KEEP SILENT (Completed) - Ter...

By verlitaisme

37.8K 3.9K 528

Kaisar dibunuh. Pengusaha IT terkenal itu ditemukan mati tanpa busana di bathtub apartemen mewahnya. Tidak ad... More

KEEP SILENT
Cast -1
Kaisar Mati
Otopsi
Kamu Pikir, Kamu Waras?
Selebgram
Blind Love
Bukan Orang Baik
Siapa yang Berbohong?
Damn
Pengakuan
Smoothie
D.P.R
Nama di Atas Kertas
Langka
Kamu Perlu Tahu

Alibi

2.1K 267 36
By verlitaisme

Sebelumnya :

"Kamu siapa?" tanya Zea ke si lelaki berambut klimis, yang wajahnya terlihat menyebalkan.

Bukannya menjawab, lelaki itu justru memaksa masuk. Mendorong tubuh Zea ke samping agar tidak menghalangi jalan.

Baru beberapa langkah, si rambut klimis berhenti, kemudian mendengkus.

"Dia benar. Tempatmu lebih seperti kandang dari pada apartemen. Jorok!"

Picture : Pinterest

Kandang?

Zea mendengkus. Hanya ada satu orang yang selalu mengatakan kalau apartemennya adalah kandang. Atasannya yang bahkan cuma sekali menjejakkan kaki di apartemen. Yang setelahnya berakhir dengan memberi perintah dari entah belahan dunia mana.

Lalu, manusia ini--yang entah siapa--berani menyebut apartemennya kandang?

Sialan!

Zea berbalik setelah sebelumnya menutup pintu hingga berdebum. Dia mendekati si klimis yang wajahnya terlihat menyebalkan.

"Maaf ...." Zea berkacak pinggang tepat di hadapan si lelaki yang mengenakan pakaian serba hitam.

"Aku Chen. Mungkin Pak Kepala sudah mengatakannya padamu ...." Lelaki yang mengaku bernama Chen itu melirik turun, menatap Zea tanpa mau menunduk sama sekali.

Sombong!

"Bos tidak pernah mengatakan apa pun tentang ... Chen?" Zea bergidik sok jijik. "Dia hanya mengatakan tentang psikolog---"

"Itu aku!" Chen menarik salah satu ujung bibirnya naik. Lalu, seperti tadi, dia mendorong Zea ke samping, berjalan masuk melewati ranjang, dan membuka tirai dengan kasar. Otomatis dia terbatuk, mengutuk debu-debu yang beterbangan seiring tirai yang terbuka. "Benar-benar jorok!" umpatnya.

Zea menghela napas lelah. Kesal dengan kelakuan Chen yang seenaknya. Menurutnya, sangat tidak mencerminkan jiwa seorang psikolog atau psikiater atau apalah itu namanya. Atau jangan-jangan dia menjadi gila karena selalu berhubungan dengan orang gila.

"Aku bisa menuntutmu dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan. Seenaknya masuk tanpa izin, dan ikut campur dalam urusan---"

"Aku hanya memastikan menemuimu sebelum kamu kembali bertugas, Detektif." Chen memotong ucapan Zea. Matanya menyapu ruangan, menggeleng. Tidak habis pikir mengapa kamar seorang perempuan bisa seberantakan ini.

"Aku belum membutuh---"

"Aku tahu!" Lagi, Chen memotong ucapan Zea. Membuat perempuan itu mulai kehilangan kesabaran, berkali-kali mengacak rambutnya yang memang sudah beratakan.

Chen mendekati Zea, merogoh saku kemeja dan menyerahkan selembar kartu nama pada perempuan itu.

"Ini kartu namaku. Kamu bisa menghubungi kapan saja. Sebagai informasi, aku dan Kaisar pernah beberapa kali bertemu."

Chen menggerak-gerakkan kartu namanya karena Zea tidak juga mengambil. Tetapi perempuan itu memang tidak berminat dengan kartu nama. Yang ada di benaknya saat ini adalah, mengganti Chen dengan psikolog kriminal yang lain.

Kesal, Chen membuka jari yang menjepit kartu nama, membiarkan kartu itu lepas dan jatuh tepat di ujung kaki Zea.

"Sampai bertemu lagi, Detektif. Aku rasa kasus ini bakal menarik." Chen berjalan ke arah pintu, tapi lagi langkahnya terhenti ketika tangan sudah mencapai kenop. "Omong-omong, aku juga membuka praktek umum. Kalau kamu mau berkonsultasi tentang kesehatan jiwamu, feel free."

Otomatis tangan Zea terkepal demi mendengar ucapan Chen. Sumpah serapah sudah ada di ujung lidah. Namun, ketika dia berbalik untuk memuntahkan makian, pintu sudah tertutup berdebum. Psikolog menyebalkan itu, sudah lenyap di balik pintu. Sehingga yang bisa dilakukan si detektif hanya berteriak-teriak kesal, dengan kaki mengentak-entak.

💕💕💕

Baru saja Zea selesai menarik resleting celana jeans-nya, ketika ponsel yang terserak di ranjang berdering. Dia merangkak di ranjang, menyingkirkan beberapa pakaian yang menyulitkannya mengambil ponsel.

Setelah ponsel berhasil diraih, senyumnya melebar. Itu Anita. Si ahli forensik itu pasti bermaksud memberi tahunya mengenai sidik jari di pakaian dalam merah menyala.

"Ya, Anita?" Dia menyahut ponsel, mencoba berdiri dari ranjang dengan susah payah. Pakaian-pakaian ini terlalu berantakan. Dalam hati, dia berjanji akan membereskan semuanya begitu kasus ini selesai.

"Berita buruk."

Kening Zea mengernyit seketika. Langkahnya berhenti di ujung ranjang. Diletakkannya bokong pada pinggiran kasur, mencoba menelaah arti berita buruk yang didengarnya barusan.

"Tidak ada sidik jari pada pakaian dalam. Seperti tidak berpemilik. Tidak ada sidik jari juga pada tubuh Kaisar. Bersih. Aku rasa, kasus ini akan lebih menyulitkan dari yang pernah kamu bayangkan."

"Kamu bercanda, Anita." Zea berkata dengan menyelipkan tawa kesal di ujung ucapan. Pasalnya, bagaimana mungkin tidak ada petunjuk sedikit pun? "Memangnya pelakunya hantu? Sebersih itu tanpa meninggalkan apa pun yang bisa dijadikan petunjuk?"

"Aku harus bilang apa, Ze? Ukuran pakaian dalamnya adalah size 40. Aku sudah mengecek profil Puri Shalitta karena kamu mencurigai perempuan itu. Masalahnya, tinggi badannya yang cuma 167 dengan berat badan 52, terlalu kecil untuk mengenakan size 40. Tidak ada kemungkinan kalau pakaian dalam itu adalah miliknya."

Tanpa sadar Zea mengacak rambutnya sendiri yang masih basah selepas mandi tadi. Hari masih pagi, tapi semua kejadian sejak subuh membuat suasana hatinya sudah berantakan.

"Kamu yakin?" Zea masih butuh diyakinkan. Di seberang sana terdengar Anita mendesah, membuat harapan leyap. "Apa menurutmu dia bunuh diri?"

"Aku memang tidak melihat adanya perlawanan. Bibir dan ujung-ujung kukunya membiru secara alami aibat tidak adanya asupan oksigen. Ada sedikit memar di tumit memang, aku tidak bisa memastikan apakah itu karena dia mencoba menendang-nendang sehingga tumitnya terbentur, atau memang terbentur sebelumnya." Anita terdengar menghela napas di ujung sana sebelum melanjutkan ucapan, "Aku beri tahu, ketika seseorang tenggelam, kesempatan bernapas hanya sekitar 60 detik, sebelum akhirnya kamu bernapas dalam air dan membuat katup-katup oksigen tertutup. Dan hanya butuh waktu sekitar 7 menit untuk kamu bisa mati."

"Aku pikir," Zea menghela napas berat dan lelah, "Kasus ini akan terungkap dengan sangat mudah, jika saja pemilik bra dan celana dalam itu adalah kekasihnya. Ternyata ...."

"Detektif tidak akan dibutuhkan jika semua kasus bisa dipecahkan dengan mudah, Zea. Sayang sekali ...."

Mereka masih berbincang beberapa saat, Zea masih mencoba memastikan sekali lagi apakah Anita benar-benar yakin dengan hasil otopsinya. Tetapi sepertinya Zea harus berhenti memaksa Anita, karena sepertinya si penakut itu sangat yakin dengan hasil pengecekannya.

Akhirnya setelah menutup telepon, yang Zea lakukan adalah menelepon bagian admisnistrasi di kantor kepolisian, meminta agar diterbitkannya surat penggeledahan dan panggilan atas nama Puri Shalitta. Dia tidak puas, jika tidak memastikan sendiri, ke mana kekasih Kaisar berada pada saat kejadian.

Setelahnya, tergesa ia melangkah hendak keluar kamar. Ketika matanya menangkap selembar kartu nama yang tercecer di lantai. Dia menunduk, mengambil kartu nama yang di atasnya terdapat nama Chen Adinata, Psikolog. Zea mendengkus. Itu adalah kartu nama si menyebalkan yang datang tadi pagi. Meski begitu, tetap dimasukkannya kartu nama ke dalam ranselnya. Siapa tahu suatu saat lelaki itu bakal dibutuhkan.

💕💕💕

Matahari sudah sangat tinggi pada saat Zea tiba di sebuah apartemen mewah, yang mana menurut informasi dari data resmi, Puri tinggal di salah satu unitnya. Kaisar yang menyewakan. Tersewa atas nama Kaisar Hengkara.

Salah seorang petugas apartemen dengan suka rela mengantarkannya ke unit apartemen di mana Puri tinggal, setelah Zea menunjukkan surat penggeledahan. Petugas itu membawa kunci cadangan, kalau-kalau penghuni tidak berada di lokasi.

"Sudah seminggu belakangan Mbak Puri tidak datang ke apartemen, Bu." Mereka berada di dalam lift ketika petugas dengan tampilan necis berjas itu, memulai pembicaraan.

Zea menoleh dengan tertarik.

"Makanya saya bawakan kunci cadangan. Takut kita pencet-pencet bel, ternyata yang bersangkutan tidak di tempat." 

Zea mengangguk. Saat itu pintu lift sudah terbuka di lantai tujuh. Bergegas keduanya keluar dari dalam lift. Si petugas membawanya ke unit 702.

Sementara si petugas itu menekan bel, Zea mengedarkan padangan ke sekitar. Menangkap beberapa CCTV yang terpasang di setiap sudut langit-langit. 

"Semua CCTV-nya menyala?" Perempuan yang penampilannya selalu casual itu, bertanya.

"Menyala, Bu. Kami selalu melakukan pengecekan berkala, untuk memastikan semua berfungsi dengan baik," jawab si petugas, sambil kembali menekan bel yang mungkin sudah ke-5 kalinya. "Sepertinya Mbak Puri memang belum kembali. Saya buka saja dengan kunci cadangan. Toh, sudah ada surat perintah penggeledahan."

Kemudian, si petugas yang pada papan nama di dadanya tertulis Ali, mengambil selembar kartu dari saku jas-nya. Dia nyaris menempelkan kartu yang berfungsi sebagai kunci itu ke  kenop, saat tiba-tiba terdengar seseorang berkata.

"Ada apa, Pak Ali?"

Sontak keduanya menoleh, menemukan seorang perempuan cantik dengan rambut cokelat bergelombang, sedang menatap mereka dengan kening berkerut.

💕💕💕

"Aku sudah seminggu tidak pulang karena pergi ke luar kota. Dan sekarang Anda memberikan surat perintah penggeledahan juga pemanggilanku sebagai saksi?" Perempuan bermanik legam itu, mengerucutkan bibir. Dia sudah duduk di atas sofa, sementara Zea berkeliaran masuk dari ruang ke ruang. "Tolonglah, aku kembali karena aku mengetahui Kaisar mati. Aku bahkan belum menemui jasadnya di rumah sakit."

Zea yang baru saja keluar dari dalam kamar tidur, segera bergabung di sofa. Dia memilih untuk duduk di seberang Puri, di genggamannya terdapat sebuah penutup dada, membuat si perempuan membelalak.

"Sejak kapan kamu mengenakan size 34, Puri?" Zea mengangkat tangan yang menggenggam bra berwarna krem, membuat Puri segera menyambar pakaian dalamnya dan menggerutu panjaang. "Pertanyaanku serius."

"Sejak lingkar dadaku membesar!" Puri menjawab ketus. Dia merasa perempuan yang mengaku detektif di hadapannya ini, telah melecehkannya. Apa maksudnya mengambil pakaian dalam tanpa izin?

Zea merasa tidak puas dengan jawaban. "Jawab dengan jujur, anak manis," diangkatnya satu kaki untuk ditopang kaki yang lainya, "sebenarnya, kapan terakhir kamu bertemu dengan Kaisar?"

Puri menatap Zea tajam dengan tidak suka, merasa kesal karena dia seakan diinterogasi sebagai tersangka. "Aku berhak untuk tidak menjawab!" kesalnya.

"Ya, itu memang hak-mu. Tapi kewajibanmu jugalah menjawab dengan jujur. Sebenarnya kamu cinta enggak sih sama Kaisar?" Zea mengernyitkan kening.

"Banget! Cuma dia yang ngertiin aku." Air wajah Puri berubah menjadi sendu. "Bisa jadi dia hanya tertidur dan bukan mati."

Otomatis Zea mengerutkan kening, bingung dengan apa yang diucapkan Puri. Jelas-jelas Anita telah membelah kepala manusia tampan itu, dan perempuan di hadapannya masih berpikir kalau ada kemungkina Kaisar masih hidup? Atau apakah Puri belum mengetahui kalau telah dilakukan otopsi pada jasad kekasihnya.

"Kamu  tahu, Detektif? Suara-suara itu mengatakan Kaisar harus hidup. Kalau dia mati ... aku mati saja juga!" Lalu dia mulai menangis, menarik-narik rambutnya sendirian. Tubuh Puri benar-benar terguncnag dengan hebat, membuat Zea menganga tidak mengerti.

Zea bangkit dari duduknya, bermaksud untuk menenangkan Puri yang mendadak histeris. Namun, langkahnya terhenti karena ponsel di sakunya berdering. 

Cepat diambilnya ponsel, dan menemukan nomor tak dikenal terpajang di sana. Tadinya dia mau mengabaikan panggilan ponsel, tapi entah apa yang mendrongnya untuk akhirnya menjawab panggilan.

"Siapa?!" tanyanya kasar, sementara matanya tak lepas dari sosok Puri yang masih menangis dan berkali-kali menyebut kata mati.

"Kamu sedang menemui Puri Shalitta?"

Zea mengerutkan kening, karena suara yang tidak familiar. "Siapa kamu?" tanyanya.

"Ck! Aku psikolog tampan yang menemuimu tadi pagi. Kamu belum menyimpan nomorku di saat genting seperti ini?"

Zea turut berdecak, kesal ketika mengetahui siapa yang meneleponnya. "Genting apanya? Aku harus menenangkan gadis ini dulu. Dia menangis dengan sangat terguncang."

"Seharusnya kamu akan menemukan benzodiazepin dan lorazepam, di tasnya atau di suatu tempat di apartemen itu, Zea. Aku selalu memintanya menyimpan kedua obat itu."

"Apa maksudmu?" Zea bingung, karena setahunya benzodiazepin dan lorazepam adalah semacam obat penenang.

"Puri adalah pasienku. Dia mengidap skizofrenia."

Zea terdiam.

"Berikan obat itu, dan aku akan segera menemuimu di sana."

"Sialan ...." Zea memaki pelan. Sepertinya benar kata Anita, kasus ini tidak akan semudah seperti yang dibayangkannya.

"Sepertinya, kita akan sangat sering bertemu, Detektif."

Continue Reading

You'll Also Like

2.4K 84 21
"... ๊ฒฐํ˜ผํ•˜์ž , ..์šฐ๋ฆฌ .." (...gyeolhonhaja, uri) "...Let's get married,.." ::: ใ€‹Description: โ€ข Story Title: "We are getting Married" โ€ข Setti...
3.8K 78 14
Senandika: Artinya, wacana seorang tokoh dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, atau konflik batin...
15.2K 3.3K 25
[ #1 ๐˜„๐—ฎ๐˜† ๐˜ƒ ๐˜๐—ต๐—ฒ ๐˜€๐—ฒ๐—ฟ๐—ถ๐—ฒ๐˜€ ] Who will be the perfect one for Mr. Xiao De Jun?
14.8K 591 3
TBOAH react to random things of the TCF world. This is my first book so be patient with me.