P L A Y L I S T
Halu— Feby Putri
"Kamu berubah, Lu," kata Yerisha jujur. Mereka memutuskan tetap di cafe setelah pertemuan yang membahas novel Yerisha yang akan terbit. Senja pulang terlebih dulu, meninggalkan Yerisha dan Luke yang berbincang-bincang tentang masa lalu mereka.
"Hah? Aku? Enggak. Aku masih tetap Luke yang ngeselin dan jahil."
Yerisha menopang dagu dengan tangannya. "Secara fisik maksudku. Kamu tinggi banget dan..."
"Ganteng." Luke menyela, terkekeh melihat raut kesal Yerisha.
"Tingkat kepedean yang overnya masih sama rupanya," sindir Yerisha.
"Pede itu perlu."
"Tapi jangan over juga. Sesuatu yang berlebihan itu nggak baik."
"Iya Yerisha. Iya," Luke mengangkat kedua tangannya sebatas dada, memberi tanda menyerah.
"Kali ini aku percaya kamu emang Luke."
"Jadi sedari tadi kamu nggak percaya?"
"Sedikit."
Luke memasang wajah murung. "Jahat kamu, Yer."
"Kamu yang lebih jahat. Udah pindah ke Jogja nggak mampir ke rumah atau menghubungiku."
Wajah Luke kaku untuk sesaat, untungnya Yerisha tak sadar karena sedang menyeruput minumannya. Saat Yerisha kembali memandangnya, Luke menarik sudut bibirnya, berusaha tersenyum.
"Kamu yang sombong nggak membalas pesanku."
"Hah? Kapan?"
"Saat aku ngucapin selamat atas terbitnya novelmu."
Deg!
Yerisha langsung membeku. Dia langsung teringat nomor asing yang menghubunginya yang tentu saja diabaikannya.
"Jadi Yerisha tolong balas pesanku ya," ucap Luke terkekeh, lucu melihat raut bersalah Yerisha.
"Sorry, aku nggak tahu. Boleh kubalas sekarang?"
"Boleh."
***
"Ma, kenapa mereka bilang aku anak haram?" Pertanyaan polos itu keluar dari mulut bocah lelaki berumur lima tahun saat sang mama sedang mencuci piring di dapur.
"Anak haram itu apa? Kenapa mereka bilang aku anak haram?"
Wajah sang mama terlihat sendu, beliau menyegerakan urusan cuci piringnya lalu menarik putranya ke arah kamar.
"Ma, kenapa diam saja?"
"Sayang, kamu bukan anak haram. Mereka tidak tahu apa-apa tentang kamu."
"Tapi mereka—"
"Jun, jangan dengerin mereka ya. Mereka hanya melihat dari luar, mereka nggak berhak menilai Jun. Jun bukan anak haram," tegas sang mama menutup kedua telinga putranya.
"Aku nggak ngerti...." Ya anak berumur lima tahun nggak akan paham kenapa tetangga, bahkan saudara sendiri mengatakan ia anak haram. Lebih parahnya lagi, mereka melarang anak-anak mereka bermain dengannya, dan menyuruhnya menjauh, seolah ia memiliki penyakit menular.
"Apa karena Jun nggak punya papa?"
"Jun punya papa. Nanti Jun akan bertemu papa."
"Tapi—" Jun ingin bertanya lebih lanjut tapi ia urungkan saat melihat sang mama sudah berurai airmata. Jun terdiam sebentar sebelum akhirnya memeluk mamanya dan ikut menangis.
"Mama jangan menangis. Mama menangis karena Jun ya? Jun nakal ya, Ma? Maaf."
"Enggak sayang. Enggak."
"Maaf, Ma. Maafin, Jun."
"Maaf, Ma."
"Maaf."
"Ode."
"Hei Ode bangun. Kenapa malah tidur di sofa?"
"Ish kenapa malah nangis sih?" Yerisha tak mengerti kenapa Ode malah menangis saat tertidur sambil mengigau dan mengucapkan kata maaf berkali-kali.
Tengah malam Yerisha turun ke bawah untuk membuat teh hangat di dapur. Niatnya langsung kembali ke kamar usai membuat teh berhenti saat melihat Ode tertidur di sofa ruang tengah. Tadinya Yerisha ingin mengabaikan, tapi melihat Ode mengigau membuatnya tak tega. Terlebih saat melihat pemuda itu menangis.
"Kamu banyak dosa ya? Minta maaf Mulu dari tadi," gumam Yerisha masih menggoyangkan lengan Ode, berusaha membangunkan pemuda itu.
"Hei bangun!!!" Ketika Yerisha meninggikan suaranya Ode membuka mata dan langsung menatap ke arahnya.
Yerisha nggak tahu apa yang membuat pemuda itu menangis saat tidur, menurutnya Ode terlihat nggak memiliki masalah. Atau dirinya yang kurang peka.
Yerisha kembali bersuara karena Ode cuma memandanginya sambil mengerjapkan mata, seperti orang linglung. "Jangan tidur di sini. Pindah ke—"
Yerisha bahkan nggak bisa melanjutkan ucapannya karena Ode mendadak bangun dan memeluknya.
Yerisha jelas shock.
"Heh!!! Apa-apaan sih?"
Ode mengeratkan pelukannya.
Saat Yerisha ingin memukul pemuda itu agar dilepaskan, niatnya itu diurungkannya saat mendengar isakan pelan. Yerisha merasakan tubuh Ode bergetar.
Ode menangis? Kenapa?
Yerisha tidak paham. Ia membiarkan Ode menangis. Sebenarnya ia ingin menyindir Ode. Masa sih laki-laki menangis tapi ia langsung teringat laki-laki juga manusia biasa, nggak ada larangan laki-laki nggak boleh menangis. Menurut Yerisha pasti ada sesuatu yang besar yang membuat laki-laki akhirnya memilih menangis. Yerisha penasaran apa masalah Ode?
Ah kenapa juga aku peduli sama dia?
Malam itu Yerisha membiarkan Ode menangis dalam pelukannya. Tangannya menepuk-nepuk pelan punggung Ode seperti seorang ibu yang sedang menangkan putranya.
Yerisha tersadar pemuda itu memiliki sebuah luka, luka yang mungkin saja sangat besar.
Yerisha mengingat semua perlakuan buruknya yang bisa saja menyakiti pemuda itu.
***
"Yer, kamu dengerin ceritaku nggak sih?" Saelin memandang sebal Yerisha yang malah melamun saat ia menceritakan soal teman Luke yang ia damprat tempo hari. Padahal Saelin ingin menyampaikan info penting tapi Yerisha malah melamun seolah jiwanya sedang tak berada di raganya.
"Iya, Sae. Kamu bilang apa tadi?"
"Kamu mikirin apa sih? Sampe melamun."
"Itu novel," ucap Yerisha berbohong. Padahal ia sedang memikirkan kejadian semalam saat Ode menangis di pelukannya. Karena itu pula mereka canggung dan saling menjauh. Kecanggungan itu bahkan disadari oleh orang rumah.
"Tumben, Yer kamu nggak marah-marah sama Ode," ucap papanya pagi tadi.
"Emang Yerisha harus marah-marah terus? Bosen ah marah-marah. Mau kalem," begitu kilahnya yang membuat papa dan mamanya tertawa. Tapi mereka bersyukur seandainya Yerisha mulai menerima Ode
"Pasti deg-degan ya novel mau terbit," ucap Saelin mengangguk paham.
"Kamu tadi cerita apa?"
"Luke yang dulu temenmu. Dia udah Jogja dan punya temen ngeselin yang ikut campur urusan orang. Maksudku kamu dan kak Ode."
"Oh Luke. Aku udah ketemu dia. Dia yang ngurus cover dan ilustrasi novelku."
"Heh? Terus?"
"Ya nggak terus-terus. "
"Dia chat kamu?"
"Huum."
"Kamu balas?"
"Iya lah."
"Ishhhhh. Nggak suka." Saelin cemberut. Kenangan soal teman Luke yang menyebalkan membuatnya berpikir Luke satu spesies dengan pemuda itu.
"Apa sih?"
"Pokoknya jangan pacaran sama Luke."
"Loh apa sih? Kok jadi pacaran."
"Pokoknya nggak suka."
"Dih posesif. Aku dan Luke cuma temenan."
"Awas aja lebih dari itu."
"Apa sih, Sae?"
"Mungkin aku terdengar gila tapi aku lebih suka kamu sama kak Ode."
Pernyataan Saelin membuat Yerisha melongo.
"Aku berharap cowok yang beruntung mendapatkan kamu adalah kak Ode. Dia bisa mengimbangi kamu."
Yerisha merasa ucapan Saeron itu nggak masuk akal. "Sae, kamu—"
"Ya aku gila. Cukup gila malah berharap kamu jadian sama kakakmu sendiri." Saelin memandang serius ke arah Yerisha. Sadar betul ucapannya berhasil membuat Yerisha bingung sekaligus gelisah.
"Arghhhh seandainya kak Ode bukan kakakmu."
***
Salah satu sudut kota pelajar tahun 2023
Seorang gadis menembus gerimis yang tiba-tiba turun dari langit, membasahi bumi kota pelajar menjadikan kota itu sedikit lebih dingin dari biasanya. Sudah lama para penghuni kota yang semakin padat itu mengharapkan hujan turun, setidaknya untuk menurunkan suhu kota yang luar biasa membuat keluh mengalir bahkan saat malam hari.
Gadis itu berhenti di depan sebuah cafe,mengibaskan bajunya yang basah , cukup lama dia berdiri untuk membuat pakaiannya sedikit kering sebelum akhirnya memasuki cafe. Dia merasa tak enak bila masuk cafe dalam keadaan basah kutub.
Ia mengedarkan pandangan sebelum akhirnya terfokus pada satu titik. Sekarang wanita melambaikan tangan padanya. Ia segera melangkah menghampiri wanita itu.
"Maaf, kak. Tiba-tiba hujan."
Wanita di depannya tersenyum. Di atas meja ada laptop yang menyala, ia bisa melihat ada sesuatu yang tertulis di sana.
"Aku baca naskah yang kamu kirim. Dan udah selesai."
"Hah? Tapi aku kan baru ngirim."
"Iya tapi aku excited banget bacanya dan nggak tahunya udah sampai akhir. Dan kamu harus tanggung jawab."
"Kok jadi aku yang harus tanggung jawab?"
Wanita itu melepaskan kacamatanya dan menunjukkan kantung matanya. "Aku semalam nangis. Nangis karena baca ceritamu. Jadi tanggung jawab."
"Aduh, kak. Kenapa menangis sih? Padahal ceritanya biasa."
"Kamu bilang ini biasa? Enggak. Ini tuh—masterpiece."
"Jangan berlebihan, kak."
"Aku nggak berlebihan. Oh iya—" wanita itu menunjukkan layar laptopnya yang menampilkan naskah miliknya.
"Aku nggak tahu lagi harus bilang apa tapi aku suka ceritamu yang ini. Apa harapanmu?"
"E!" Ia terkejut tiba-tiba mendapatkan pertanyaan aneh semacam itu.
"Apa harapan terbesarmu yang tak pernah terwujud? Aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu dari sini."
"Aku berharap dia bukan kakakku."
Ucapan itu membuat wanita di depannya terkejut.
"Jangan bilang ini—"
Kalau Tuhan memberi kesempatan berenkarnasi, maka di kehidupan lain, aku tak ingin menjadi adikmu.
-to be continued-
Yuk mampir ke story jungwoo ^^