You Hurt Me!

AisyahLehta द्वारा

32.1K 2.1K 1.2K

Di sebuah taman yang tampak tidak terawat, daun-daun kekuningan bunga yang gugur berjatuhan di atas rerumputa... अधिक

PROLOG
Character Visual
1. Pandangan pertama
2. Permainan di mulai
3. Pernyataan
4. Ngantin bareng
5. Ngantin bareng (2)
6. Masalah proposal
7. Alamat tanpa sengaja
8. Couple
9. Dua rasa yang berbeda
10. Tikus?
11. Pertemuan dan kemenangan
12. Memendam luka
13. Janji
14. Nyaman
15. David or Raka
16. Cinta yang kalah dan hati yang terluka
17. Bukan gadis yang sama
18. Tiga lelaki
19. Euphoria
20. Kebenaran yang tertutupi
21. 'Udah jatuh cinta sama gue?'
22. Dua lelaki yang berbeda
23. Dua hal memalukan
24. Triple kill
25. Bersama dan Percaya
27. Not to be okay
28. Segitiga
29. Debaran
30. Bersaing
31. Selalu ada
32. Hampir berpaling
33. Maaf
34. Taman
35. 'Ayo saling menguatkan'
36. Pelampiasan
37. Menjauh dan mundur
38. Obat luka
39. Ketua Osis vs Ketua Basket
40. Pensi day 1
41. Topeng tersembunyi
42. Alter ego
43. Tiga orang terluka
44. Pelajaran Olahraga
45. Yang sebenarnya
46. Tetap kuat
47. Pesta yang gagal
48. Juara penghargaan
49. I Love you
50. Menggenggam wanita lain
51. Tidak bersahabat
52. Hampir putus
53. Semua masalah
54. Luka
55. Terbiasa terluka
56. "Sahabat, are you seriously?"

26. Tak berdaya

446 32 22
AisyahLehta द्वारा


"Dari mana saja kamu, Rily?"

Di ruang tamu, Rily menghentikan langkah kakinya. Ia meneguk ludah, menatap Amor yang tampak marah dan Naza yang berada di ujung tangga dari lantai dua.

Naza menggelengkan kepala pelan, memberi kode Rily untuk tidak membantah.

"Ak---"

"Bolos, lagi?"

"Aku per---"

"Alasan apa lagi sekarang, ha?!" Amor berteriak marah. "Mama diamin kamu, bukannya kamu intropeksi diri. Malah semakin menjadi-jadi!"

"Ma... "

"Bisa nggak sih, jangan buat Mama marah? Sekali aja kamu nurut sama perintah Mama, bisa?"

Rily menundukkan kepala. "Maaf Ma... aku----"

"DIAM!!!" sahut Amor nyalang.

Rily ketakutan, ia memejamkan mata saat Amor menghampirinya dengan sorot tajam membunuh.




PLAK!



"Tan ... te?" Naza sampai menutup mulut saking kagetnya. Ia dengan cepat, berlari menuruni anak tangga. Namun, ketika ia mencoba mendekati Rily, ucapan Amor menghentikan langkahnya.

"Berhenti disitu Naza!" ucap Amor tanpa menoleh ke belakang. "Masuk ke kamar!" perintahnya tak terbantahkan.

Naza menurut, matanya memanas. Dengan langkah pelan, ia memutar tubuh dan kembali menaiki anak tangga menuju kamar.

Rily memegangi pipinya yang memerah karena tamparan keras Amor. Matanya sudah berkaca-kaca, tidak berhenti menyakitinya secara fisik, Amor pun melayangkan kalimat yang menyakiti batinnya.

"Kamu bukan anak Mama!" Amor memandang marah gadis itu. "Dari besok, kamu tidak Mama bebaskan lagi! Mama akan cari les, yang buat kamu betah dirumah dan fokus sekolah! Paham?!"

Rily tidak menjawab, tangannya bergetar ketakutan. Ia tidak berani menatap Amor yang seperti kesetanan.

Karena tidak di gubris, emosi Amor semakin tersulut. Ia sudah meraih rambut gadis itu yang tergerai, menariknya kuat.

"Ma ... sakit..." Rily menggigit bibir, perih dipipinya belum hilang, sesak didadanya tidak terlampiaskan, dan sekarang Amor menambah luka lagi.

Dari luar rumah, Raylan turun dari motor besarnya. Dengan helm full face yang tergantung di tangannya, ia berjalan memasuki rumah sembari bersiul pelan.

Lelaki itu membuka pintu yang tidak terkunci, ia melepas sepatu. Lalu masuk ke dalam rumah dengan bibir yang masih mengeluarkan siulan. Namun setibanya di ruang tamu-----

Raylan melempar asal helm nya tanpa sadar, ia berlari cepat menghampiri Rily yang sedang meringis kesakitan.

"MAMAA?!!"

Raylan melepas paksa tangan Amor yang menarik kuat rambut Rily. Saat tangan Amor terlepas, dengan sigap Raylan merengkuh tubuh mungil adiknya yang bergetar. Pertahanannya runtuh, setangguh apapun seorang laki-laki, ia akan rapuh ketika wanitanya disakiti.

"LEPAS RAYLAN! LEPASIN DIA! DIA BUKAN ANAK MAMA!!!"

"Hiks..." Rily membalas pelukan Raylan tak kalah erat. Ia menangis tersedu-sedu, tungkai kakinya melemas. Kepalanya berdenyut sakit, matanya sembab dan tidak berhenti mengeluarkan buliran hangat.

Di kamar lantai dua, Naza terduduk lunglai di ubin lantai kamar. Ia menangis sengungukan, mendengar dengan jelas teriakan-teriakan yang menyakitkan itu. Naza tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong sahabatnya. Ia memang dekat dengan keluarga ini, tapi dia bukan bagian dari keluarga ini.

"DIA BUKAN ANAK MAMA! JANGAN DEKAT SAMA DIA!"

Sorot mata Raylan berubah tajam, ia melepas pelukan itu. Bergantian menggenggam tangan Rily untuk menyalurkan kekuatan kepada adiknya itu.

"KAMU GAK PERLU KASIHAN SAMA DIA RAYLAN! GAK PERLU!" Amor frustasi, ia menarik tangan Raylan agar menjauh dari Rily.

Raylan menjauhkan tangannya dari jangkauan Amor. Ia tidak menepis tangan Amor karena dia masih menghargai Amor sebagai seorang Ibu yang melahirkannya dan membesarkannya.

"Ma, Mama sadar apa yang barusan Mama bilang?"

Amor terdiam, pergerakannya berhenti begitu saja.

"Sampai kapan Mama bakalan kayak gini? Mama selalu lampiasin semuanya ke kita!"

"Mama nggak pernah lampiasin apapun ke kamu!" sahut Amor tak ingin disalahkan.

"Tapi Mama lampiasin semuanya ke Rily! Rily bagian dari aku Ma, Rily adik aku. Rily anak Mama, Rily anak Papa! Rily darah daging kita!"

"Raylan---" Amor gelapan saat mendengar nada tidak biasa dari Raylan.

"Mama tahu apa yang Mama ucap ke Rily, bisa buat Rily hancur? Mama pikir Rily kuat? Dia gak bisa nahan semuanya sendirian Ma!" Raylan mengeratkan genggamanannya saat Rily ingin melepas tautan itu. "Mama kenapa lagi sama Papa?" tanya nya melemah.

Rily menyeka air matanya, ia tidak tahu apapun soal ini.

"Papa marah lagi? Kenapa Ma? Mama diapain sama Papa?!"

Amor memalingkan muka, tidak ingin menjawab.

"Benarkan, ini semua karena Papa? Mama lampiasin semuanya ke Rily! Mama kok tega sih?"

"Ma..." Rily bergetar, ia masih ketakutan. "Aku siap ikutin apa yang Mama mau, aku ... " ia menggigit bibir, menahan diri agar tidak terisak.

"Ril..." Raylan memanggil, ia tidak ingin gadis itu melanjutkan ucapannya.

"Aku capek Ma ...." Rily menangis. "Kalau dengan cara ini Mama bisa bahagia, dan Mama gak marah-marah lagi ke Rily. Rily siap, Rily siap jadi robot Mama."

"Bagus!" sahut Amor angkuh dan berjalan meninggalkan ruang tamu.

Rily terjatuh, ia duduk di ubin lantai dengan kaki terlipat kebelakang. "Rily rindu Mama yang dulu ... " ucapnya, sebelum semua menjadi gelap gulita.

Rily pingsan.

"Rily!" Raylan dengan cepat membopong tubuh gadis itu, membawanya ke lantai dua.

Naza langsung menyambut, ia sekarang tahu betapa terpuruknya sahabatnya itu.

***

Semenjak hari itu, Rily berubah sembilan puluh sembilan persen. Ia menjadi sosok gadis pendiam, tidak banyak tingkah dan tidak banyak bicara.

Bahkan ketika Naza mencoba untuk memancing emosinya seperti bissanya, gadis itu tidak terpancing sama sekali. Raylan pun beberapa kali sengaja menjahilinya. Berharap gadis itu akan marah atau balas menjahilinya. Namun nihil, Rily tidak mengubris apapun disekitarnya.

Gadis itu mati rasa.

Hidupnya terlalu monoton. Pagi hari ia sudah berangkat ke sekolah, belajar, ke perpustakaan ketika bel istirahat berbunyi, dan kembali belajar hingga pulang sekolah. Tidak cukup menghabiskan waktunya untuk belajar di sekolah, sesampainya di rumah pun ia bergegas mandi dan berganti pakaian untuk pergi les hingga malam.

Itu semua sudah terjadi selama seminggu secara berulang-ulang. Tidak ada yang berubah, dan Rily sudah hafal betul apa yang harus ia lakukan di setiap harinya.

Belajar, belajar, dan belajar.

Selama itu pula ia tidak pernah bertemu dengan Raka. Entah kemana lelaki itu, mereka terakhir kali bertemu saat bolos bersama. Ia selalu berharap, ketika ke perpus, Raka ada ditempat biasanya lelaki itu duduk sembari membaca buku disana. Namun harapannya hanyalah angan-angan semata. Ia tidak pernah bertemu atau hanya sekadar mendengar kabar lelaki itu.

Rily benar-benar merasa di permainkan di kisah hidupnya sendiri.

"Ril, kantin yuk?"

Naza tidak pernah menyerah, tidak akan. Walau tahu, tawarannya akan berakhir dengan penolakan. Namun ia tetap berusaha membujuk sahabatnya itu, untuk peduli kepada diri sendiri.

"Gue mau ke perpus," sahut Rily tanpa menoleh. Ia merapikan buku-bukunya dan bangkit dari duduknya.

"Lo gak sarapan, kan, tadi pagi? Perut lo masih kosong Ril, please lebih perhatiin diri lo sendiri." ucap Naza khawatir. "Gue gak tega liat lo nyiksa diri lo sendiri."

"Gue beneran nggak papa Za." sahut Rily datar dan berjalan meninggalkan Naza yang menghela napas panjang.

Amanda dan yang lain langsung menghampiri meja Naza saat melihat Rily sudah keluar dari pintu kelas.

"Dia masih nggak mau?" tanya Amanda mewakilkan yang lainnya.

Naza mengangguk lemah. "Gue gak tahu harus gimana lagi ... " Naza memijit pelipis frustasi.

Ica mendekat, mengusap pundak Naza memberikan sedikit ketenangan pada gadis itu. "Kasih dia waktu buat sendiri," ucapnya membuat Naza menoleh tidak paham. "Rily itu kuat tahu, dia bisa ngatasin masalahnya sendiri. Cuma satu hal yang dia butuh dari lo,"

"Apa?"

"Jangan pernah nyerah untuk selalu ada buat Rily. Biar dia tahu, kalau dia nggak sendiri."

Amanda mengangguk membenarkan. "Kita bakalan bantu lo, tenang aja."

Sedangkan Risa hanya diam, tidak berniat untuk ikut campur.

"Makasih," mata Naza memanas. "Kalian udah peduli ke gue dan Rily, padahal kalian sendiri gak tahu masalahnya apa."

"Karena kita sahabat, kan?" tanya Ica dengan kerjapan polos matanya.

"Iya, kita sahabat."

Di lain sisi, Rily sedang membasuh wajahnya di toilet wanita. Tujuan awalnya adalah perpustakaan, namun ia merasa kantuk menyerang matanya. Jadi ia memutuskan untuk membasuh wajah agar kembali segar terlebih dahulu, dan setelah itu akan pergi ke perpustakaan.

Rily mematikan air keran, mengeringkan wajahnya dengan tissue. Saat mengusap area bawah matanya yang basah, Rily menghentikan gerakannya. Kini sepenuhnya memperhatikan wajahnya yang kusut. Kantung matanya menghitam seperti mata panda, wajah pucat, dan bibir kering yang pecah-pecah.

"Ini ... gue?"









BRAKK!









Rily termundur kaget, ia menoleh ke arah pintu toilet yang ditendang keras.

Tidak ambil pusing, Rily kembali membasuh wajahnya dan menghidupkam air keran. Mengabaikan tiga senior perempuan yang kini datang mengepungnya. Dan dua perempuan seangkatan Rily, yang tidak ia kenal sedang berdiri di dua sisi pintu toilet.

Rily membelalak ketika rambutnya di tarik tiba-tiba kebelakang dengan kuat. Ia belum sempat mengelak, kini kepalanya di masukkan ke dalam wastafel dengan air keran yang masih menyala, membasahi rambut dan kepalanya. Ia tidak bisa bernapas dan mencoba memberontak, lalu kepalanya kembali di tarik ke atas, dan di celupkan lagi ke dalam wastafel.

Rily bisa mendengar suara tawa yang begitu bahagia. Kini ia mencoba untuk tidak memberontak lagi ketika kepalanya di celupkan ke dalam wastafel untuk ketiga kalinya.

Ia benar-benar lelah.

"Gimana, enak?"

Rily mengusap wajah, ia menatap tiga senior yang melayangkan tatapan remeh kepadanya. Seluruh bagian kepalanya sudah basah kuyup, tanpa memperdulikan perempuan-perempuan itu, Rily mematikan air keran yang menyala.

"Lo cuekin kita?" tanya seseorang yang berada di belakang tubuh gadis yang menjambak rambut Rily, namanya Cindy.

Rily tidak menjawab, ia hanya memandang datar kelima gadis itu.

"Lo nantangin?" celetuk seseorang lagi yang bertugas menjaga pintu toilet, ia sedikit gugup.

Rily benar-benar pasrah saat wajahnya ditampar keras.

"Lo pastinya kenal gue, kan?" gadis yang menjambak dan menampar keras wajah Rily itu tersenyum miring. "Clara," ia mengulurkan tangan.

Rily menatap tangan Clara tanpa ekspresi, ia tidak berniat sama sekali untuk membalas jabatan itu.

"Wah ... bener-bener ini anak." celetuk Cindy memanasi.

"Cla, lo to the point aja kali, kayak gini cuma buang-buang waktu lo." Natila, teman dekat sekaligus sepupu Clara yang sedari tadi hanya diam kini angkat bicara. "Keburu masuk,"

"Kasih pelajaran aja Cla, nih anak dari tadi mukanya kayak ngajakin gelud." ucap Cindy mengompori. "Liat tuh, mukanya kayak gak ada dosa."

"Main-main lah sesekali, udah lama juga enggak, kan?" Clara menatap sinis Rily. "Gores dikit gak papa lah." ia mengeluarkan sebuah gunting kecil dari dalam saku.

Natila langsung menahan, ia menggelengkan kepala tegas. "Jangan, gue gak suka lo kayak gini."

Dua orang penjaga pintu toilet kini diam, mereka adik kelas yang seangkatan dengan Rily. Clara yang mengajak mereka untuk melabrak Rily karena mereka juga bagian dari fans girl Raka.

"Gue kangen jahilin adik kelas Nat," Clara terkekeh kecil, meraih rambut Rily yang sebahu. Mengguntingnya secara acak, dan Rily tidak melawan perbuatannya sama sekali.

Rily tidak merasakan apapun, ia ingin marah, namun rasa lelahnya lebih mendominasi. Ia diam, mematung, memperhatikan helaian rambutnya yang berjatuhan ke ubin lantai kamar mandi. Rily tidak tahu mengapa air matanya menetes dari pelupuk mata, membasahi pipinya yang merah karena tamparan Clara.

"Wah, udah cocok belum gue buka salon? Liat nih, cakep banget guntingan gue." Clara menatap rambut Rily yang ia gunting secara random dengan bangga.

Cindy tertawa puas. "Bajunya, bajunya!"

Natila memijit pelipis, mulai khawatir saat mendengar krasak-krusuk dari luar toilet, yang dijaga oleh kedua adik kelas itu.

"Bajunya astagaaa ... lo mau pengajian? Udah kayak gamis aja nih baju, XL ya?" Clara menarik paksa keluar baju seragam Rily dari dalam rok, mulai mengguntingnya.

Rily mengerjap beberapa saat seperti orang bodoh yang kehilangan akal. Ia baru sadar atas apa yang dilakukan Clara kepadanya, saat ia menatap lamat-lamat wajah Clara yang sangat bahagia menyakitinya.

Rily menahan gunting itu, menjauhkan benda itu dari bajunya. "Lo gila?" tanya nya tak berekspresi.

Clara mengumpat sanking kagetnya atas ucapan Rily. "Lo beneran mau liat kegilaan gue ya?" Clara melempar asal gunting itu. Ia tertawa mengejek melihat bagaimana dirinya berhasil menggunting baju seragam Rily hingga perut.

"Lo tahu gue, siapanya Raka, kan?"

"Enggak."

"Gue pacarnya bangs*t!" Clara menjambak rambut Rily. "Lo mau gue abisin?"

"Hobi banget ya nyentuh rambut gue?" Rily menepis kasar tangan Clara. "Jangan buat gue lepas dari kandangnya," ucapnya penuh peringatan.

"Ohhh ... lo binatang?" Cindy tertawa. "Pantas muka lo menjijikkan banget."

Rily diam, tidak mengubris. "Minggir, gue mau keluar."

"Ah sialan!" Clara mendorong keras tubuh Rily. "Rasain lo,"

Rily yang tidak memiliki energi karena sudah tidak makan yang cukup untuk beberapa hari ini, termundur begitu saja ketika Clara mendorong tubuhnya. Karena tidak bisa menahan keseimbangan, ia terjatuh dan bagian belakang kepalanya menubruk keras keramik wastafel.

Natila memekik, segera mendekat. "Lo gak papa?" ia menepuk pelan pipi Rily.

Rily merasakan denyutan yang teramat sakit di bagian belakang kepalanya.

Clara tidak peduli, ia mendekat dan menendang kaki gadis itu yang tak berdaya. "Dari sekarang, lo jauhin Raka! Dia cuma milik gue, milik gue!" Clara berjongkok, ia meremas pipi Rily. "Karena kalo lo berani deketin dia, lo tahu akibatnya kan bit*h?"

"Enggak, gue gak mau ... " Rily menjawab dengan sisa-sisa tenaganya.

Di depan pintu toilet, sudah banyak siswa-siswi yang menonton. Sebagian dari mereka ada yang merekam kejadian itu, membagikannya di sosial media dan grup lambe turah SMA HB. Beberapa orang yang menonton itu di sosial media, langsung mendatangi lokasi kejadian dan menonton secara langsung.

Dua gadis suruhan Clara untuk menjaga pintu toilet kini kewalahan untuk menutupi akses orang-orang agar tidak dapat menonton adegan yang sedang terjadi di dalam toilet dan berusaha melindungi wajah Clara agar tidak tertangkap kamera.

Clara membelalak, ia semakin tersulut emosi.

"KYAAAAAA TOLOOONG!"

"CLARA UDAH STOP! LO BISA BUNUH DIA!" Cindy berteriak panik saat hidung Rily mengeluarkan darah segar.

"LEPASIN GUE!" Clara memberontak meminta Natila dan Cindy melepaskan diriya. "GUE MAU ABISIN DIA BIAR SEKALIAN MATI!!"

"CLARA, LO SINTING YA?!" Natila mengeratkan pegangannya pada tangan Clara, menahan gadis itu agar tidak semakin menggila.

Rily sudah tidak berdaya lagi, seluruh tubuhnya remuk dan sangat sakit. Suara degungan seperti berputar-putar di kepalanya, bau amis menyeruak memasuki indra penciuman gadis itu. Darah segar itu masih mengalir dari hidungnya, ia tidak memiliki tenaga yang cukup untuk mengusap darah itu. Bulir air hangat menetes dari pelupuk matanya tanpa diminta. Sayup-sayup, ia masih mendengar teriakan Clara.

Sebelum akhirnya semua menjadi gelap gulita, ia tidak dapat lagi menahan matanya agar tetap terbuka.

Rily berharap ia tidak terbangun lagi dari pejamannya.

Natila panik, melepaskan Clara dan menghampiri Rily. "Bangun hey, lo bangun dong, jangan bercanda ah!" ucapnya dengan suara bergetar.

Cindy membeku, mulai kalut dan tidak tahu harus berbuat apa.

Clara bersedekap, tersenyum bangga menatap Rily yang pingsan tidak sadarkan diri.

"SEKARANG KALIAN LIAT KAN? GIMANA AKIBATNYA KALAU BERANI REBUT PANGERAN GUE? NIH CONTOHNYA!" Ia menendang betis Rily yang terkapar tak berdaya. "JADI SILAHKAN DIPIKIR SERIBU KALI, KALO MAU COBA DEKATIN RAKA! APALAGI BERANI NGEREBUT DIA DARI GUE, MATI LO SEMUA! HAHAHAHA..."






BRAK!













"Lo ... nyari mati?"






















पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

15K 526 90
Kumpulan lirik lagu-lagu Taylor Swift dari album pertama hingga album 1989. Lets see. Salam untuk para swifties.
Cinta Sepihak -slow update ❤️ द्वारा

किशोर उपन्यास

43.3K 1.6K 27
"Aku hanya mencintaimu, sedang dan akan terus begitu" Cerita ini bakalan bikin temen temen semua baper. Karena apa, karena cerita ini berisi tentan...
63.9K 7.9K 14
Maaf cerita ini hanya fiktif. Jika ada kesamaan nama, tempat dan cerita bukan hal kesengajaan. Mohon kebijakan dan kedewasaannya saat membaca. ...
SAGARALUNA Syfa Acha द्वारा

किशोर उपन्यास

3.5M 180K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...