22

4.6K 342 39
                                    

"Siapa yang gila?"

Maira langsung bangun dan menatap seseorang yang sedang berdiri di pintu kamarnya, matanya seketika melotot dan tanpa pikir panjang lagi, dengan langkah terburu-buru dia menghampiri orang tersebut.

"Hati-hati! Perhatikan jalannya, nanti ja---" 'gedebug', "---tuh!" Maira sudah teronggok duduk di lantai. Orang itu menggelengkan kepala, seolah itu sudah terbiasa, menghampiri Maira yang masih meringis kecil, "Bagaimana? Apa Ka--"

Bugh!

Ucapan orang itu terhenti saat Maira memberikan pukulan tepat di perut.

"Kyaaa!!" Kembali, protesan orang itu tertelan oleh jeritan Maira yang entah memang sengaja tepat di depan telinganya.

"Kak! Stop!" protesnya sambil mengusap telinganya yang terasa mendengung. Belum lagi perutnya yang masih sedikit nyeri.

Maira hanya tersenyum sok polos. Tak ada rasa bersalah. "Ih, Kakak itu kangen banget sama adik kecil Kakak ini," sekali lagi, tanpa dosa Maira terus mencubiti pipi orang di hadapannya.

"Aw, aw, aw, Kak. Stop!" Rendy, sang adik mendelik kearah kakaknya. Segera berdiri menjauh. Dia tahu bagaimana sifat Kakaknya ini, bahkan sampai sekarang Maira masih menganggapnya musuh bebuyutan. "Kangen apanya? Ck."

"Kan iya, kangen nyubitin kamu."

"Ck, kekanakkan."

Maira mengendikkan bahunya, tak merasa marah dengan ejekan adiknya. Entahlah, sampai saat ini dia pasti gak tahan jika belum nyubit adiknya itu. Mungkin terlalu gemas, atau juga terlalu dendam. Dendam karena merebut kasih sayang orangtuanya di saat dirinya lagi butuh-butuhnya. Ya, di saat Rendy lahir, Maira belum genap berusia 2 tahun. "Sudah, sini! Kakak belum benar-benar meluk kamu." Rendy meringsut saat Maira kembali menghampirinya.

"Gak perlu."

"Kamu gak kangen sama Kakakmu yang cantik ini?"

"Gak!"

"Dih, menyebalkan!" desis Maira dengan tatapan tajam. Tapi tak berangsur lama, karena... "Kapan kamu pulang, Dek? Kok Kakak gak tahu."

"Tadi pagi."

"Kok Kakak gak dikasih tahu, si."

"Surprise." Rendy menyengir.

"Kok pulang bukan di waktu Libur, si?"

"Itu untuk siswa yang malas aja. Aku udah selesai kok."

Mendengar jawaban adiknya, delikan paling mematikan Maira keluarkan. Dia tahu arti sindiran adiknya. "Adik durhaka, Kau." Rendy langsung berlari menghindari amukan Maira. Padahal ketika di perjalanan, yang paling Rendy rindukan adalah kakaknya ini. Tapi tetap saja jika sudah bertemu, maka pasti ada keributan.

"Hey-hey-hey, hentikan kalian!" Suara Reinald menghentikan aksi keduanya yang sedang perang bantal. Reinald menggelengkan kepalanya menatap Maira, 'ck, katanya dia Fans fanatiknya Radhi, tapi kok gak ada satupun sikap Radhi yang dicontoh adiknya.' "Dek, kata mami entar malam kita bakal ngadain acara di rumah. Jadi habis shalat isya kamu sudah harus rapi, ya. Dandan yang cantik kalau perlu."

Maira mengerutkan dahinya, "Emang acara apaan, Kak? Kok serius begitu?" Kepala Maira teralih pada adiknya, yang dijawab sang adik dengan gelengan kepala. Memang kalau dalam mode serius, kakak-beradik ini mendadak akur.

"Coba tanya mami aja."

"Mending penasaran." Sepenasarannya Maira, dia takkan pernah mengambil usulan kakaknya itu. Karena memang sudah bisa dipastikan akhirnya akan gimana. Kadang dia merasa heran. Sudah sepantasnya dia dan ibunya itu akur, saling menolong dan sebagainya, karena mengingat hanya mereka berdua perempuan di rumah ini. Tapi, ini malah sebaliknya. Gak ada akur-akurnya.

Suami Killer-ku (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang