Kesempatan Kedua [Terbit]

By Lina_Dianita

9.2M 372K 35.4K

[Dihapus sebagian] 21+ Setahun masa pernikahan akhirnya Bara dapati alasan untuk menceraikan Rania. Wanita ya... More

1. Sebuah Syarat
2. Hadiah Terakhir
3. Hadiah dari Rania
4. Happy New Year :v
6. Kesepakatan
7. Masukkan Judul Anda di sini
8. Yang Disukai dari Rania
9. Tiga
10. Garis
11. Nonton
12. Nonton bagian dua :v
13. Agree (kesepakatan lainnya)
14. Pekerja Keras
15. Adorable
16. Buaya
17. Completely Rightness
18. Setia
19. Bukan Greysia yang Dulu
20. Tidak Masalah
21. Rindu
22. Tiga Puluh Hari
23. Mas - Mbak
24. Menjernihkan Air
25. Rumah
26. Masa Lalunya
27. Kasih judul apa ya 😗?
28. Pesona Rania
29. Kehamilan
30. Masih Ada
31. Badboy & Goodgirl
Vote Cover
Deleted Scene

5. Hubungan Tidak Sehat

271K 13.7K 1.1K
By Lina_Dianita

Part kali ini agak ngebosenin krn masih proses yes.
Besok pasti udah seru lagi. (Semoga)

Happy Maljum 👌👌
_________________

Bara menenggak satu seloki lagi dan menurunkan gelas itu dengan kesal setengah menggebrak meja. Rania benar-benar lebih mengerikan daripada yang ia duga. Senyum manis itu masih membayangi hingga emosinya tak kunjung reda.

"Gimana bisa lo berlagak biasa aja gitu hah?" gumam Bara. "Fuck! Dia beneran jago akting."

Bara semakin kesal saat sadar bahwa harusnya itu juga bukan urusannya. Harusnya terserah saja wanita itu mau bagaimana. Memangnya siapa Rania sampai harus repot-repot ia urusi.

"Sendirian aja?" sapa seorang wanita duduk di samping Bara. Penampilannya sungguh menggoda dengan dress kemben hanya sepanjang paha.

"Aku temenin gak pa-pa, kan?" Wanita itu membelai paha Bara.

Bara tersenyum namun tak lama karena sesaat kemudian jadi gusar mengingat apa yang terjadi saat bersama dengan Donita. Hanya tinggal sejengkal lagi, malah bayangan Rania yang mendongak dengan wajah berkeringat di bawah kekuasaannya yang muncul di benak. Seolah matanya ingin itulah yang dilihat.

"Gue lagi gak mood," tolak Bara menyingkirkan tangan wanita itu darinya. Pertama kalinya dalam sejarah, seorang Bara tidak berminat pada wanita seksi.

Bara kembali menenggak minumannya. Ia hanya ingin mabuk malam ini. Cukup mabuk hingga bisa menyingkirkan Rania dari kepalanya.

___

Rania tengah fokus pada ponselnya. Sengaja duduk di sofa ruang tamu karena sedang menunggu seseorang. Mulai kesal karena malam semakin larut dan yang ditunggu tak ada kabar. Lega juga saat akhirnya bel berbunyi.

Rania menghela nafas, redakan emosi supaya tidak perlu marah-marah. Ia bangkit dan beranjak untuk membuka pintu.

"Kurang malem Ren," gerutu Rania sambil membuka pintu. Terkejut saat melihat bukan Reno yang ada di depannya.

"Ren??" tanya Bara tersenyum miring. Melangkah masuk dengan tubuh sempoyongan hingga menubruk Rania tanpa sengaja.

Aroma alkohol segera saja menusuk indra penciuman.

"Kamu mabuk Bar," Rania menahan tubuh laki-laki itu supaya tetap tegak berdiri. "Kamu salah pintu atau gimana? Ayo aku anter ke rumah Donita," Rania mengalungkan lengan Bara ke lehernya.

Bara tertawa mendengar kata-kata itu. "Gue pulang ke rumah istri gue sendiri, kenapa malah dianter ke rumah orang lain ha?" tanya Bara dengan suara mengalun khas orang mabuk. Menahan dirinya, menutup pintu dengan keras tanda ia tidak mau dibawa keluar.

"Aku lagi nunggu orang Bar, dan aku gak mau dia liat kamu.. apalagi dengan kondisi kamu kayak gini," kata Rania tenang.

"Nunggu siapa hah?" tanya Bara mendekatkan wajahnya. Menatap Rania dengan mata merahnya yang tidak bisa fokus. "Nunggu selingkuhan lo?"

Rania mendorong Bara pelan, karena sungguh ia muak dengan aroma alkohol itu.

"Nunggu si 'Ren' itu?" lanjut Bara.

"Iya, jadi baiknya aku anter kamu ke rumah Donita sebelum dia sampai," jawab Rania.

Bara tertawa keras. "Jadi, selingkuhan lo lebih berhak ada di sini daripada suami lo sendiri?" tanya Bara tak habis pikir.

Rania diam saja nampak tak mau menanggapi, tak mau menyanggah karena Bara ada benarnya.

"Kalo gitu, biar gue di sini," Bara menghempaskan diri di sofa ruang tamu, meletakkan kaki di meja dengan santainya. "Gue pengen kenalan sama dia," lanjut Bara tersenyum sinis ke arah Rania.

"Bar, mau ngapain sebenernya?" kesal Rania berdiri melipat tangan di dada.

"Ngapain?" tanya Bara balik. "Gue udah bilang, kan? Mau kenalan sama dia."

"Buat apa?" tanya Rania bersabar.

Bara mengangkat pundak sambil mencebik. "Mungkin gue bakal nanya-nanya soal... hubungan ka..."

"Buat apa Bar?" potong Rania.

Bara jadi kesal Rania memotong perkataannya dengan tegas namun tenang begitu. Seolah wanita itulah yang berkuasa.

"Kamu bisa tanya sama aku," tambah Rania.

"Sejauh apa hubungan kalian?" tanya Bara kemudian.

"Bagian itu, bukan urusan kamu," jawab Rania langsung.

"Sudah cukup jauh ha?" tanya Bara menyimpulkan. "Jadi, lo bakal nikah sama dia begitu kita resmi cerai?"

Hening. Rania diam saja menatap Bara walau tahu laki-laki itu menunggu jawabannya. Keduanya kompak menoleh saat ponsel di meja berdenting. Rania segera mengambil ponselnya. Lega membaca pesan dari Reno kalau ia tidak jadi datang. Syukurlah kedua laki-laki itu tidak harus bertemu.

"Ada pertanyaan lain?" tanya Rania kemudian.

"Sejak kapan lo ada hubungan sama dia?"

Rania belum sempat menjawab saat Bara sudah kembali bertanya.

"Apa sebelum nikah sama gue?"

"Ya," jawab Rania singkat.

"Apa kerjaannya?"

"Apa kamu lagi coba bandingin dia sama kamu?" selidik Rania.

"Apa dia lebih kaya dari gue?"

Rania menghela nafas dan berjalan mendekat. "Kamu lebih kaya Bara, kamu lebih segalanya. Gak perlu ngerasa tersaingi cuma karena istrimu jalan sama dia. Dia cuma laki-laki biasa yang gak punya apa-apa," kata Rania duduk berseberangan dengan Bara. "Kalo aku bilang aku jalan sama dia bukan karena dia lebih baik dari kamu, tapi karena cuma dia yang bisa nerima keadaanku, apa itu cukup memuaskan buat kamu?"

Bara tertawa sengit mendengarnya. "Pertanyaan terakhir," kata Bara mengacungkan satu jarinya. "Apa dia lajang, atau udah punya istri?"

Rania berusaha bersabar menyadari pertanyaan yang menyiratkan hinaan itu. Tuduhan kalau dirinya ini merebut suami orang.

"Dia lajang," jawab Rania.

Bara kembali mencebik seolah jawaban itu tak akan ia percaya.

"Satu hal di mana dia lebih baik dari kamu itu cuma satu Bar," tambah Rania. "Dia pria yang setia."

Senyum arogan Bara menghilang, berubah muak.

"Sudah puas? Bisa aku antar kamu ke tempat Donita sekarang?" lanjut Rania.

Bara tertawa pelan dan bangkit berdiri. "Jadi itu sebabnya, lo gak pernah peduli sama apa yang gue lakuin di luar sana?"

Mereka beradu pandang beberapa saat. Kondisi Bara yang mabuk membuat Rania malas menjawab lebih lanjut walaupun Bara nampak menunggu jawabannya.

"Gue masih inget kalo nyokap gue bilang lo cewek baik-baik Rania," kata Bara dengan tatapan meremehkan. "Tapi kayaknya, lo cuma cewek licik yang jago akting."

"Apa maksud kamu Bara?" kesal Rania ikut bangkit.

"Lo liat sendiri!" kata Bara setengah tertawa. "Kenapa cowok lo itu lebih berhak ada di sini daripada gue, suami lo sendiri hah?" jelas Bara. "Istri macam apa yang lemparin suaminya ke cewek lain, supaya dia bisa ngurusin cowok lain?"

Rania diam saja tak bisa mendebatnya.

"Gue masih terima kalo lo cuma ngibulin gue," kata Bara menunjuk dirinya sendiri. "Tapi gue jadi muak tiap kali inget gimana sayangnya nyokap gue sama lo. Gimana dia bangga-banggain lo sama temen-temennya, sedangkan lo aslinya cuma penipu licik gila harta."

"Jaga omongan kamu Bar!" kata Rania pelan.

Bara tertawa pelan menyadari ia sudah membuat istrinya itu marah walau masih terlihat tenang. Walau suaranya tenang tanpa geraman, Bara yakin wanita itu kesal.

"Dari awal aku tahu posisiku," kata Rania sabar. "Dari awal aku tahu kamu gak mau dijodohin sama aku, dan aku tahu posisiku," jelas Rania. "Selama ini aku cuma nurut sama kata-kata kamu. Bukan Reno yang bikin aku diemin kelakuan kamu. Tapi kamu sendiri," Rania menatap laki-laki itu dengan serius.

"Kamu suruh aku diam, aku diam. Kamu suruh aku buat gak ikut campur, dan itu yang aku lakuin. Bukannya aku gak peduli Bara, tapi aku tahu posisiku dan aku tahu kamu gak kasih sedikit pun hak atas dirimu itu buat aku," terang Rania. "Selama ini aku cuma lakuin apa yang kamu minta, dan sekarang kamu masih gak terima?"

"Wow," komentar Bara kentara dengan ejekan. "Jadi selama ini lo cuma nurutin kata gue, gitu?" Bara mendekat. "Jangan sok jadi istri yang baik Rania," bisik Bara. "Lo baru aja ngusir suami sendiri demi cowok lain..."

"Tapi sekarang situasinya udah beda Bar," Rania mendorong Bara agar kembali menjauh darinya. "Kita udah sepakat buat cerai, kan? Kita sudah selesai..."

"Gue masih suami sah lo!"

Rania terdiam, merasa ada yang Bara sembunyikan. Bara tertawa dan Rania berkerut alis makin curiga.

"Suratnya..."

"Suratnya belum kemana-mana," kekeh Bara.

Rania tercengang, menatap laki-laki itu tak bisa percayai kata-katanya. Dengan cepat ia berjalan mendekat.

"Kenapa?" tanya Rania berkerut dahi menuntut penjelasan.

Bara tersenyum nampak menjengkelkan. "Tunjukin di mana kamarnya! Gue mau tidur," jawab Bara.

Rania terkejut mengetahui Bara memang serius belum mengajukan surat itu. Ia membeku terdiam di tempatnya.

"Gue cari sendiri kalo gitu," Bara beranjak dari sana dengan langkah gontainya.

Rania tatapi hilangnya Bara ke dalam kamar tanpa berkedip. Bingung, tak habis pikir dengan apa yang dilakukan laki-laki itu sebenarnya. Rania mengikuti Bara ke kamar karena masih banyak hal yang ingin ia tanyakan. Rania temukan Bara sudah terlentang di ranjang.

"Bar," panggil Rania duduk di tepi ranjang. "Kenapa..."

"Berisik!" potong Bara malas, berguling membawa bantal untuk menutupi telinganya.

Rania menghela nafas, tahu kalau Bara tak mau diusik lagi. Laki-laki itu memang mudah kesal jika sudah kelelahan. Rania menatapi laki-laki itu beberapa saat, memikirkan fakta bahwa laki-laki di hadapannya itu masih suaminya. Memikirkan apa yang membuat Bara menahan surat perjanjian cerainya.

Pada akhirnya Rania putuskan untuk menunda pembicaraan. Tak ingin menduga-duga sendiri apa yg sebenarnya terjadi. Ia beralih pada kaki Bara, melepaskan sepatu yang masih dikenakannya. Selesai itu menaikkan selimut lalu keluar dari kamar.

Bara melirik pintu yang baru saja tertutup setelah itu menatap langit-langit kamar yang gelap. Ini buruk baginya karena ternyata setelah mabuk pun Rania masih memenuhi kepalanya. Ia bahkan tak tahu apa yang tengah ia lakukan ini. Kenapa ia datang ke sini dan kenapa ia sengaja mengusik Rania. Ia bahkan serius saat mengatakan ingin bertemu laki-laki itu dan berkenalan dengannya.

Bara mengumpat dalam hati. Mungkin benar kata Rania. Mendapati wanita itu punya laki-laki lain menyakiti egonya. Ia tidak cemburu, hanya saja benar-benar hal memalukan mendapati istrinya punya pria idaman lain.

____

Bara terbangun dan tekanan luar biasa sakit menyerang kepalanya. Sisa mabuk semalam. Bara lirik jam dinding menunjukkan pukul empat. Pagi masih buta. Ia turun dari ranjang. Keluar dari kamar untuk minum.

Selesai minum Bara perhatikan sekeliling. Di mana Rania? Apa laki-laki itu semalam ke sini dan melihatnya? Apa mereka mencari tempat lain dan Rania meninggalkannya di apartemen ini sendirian? Pikirnya.

Bara sampai di ruang tamu dan menemukan Rania berbaring di salah satu sofanya. Bara menghampiri dan duduk di meja tepat di depannya. Baru sadar ternyata wanita itu terlelap. Bara pikir mungkin ketiduran saat menunggu kekasihnya.

"Bangun!" kata Bara mengguncang tubuh itu sesaat.

Cukup untuk membuat Rania tersadar. Wanita itu duduk menggosok matanya. "Kenapa? Kamu butuh sesuatu?" tanya Rania.

"Lo ngapain tidur di sini?" tanya Bara menahan tawa. "Pacar lo gak dateng?" sindirnya.

Rania nampak tak tersinggung dengan itu. Ia hela nafas lalu menatap laki-laki di hadapannya. "Kamu ingat, kenapa di rumah kamu itu aku punya kamar sendiri?" tanya Rania.

Bara nampak berpikir sesaat namun kemudian mengedikkan pundak, merasa itu tak cukup penting untuk diingat-ingat.

"Karena kamu bilang, kamu gak mau tidur satu ranjang sama aku," jawab Rania.

"Wow, lo beneran senurut itu ya?" gumam Bara antara kagum dan menertawakan. "Bangun! Pindah ke kamar aja!" kata Bara selanjutnya. Berdiri dan keluar dari sela antara meja dan sofa.

"Kamu mau tidur di sofa?" tanya Rania setengah tak percaya. Ia tak pernah melihat Bara mengalah sebelumnya.

"Gak sudi," jawab Bara. "Tidur seranjang sekali ini juga ga bakal kejadian apa-apa," Bara melenggang untuk kembali ke kamar.

"Aku tidur di sini aja, gak apa Bar..."

"Oh, baru juga beberapa detik yang lalu gue kagum sama sifat penurut lo," potong Bara. "Udah berubah ternyata," lanjutnya seolah bicara pada dirinya sendiri.

Rania paham itu tadi sindiran. Lagi-lagi ia menahan emosi, menghela nafas dengan berat lalu berdiri. Menyusul Bara ke kamar.

Bara tak berkomentar saat Rania naik ke ranjang.

Sungguh, kalau saja tidak harus menurut pada suaminya, Rania lebih memilih untuk tidur di sofa saja. Walau ranjang ini lebih nyaman untuk badannya namun perasaan tegang dan debaran dadanya itu membuat ia yakin kalau akan lebih sulit untuk tidur di tempat ini daripada biasanya.

"Bar," panggil Rania lirih. Mendapat gumaman 'hm' saja sebagai jawaban.

"Kenapa suratnya belum diajukan?"

Pertanyaan Rania kali ini tak mendapat jawaban. Lama ia menunggu, bahkan sempat berpikir kalau Bara sudah tertidur. Sampai saat ia memanggil lagi, gumaman masih dilontarkan Bara sebagai jawaban.

"Apa kamu berubah pikiran?" tanya Rania hati-hati. Tahu kalau pertanyaan itu berpotensi ditertawakan oleh suaminya. Justru merasa aneh saat Bara berguling untuk menghadapnya dan menatap dengan serius.

"Apa yang lo lakuin kalau gue berubah pikiran?" tanya Bara terdengar serius.

Perlahan Rania menoleh untuk membalas tatapan yang mengarah padanya. Mencari keseriusan dari kata-kata Bara dan berdebar tak nyaman saat mendapatkan keseriusan memang ada di sana.

"Hm?" tanya Bara menuntut jawaban.

"Aku yang ajukan surat gugatan, kalau kamu berubah pikiran," jawab Rania tenang.

Bara tersenyum masam. "Lo beneran mau nikah sama tu cowok setelah kita cerai ha?"

"Bar, jangan bawa-bawa Reno. Ini murni urusan kita berdua. Dia gak ada sangkut pautnya."

Bara diam saja.

"Gak perlu ada campur tangan orang luar pun hubungan kita udah gak sehat Bar," kata Rania tenang.

"Tahan dulu surat gugatannya..."

"Aku gak perlu persetujuan kamu Bar," potong Rania. "Semua yang kamu lakuin selama satu tahun ini sudah cukup buat dijadikan alasan lolosnya gugatanku," lanjut Rania lirih.

Hening beberapa saat. Rania merasa Bara tak akan lagi menjawabnya. Rania alihkan matanya walau Bara masih menatapnya tanpa jeda. Perlahan menutup mata untuk tidur.

"Apa lo mau misalnya gue ajak mulai semuanya dari awal?"

Rania kembali membuka mata. Tetap saja ragu, walaupun mustahil jika ia salah dengar. Perlahan menoleh untuk kembali menatap Bara.

________

Bersambung...

Sorry lebih lama dr biasannya 😂
Moodnya parah. Ilang-ilangan mulu. Akhirnya dipaksain dan ya gitulah hasilnya. 😅😅

Ya gitulah apaan thor?

Ya gitu.. tau sendiri, kan? Kalo dipaksain biasanya jadi ada perih-perihnya :v

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 86.6K 54
SURRENDER SERIES #3 √ Completed √ ~ Setelah bertahun-tahun Ryan mempertahankan topengnya sebagai sosok yang dingin dan tak acuh, mendadak seluruh dun...
2.6M 277K 48
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
1.1M 63.3K 43
21+ Jihan selalu jadi pihak yang menanti, terdiam menunggu kekasihnya untuk kembali dari perantauan dengan kesibukan dan mungkin, bunga lainnya. Nam...
2.2M 142K 50
"Yang tadi itu kamu bilang ciuman?" Lika tertawa pelan sambil mengusap bibir Janu dengan ibu jari. Janu hanya terdiam kikuk. "Emang yang bener kayak...