Suami Killer-ku (On Going)

By NafisaAlwi

244K 16.7K 1.4K

--Saat cinta diperkuat dengan ikatan pernikahan.-- "Bang!" "Ya." "Kenapa Abang lamar Mai?" "Ingin." "Apakah... More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
24 (repisi) malam pengantin part 1
25. malam pengantin part 2
26. Kegaduhan di pagi hari.
27 Tamu special
28. Jentik-jentik Pelakor
29. Berbaikan. A
30. Kibaran bendera perang.
31. Cah kangkung
32. Bercak merah keunguan??
33.Sweet memory
34. Kado Ultah
35. Tak terduga.
36 Semakin membeku.
37. Batas kesabaran.
38. Periksa
39. Terlambat.
40. Kamu di mana?
41. Shovy dan Jafriel
42. Kejadian sebenarnya
Izin lewat dulu!
43. Tentu saja anakmu!
44. Bertemu.
Balasan setimpal
DIBACA, YA!

23

4.8K 379 47
By NafisaAlwi


"My Al, setelah ini kamu ada kelas lagi, gak?"

Aliza menoleh, lalu menggeleng. "Kelas IT dosennya membolos. Kelas kosong," jawabnya setengah mencibir. Bibirnya mengerucut lucu membuat Maira terkekeh geli. Bahkan ketika temannya mengucap kata 'Dosennya membolos' itu gemas sekali. Seperti ada rasa greget yang sangat dia coba sekuat tenaga ditahannya.

"Kak Rei sedang unjuk rasa."

"Kenapa? Minta naik gaji?"

"Hihihi, mungkin. Buat ngumpulin biaya 'Ipekah'."

Aliza mengerutkan dahinya, "Pak Rei mau nikah?" tanyanya penasaran.

"Ya iyalah, masa terus membujang."

"Dih, mentang bentar lagi mau jadi manten, mendadak tulalit. Kamu tahu maksudku dan lagi berapa biaya Ipekah? Emang gak cukup dengan gajinya selama ini?"

Maira mengendikkan bahunya, "Ya maksudnya, Ipekah dan kawan-kawan. Siapa tahu yang dinikahin kak Rei kamu. Pastikan Maharnya juga bukan Seribu Rupiah. Harus siap mental dan modal."

Aliza menegang saat mendengar ucapan Maira. "A-apa si? Ma-mana mungkin pak Rei mau sama aku? Dan lagi aku tak sematre itu."

"Kamu salah. Yang seharusnya berkata begitu kakakku. Ya ... aku si berharap kamu jadi kakak iparku. Kamu tahukan Mami. Dia itu udah cinta banget sama kamu. Menantu idaman paling cantik daripada putrinya, tidak cukup sadis gimana coba."

Aliza semakin merona. "Ka-kamu jangan becanda terus, ah!"

"Aku gak becanda. Tapi lagi menjalankan aksi PDKT."

"Ya? PDKT sama siapa."

"Sama kamu dong. Disuruh mami."

"Mairaaa, serius ih."

"Ak---" 'dddrrrttt' ucapan Maira terpotong karena getaran ponselnya membuat Aliza menghembuskan nafas lega. Pembicaraan tentang kakak Maira memang menjadi topik paling sensitif bagi Aliza. Dia tak bisa mengontrol jantungnya.

"Assalamu'alaikum."

"...."

"Mai masih di Kampus."

"...."

"Gak usah! Ketemu di sana aja, Mai diantar Aliza."

"...."

"Iya deh. Mai kesana sekarang. Wa'alaikumussalaam."

"Dari siapa?"

"Pak Dosen. Ayo!"

"Pak Dosen siapa? Kemana?"

"Siapa lagi. Emang kamu ngarepnya kak Rei gitu? Pak Dosen yang barusan ngajar kita."

"Apa? Pak Radhi? Gak-gak-gak. Aku gak mau ikut." Aliza benar-benar parno sama Radhi. Dua bulan yang lalu, dia begitu shok saat tahu jika temannya ini dikhitbah sama Dosen CEOnya, si pria Superman yang sialnya paling disegani. Apalagi ketika Maira menceritakan pasal perkara 'si Dokter cantik' itu membuat Aliza semakin takut dengan calon suami sahabatnya itu.

Maira menggenggam tangan Aliza. "Please my Al, kamu tahukan bahwa kami belum 'Sah'? Aku takut satu mobil cuma kami berdua."

"Dan aku dijadikan obat nyamuk gitu? Sok-sok-an ingat belum Sah, waktu pas bolos ngampus apakabar, Bu?" cibir Aliza. Maira memang menceritakan kejadian di toko Buku itu yang Radhi mengantarkan Maira pulang minus makan siang bersama. Bisa jadi bulan-bulanan dia oleh Aliza.

"Ih, itukan sebelum taken sama Bang Suhe. Kalau sekarang beda. Takut bablas." Entah kenapa, semakin hari kelakuan Maira semakin mirip ibunya.

"Iya beda deh yang kebelet kawin mah beda."

"Astagfirullooh, my Al. Kamu jahat ih. Iya deh yang mentang aku adik iparmu. Bully aja sepuasnya."

"Iiihhh, kalau sampai terdengar sama pak Rei kamu tanggung jawab ya!" 'Bisa besar kepala tu Dosen belang.'

Mereka terus ngobrol sambil berjalan ke area parkiran. Sebenarnya itu strategi Maira yang terus menggoda sahabatnya sehingga Aliza tak sadar jika mereka hampir sampai dimana Radhi sedang menunggu.

"Assalamu'alaikum, Bang."

"Wa'alaikumussalaam."

Aliza melotot saat sadar bahwa mereka sudah di parkiran dan ... berhadapan dengan calon suami sahabatnya. Dengan takut Aliza diam-diam melirik Radhi. Masih tetap tampan tanpa berkurang mungkin malah bertambah, tenang seperti biasanya. Tapi di mata Aliza Radhi itu bagai gunung yang siap meletus kapan saja.

Maira merasakan tangannya sedikit ditarik membuatnya kembali sadar jika temannya ini masih takut sama bang Suhenya. "Em Bang. Mai duduk di belakang ya? Kasian Aliza duduk sendirian."

Radhi menaikan satu alisnya lalu melirik teman gadisnya yang berdiri dengan tubuh menegang. Lalu kembali menatap Maira, "Kamu gak menganggap Abang supir Gr*b kan?"

Maira meringis padahal inginnya manyun* *mengerucutkan bibir sambil ngedumel pada pria tembok ini. Bisa-bisanya dia semakin membuat temannya ketakutan.

"Kamu." Tubuh Aliza semakin kaku dan gemetaran. Dia yakin Radhi memanggilnya. Karena bulu kuduknya berdiri semua. Firasatnya kuat. Walau takut, Aliza mengangkat kepalanya untuk melirik Radhi, namun buru-buru ditundukkan kembali saat melihat netra Radhi memang sedang tersorot kearahnya. Menyesal karena sudah dirinya mendongak.

"Bang!" tegur Maira saat melihat temannya makin ketakutan.

"Apa temanmu takut sama Abang?" 'Lah malah nanya.'

"S-s-siang, Pak!" sapa Aliza gugup.

"Kamu takut sama Saya?" Bukannya menyapa, Radhi malah bertanya. Jangan harap jika inotasinya hangat. Jelas, penuh intimidasi.

"B-b-bagaimana m-m-mungkin, P-pak."

"Hmmm, kalau begitu bisa kita jalan sekarang. Kamu mau menemani Maira?"

Aliza langsung menggeleng cepat, merasa ini kesempatan untuk kabur. "Tentu saja. Aliza juga butuh buat fiting baju." Aliza melotot kearah Maira yang dibalas tak kalah besar oleh Maira.

"Ya udah, ayok masuk. Mai, perhatikan kepalamu! Dan jangan coba-coba!" ancam Radhi saat melihat Maira akan membuka pintu belakang.

"Duh Mai, nurut aja! Kamu gak lihat aku ketakutan sampai mau buang air kecil rasanya," bisik Aliza.

Menghembuskan nafas, Maira akhirnya membuka pintu depan dan duduk di samping pengemudi. Sebenarnya Maira masih tak nyaman jika berdekatan dengan Radhi. Bukan karena tak suka, tapi ... dia suka gak mengerti dengan kondisi jantungnya. Selalu saja dagdigdug dengan abnormal. Ya ... seperti sekarang ini.

'Drrrt' ponsel Radhi bergetar.
"Assalamu'alaikum."

"..."

"Masih di perjalanan."

"..."

"Wa'alaikumussalaam."

"Barusan yang telpon Tante?" Maira mencoba mencairkan suasana. Karena sudah lebih dari 10menit yang lalu suasana dalam mobil persis seperti di kuburan. Malah lebih serem, mungkin. Apalagi ketika Maira melihat tubuh kaku Aliza yang bahkan Maira sangsi apakah sahabatnya itu sudah bernafas atau belum, kok gak kelihatan narik nafasnya.

"Hmm."

"Mami udah di sana belum, ya?"

"Hmm."

Maira tak tahan untuk mendelikkan matanya, menatap tajam pada Radhi berharap jika tatapannya bisa merobohkan tembok satu ini. "Padahal Mai bisa kesana sama Aliza, kenapa harus barengan si?" cebiknya pelan.

"Dan berakhir dengan kepalamu yang benjur kejedot kap mobil serta membiarkan jarimu menghilang karena terjepit?" Bibir Maira semakin manyunsaat Radhi mengingatkan kejadian satu minggu yang lalu. Saat dia dan keluarganya akan memesan baju pernikahan yang sekarang mereka sedang menuju ke sana. Ketika itu Maira datang bersama keluarganya karena mau bikin baju buat seragaman keluarga juga. Sedang keluarga Radhi sudah di sana lebih dulu karena butik itu memang milik ibunya. Mungkin karena tergesa atau gimana Maira keluar tanpa membukukan badannya, alhasil kepalanya terkantuk dengan cukup keras sehingga menimbulkan jeritan Maira. Radhi menghampiri Maira yang sedang mengusap-usap kepalanya.

Belum selesai sampai di sana. Kedatangan Radhi dan menanyakan keadaannya Maira malah menjadi linglung, antara malu, grogi, juga jantung yang tak bisa dia tenangkan. Sehingga ketika ibunya memanggil dengan terburu-buru dia menutup pintu mobil tanpa sadar jika salahsatu tangannya masih bertengger di ambang pintu. Beruntung Radhi segera menariknya, kalau tidak bisa dibayangkan bukan gimana?!!

Maira sendiri juga gak tahu, kenapa dirinya kembali menjadi manusia ceroboh. Padahal sewaktu masuk Sekolah Menengah dirinya terkenal dengan sikap anggunnya. Tertib dan cermat. Tapi kok sekarang dia berubah lagi menjadi gadis kecil berusia 7tahun lagi. Sejak kapan dirinya kembali berubah? Kok serasa satria baja hitam saja.

'Tepatnya, setelah pertemuan kembali dengan bang Suhe.' Batin Maira menjawab. Maira melirik sedikit kearah Radhi, 'Apa iya?'

"Bulan depan persiapan buat wisuda, kan?" Entah angin dari mana, Radhi berinisiatif memulai obrolan.

"Hmmm."

"Bagaimana dengan persiapan Ujiannya, gak ada kendala kan?"

"Hmmm."

"Ck, Maira. Abang bertanya sama kamu!"

"Hmmm."

Radhi menoleh kearah Maira menatap gadis itu dengan sedikit tajam. Tapi bukannya takut, Maira malah memasang wajah sok polosnya, "Hmm??" seolah bertanya 'kenapa menatapku begitu?'

Melihat Radhi yang sedikit frustasi dengan kelakuan sahabatnya, tak sadar Aliza terkikik. Ternyata tak begitu rugi dirinya ikut satu mobil dengan pasangan calon pengantin ini. Walau benar feelingnya bahwa dia berperan sebagai obat nyamuk di sana. Tapi melihat aksi keduanya membuat dirinya sedikit terhibur melihat wajah lain Dosennya ini, tidak melulu datar kaya tembok juga dingin kaya es batu.

Walau dia takut dengan Dosen satu ini, tapi dia yakin jika sahabatnya bisa mengimbangi sikap tembok juga es batunya itu. 'Ah, Maha Sempurna Engkau, ya Robb. Kau menyatukan Makhluk-Mu sesuai pasangannya. Jadikanlah mereka pasangan yang senantiasa Engkau Rahmati, Aamiin.'

Radhi berdehem, sebenarnya dia sangat tak sabar untuk menguyel-uyel calon istrinya ini, apalagi sikap Maira kadang membuatnya gemas sekali. Tapi tentu hanya dalam angannya saja. Itulah sebabnya kenapa dia tak ingin lama lama untuk menikahi Maira, dia memang sudah tak sabar untuk....

Matanya melirik ke belakang lewat kaca spion, dimana teman gadisnya sedang mengulum senyumnya. Pasti dia sedang menertawakannya. Andai saja bukan teman Maira, mungkin dia sudah menegurnya.

"Ayok, sudah sampai." Radhi mematikan mobilnya yang memang sudah terparkir dengan baik.

Maira mengangguk, "Bang, Mai duluan ya." membuka pintu setelah melihat kepala Radhi mengangguk. Keluar bersamaan dengan Aliza. Mereka masuk ke butik milik calon mertua Maira yang langsung disambut oleh ibu dan calon ibu mertuanya yang memang sudah di sana lebih awal.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalaam." Maira dan Aliza menghampiri lalu menyalami mereka berdua. Aliza langsung ditarik Kayla dan mendudukkannya tepat di sebelahnya.

"Sayang, sini!" Melisha menepuk kursi yang berada di sampingnya. Maira pun menghampiri tanpa membantah.

"Mana Radhi?"

"Abang masih di tempat parkir. Tadi kelihatannya lagi mau nelpon seseorang."

"Oh, oia. Baju pengantin kamu baguuus banget, Mami gak nyangka pikihan Radhi sangat perfect." Maira tersenyum, memang ketika mereka memilih design gaun pengantin. Radhi ternyata punya pilihan design sendiri dan itu mutlak tak bisa ditolak membuat semua orang pasrah saja.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalaam." Radhi masuk dan menghampiri mereka. Menyalami kedua orangtua yang dua-duanya berjenis perempuan persis seperti yang Maira lakukan.

"Gimana, Mi? Gaunnya udah jadi?" Radhi bertanya pada ibunya.

'Prok.' "Sudah, Bang. Duuuh, Mami suka banget sama pilihan kamu. Rasanya Mami juga pingin make."

"Hmm." Radhi tak menanggapi celotehan ibunya. Duduk begitu elegan sambil melihat buku Katalog koleksi butik sang ibu membuat Melisha mendelik tanpa memprotes. Sudah biasa.

"Assalamu'alaikum." Mereka langsung menoleh keasal suara. Reinald tersenyum menghampiri mereka. Menyalami para tetua lalu duduk di sebelah Radhi.

"Mau apa kesini?"

"Ck, sopan dikit sama calon kakak kenapa? Beri salam kek."

"Hmmm."

"Astagfirullooh, kumaha anjen we lah*." *terserah kamu.

"Jadi?"

"Mau fittinglah. Apalagi?"

"Yakin?"

"Hmm."

"Ya sudah. Mi, Tante. Apa kalian sudah mencoba busananya?"

"Sudah, tinggal kalian."

"Oke. Mai ayok!"

"My Al, ayok!" Maira mengajak Aliza.

"Kenapa mengajaknya?" Radhi mengerutkan dahinya membuat Aliza kembali menciut merasakan takut.

"Kok kenapa si? Kan Aliza juga sama."

"Ada orang lain yang nemenin."

"Eh?" Aliza bingung.

"Yasudah, Aliza biar kami yang menemani. Kamu kesana aja bareng Radhi. Memang gaun pengantin sengaja Mami simpan di ruangan khusus. Biar tak sembarang orang yang melihatnya. Biar jadi kejutan," interupsi Melisha.

"Ayok!" Maira akhirnya mengikuti langkah Radhi dari belakang. Memasuki ruangan di pojok kanan yang ... benar saja itu sepertinya ruangan khusus Melisha.

Di sana sudah ada dua pegawai yang memang sedang menunggu mereka. Setelah memberi hormat pada Radhi dan dirinya, salah satu pegawai menghampiri satu patung yang tertutup kain putih dan membuka penutupnya.

Maira seketika mematung, merasa terpesona dengan patung tersebut. Bukan, bukan patungnya, melainkan gaun yang tersampir di sana. "MasyaAllah, indah banget," gumamnya penuh takjub. Calon ibu mertuanya benar, Radhi benar-benar bisa diandalkan. Dengan langkah pelan Maira mendekati gaun pengantinnya. Meneliti setiap helaian kain brukat berbalut mutiara yang menjuntai sampai ke bawah. Sungguh luarbiasa.

Dahi Maira sedikit berkerut, kala mengingat sesuatu. Melirik pada sosok pria yang sepertinya sedang memperhatikannya juga.

Merasa tatapan Maira adalah kode panggilan, Radhi menghampiri gadisnya, "Ada apa? Apa ada yang kurang menurutmu?"

Maira menggeleng, "Tidak. Ini benar-benar sangat indah. Tapi ...." Maira tak meneruskan ucapannya. Entah bingung atau sedikit ragu.

Radhi tersenyum kemudian mengangguk, "Ya benar. Ini adalah designmu  sendiri. Design yang kamu berikan di toko Buku waktu itu."

"A-apa? K-kok ja-jadi s-seindah ini si?" Maira menganga tak percaya.

"Dan itu memang kenyataannya. Kamu berbakat. Abang memang sudah menyukai semua designmu semenjak pandangan pertama. Seperti Abang menyukaimu pada pandangan pertama."

Maira langsung mendelik sebelum menunduk. Tadinya dia lagi merasa terharu karena tak menyangka Radhi menyulap salah satu hasil coretannya menjadi gaun yang sangat indah. Namun tak jadi karena sekarang dirinya dalam mode tersipu malu dengan ocehan receh calon suaminya.

"Kamu menyukainya kan?"

"Iya, makasih Bang! Mai suka banget. Tak menyangka akan mengenakan gaun hasil rancangan sendiri."

"Senang mendengarnya. Apapun itu untukmu. Nyonya Radhi Ahmad Firdaus."

"Apaan si? Gombalnya receh banget." cibir Maira dengan pipi merona.

Radhi tersenyum geli, "Yasudah, cobalah! Abang tunggu kamu di luar."

Maira menatap punggung tegap Radhi yang semakin menjauh. Degupan jantung yang entah sampai kapan akan kembali normal. Degupan kencang jantungnya yang entah kenapa memang terasa sangat menyenangkan.

Rasanya sulit untuk percaya bahkan Maira selalu merasa ini seperti mimpi. Tak terasa kurang dari 30 hari lagi dirinya akan menjadi istri dari pria sempurna, super casanova, yang menjadi cinta pertamanya. Cinta pertama seorang perempuan pada laki-laki. Tak menyangka kejadian 2 bulan yang lalu akan membawanya sampai ke titik ini.

"Ma-maaf! M-maira t-tidak bisa."

Tubuh Radhi menegang. Darahnya terasa membeku. Jantung pun memompa begitu kencang. Jawaban Maira yang nyaris seperti bisikan. Namun seperti bom atom yang meledakkan hatinya tak bersisa. Hancur berkeping melebur bagai debu.

Kenapa bisa? Apakah gadisnya terlalu syok dengan lamarannya ini? Sehingga jiwanya terguncang sampai tak bisa menerima. Ataukah terlalu marah? Bukankah selama ini gadisnya itu juga mencintainya?

'Maira mencintaimu? Percaya diri sekali.' Batin Radhi mengejek. Ya, setidaknya itu yang selalu diceritakan Reinald.

'Suka bukan berarti cinta, kan? Mungkin saja dia hanya mengagumimu.' Kembali batinnya berbicara. Begitukah? Lantas tak ada kesempatan untuknya, kah?

Radhi semakin merasa marah ketika ujung matanya melihat raut wajah ibunya yang tersenyum penuh kecewa. 'Bodoh kamu, Dhi! Bagaimana kamu sangat percaya diri sekali?'

"MA....I...RRR." Suara teriakan penuh begitu lantangnya menyeruakan nama gadisnya. Radhi mendongak, seketika dirinya cemas saat melihat Kayla, 'calon ibu mertua tak jadinya' ini terlihat sangat murka. Dia tak mau jika Mairanya mendapatkan kemarahan. Meski sakit, tapi bukan berarti dia akan membenci Maira, 'Gadis hulk kesayangannya'. Secara refleks, tubuhnya bangkit untuk menghentikan Kayla. Bagaimanapun itu Haknya Maira. Tak ada kewajiban untuk menerima lamarannya. Ya, dia harus gentle. Menerima meski sakit.

"Maafkan, Mai! Mai tak bisa menolaknya. Sungguh, Mai tak bisa menolak lamaran bang Suhe. Maafkan, Maira!"

"Uhuk-uhuk-uhuk." Ucapan Maira yang terdengar jelas serta terburu-buru menghentikan gerakannya. Bahkan bukan hanya dirinya, tapi mampu menelan teriakan super level milik ibu sang gadis sehingga membuat ibunya itu terbatuk hebat.

"MasyaAllah, Nak. Hati-hati!" Terlihat bu Saroh(sang nenek) menepuk punggung tante Kayla.

Tapi, Radhi kembali memusatkan perhatiannya pada Maira. Tak sopan, biarlah! Karena saat ini yang ingin dia dengar adalah suara gadisnya. Mungkin nanti saja dia menanyakan kabar calon ibu mertuanya tak jad--, bukan! Calon ibu mertua yang 'belum' pastinya itu.

Sepertinya bukan hanya dirinya saja yang penasaran dengan sikap Maira, tapi seluruh orang yang berada di sana. Apalagi bibir ibunya yang sedari tadi terbuka hendak berbicara, namun kemudian terkatup lagi.

''Ada apa dengan adik gua? Kenapa dia malah minta maaf Jika dia tak bisa menolak? Tak bisa menolak artinya dia menerima, kan?" Telinga Radhi menangkap gumaman sahabatnya. Nah, itu juga yang menjadi pertanyaan hatinya. 'Kenapa minta maaf jika Maira menerima? Bukankah itu yang diharapkannya?'

Satu senggolan membuatnya menatap pada sang penyenggol. "Kamu si, melamar ngedadak. Lihat noh adikku? Syok kan dia? Mendadak 'oon*, kan?" *bodoh.

Radhi tak menggubrisnya, dia kembali menatap kedepan tepat pada sosok sang ibu yang sepertinya sudah mengontrol kembali rasa terkejutnya. Tapi kenapa dengan raut wajah ibunya?

"Jadi... kamu sudah ada yang lebih dulu melamarmu ya? Dan kamu tidak bisa menolaknya. Ini sebabnya kamu tak bisa menerima putra Tante, begitu?" Ucapan ibunya membuat Radhi semakin bingung. Sudah ada yang melamar Maira sebelum dirinya? Siapa yang berani? Radhi menoleh menatap Reinald dengan tajam yang dibalas Reinald dengan kening berkerut.

"Hah?" respon Maira. Seolah gadis itu tak tahu maksud pertanyaan ibunya.

"Duuuh, maaf banget putra Tante ya yang asal lamar aja. Tanpa mencari tahu dulu jika kamu udah ada yang lamar."

Muka Mairapun semakin mengernyit.

"Maksud Mbak apa? Sampai saat ini Mai belum ada yang lamar, kok. Kalau udah ada, gak mungkin kan aku antusias gini."

"Laah, terus tadi kata Mai gak isa menolak bang Suhe. Berarti dia memang sudah ada yang punya."

"Hah? Astagfirullooh!" Muka Maira bagai udang rebus. Merah.

"Ooooh, sepertinya kita ada sedikit salah faham di sini." Radhi kembali melirik Reinald saat temannya ini ikut angkat bicara. "Tante, maksud nama Suhe itu adalah sebutan kesayangan adik saya pada Radhi."

"APA?" Tanya Melisha sedikit terpekik. Matanya terus menerus melirik Radhi dan Maira yang sudah menunduk secara bergantian. Syok? Pasti. Radhi pun sama. Mungkin ibunya berfikir, bagaimana bisa nama putranya yang keren mendadak menjadi Suhe?

"Eemmm, maaf Tante. Itu adalah hanya singkatan. Suhe singkatan dari Super Hero. Karena memang bang Radhi suka nolongin Kak Mai sedari kecil." Rendy yang melihat reaksi Melisha langsung ikut bicara. Tak tahulah, meski dirinya suka ribut dengan kakaknya ini, tapi jika melihat sang kakak terpojok diapun tak bisa biasa-biasa saja.

"O-o-oh, b-begitu, ya?" Melisha tersenyum canggung. Mungkin sangat kentara jika dirinya tak menyetujui nama Suhe tersemat dalam nama putranya. Ya, setidaknya sebelum dia tahu kalau nama itu punya arti bermakna.

Melisha memeluk tubuh Maira yang bergetar. Sang nenekpun menggenggam kedua tangan cucunya.

Radhi merasa bersalah melihat keadaan Maira yang sepertinya jauh dari kata baik-baik saja. Bahkan pipi mulus berwarna pink itu sudah bercucuran keringat. Apakah dia terlalu menekan?

Tapi, tatap saja. Dia sangat penasaran dengan ucapan Maira yang menerima tapi meminta maaf. Apa karena gadis itu terlalu takut hingga menyebut kata menolak begitu sangat mengancam nyawanya?

"M-maksud Mai, Mai menerima lamaran B-bang S-su-su," Maira menggeleng cepat, "maksud Mai Bang Radhi. Ja-jadi Mai minta maaf."

"Kalau kamu menerima Abang, kenapa harus meminta maaf?" Habis sudah kesabarannya. Radhi begitu geregetan dengan sikap gadisnya. Kenapa harus dibuat sulit si? Bahkan tali sampul Pramuka-pun tak serumit jawaban Maira.

Mendengar pertanyaan Radhi, Maira langsung mendongak, "Bukankah Abang melamar Mai karena dipaksa Tante Lisha?"

"Hey, Tante gak maksa kok. Boro-boro maksa, nyuruhpun tidak. Karena memang putra Tante yang menginginkannya."

"Tapi---"

"Kenapa kamu berfikir seperti itu, Sayang?"

"Eemmm, bang Su, ah bang Radhi kan udah punya kekasih. Cantik, udah sukses lagi." Maira menjawab enggan. Lebih tepatnya tak mau mengakui.

"Kekasih? Kok Tante gak tahu."

"Ekhem, begini saja," pak Ilyas. Orang yang paling sepuh diantara semuanya yang sedari tadi memang hanya ikut menyimak akhirnya angkat bicara, "Nak, bisa kamu utarakan semua yang ada di pikiranmu saat ini. Termasuk alasan kamu meminta maaf karena menerima lamaran nak Radhi? Keluarkan saja, tak perlu takut! Kakek di sini."

Semua kepala refleks mengangguk kecuali Maira, tanda sangat setuju dengan ucapan kakek.

Maira menghela nafasnya sebelum akhirnya berbicara, "Teman Mai pernah melihat bang Radhi tengah berpelukan dengan seorang perempuan cantik."

Semua mata tertuju pada Radhi meminta jawaban atas ucapan Maira. Namun, Radhi bergeming seolah dirinya tak menyadari sorot para mata itu, karena sejujurnya dirinya pun tak tahu kapan dirinya berpelukan dengan perempuan.

"Teruskan, Nak!"

"Dan kata teman Mai itu kekasihnya bang Radhi. Mengingat perlakuan serta ucapan mesra sang kekasih pada bang Radhi." Maira sungguh berat ketika mengatakan kata 'mesra dan kekasih'.

"Jadi karena itu kamu meminta maaf?"

"I-iya. Meski tahu bang Radhi sudah punya kekasih, tapi Mai malah tetap menerima lamarannya." Maira tertunduk merasa menjadi perempuan murahan karena menerima lamaran seorang pria yang jelas-jelas sudah memiliki kekasih.

"Dari siapa dapat berita palsu itu?" Suara Radhi sangatlah tenang. Tapi siapapun tahu itu teramat tenang untuk orang yang merasa terfitnah. Tapi setidaknya semua bisa bernafas lega karena Radhi menyangkal berita tersebut.

"Dari teman Mai."

"Apakah dia tak punya nama?"

Maira mendelik kearah Radhi. "Tentu saja punya. Aliza."

"Aliza Rif'atul Camila. Mahasiswi jurusan Seni dan juga IT? Jadi dia yang nyebarin gosip itu?"

'Shit!' Radhi mengernyit saat telinganya mendengar umpatan Reinald. Kenapa dia?

"Ah, Mai. Coba ingat-ingat! Mungkin bukan Aliza, Mami gak percaya kalau calon menantu idaman Mami yang cantik itu melakukan semua itu."

Radhi menatap Reinald penuh ejek. Jadi karena itu?

Reinald berdehem. "Dek, apa kamu tahu kenapa temanmu bisa berbicara seperti itu." 'Gak mungkin kan murid favorit gua biang gosip.'

Maira mengangguk, "Waktu bang Radhi mengajar di Kampus untuk pertama kalinya, Mai terjatuh dan menyebabkan sedikit kendala pada kaki Mai. Waktu diperiksa di ruang Kesehatan, ternyata Dokternya bukan Dokter yang biasa jaga. Dia seperti Dokter profesional yang bekerja di Rumah Sakit besar."

"Terus kebetulan waktu itu ada buku Mai yang ketinggalan di Kelas. Karena buku itu adalah buku sewaan, dan hari itu adalah hari terakhir untuk mengembalikannya, jadi Mai meminta Aliza untuk mengambilnya di Kelas, dan setelah tahu bahwa buku itu tak ada, Aliza berfikir jika buku itu dibawa bang Radhi. Maka dari itu Aliza berniat menemui bang Radhi untuk mengambil bukuku."

"Tapi, sebelum Aliza masuk dan mengetuk pintu yang ternyata tidak tertutup rapat, di sana tanpa sengaja Aliza melihat bang Radhi akan berpelukan dengan Dokter cantik yang baru saja memeriksa kaki Mai. Aliza juga menangkap percakapan Dokter cantik itu." Maira menghela nafasnya sedikit kasar. Aah, ternyata tidak mudah menceritakan sesuatu yang membuat hatinya berdarah.

"Bang. Benar begitu?" Merasa tak percaya atau mungkin tak ingin percaya, Melisha menatap tajam putranya.

Radhi bergeming beberapa detik, sebelum akhirnya menghela nafas, "Apa yang lihat dan didengar teman Maira memang benar," jawaban Radhi membuat semua orang terkesiap terutama para perempuan. "Tapi, apa yang didengar serta di lihatnya tidaklah sesuai dengan kesadaran yang sebenarnya."

"Dokter itu adalah Alexa. Sepupuku. Aku yang memerintah dia untuk memeriksa Maira. Terus soal insiden berpelukan, sepertinya teman Maira tak melihat kami sampai selesai. Alexa orangnya suka becanda, ketika itu dia merentangkan tangannya sambil berjalan kearahku tapi itu tak sampai. Karena memang niatnya dia untuk menjahiliku ditambah lagi baby suster putrinya menelpon. Alexa langsung pulang setelah mendapat telepon."

"Ja-jadi?" Maira malu sekali. Sangat ketahuan sekali jika dirinya sangat mengharapkan Radhi. Ini salahnya Aliza, tapi bukan juga. Siapapun pasti akan beranggapan seperti temannya. Lalu salah siapa? Masa harus Author yang disalahkan?

"Alexa? Kapan itu, Bang?"

"Waktu aku pertama kali jadi Dosen buat seleksi para calon designer yang magang di Perusahaan, Mi."

Melisha mengangguk faham. "Sayang, Alexa itu ponakan Tante. Dan asal kamu tahu, Alexa itu saudari sepersusuan Radhi. Waktu Radhi lahir, Tante sakit yang sedikit serius sehingga air susu Tante gak keluar. Beruntung kakak Tante juga baru saja melahirkan kakaknya Alexa. Radhi elergi susu Formula jadi dia minum ASI budhenya."

"Maaf!" Maira menunduk malu.

"Maaf untuk?"

"Karena Mai sudah Su-u Dzon."

"Gapapa. Manusiawi juga. Jadi jawaban kamu atas lamaran putra Tante gimana?"

"Kan tadi juga udah dijawab, Tan. Adek menerimanya walau harus meminta maaf karena merebut kekasih orang."

"Kak Rei, ihhh!!" Maira kesal pada kakaknya. Padahal dia sudah cukup banyak malu malam ini. Kenapa kakaknya gak membantu sama sekali si? Kakak yang sangat sayang adiknya, bukan?

"Reinald, jangan menggoda adikmu terus!"

"Iya, Kek. Maaf."

"Jadi, Nak. Bisakah kamu menjawab sekali lagi?" Pak Ilyas menginterupsi semua orang. "Apakah kamu menerima lamaran dari nak Radhi?"

Maira memejamkan matanya. Mengucapkan Basmalah dan Hauqolah, perlahan kepalanya mengangguk pelan namun pasti, "Bismillaahirrohmaanirrohiim, Maira menerima lamarannya, Kek."

"Alhamdulillah."

"Aaaa, akhirnya... aku punya calon menantu idaman. Alhamdulillah." Kayla bersorak penuh bahagia sehingga lupa dia sedang berada dimana dan bersama siapa.

"Ekhem, Mbak. Mari! Biar saya bantu buat mencoba gaunnya."

"A-ah, iya." Ternyata dari tadi dia melamun. Mengikuti pelayan ke ruangan khusus berganti baju. 'YaAlloh, Restuilah pernikahan kami.'

#TBC

Alhamdulillah, sampai hari ini moodnya masih bagus. Semoga esokpun sama.

Jika boleh, bisa tekan 🌟 nya? Heee.

Love u, Beautiful Women. 😙😙😙

Continue Reading

You'll Also Like

371K 13.8K 30
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
332K 1.5K 12
[M] Akibat kejadian kelam dimasa lalu, sedikit banyak mempengaruhi kepribadian Sita. Entah mengapa ia merasa bahagia jika menjalin hubungan dengan le...
HOT GIRL 1821 By 555

General Fiction

306K 1K 4
21+++ ⚠️ warning ⚠️
STRANGER By yanjah

General Fiction

187K 21.7K 31
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...