tanya seorang anak laki-laki yang merupakan kembaran Nia, Anthony.

Alden mengangguk.

"Daddy dimusuhi kakak sejak kak Kaysha hilang waktu itu," ujar Alden.

"Kakak pikir, daddy pilih kasih karena kalian keponakan daddy," ujar Alvian menambahkan.

Keempat anak itu terdiam. Mereka menghela kecil dan menunduk.

"Kalian diapakan sama ayah kalian?" Tanya Alvian penasaran.

"Aku dan kak Ella dihukum papa tidak diberi uang jajan dan disuruh kerja paruh waktu di restoran dan kafe. Kami juga dititip papa di dua panti asuhan yang berbeda," ujar Tony.

"Kalau kalian?" Tanya Alden.

"Hampir sama. Kami juga dititip papi untuk tinggal di panti asuhan. Uang jajan tidak diberikan. Kami saja sedang bingung harus makan apa," ujar Zack mewakili dua adiknya.

Albern diam-diam mendengarkan ucapan sepupu-sepupunya. Dia baru menyadari, kenapa ayahnya tidak memarahi sepupu-sepupunya. Kemungkinan sang ayah tahu kalau anak-anak itu sudah dihukum oleh ayah mereka masing-masing.

"Sampai kapan kalian dihukum begitu?"

"Sampai kak Albern memaafkan kami. Atau mungkin lebih lama lagi," ujar Tony.

"Nia juga memusuhi kami. Dia diberitahu oleh mama dan dia marah besar pada kami," sambung Tony.

Alden hanya menepuk bahu Tony dan memberikan tatapan mengasihani pada kakak sepupunya itu.

"Kak..." panggil Vincent membuat Alden menoleh.

"Apa?"

"Jajanin kita sih..." pinta anak itu.

"Kenapa?"

"Aku lapar kak. Papi tidak memberikan kami uang jajan,"

Alden mengangguk kecil. Dia mengajak saudara sepupunya ke kantin untuk dia ajak makan. Albern sendiri masih duduk di pinggir lapangan. Tangan kanannya masih terbalut perban. Beruntungnya, dia mahir menggunakan kedua tangannya. Albern memang sejak kecil selalu menggunakan kedua tangannya secara bergantian. Jika dia malas menulis dengan tangan kanan, dia akan menulis dengan tangan kiri.

"Hhh..." Albern menghela kecil.

Dia mendongakkan kepalanya dan berakhir memanggil salah satu pengawalnya.

"Ya tuan muda,"

Albern memberikan dua lembar uang pecahan seratus ribu di dompetnya ke tangan pengawalnya.

"Bayarkan makanan mereka di kantin dan sisanya berikan pada mereka,"

"Baik tuan,"

Albern kembali merenung. Dia memang marah, namun apa yang paman-pamannya lakukan harusnya cukup untuk membuat mereka jera. Albern akhirnya mengangguk dan segera berdiri. Dia berjalan menuju ke kelas Kaysha, dia akan meminta anak itu untuk mengobati tangannya kembali. Matanya menangkap Kaysha sedang duduk bersama Nia di depan kelas Kaysha.

"Ah! Kak Albern!" Panggil Nia dengan riangnya.

"Hai," sapa Albern seadanya.

"Kenapa?" Tanya Kaysha.

"Mau minta tolong,"

Kaysha melihat tangan Albern. Dia juga melihat anak itu berkeringat. Kaysha tahu Albern habis bermain basket seperti biasa.

"Al,"

"Hm?"

"Kamu habis main basket? Memangnya tanganmu tidak sakit?"

"Aku main dengan tangan kiri,"

Kaysha mengangguk saja. Dia pamit pada Nia dan berjalan bersama Albern ke ruang kesehatan. Disanalah Albern melihat Vincent sedang diganggu oleh beberapa kakak kelasnya. Vincent baru berusia sebelas tahun namun, yang mengganggunya sudah memakai seragam SMP. Mengesalkan.

"Siapa yang kau panggil anak yatim?" Tanya Albern.

Albern melangkahkan kakinya mendekat dan berdiri di depan Vincent.

"Vincent tentu saja,"

"Atas dasar apa?"

"Vincent anak pungut, kan? Kami melihatnya keluar dari panti asuhan tadi pagi,"

Albern mengepalkan tangannya. Kesal dan marah. Dia memang masih marah pada adik sepupunya, namun melihat mereka dihina begini, jelas Albern tidak akan senang. Tangan Albern terulur dan mencengkram kuat kerah baju salah satu anak itu.

"Adikku ini sedang mencoba merasakan bagaimana penderitaan orang lain. Kalian berani menghinanya dengan kata-kata itu? Kalian belum pernah merasakan murka keluarga Dimitra, kah?" Tanya Albern.

"Kalau berita ini terdengar oleh pamanku dan ayahku, siap-siap saja perusahaan ayah kalian yang tidak seberapa itu untuk hilang tak berbekas," tambah Albern.

Anak-anak itu meneguk ludah mereka dengan lambat. Mereka takut pada Albern. Walau Albern hanya menahan satu orang untuk dia cengkram kuat, mereka merasakan rasa takut yang besar pada Albern.

"Jadi, selagi aku masih berbaik hati, silahkan angkat kaki kalian dari sini dan tutup mulut tidak berguna kalian itu rapat-rapat,"

Albern melepaskan anak itu dan tanpa perlu disuruh dua kali, ketiga anak itu melarikan diri dari hadapan Albern. Albern melihat adiknya masih menunduk. Albern menghela kecil. Dia menarik adiknya dan memeluk anak itu. Walau bagaimana pun usia Vincent baru sebelas tahun. Vincent masih saja anak sekolah dasar.

"Jangan pikirkan ucapan mereka!"

Vincent mengangguk tangannya meremas kemeja Albern dengan kuat. Albern hanya mengusap rambut adiknya itu dengan perlahan. Kaysha yang melihat hanya bisa tersenyum kecil.

"Sana ke kantin. Katanya tadi lapar," ujar Albern.

Vincent mengangguk lagi. Setelah Vincent pergi, Kaysha mengajak Albern ke ruang kesehatan. Dia mengobati Albern dan membalut kembali luka di tangan Albern.

"Terima kasih," ujar Albern.

"Aku ke kelas dulu, ya?"

Albern mengangguk. Selepas kepergian Kaysha, Albern menghubungi ayahnya.

"Ya, nak. Ada apa?"

"Apa hari ini om Ardan dan om Arsen akan ke tempat daddy?"

"Hn. Mereka sedang disini,"

"Albern kesana kalau begitu,"

"Sekarang?"

"Iya. Daddy tolong minta mereka menunggu,"

"Baiklah,"

Albern segera kembali ke kelasnya. Dia merapikan tasnya dan meminta izin pada wali kelasnya juga guru piket. Setelah mendapat izin, dia segera pergi ke kantor ayahnya. Hanya butuh waktu setengah jam untuk menuju ke kantor sang ayah.

"Kenapa?" Tanya Arman saat melihat putranya datang ke kantornya.

"Om, bisa kalian menjemput mereka pulang?" Tanya Albern pada kedua pamannya.

"Kenapa memangnya?" Tanya Ardan.

"Albern tahu  juga menitipkan beberapa pengawal untuk mereka. Tapi, mereka ada di luar begitu, apa om yakin kemungkinan kecil mereka tidak akan diusik oleh saingan kalian?"

"Aku sih tidak punya saingan," ujar Arsen.

Albern mengumpat dalam hati. Dia baru sadar. Pamannya yang itu adalah dokter yang sudah pasti tidak punya saingan.

"Ya, apapun itu. Jemput mereka kembali," ujar Albern.

"Kenapa? Mereka mengadu padamu?" Tanya Arsen.

"Tidak,"

"Lalu?"

Albern baru mau berujar jika saja, ponsel Arsen tidak berdering. Arsen mengangkat panggilan itu dan mengumpat hingga membuat Albern terkejut.

"Kenapa?" Tanya Ardan pada adik kembarnya.

"Apa kamu meminta kami menjemput karena kamu tahu mereka diusik?"

"Apa yang terjadi pada Vincent?"

Arsen terkejut saat Albern malah balik bertanya. Seperti anak itu memang datang karena melihat adiknya terusik.

"Kakak kelasnya membullynya,"

"Kalau om memang mau mereka belajar menghargai orang memang cara seperti itu benar. Tapi, om lupa," ujar Albern.

"Semakin kesini, anak-anak semakin tidak memakai otak untuk bicara. Kami cenderung berbicara lebih dahulu sebelum berpikir,"

"Hah?"

Arman mengangguk. Kebiasaan anak muda masa kini. Mulut lebih cepat dari otak. Mereka akan lebih mudah mengatakan apapun tanpa memikirkan akibat ucapan mereka. Setelah terlibat masalah karena ucapan mereka, mereka baru akan berpikir dan menyesal.

"Jemput mereka pulang," ujar Arman.

"Keponakan-keponakanku tidak akan sekuat Kaysha. Terlebih mereka laki-laki, yang membully mereka juga pasti laki-laki. Jelas kalian tahu bagaimana mereka kalau sudah mulai melakukannya lebih dari sekedar hinaan,"

Ardan dan Arsen menghela. Mereka memang agak keterlaluan mungkin. Tapi, anak-anak itu memang perlu dididik agar menghargai orang lain.

"Apa om Angga memberitahu om kalau yang membully Vincent itu anak kelas dua SMP?" Tanya Albern pada Arsen.

Arsen terkejut. Semakin dia mendengar semakin dia merasa keputusannya menghukum ketiga anaknya agak keterlaluan. Arsen segera pamit pada Arman dan Ardan. Dia segera menjemput Vincent di sekolah. Ardan juga ikut pamit akhirnya. Hingga Arman hanya berdua di ruangan itu dengan Albern.

"Nak,"

"Aku sudah tidak marah. Kalau itu yang mau daddy tanyakan," ujar Albern.

Albern bahkan tidak segan mendekati Arman dan menyandarkan dahinya di badan tegap ayahnya.

"Kenapa?" Tanya Arman sambil mengusap rambut cokelat putranya.

"Aku minta maaf, dad,"

Arman terkekeh. Dia menepuk pelan puncak kepala Albern.

"Lupakan saja,"

"Tapi,"

"Daddy tidak apa. Lagi pula, wajar kalau kamu marah,"

Albern diam. Dia tidak lagi melanjutkan ucapannya. Dia hanya membiarkan ayahnya mengusap rambutnya dengan perlahan.

"Tidur Albern. Daddy tahu kamu sering tidak tidur belakangan ini,"

Albern mengangguk. Dia segera beranjak ke kamar istirahat Arman. Dia melepaskan kemeja sekolahnya dan juga sepatunya. Albern segera naik ke ranjang dan tidur. Arman diam saja melihat bagainana putranya terlelap dengan cepat.

"Dia benar-benar tidak sepertiku dulu," gumam Arman.

Sungguh, Arman bersyukur. Putranya memang marah dan sempat menyalahkan dirinya dan saudara sepupunya. Tapi, itu tidak berarti Albern tutup mata pada keadaan saudara sepupunya. Albern masih memperhatikan mereka dengan sangat baik. Albern tidak sama dengan dirinya dulu.

"Teruslah menjadi anak bijak, Albern,"

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 151K 41
DILARANG PLAGIAT, IDE ITU MAHAL!!! "gue transmigrasi karena jatuh dari tangga!!?" Nora Karalyn , Gadis SMA yang memiliki sifat yang berubah ubah, kad...
1.7M 84.6K 60
LO PLAGIAT GUE SANTET ๐Ÿšซ "Kita emang nggak pernah kenal, tapi kehidupan yang Lo kasih ke gue sangat berarti neyra Gea denandra ' ~zea~ _____________...
427K 41.7K 120
Dimitra Series yang ketiga Putra ketiga dari keluarga Dimitra yang bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit "Tolong saya..." Sebuah kalimat yang...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

1.8M 92.9K 54
"Walaupun ูˆูŽุงูŽุฎู’ุจูŽุฑููˆุง ุจูุงุณู’ู†ูŽูŠู’ู†ู ุงูŽูˆู’ุจูุงูŽูƒู’ุซูŽุฑูŽ ุนูŽู†ู’ ูˆูŽุงุญูุฏู Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...