Gone With The Wind

By voscherie

63.5K 6.6K 5.3K

What would happen if you fall in love with the right person at the wrong time? How does it feel when you have... More

Cast
1 : Reckless Behavior
2 : Troublesome Girl
3 : Annoying Mr. Psychiatrist
4 : Secret Mission
5 : Agreement
6 : Ordinary Human
7 : Assistance
8 : Secret Place
9 : Holding Hands
10 : Singing Contest
11 : Amateur Models
12 : Another Girl
13 : Nursing Him
14 : Insecurity
15 : Wrong Move
16 : All of a Sudden
18 : Realization
19 : Unexpected
20 : Confession
21 : Committed Relationship
22 : More Than Words
23 : First Vacay
24 : Overcoming Jealousy
25 : Promises
26 : His Ex
27 : Unrevealed
28 : Decision
29 : Triple Date
30 : Stay with Me
31 : You Are The Reason
32: Truth Be Told
33: Gone With The Wind
34: Yesterday's Tomorrow
35: We Belong Together [END]
🍼 𝑫𝒂𝒅𝒅𝒚'𝒔 𝑫𝒆𝒂𝒓 👶

17 : Slip of Tongue

1.5K 186 192
By voscherie

***

"Maybe there's only a dark road up ahead. But you still have to believe and keep going. Believe that the stars will light your path, even a little bit."

- Miyazono Kaori, Your Lie in April -

***

•••

Hal yang pertama kali Kiara rasakan adalah sebuah sentuhan hangat di kepalanya sebelum ia membuka kelopak matanya dengan perlahan. Kiara mengerjapkan matanya sesaat karena silau cahaya yang jatuh tepat pada retina matanya.

Ia menggerakkan sebelah tangannya yang tidak terasa berat untuk menghalau sinar itu sebelum ia menolehkan kepalanya ke samping. Bersamaan dengan itu, lensa matanya bertubrukan dengan lensa mata lain yang menatapnya dengan pandangan terkejut. Dokter Hiro? Kenapa dia ada di sini?

"Ra, kamu udah sadar? Tunggu sebentar saya ambilkan minum dulu."

Pandangan Kiara mengikuti punggung pria tersebut yang saat ini sedang mengambil segelas air dari galon yang berada di atas meja. Kiara menatapnya dengan sayu, pupil matanya masih berusaha untuk menyesuaikan intensitas cahaya di dalam ruangan itu. Pria itu pun berbalik sambil membawa gelas yang berisi air mineral, lalu ia memberikan gelas itu pada Kiara.

"Minum dulu, pelan-pelan."

Hiro membantu Kiara untuk duduk di atas kasur rumah sakit dengan melingkari tangannya di belakang punggung gadis itu. Kiara meneguk air mineral dengan perlahan. Setelah itu Hiro membantu gadis itu untuk berbaring di atas kasur dan menaruh kembali gelas itu di tempatnya semula.

Hiro menatap Kiara yang saat ini sedang memandangi atap ruangan itu dengan pandangan kosong. Tanpa sadar, Hiro kembali meraih tangan Kiara di dalam genggamannya sembari memastikan apakah keadaan gadis itu sudah baik-baik saja.

"Dok, liat anak kucing yang saya bawa gak?"

Hiro menautkan kedua alisnya bingung, "anak kucing apa maksud kamu?"

"Dokter Haikal..." ucap Kiara ketika ia mengingat orang terakhir yang ia lihat sebelum kesadarannya hilang. Lalu ia mengalihkan pandangannya pada Hiro, raut wajah pria itu tak bisa dibaca.

"Kamu istirahat aja ya, gak usah mikirin apa-apa dulu. Nanti saya tanyakan Dokter Haikal tentang anak kucing itu."

Hiro mencoba memahami apa yang dimaksud Kiara, karena mungkin saja Haikal yang mengetahui tentang anak kucing yang dimaksud oleh gadis itu.

"Dok..."

Hiro berdecak pelan. "Apa lagi? Kan udah saya bilang kamu istira-"

"Tangan saya kesemutan, Dok." Sambung Kiara sambil melirik sebelah tangannya yang sedang berada dalam genggaman hangat pria itu. Dia memang merasa nyaman, tapi bagaimana pun yang namanya kesemutan tidak bisa ditahan.

Ketika Hiro menyadari apa maksud gadis itu, ia langsung melepaskan tangan Kiara lalu berdeham pelan untuk menyembunyikan kegugupannya. "Ma-maaf saya gak bermaksud..."

"Kalau mau, pegang tangan saya yang ini aja, Dok." Potong Kiara dengan polosnya sambil mengulurkan tangan satunya lagi yang tidak kesemutan. Wajah Hiro langsung terasa panas karena mungkin jatungnya memompa darah dengan terlalu cepat, hingga darah itu mengalir secara berlebihan di area wajahnya.

Bukannya menyambut uluran tangan Kiara, Hiro malah mencubit hidung mancung gadis itu sampai si empunya mengaduh kesakitan. Sedangkan Hiro tertawa puas melihatnya.

"Ih us-il ban-het s-hih!" Ujar Kiara dengan suaranya yang lucu.

Kiara langsung menarik kuping pria itu dengan tangannya yang sudah ia ulurkan tadi untuk membalaskan dendamnya, membuat cubitan Hiro langsung terlepas dari hidungnya.

"Aww! Lepas lepas, sakit tau!" Pekik Hiro sambil berusaha melepas tangan Kiara yang menarik telinganya dengan sangat keras.

Kiara pun melepaskan tangannya lalu ia tertawa kencang saat melihat ekspresi kesakitan pria itu, yang kini sedang mengusap-usap telingannya sambil mengerucutkan bibirnya, lucu.

Looks like a baby... a giant baby.

"Udah sehat kan? Ayo pulang." Ucap Dokter itu sambil melirik Kiara dengan tatapan sinisnya.

Kiara menghentikan tawanya sejenak, kemudian ia mengernyitkan dahinya heran. "Kenapa pulang? Kan belum waktunya-"

"Kiara, asal kamu tau aja ya, kamu itu baru aja pingsan. Tadi tekanan darah kamu rendah, saya gak akan biarin kamu terlalu memforsir tubuh kamu sendiri. Sekarang kamu ambil barang-barang kamu di loker, lalu temui saya di parkiran."

Hiro pun mulai berdiri dari tempat duduknya, sebelum Kiara menarik bagian bawah lengan snelli yang dikenakan oleh pria itu untuk menahannya.

"Tapi Dok..."

"Saya sudah bilang temen kamu untuk bilang ke Pak Rey supaya kamu bisa izin pulang duluan."

Lantas Kiara menggelengkan kepalanya. "Bukan itu maksud saya, bagaimana dengan jadwal praktek Dokter?"

Hiro kembali menatap Kiara, pandangannya mulai melembut kali ini. "Kamu tenang aja, jadwal praktek saya sudah selesai sebelum jam istirahat dan saya sudah selesai menulis laporan pada rekam medis pasien saat istirahat tadi."

Setelah itu, Hiro berjalan pergi meninggalkan Kiara yang masih terdiam di tempatnya.

•••

"Kiara..."

Hiro memanggil nama gadis itu untuk membangunkannya. Sejak di perjalanan tadi Kiara tertidur di dalam mobil, mungkin karena badannya masih lemas jadi Hiro membiarkannya.

Karena gadis itu belum juga membuka matanya, akhirnya Hiro mendekatkan tubuhnya kemudian ia menempelkan telapak tangannya di dahi Kiara untuk mengecek suhu tubuh gadis itu. Secara perlahan Kiara membuka kelopak matanya ketika merasakan sesuatu menempel di dahinya dan matanya langsung membesar begitu menyadari posisi wajah Hiro yang begitu dekat dengan wajahnya.

"Akhirnya kamu bangun juga," ucap Hiro lega. Kemudian ia pun kembali menjauhkan tubuhnya dan duduk di posisi semula. Sedangkan Kiara dengan cepat mengalihkan wajahnya ke arah jendela di samping kirinya. Pipinya sudah merah merona akibat ulah dokter itu barusan.

Hiro segera mematikan mesin mobilnya kemudian ia mulai membuka pintu untuk keluar dari dalam mobil tersebut. Namun saat ia melihat Kiara masih terdiam di tempatnya, Hiro kembali menghela nafas panjang.

"Kenapa diem aja? Cepet turun terus bukain pintu rumah kamu, biar saya bisa masuk."

"Eh...?"

"Cepet keluar, kamu mau saya kunciin di dalem mobil?"

Kiara pun langsung tersadar dari lamunannya, lalu ia segera beranjak keluar dari dalam mobil itu dan mendorong pintu pagar rumahnya. Hiro pun mengikuti Kiara masuk ke dalam rumahnya setelah wanita itu selesai membuka kunci pintu rumahnya.

"Dok, itu apa?" Tanya Kiara begitu ia melihat plastik belanjaan yang dipegang oleh pria itu.

"Buah-buahan dan susu buat kamu." Timpal Hiro singkat.

"Eh...?"

"Kamu kenapa sih dari tadi ah eh ah eh? Belum saya apa-apain juga." Ucap Hiro dengan nada yang sangat datar.

Kiara menginjak kaki Hiro dengan sangat keras. Membuat pria itu mengaduh kesakitan. "Dasar omes!" Lalu Kiara pun kembali melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk mengambil segelas air mineral.

Setelah ia kembali ke ruang tengah, ia melihat Hiro sudah duduk di atas sofa sambil membongkar barang belanjaannya di atas meja. Mulai dari pisang, alpukat, semangka potong, apel, jambu biji, anggur, stroberi, jeruk dan yang terakhir susu low fat tersaji di atas mejanya. Kiara melongo begitu menyadari bahwa meja itu sudah berubah menjadi toko buah dadakan.

"Dok... i-itu buat siapa?"

"Kak!" ucap Hiro singkat.

"Maksudnya?"

"Sekarang udah bukan di rumah sakit Kiara, inget kesepakatan kita kan?"

Kiara baru menyadarinya, sebelumnya mereka sepakat bahwa selain di rumah sakit atau selama jam magang, Kiara harus memanggil Hiro dengan sebutan kakak. Tapi tetap saja sulit membiasakan diri untuk mengganti panggilan itu secara otomatis.

'Kenapa sih? Gak gunain satu nama panggilan aja, ribet tau!' gerutu Kiara dalam benaknya...

"Jadi kamu mau manggil saya dengan sebutan apa? Honey? Belum saatnya."

... atau tidak benar-benar dalam benaknya, karena tanpa sengaja ia baru saja menyuarakan isi kepalanya itu.

Sungguh memalukan.

Tapi apa katanya tadi? Panggil honey? Cih enak aja... sorry mayori deh.

Eh, tapi gapapa sih kalau udah jadian, sah-sah aja kan mau panggil honey bunny sweety juga?

"Malah bengong lagi...cepet bawa buah-buahan ini ke dapur kamu."

"I-iya hon-eh Kak!"

Hiro tertawa mendengarnya.

Duh bego banget sih gue, pake acara slip of tongue segala lagi.

Kiara langsung mengambil satu persatu wadah buah ke dalam tangannya sambil menunduk malu. Sedangkan Hiro yang melihat gadis itu kesusahan, segera beranjak dari tempat duduknya, lalu ia pun ikut membawakan wadah buah itu ke dapur.

Setelah Kiara selesai menaruh buah-buahan tersebut di atas keranjang buah dan sebagian lainnya ia masukkan ke dalam kulkas, ia segera berjalan menuju tangga yang terhubung dengan lantai 2. Namun pria itu terlebih dulu menahan langkahnya.

"Tadi siang kamu makan apa?"

Kiara kembali mengingat kejadian sebelum ia pingsan tadi siang. "Jajan gorengan, Kak."

"Jadi dari tadi kamu belum makan nasi?" Tanya Hiro lagi sambil membelalakkan kedua matanya.

Kiara hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, membuah Hiro berdesis kesal.

"Ya udah sana, kamu ganti pakaian dulu, biar saya yang nyiapin makanan untuk kamu." Hiro kembali membuka kulkas Kiara untuk mencari bahan-bahan yang bisa ia olah menjadi masakan.

Kiara menatap Hiro terkejut. "Tapi Kak..."

"Kamu mau pingsan lagi?"

Kiara kembali menggelengkan kepalanya, membuat Hiro berkacak pinggang seperti mak tiri ala sinetron di televisi.

"Kalau gitu nurut sama saya."

Tanpa berkata apa-apa lagi Hiro kembali menyibukkan diri memeriksa isi kulkas Kiara satu persatu. Kiara pun akhirnya mengalah dan berjalan ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian.

•••

Kiara kembali menuruni tangga ketika sudah selesai berganti baju di dalam kamarnya. Kemudian ia berjalan ke arah dapur ketika ia mulai mencium aroma mentega yang sedang dilelehkan di atas wajan penggorengan.

Hiro sedang sibuk bergulat dengan bahan-bahan masakan yang ia olah di atas penggorengan tersebut. Kiara hanya melihatnya sekilas sebelum ia mengambil buah pisang yang terdapat di atas keranjang buah, kemudian melahapnya setelah ia membuang kulitnya terlebih dahulu di dalam tempat sampah.

Beberapa menit kemudian, Hiro menghidangkan masakan yang ia buat di depan Kiara.

"Apaan ini Kak?" Tanya Kiara ketika melihat makanan di hadapannya.

Hiro mengambil kotak susu di dalam kulkas lalu menuangkannya pada gelas yang ia taruh di sebelah piring tersebut. "Ini sayur oplok-oplok namanya."

Kiara semakin mengernyit heran. "Sa-sayur apa? Oplok-oplok? Kok saya baru denger ya..."

Hiro duduk di hadapan Kiara yang masih menatap makanannya dengan ekspresi penuh kecurigaan. "Udah cepetan kamu makan, ini scrambled egg yang saya tambahkan bayam, paprika, keju dan susu. Jangan liat dari bentuknya yang berantakan. Semua bahan yang terkandung dalam makanan ini bagus untuk meningkatkan tekanan darah kamu."

Kiara pun tak lagi berusaha mendebatnya, karena dokter selalu benar. Saat Kiara hendak memakan masakan tersebut, Hiro kembali menahan tangannya. "Tunggu saya ambilkan nasi dulu, setidaknya kamu harus mengisi perut kamu dengan nasi walau hanya tiga sendok."

Setelah itu Hiro beranjak kembali mengambil semangkuk kecil nasi dari dalam rice cooker. "Nah sekarang kamu makan ya."

"Kak Hiro kok gak ikut makan?" Tanya Kiara sambil memincingkan matanya.

"Tadi siang saya sudah makan spaghetti yang kamu buat, sebelum mengisi laporan rekam medis pasien."

Kiara pun menganggukkan kepalanya. Kemudian ia mulai mengunyah nasi dan lauk itu di dalam mulutnya. Surprisingly, rasanya enak hingga membuat Kiara tersenyum sambil memakannya dengan lahap. Sedangkan Hiro hanya memandangi Kiara dengan senyum yang juga mengembang di wajahnya.

Setelah Kiara selesai menghabiskan makan siangnya dan meminum susu low fatnya. Kiara berjalan ke dapur untuk mencuci piring dan gelas kotornya, walaupun tadi Hiro sudah melarangnya, tapi Kiara ngotot dengan alasan, "kak tadi kan saya cuma pingsan, tangan saya masih bisa berfungsi dengan baik, jadi biar saya aja ya yang nyuci."

Dengan terpaksa, Hiro membiarkan gadis itu melakukan apa yang dia inginkan. Sembari menunggu Kiara selesai mencuci piring, Hiro beranjak dari meja makan dan berjalan ke arah sofa ruang tengah untuk mengistirahatkan otot-otot tubuhnya yang pegal sambil menonton televisi.

Tak lama kemudian, Kiara pun ikut menyusul dan duduk di sebelahnya. Hiro memandangi gadis itu dari samping, kecantikan Kiara bahkan terlihat semakin stand out saat sinar matahari menerpa wajah gadis itu dari samping, membuat Hiro semakin terpesona padanya.

Tiba-tiba Hiro menangkup pipi Kiara menggunakan kedua tangannya, membuat gadis itu mengerjapkan mata karena merasa kaget. Kemudian Hiro langsung mendekatkan wajahnya pada Kiara hingga membuat jantung gadis itu seakan ingin lompat dari rongga dadanya.

"Kak..."

Kiara pun menutup kedua matanya karena ia tak kuasa untuk menatap kedua bola mata indah milik pria di hadapannya itu yang sedari tadi tak berhenti menatapnya.

Detik kemudian, Kiara merasakan sesuatu yang hangat.

Di dahinya.

Dengan perlahan Kiara kembali membuka matanya. Hal yang pertama ia lihat adalah bulu mata pria itu yang menempel pada pipi, karena mata pria itu sedang terpejam. Dahi keduanya saling menempel, deru nafas mereka saling bersahutan, begitu juga dengan jantung mereka yang berdetak dengan seirama.

"K-kak..."

"Hmm?" Gumam Hiro dengan suara beratnya, membuat bulu kuduk Kiara meremang seketika.

"Nga-ngapain?"

Diam Kiara, saya sedang mengontrol diri saya supaya tidak mencium kamu detik ini juga.

Perlahan Hiro menjauhkan kembali wajahnya, lalu ia juga melepaskan kedua tangannya yang sedari tadi menangkup wajah gadis itu.

"Saya cuma mau mastiin badan kamu masih panas apa enggak."

"A-apa?"

"Sepertinya kamu udah lebih baik. Syukurlah..."

Kiara menatap pria itu-yang kini sudah kembali menonton televisi-dengan ekspresi terkejutnya. Sungguh tak dapat dipercaya, hanya untuk mengecek suhu badannya, pria itu sampai menempelkan dahinya sendiri hingga membuat dadanya bergemuruh bagaikan mengalami gempa vulkanik.

Memang saat ini badannya sudah tidak lemas lagi seperti tadi. Tapi... bagaimana kalau dia kena serangan jantung dadakan? Siapa yang mau tanggung jawab coba?

Kiara pun mendengus kesal. Kemudian ia pun kembali memfokuskan pandangannya pada layar televisi, berharap dengan begitu ia bisa mengeliminasi pikiran-pikiran aneh dari dalam kepalanya. Pikiran yang entah sudah berapa lama ini, dikuasai oleh seorang pria yang saat ini sedang duduk di sampingnya.

Tunggu Kiara... tunggu sebentar lagi sampai saya benar-benar memastikan perasaan saya terhadap kamu. Tunggu sampai saya memiliki keberanian untuk menyatakan apa yang saya rasakan sama kamu.

•••

"Kak, Kiara boleh tanya sesuatu gak?"

Hiro kembali menatap Kiara yang saat ini sedang sibuk mengaduk jus alpukat di dalam gelasnya. Tadi, ketika Hiro mengganti channel untuk menonton tayangan ulang film anime berjudul Shigatsu wa Kimi no Uso-atau yang juga dikenal dengan judul Your Lie in April-melalui saluran tv kabel, gadis itu berinisiatif untuk membuatkan jus dan popcorn sebagai camilan mereka.

Hiro meneguk jus jambunya sebelum ia menatap gadis yang masih duduk di sebelahnya itu. "Tanya aja."

Kiara menghela nafasnya pelan, sebelum ia menatap balik pria itu. "Tadi waktu saya pingsan, apa Kak Hiro yang memeriksa kondisi tubuh saya?"

Hiro menggelengkan kepalanya dengan cepat sebelum ia kembali mengalihkan kembali pandangannya ke layar kaca.

"Bukan saya, tapi Dokter Haikal."

"Oh gitu..." ucap Kiara sambil menganggukkan kepalanya.

"Kenapa emangnya?" Tanya Hiro tiba-tiba membuat Kiara gugup.

"Gak apa-apa kok, Kak." Lalu Kiara kembali menyeruput jus alpukatnya sebelum menaruh gelas itu di atas meja. "Oh iya Kak, emang Psikiater bisa juga ya ngasih pertolongan pertama untuk orang pingsan?"

Hiro menatap Kiara sekilas, merasa heran dengan pertanyaan polos yang dilontarkan oleh gadis itu barusan. "Ya bisa lah, sebelum jadi dokter spesialis kan psikiater juga pernah ngerasain jadi dokter umum."

"Oh ya? Gimana sih Kak proses jadi dokter spesialis itu? Kak Hiro udah berapa lama menekuni dunia kedokteran?"

Pertanyaan Kiara membuat Hiro kembali mengingat masa-masa ketika ia sedang menjalani pendidikan kedokteran.

"Dulu saya mulai masuk kuliah sejak usia saya masih 15 tahun."

"Wah... muda banget! Saya aja baru lulus SMA usia 17 tahun menjelang 18 tahun," timpal Kiara sumringah, membuat Hiro tersenyum melihatnya.

Hiro pun melanjutkan kisahnya, "Dulu sewaktu SMP dan SMA saya ikut kelas akselerasi. Sehingga saya lulus mendahului teman seusia saya. Jovan juga teman saya di kelas aksel."

Kiara membulatkan kedua bola matanya, "Jov-Jovan Alvaro?"

Hiro menganggukkan kepalanya. "Jovan itu aslinya pintar walau dia tukang tidur di kelas. Tapi setiap ujian dia selalu masuk ranking 3 besar. Makanya banyak perempuan yang ngejar-ngejar dia dulu."

Kiara masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Orang nyebelin kaya Jovan aja dibucinin, gak banget.

"Setelah saya lulus SMA, awalnya saya mau mendaftar sekolah penerbangan. Tapi pada akhirnya saya sudah terlebih dahulu diterima di jurusan kedokteran UI melalui jalur masuk tanpa tes."

Kiara kembali membelalakkan matanya dengan mulut menganga. Diterima di jurusan kedokteran UI tanpa tes? Luar biasa... khand maend. Kiara kembali memfokuskan atensinya pada pria itu.

"Saya berhasil lulus meraih gelar sarjana kedokteran selama 3,5 tahun. Lalu saya menjalani program koas selama 1,5 tahun. Setelah selesai menjalani program koas, saya menjalani ujian kompetensi dokter terlebih dahulu sebelum sah dilantik sebagai dokter."

Kiara hanya manggut-manggut sejak tadi, ternyata proses menjadi Dokter pun butuh masa yang cukup panjang.

"Setelah dilantik menjadi dokter, saya harus menjalani program internship selama satu tahun di pusat layanan kesehatan milik pemerintah. Baru setelah lulus menjalani program internship itu saya mendapatkan surat tanda registrasi dan surat izin praktik."

"Wah... selama itu baru bisa praktik sebagai dokter umum?"

"Iya, tapi saya mendapat rekomendasi dari supervisor saya saat internship untuk segera mengambil program dokter spesialis. Setelah itu saya menghabiskan waktu selama 4 tahun untuk menyelesaikan program spesialis tersebut, hingga sekarang saya sudah resmi dilantik sebagai Psikiater."

Kiara terpana mendengar penjelasan pria itu, sungguh perjalanan yang sangat panjang untuk sampai di titiknya saat ini. Kemudian sebuah pertanyaan pun melintas di benaknya, "Dokter Spesialis bukannya bisa membuka praktik sendiri, Kak?"

Hiro kembali menatap gadis itu sambil tersenyum. "Iya memang, tapi kalau mau buka praktik sendiri saya harus mengikuti program wajib kerja dokter spesialis di daerah selama setahun, belum lagi ada ujian kompetensi untuk mendapatkan surat izin praktik dokter mandiri."

Kiara menggaruk ujung hidungnya yang terasa gatal, "besar juga ya perjuangan seorang dokter untuk mendapatkan gelarnya."

"Tentu, tapi perjuangan itu sebanding kok ketika kami melihat kondisi pasien yang membaik," Hiro kembali meneguk jus jambunya sebelum ia memandang gadis itu lagi. "Tapi saya bersyukur, saya memilih untuk mencari pengalaman dulu di rumah sakit itu."

"Kenapa?" Tanya Kiara penasaran.

Hiro tersenyum sesaat sebelum ia membelai dengan lembut kepala gadis itu dengan tangan satunya lagi yang tidak memegang gelas. "Karena saya jadi bisa ketemu kamu..."

Mata Kiara kembali terbelalak, bukan karena rasa takjub seperti yang dirasakannya tadi. Tapi kali ini karena rasa lain yang tak mampu ia jabarkan dengan kata-kata.

•••

Hari sudah semakin sore, ketika mereka selesai menonton kisah percintaan antara Arima Kousei dan Miyazono Kaori yang memiliki ending yang sedih. Kiara baru saja memupus tetesan air yang mengalir dari matanya menggunakan tisu, karena air matanya itu tidak berhenti mengalir sejak tokoh utama wanita dalam film anime tersebut meninggal dunia akibat penyakit yang dideritanya.

Bahkan tanpa sadar ia sudah mendusel dengan nyaman di ceruk leher Hiro sejak tadi. Sedangkan tangan pria itu merangkulnya dari samping sambil mengusap-usap kepalanya dengan sangat lembut agar gadis itu tenang.

"Udah dong berhenti nangisnya, kan cuma film." Bujuk Hiro yang tak digubris oleh Kiara.

Gadis itu kembali meneteskan air matanya. "Tapi kan kasian Kousei kak, dari awal dia gak tau apa-apa, gak lama setelah Kousei tau Kaori mengidap penyakit yang mengancam nyawanya, Kaori langsung pergi meninggalkan dia untuk selamanya."

Hiro melirik gadis itu sekilas dari ujung matanya. "Setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan Kiara. Kita gak bisa menghindari itu, justru anime ini realistis banget, karena di dunia nyata memang gak ada yang namanya happy ending."

Kiara menatap Hiro dalam, sebelum ia menjauhkan diri dari dekapan pria itu lalu kembali duduk tegak di atas sofa. "Iya, di dunia nyata gak ada istilah happy ending terutama dalam kisah cinta, karena setiap manusia akan pergi, entah pergi ke lain hati atau ke dimensi kehidupan yang lain," gumam Kiara lirih.

Kemudian Hiro beranjak dari tempat duduknya sambil menatap Kiara. "Kamu mau makan cake?"

Kiara langsung menganggukkan kepalanya dengan semangat, saat sedang sendu seperti ini, cake adalah mood-booster terbaiknya.

"Oke, saya ambilin cheesecake yang ada di dalam kulkas ya."

Kiara kembali teringat akan cheesecake pemberian Keanu beberapa hari yang lalu. Ia melihat punggung Hiro yang mulai berjalan menuju dapurnya. Saat ini ia mulai menyadari, bahwa pria itu sudah menjadi bagian terpenting di dalam hidupnya. Dan dia takut jika suatu saat nanti ia harus berpisah dengan pria itu.

Setitik air mata kembali jatuh di pipinya, lalu sebelum Hiro melihatnya Kiara dengan cepat mengusapnya.

Don't think to much, Ra. Enjoy this very moment while it lasts.

Sesaat kemudian, Hiro kembali ke dalam ruang itu sambil membawa nampan berisi sepiring strawberry cheesecake dan dua buah cangkir berisi hot chocolate, lalu ia pun menaruhnya di atas meja.

"Kak Hiro tau aja Kiara lagi haus, hehe."

Kiara mengambil secangkir coklat panas itu lalu meniupnya sebentar sebelum ia menyeruput isinya. Kemudian ia kembali menaruh cangkir itu di atas meja sebelum mengambil strawberry cheesecake dan melahapnya dengan semangat.

"Umm... so yummy!" gumam Kiara sambil tersenyum bahagia.

Hiro tertawa melihat sisi kekanakan gadis itu. Kemudian tiba-tiba sebuah ide melintas dalam pikirannya.

"Kamu tau, walau eksistensi manusia gak ada yang abadi, tapi kita tetap memiliki satu cara untuk mengabadikan kenangan kita selama berada di dunia ini..."

"Oh ya? Gimana caranya?" Tanya Kiara sebelum kembali menyuapkan sesendok cheesecake ke dalam mulutnya.

Hiro menyunggingkan senyum dengan puas karena Kiara masuk tepat ke dalam perangkapnya.

"Kita bisa mengabadikan kenangan melalui foto."

"Oh iya, bener juga!" Ucap Kiara antusias.

Hiro memperhatikan perubahan ekspresi Kiara ketika ia kembali menggencarkan aksinya. "Apa kamu mau mengabadikan kenangan bersama saya?"

Hampir saja piring kue di tangan gadis itu jatuh ke bawah kalau Hiro tidak sigap menahannya. Setelah menaruh kembali piring itu di atas meja, Hiro kembali mengalihkan pandangannya pada Kiara. Tentu saja wajah gadis itu sudah merah merona dibuatnya.

"Ya udah kalau kamu gak mau, gak masala-"

"Mau kok, Kak! Kiara mau! Tunggu sebentar ya, Kiara ambil kamera polaroid dulu di kamar!" Seru wanita itu dengan wajah antusiasnya, membuat Hiro tertawa karenanya.

Lalu Hiro melihat gadis itu berlari ke atas tangga sebelum ia mengambil cangkir di atas meja dan sedikit menyeruput hot chocolatenya.

5 menit kemudian, Kiara kembali menuruni tangga dan berjalan kembali mendekatinya. Sepertinya mood gadis itu sudah kembali seperti sedia kala.

"Maaf ya Kak, tadi kameranya keselip di dalam laci, jadi lama nyarinya."

"Iya gak apa-apa kok."

Kiara pun kembali duduk di atas sofa lalu mendekatkan wajahnya dengan wajah pria itu. Hal itu membuat jantung Hiro otomatis berdegup dengan lebih cepat seperti biasanya, setiap kali ia berada di dekat gadis itu.

"Siap ya, Kak!" Kiara mengarahkan kamera itu pada wajah mereka. Lalu ia pun mulai memberikan aba-aba dengan menghitung mundur dari detik ketiga.

Hiro tersenyum sambil membentuk huruf v menggunakan kedua jarinya, sedangkan Kiara memanyunkan bibirnya agar matanya tidak terlihat sembab karena habis menangis.

satu...
dua...
tiga!

Hasil foto mereka pun keluar dari dalam kamera polaroid tersebut. Sembari menunggu sampai gambarnya muncul pada kertas film, Kiara hendak mengambil foto mereka lagi namun sayangnya kertas film dalam kamera polaroid itu sudah habis.

"Yah, cuma bisa ngambil satu foto..." ucap Kiara sedih.

"Bisa pakai kamera hp kan?" balas Hiro sambil mengeluarkan ponselnya.

"Tapi aku pengen tempel fotonya di dinding kamar."

"Aku?" Goda Hiro sambil tertawa ketika melihat wajah gadis itu kembali merona saat menyadari perkataannya.

"Ma-maksud saya..."

"Gak apa-apa kok, kalau mau pakai panggilan aku-kamu, saya gak masalah."

"Huft... saya kan gak sengaja, Kak."

Dalam hati, Kiara berulang kali merutuki dirinya sendiri yang akhir-akhir ini sangat ceroboh. Sepertinya lain kali ia lebih baik diam saja demi menyelamatkan harga dirinya dari situasi memalukan seperti saat ini.

"Itu udah kedua kalinya loh kamu slip of tongue... tadi siang kamu juga hampir panggil saya-"

"STOP! Jangan diterusin, please." Potong Kiara sambil menautkan kedua telapak tangannya dengan nada memohon.

"Loh kenapa? Saya kan udah ngasih izin, jadi gak masalah kalau-"

"Gak denger, pake masker!" Kiara menutup kupingnya dengan kedua tangannya, seolah dengan begitu ia bisa menghentikan ucapan Hiro masuk ke dalam telinganya.

Hiro malah tertawa melihatnya, bahkan saat ini ia sudah mencubit pipi gadis itu dengan gemas.

"Iya deh, maaf... saya bercanda kok."

"Bercandanya gak lucu." Balas Kiara sambil menepis tangan Hiro dari pipinya.

"Emang gak lucu sih, tapi berhasil bikin muka kamu semerah pantat bayi."

"Ihhh, Kak Hiro!" Kiara langsung memukul kepala Hiro menggunakan bantal sofanya, seperti yang ia lakukan kepada Keanu beberapa hari yang lalu.

Tapi bedanya, alih-alih merasa kesakitan seperti Keanu, Hiro malah tertawa dengan bahagia.

•••

Saat ini Hiro baru saja keluar dari kamar mandinya seusai membersihkan diri. Setelah selesai memakai piyama tidur, Hiro merebahkan badannya di atas kasur sambil menghela nafas panjang. Sungguh hari yang melelahkan, tapi entah kenapa hatinya justru merasa sangat bahagia.

Pria itu mengambil ponselnya yang sebelumnya sudah ia taruh di meja samping tempat tidurnya. Lalu ia membuka galeri fotonya untuk melihat hasil foto yang sempat ia abadikan di rumah Kiara tadi sore.

Ya, gambar yang saat ini sedang ia pandangi adalah hasil foto polaroidnya bersama gadis itu. Tadi sore saat Kiara sedang ke toilet, Hiro diam-diam mengabadikan foto itu menggunakan kamera ponselnya.

Jika dipikir-pikir, gadis itu terlihat serasi saat bersanding dengannya. Hiro pun menyunggingkan sebuah senyuman di wajahnya. Hatinya terasa hangat, dan perasaannya sungguh sangat bahagia.

Sudah lama ia tidak merasa sebahagia ini. Ah, benar, semenjak kejadian itu... seolah semua kebahagiaan di dalam hidupnya direnggut secara paksa.

Namun siapa sangka, seorang gadis bernama Kiara Juliana berhasil mengembalikan kebahagiaan itu padanya dengan cara yang tidak pernah ia duga.

Dia hanya bisa berharap, semoga kebahagiaan ini akan berlangsung selamanya, karena kali ini ia tidak ingin lagi kehilangan seseorang yang sangat berarti di dalam hidupnya.

Ia ingin Kiara Juliana selalu ada dalam hidupnya. Sampai kapanpun. Sampai akhir hidupnya sekalipun. Ia ingin Kiara tetap bersamanya, selalu.

•••

Hal yang kurang lebih sama sedang terjadi di dalam ruangan yang saat ini dihiasi dengan cahaya temaram dari kerlap kerlip lampu hias yang menempel di dinding kamar Kiara.

Gadis itu tersenyum sambil memandangi salah satu foto polaroid yang tergantung pada lampu hias tersebut. Baru kali ini ia memajang fotonya bersama dengan seorang pria, tentu saja selain foto bersama kakaknya.

Ada getaran hangat yang saat ini mengalir di dalam rongga dadanya, hingga terasa seperti setruman-setruman kecil yang mengakibatkan pipinya merona.

Ah, kenapa akhir-akhir ini pipinya itu mudah sekali berubah warna? Sudah seperti bunglon saja. Tapi kenapa hanya Kak Hiro yang berhasil membuatnya seperti itu?

Perubahan sikap Hiro saat ini sangat kontras bila dibandingkan dengan saat pertama kali Kiara mengenalnya. Bahkan dalam sehari ini saja, ia tidak bisa menghitung sudah berapa kali pria itu mencoba untuk menggodanya.

Terlebih lagi kejadian tadi saat di ruang tengah, ketika pria itu menempelkan dahinya di kening Kiara hingga membuat jantungnya berdebar dengan sangat cepat. Sepertinya semakin hari mereka semakin dekat. Dan anehnya, Kiara merasa nyaman dengan kedekatan itu.

Lalu ia teringat kembali kejadian tadi siang, saat tanpa ia duga, kepalanya begitu terasa sakit hingga membuatnya jatuh pingsan. Jujur Kiara takut. Akhir-akhir ini gejala sakit kepala itu semakin parah. Terlebih lagi, Kiara tidak bisa mengontrol gambaran potongan memori abstrak yang memaksa masuk ke dalam otaknya.

Ia harus bagaimana?

Kiara takut suatu hari nanti kisahnya akan berakhir seperti film anime yang baru ia tonton tadi sore. Sebab ia tidak mau berpisah dengan pria itu untuk selamanya. Tidak peduli siapa pun gadis yang dicintai oleh pria itu, tidak masalah, asal ia bisa tetap berada di dekatnya. Egoiskah jika ia berpikir seperti ini?

Karena Hiro Delvino sudah terlanjur masuk ke dalam hidupnya, karena Hiro Delvino sudah menerobos masuk ke dalam ruang hatinya yang terkunci rapat, karena Hiro Delvino mampu membuatnya merasa aman dan nyaman. Oleh karena itu, kali ini saja izinkan dia untuk memohon agar semesta bisa selalu membuatnya berada di dekat pria itu. Kali ini saja izinkan dia untuk egois dan memohon agar ia tidak pernah kehilangan pria itu dari sisinya.

Ah... benar saja, mungkin memang ini yang dinamakan cinta.

- to be continued -

•••

•••

Bagaimana perasaan anda setelah membaca chapter ini saudara Jovan?

Jovan Alvaro:

"Agak nyeseg dikit sih aing, thor..."

Ya udah sabar aja ya Van, orang sabar hatinya semakin lapang... selalu ingat pepatah yang mengatakan:

"Jika kamu mencintai seseorang, maka lepaskanlah. Jika ia memang milikmu, maka ia akan kembali padamu. Namun jika tidak, itu berarti ia ditakdirkan untuk menjadi milik sahabatmu."

- Kahlil Gibran -
(pepatah di atas sudah ditinjau ulang dan direvisi oleh Keanu Bimasakti agar sesuai dengan perkembangan zaman)


~ c u ~

Continue Reading

You'll Also Like

993K 61.4K 119
Kira Kokoa was a completely normal girl... At least that's what she wants you to believe. A brilliant mind-reader that's been masquerading as quirkle...
168K 4.8K 65
Daphne Bridgerton might have been the 1813 debutant diamond, but she wasn't the only miss to stand out that season. Behind her was a close second, he...
1M 35.5K 62
𝐒𝐓𝐀𝐑𝐆𝐈𝐑𝐋 ──── ❝i just wanna see you shine, 'cause i know you are a stargirl!❞ 𝐈𝐍 𝐖𝐇𝐈𝐂𝐇 jude bellingham finally manages to shoot...
492K 7.5K 83
A text story set place in the golden trio era! You are the it girl of Slytherin, the glue holding your deranged friend group together, the girl no...