Playboy Insaf [TAMAT]

By Sitinuratika07

1.6M 140K 14.6K

Spin off dari cerita Jodohku Om-Om. cerita tentang Nela, sahabat Diandra, dan Bram, adik sepupu Guntur. Jika... More

Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
20-a
20-b
Edisi Spesial Lebaran
Playboy Insaf Tersedia Ebook di Play Store & Karyakarsa
DISKON ❤️

Delapan Belas

40.4K 5.6K 450
By Sitinuratika07

"Nah gitu dong, kalo balik kuliah cepet kabarin aku."

Dengan wajah puas dan senyum yang lebar, Bram mengusap kepala Nela yang dibungkus jilbab segi empat warna biru dongker. Gadis itu masuk ke dalam mobil Bram yang juga baru saja sampai di depan kampusnya.

"Tapi kamu tetep lama jemputnya. Aku udah nunggu setengah jam lebih," kata Nela sambil cemberut setelah menepiskan tangan Bram yang akhir-akhir ini makin kurang ajar saja. Mentang-mentang sengaja ia diamkan, Bram jadi melunjak. Kalau dimarahin, jawabannya pasti selalu sama, yaitu 'maaf Yang, khilaf.' Nela heran, khilaf kok jadi kebiasaan?

Bram melajukan mobilnya menuju jalan besar setelah keluar dari gang yang menjadi pintasan ke arah kampus Nela. Matanya penuh dengan binar cinta karena terlalu senang melihat Nela yang rela menunggu jemputan darinya. Walau status hubungan mereka sekarang belum jelas, tetapi kedekatan mereka persis seperti sepasang kekasih. Bahagianya Bram.

"Tadi agak macet di Pulomas, Yang. Oh ya. Kenapa hari ini pulang cepet?" tanya Bram saat Nela telah memakai sabuk pengaman. Dia ingat ucapan gadis itu tadi pagi jika hari ini, jadwal kuliahnya selesai pukul lima. Tetapi nyatanya, Nela mengirimkan pesan pada Bram bahwa dia sudah keluar kelas pukul dua siang.

"Biasa gitu lho, dosennya tak masuk. Jadi aku cuma titip absen aja," jawab Nela sambil memainkan ponsel.

"Ohhh..." Bram menganggukkan kepalanya beberapa kali, "jadi, mau langsung pulang atau gimana nih?"

Nela mengetuk-etuk dagunya seolah sedang berpikir, "ehmmm..." Kedua matanya menerawang jauh ke depan, bimbang mau pergi kemana sebab dia juga malas pulang ke rumah di siang hari yang terik ini. Palingan kalau dia cepet balik ke rumah, mungkin dia akan rebahan di kasur sampai maghrib. Males banget kan. Sayang tenaganya.

Tapi mau kemana ya? Ngemol? Bosen deh. Gramedia? Baru kemarin lusa mampir ke sana. Nyari tempat makan? Ugh, masih kenyang.

"Aku bingung mau kemana. Kamu ada saran gak?" Akhirnya, Nela melempar kembali pertanyaan sejenis pada Bram.

Bram seketika bersemangat ditanyai seperti itu. Jarang-jarang soalnya Nela menawarkan pilihan—entah tentang apapun itu kepadanya. Oleh karena itu, ia harus menjawab pertanyaan Nela dengan baik dan sempurna.

Pria itu mulai mengabsen tempat-tempat menarik yang layak dikunjungi saat waktu senggang. Kira-kira tempat yang juga bagus untuk dijadikan tempat kencan.

Bar? Waduh, Nela pasti gak mau diajak ke sana. Apalagi, pilihan bar yang sudah buka di siang hari cuma sedikit.

Kolam renang?

Hmm, Bram melirik ke arah sampingnya, dimana Nela ternyata sedang menunggu sebuah jawaban darinya. Namun sayang, Nela sepertinya gak bawa pakaian dalam ganti. Jadi, kolam renang pass.

Main golf? Bram yakin seratus persen, Nela belum pernah mencoba memegang stick golf. Ah, kalau begitu, sudah pasti Nela juga tidak bisa melemparkan bola golf kan.

Bram mendadak tersenyum miring. Otak liciknya mulai mencari cara untuk bisa modusin Nela. Sambil menyelam minum air, ia bisa mengajari Nela berbagai teknik bermain golf sekaligus memeluk gadis itu dari belakang secara tidak langsung. Kemudian, dia bisa mengusap tangan dan lengan Nela dengan lembut selama beberapa menit. Setelah itu, Nela pun menoleh ke belakang sehingga wajah mereka mulai saling mendekat, dan....

"Akh!" Bram spontan mengusap lengannya karena Nela menyematkan cubitan andalannya di sana, "sakit Yang."

"Kamu tuh kelamaan mikir! Terus pake senyum-senyum gaje lagi. Kayak om-om mesum tau gak," kata Nela sambil menatap Bram dengan curiga.

Bram mengusap bibirnya dengan cepat. Ya ampun, dia senyum ya tadi? Dia yakin, ekspresi wajahnya biasa-biasa saja kok.

"Jahat banget sih, masa' aku mirip om-om mesum. Yang bener itu, bujang ganteng Sayang," kata Bram seraya menaikkan sebelah alisnya.

"Bujang apaan. Bujang playboy cap kodok iya!" Nela berakting seperti ingin muntah mendengar ucapan narsis itu. Dia sempat melupakan kalau Bram sama saja narsisnya dengan Om Guntur. Tidak diragukan lagi memang yang namanya gen keluarga.

"Kan sekarang gak playboy lagi semenjak ada kamu." Bram mencolek hidung Nela.

"Ih apaan!!"

Ngobrol sama Bram itu sering bercandanya ketimbang serius. Namun anehnya, Nela tetap saja meladeni guyonan atau gombalan Bram meski sering terdengar garing dan kuno. Kalau mau tahu yang lebih aneh lagi, Nela tuh suka melihat sisi Bram yang bucin. Rada geli sih, tapi asyik juga lihatnya.

"Jadi mau kemana nih? Kalo gak ada tujuan, aku pulang aja. Cus putar balik di depan," ucap Nela seraya menunjuk persimpangan jalan yang sebentar lagi akan mereka lalui.

Bram sontak menggeleng, "janganlah, Yang. Cepet banget durasi kita ketemu." Energinya yang terkuras setelah bekerja perlu diisi ulang kembali dengan kehadiran Nela. Tetapi, Bram tidak yakin kalau energinya akan full, walaupun dia sudah melihat wajah Nela selama dua puluh empat jam. Mungkin seumur hidup baru bisa penuh.

Memang dasar Bram itu lebay.

"So.. so kemana? Kalo ke mal, aku ogah ah. Bosen." Nela mengalihkan pandangannya ke samping. Dia selalu merasa aneh setiap mendengar ucapan Bram yang tersirat gombal itu. Entah kenapa, jantungnya tiba-tiba berdesir.

"Mal? Aku malah gak kepikiran mau ke sana," kata Bram sambil menggaruk kepalanya. Apa cuma dia yang berpikiran macam-macam di sini?

"Jadi?" tanya Nela. Dia juga masih memutar otak untuk mencari tempat menarik yang akan mereka singgahi nanti.

"Ehem." Bram memantapkan rencananya untuk mengajak Nela main golf, "gimana kalau kita..."

"Ah!! Gimana kalo kita ke kantor kamu aja?" Nela segera memotong ucapan Bram.

Setelah Nela ingat-ingat, kata Diandra, sahabatnya, Bram itu bos di salah satu perusahaan EO terkenal di Jakarta. Kalau Bram beneran bos, berarti dia punya ruangan sendiri dong kayak di novel-novel romantis yang pernah dia baca. Maka dari itu, ia bisa membuat deksripsi bagaimana ruangan CEO dari dunia nyata!

Karena cerita pertama yang Nela buat di Wattpad itu terinspirasi dari kisah hidup Diandra dan Om Guntur, Nela ingin berusaha keras supaya ceritanya terasa hidup. Om Guntur itu CEO di Diamond's Pranaja, dan Nela sadar diri kalau dia gak mungkin bisa melihat langsung bagaimana ruangan Om Guntur di kantornya—bisa sih atas bantuan Diandra, tapi Nela terlalu malu—jadi, ruangan Bram sudah alhamdulillah banget buat Nela lihat-lihat.

"Kantor aku? Mau ngapain?" Bram mengerutkan dahinya bingung.

"Aku pengen tau aja gimana kantor kamu. Memangnya gak boleh ya?" Nela bertanya balik. Ia bersiap memasang wajah lesu kalau Bram tidak menyetujui ajakannya.

"Boleh aja sih. Tapi kamu yakin mau ke kantor aku? Gak ada apa-apa lho," kata Bram seraya tersenyum kecil. Pupus sudah harapannya mau ngajarin Nela main golf sekaligus modus pengen peluk. Meskipun dia ogah ngajak Nela ke kantor, tetapi dia tak bisa menolak permintaan gadis itu.

Nela menaikkan kedua bahu dan matanya secara bersamaan, "yakin sih... lagian, aku juga penasaran pengen lihat tempat kamu kerja kayak apa."

Bram spontan terbelalak mendengarnya. Ditambah lagi, ekspresi Nela yang seolah berkata, 'aku pengen tahu kamu lebih banyak,' itu membuat Bram semakin tak bisa berkata-kata. Jika Nela penasaran padanya, bukankah itu tanda bahwa dia juga punya ketertarikan yang sama?

Perasaan Bram membuncah gembira. Yang awalnya dia malas membawa Nela ke kantor, berubah menjadi semangat '45. Senyum lebar menghiasi wajah tampannya, bahkan ia nyaris tertawa keras.

"Kalo begitu, tunggu apa lagi? Let's go baby!" ucap Bram sembari menginjak pedal gas seperti ingin balapan.

*****

Kantor tempat Bram bekerja berada di gedung The Tower, Gatot Subroto, Jaksel. Nela tidak menyangka kalau mereka harus menempuh jarak hingga tiga puluh menit lebih untuk sampai ke sana. Sekarang dia mengerti, kenapa Bram sering kelamaan menjemputnya kuliah. Setelah tahu bahwa Bram merelakan waktu, tenaga, dan bensin untuk menjemputnya, Nela jadi merasa tidak enak.

Lantai 26, Nela melihat Bram menekan tombol angka di sebelah pintu lift. Total lantai di gedung itu ada lima puluh lantai di atas dan lima lantai di bawah tanah. Wah, ini pertama kalinya Nela masuk ke tempat setinggi ini.

"Kenapa diem aja?" tanya Bram seraya bersender pada dinding lift.

Nela menoleh, memerhatikan dengan seksama penampilan Bram yang saat ini memang sangat cocok untuk pegawai kantoran. Kemeja, blazer hitam yang dibawa pada lengannya, kemudian celana slim-fit abu-abu beserta ikat pinggang merk kendi itu—Gucci maksudnya.

Terkadang Nela lupa bahwa pria di sampingnya ini bukan orang biasa saja. Entah kenapa, dia kembali mengingat pada beberapa pesan masuk di akun sosial medianya yang berasal dari barisan mantan Bram. Kebanyakan mereka bilang bahwa dia tidak pantas untuk Bram.

Nela sering bertanya pada dirinya sendiri dan alam semesta, dia tidak pantas dalam segi apa? Padahal di sini, Bram-lah yang bucin padanya. Memang mereka hanya melihat dari luarnya saja tanpa mengetahui apa yang terjadi di dalamnya.

"Kamu CEO ya kayak Om Guntur?" tanya Nela sesaat lift mereka telah sampai di lantai tujuan.

"Bisa dibilang begitu. Tapi perusahaan aku gak sebesar milik Guntur. Dalam satu gedung, kantornya bisa mendominasi hingga sepuluh atau lima belas lantai—entah aku lupa. Tapi, kalo punya aku di sini cuma dua lantai." Bram menjelaskan sembari mereka berjalan bersisian.

Seperti yang ia duga, para pegawai yang bekerja di lantai yang sama dengan ruangannya, sedang mencuri pandang ke arah Nela. Mungkin di dalam pikiran mereka, 'bos membawa korban baru ke kantor.'

Bram tidak peduli hal itu. Biarkan mereka berasumsi sebebasnya asal tidak mengganggu privasi Nela.

"Kok bisa gitu?" tanya Nela dengan mata yang terus mengawasi sekelilingnya. Ia tengah merekam suasana kantor yang penuh dengan susunan meja berdampingan beserta pegawai kantor yang sibuk mengurusi pekerjaan ke otaknya. Karena sibuk menampung ide di dalam pikirannya, Nela menjadi tidak peka kalau sekarang ia jadi pusat perhatian.

"Beda cakupannya, Sayang. Produk perusahaan Guntur mah udah main impor-ekspor, skalanya sudah internasional. Sedangkan EO ini, kerjaannya sering ke lapangan langsung, jadi pegawai yang ngurus di kantor cuma segelintir. Sebelum aku sewa tempat di sini, dulu cuma rumah biasa di komplek kok." Bram merangkul Nela untuk berbelok ke kanan, menuju ruangan pribadinya.

"Ohh oke. I see I see," kata Nela sambil angguk-angguk, "tapi gak usah main rangkul juga, aku bisa jalan sendiri tau."

"Ntar kamu tersesat, jadi lebih baik aku pegangin kayak gini."

"Tersesat, memangnya aku anak kecil." Nela ingin melepaskan tangan Bram yang bertengger di pundaknya, tetapi Bram justru makin menekan tubuhnya sampai mereka tiba di suatu ruangan.

"Eh bos, kenapa lo bal—" Joni, si sekretaris sekaligus teman Bram, tergagap melihat Bram membawa seorang gadis yang akhir-akhir ini sering dia pamerkan di akun Instagramnya. Ia menunjuk Bram yang berjalan sambil lalu sampai kedua orang itu masuk ke ruangan di depannya.

Gila. Joni bertepuk tangan sambil menggelengkan kepala. Lambat tapi pasti, gadis berhijab yang Bram incar sudah luluh ke dalam jebakan playboy. Joni berharap, semoga gadis itu tidak akan menangis seperti mantan-mantan Bram sebelumnya. Semoga saja.

****

"Uwahhhhh!! Keren banget view-nya."

Jantung Nela berdebar kencang setelah memasuki ruangan pribadi milik Bram yang didominasi oleh warna putih tersebut. Cat dindingnya warna putih, sofanya juga, kemudian lantai marmernya pun sama. Perpaduan warna lembut tersebut dibalut manis oleh tumbuhan segar yang ditanam dalam pot warna putih juga. Ruangan Bram tidak sebesar ekspektasinya, tetapi ini sudah lebih dari cukup untuk menampung sepuluh orang di dalamnya.

"Nah mumpung langitnya lagi bagus, awannya jadi banyak banget tuh. Mau foto gak?" kata Bram sembari mengajak Nela menuju jendela terdekat. Ia menggandeng gadis itu, dan bersyukur karena Nela tidak menghempaskan tangannya seperti biasa.

"Wahh iya ya! Bagus banget. Foto ah." Nela mengeluarkan ponselnya, lalu mulai memotret pemandangan langit yang begitu cerah siang ini. "Aku seneng deh lihat awan, rasanya adem gitu."

"Iya ya, Yang?"

Satu hal yang baru Bram sadari dari sifat Nela ialah Nela akan lengah kalau dia sedang gembira atau saat fokus. Contohnya sekarang, dia mungkin tidak tahu bahwa tangan Bram sudah memeluk pinggangnya dari belakang.

Bram menggigit bibir bawahnya kuat, menahan diri sekuat tenaga untuk tidak menarik dan mendekap Nela dengan erat. Ia harus melepaskan tangan sialan yang penuh nafsu dosa ini sebelum Nela sadar dan menggamparnya bolak-balik.

Baiklah, tarik sekarang tanganmu Bram Sadewa! Jangan sampai tergoda! Lepaskan pinggang ramping itu atau kau dalam bahaya. Sekarang atau tidak sama sekali. Dalam hitungan satu... dua... tiga...

"Kamu kenapa ngos-ngosan kayak abis lari gitu?" Nela menoleh ke belakang dan melihat Bram sedang mencengkram pergelangan tangannya sendiri. Napas pria itu juga beradu seperti habis maraton.

"Eh, gak apa-apa." Bram kehilangan orientasi. Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali sebelum berjalan menjauhi Nela. Bisa gila dia lama-lama menghirup aroma manis dari tubuh gadis itu.

Nela mengerutkan dahinya, bingung melihat tingkah aneh Bram. Alih-alih memikirkan itu lebih lanjut, Nela memilih untuk mengikuti Bram menuju meja kerjanya yang terdapat alat tulis, beberapa lembar map warna coklat, satu set perangkat PC, dan sebuah laptop.

Bram sedang duduk di kursi putar dengan tenang. Sebenarnya, jantungnya masih berpacu kencang karena kejadian tadi, ditambah lagi dengan aksi kilatnya dalam menyembunyikan tiga pigura foto Nela ke dalam laci. Untung saja, Nela belum melihat kesini.

"Aku boleh foto-foto ruangan kamu gak?" tanya Nela sambil menyampirkan satu bagian ekor jilbabnya ke atas pundak.

"Boleh. Lakukan apapun yang kamu mau," kata Bram sambil berdeham serius. Dia tampak biasa-biasa saja kan? Dia tidak terlihat gugup kan? Oke, dia pasti terlihat keren di mata Nela.

"Yee makasih!"

Setelah mendapatkan izin dari si empunya, Nela pun semakin puas membidik berbagai spot yang ia inginkan ke dalam ponselnya. Meja kerja, sofa tempat bersantai ria, televisi, rak buku, lalu ada pula mesin pembuat kopi, dan tak ketinggalan, Bram yang sedang mengerjakan sesuatu di meja kerjanya.

Aduh aduh aduh ulalaaa, sungguh indah ciptaan-Mu ini Ya Allah. Senang hati hamba melihatnya, ucap Nela dalam hati saat melihat hasil jepretannya. Bram kelihatan dewasa banget kalau lagi serius gitu. 

"Sudah, Yang?" tanya Bram tiba-tiba ketika Nela memandangi ponselnya dengan mata berbinar senang.

"Ud—udah kok!" Nela merutuki dirinya sendiri yang ketangkap basah sedang memandangi wajah Bram di ponselnya. Padahal faktanya, Bram tidak tahu lho.

Bram beranjak dari kursinya dan mendekati Nela. Ia mengajak Nela untuk duduk di sofa yang tak jauh dari meja kerjanya.

"Mau pesen makanan gak? Atau apa gitu untuk camilan kamu? Mumpung aku di sini, aku mau ngerjain kerjaan aku dulu, gak apa-apa kan kalo kamu di sini sampe sore?" tanya Bram seraya memberikan ponselnya pada Nela.

Nela tampak ragu-ragu menerima ponsel itu karena sebelum ini, Bram tidak pernah meminjamkan ponselnya begitu saja, "aku sih gak masalah. Tapi, apa bener aku boleh makan di sini?"

Bram tertawa pelan mendengar pertanyaan konyol itu. Ia mengusap kepala Nela dengan gemas sampai hijabnya sedikit bergeser, "ya bolehlah. Pesen pake hp aku aja," katanya sebelum berjalan kembali ke arah meja kerja.

"Oke, aku mau pesen Bread Papa aja deh. Sama Chatime."

"Iya, terserah kamu."

Nela membuka aplikasi ojek online dengan logo bundar hijau. Ia sedikit terkejut mendapati bahwa ponsel Bram tidak memakai kode pengaman. Di zaman serba canggih ini, jarang sekali ada orang yang tidak memanfaatkan fitur sidik jari atau pengenal wajah untuk mengunci ponsel mereka. Ternyata, Bram salah satunya.

Setelah memesan makanan, Nela iseng-iseng membuka aplikasi pesan. Ia terbelalak kaget melihat begitu banyak pesan yang belum dibuka oleh Bram, dan kebanyakan, pengirimnya itu cewek. Ada Mia, Desi, Jessica, dan masih banyak lagi. Walaupun Nela tidak membuka pesan itu, tetapi dia masih bisa membaca sebagian isinya.

Jessica : Kok sombong sih beb? 😭 Mentang-mentang udah.......

Udah apa? Udah putus? Udah punya pacar baru?

Akhhh, jari Nela gatal sekali ingin membuka pesan itu. Huh, kok dadanya juga terasa sesak. Ada apa gerangan ini?

Roxie : Kangen kamu, Hon😘 X2 malam ini?

X2 apaan lagi itu? Nela menggaruk pipinya karena terlalu gemas. Panggilannya hon-hon pula. Walaupun pesan itu sudah seminggu yang lalu, tetap saja Nela merasa kesal.

"Kenapa, Yang?" Bram merasakan hawa-hawa yang menusuk. Perasaannya tidak enak ketika melihat wajah Nela yang masam.

"Gak apa-apa," kata Nela dengan cepat mengakhiri investigasinya—walaupun masih belum puas. Ia menaruh ponsel Bram dengan asal ke atas sofa.

"Wajah kamu kok cemberut gitu?" tanya Bram lagi.

"Hp aku abis batre. Jadi gak ada kerjaan," jawab Nela ketus.

Bram mendesah kecewa karena dia juga kebetulan tidak membawa charger hari ini. Pantas saja Nela bete begitu, ponselnya mati daya toh.

"Ya udah mainin hp aku aja. Aku udah download Worms zone di sana. Itu game kesukaan kamu kan?"

Nela mengerutkan dahinya bingung, bagaimana Bram bisa tahu ya? Perasaan, dia tidak pernah bilang deh. Tapi karena dia gak mood buat bertanya tentang hal itu, akhirnya Nela kembali memungut ponsel Bram.

Memang lebih baik mengalihkan kekesalannya dengan bermain cacing, memeliharanya sampai jadi ular raksasa, kemudian mati karena ulat kecil. Nela mencari game tersebut di barisan aplikasi pada ponsel Bram dan ternyata game itu berada di paling terakhir, bersebelahan dengan aplikasi huruf W besar berwarna oren.

Wait a minute, bukankah ini aplikasi Wattpad? Lho kok bisa sih? Menurut intuisi Nela, Bram itu gak hobi membaca novel, apalagi yang genrenya cinta-cintaan.

Nela sontak berdiri saking kagetnya, "kak Bram! Kamu punya akun Wattpad?!"







*****



JENG JENG JENG....

2723 words rampung:') pegel jemariku....

.

Eyyyy, mau update besok? Yuk challenge doloe. Tapi challenge nya gak berhubungan dgn vote atau komen ya. Ini ada yg lain hahahahaha

.

Caranya : buka IG, dan buka IG story aku : sitisitinur. Ada postingan ini :

Lalu kamu swipe up ke atas, nanti akan tersambung dengan sebuah link yang Nyuruh kamu Download kakaopageindo (aplikasi baca komik). Nah kalo udah download, login dan masukkan kode 502SA7U (scr otomatis nanti ada kok). Selesai deh heheheehe

Aku lagi ikutan Give away di sana buat dptin iPhone 11 wkwkwk🧐 mohon bantuannya ya kekekek. Gak perlu banyak2 deh, 50 orang yg download dr link itu, aku lgsg update😛😛 kLo 100 org, update dobel kwkwkwkw aku bisa tau ya yg download brp org. Haha nanti aku hitungin dr sini

Di aplikasi itu, banyak cogan 2Dnya lho kwkwwk

Doain aku dapet ip 11😘😘😘😘 aamiin!!!!

Continue Reading

You'll Also Like

272K 22.9K 78
Cinta hanya untuk manusia lemah, dan aku tidak butuh cinta ~ Ellian Cinta itu sebuah perasaan yang ikhlas dari hati, kita tidak bisa menyangkalnya a...
43.8M 2.3M 96
SERIES SUDAH TAYANG DI VIDIO! COMPLETED! Alexandra Heaton adalah salah satu pewaris Heaton Airlines, tetapi tanpa sepengetahuan keluarganya , dia men...
2.4M 23.2K 8
Cerita private follow terlebih dulu ya ^^ Rate #1 Romancestory 12 April 2019 Rate #1 HotCouple 12 April 2019 Rate #1 luka 3 maret 2019 Rate #1 hotcou...
552K 20.1K 23
Saire Danabrata menolak untuk melihat dan bertemu dengan gadis yang akan dinikahinya baik sebelum maupun sesudah menikah nanti sebagai bentuk protesn...