Suami Killer-ku (On Going)

By NafisaAlwi

244K 16.7K 1.4K

--Saat cinta diperkuat dengan ikatan pernikahan.-- "Bang!" "Ya." "Kenapa Abang lamar Mai?" "Ingin." "Apakah... More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
23
24 (repisi) malam pengantin part 1
25. malam pengantin part 2
26. Kegaduhan di pagi hari.
27 Tamu special
28. Jentik-jentik Pelakor
29. Berbaikan. A
30. Kibaran bendera perang.
31. Cah kangkung
32. Bercak merah keunguan??
33.Sweet memory
34. Kado Ultah
35. Tak terduga.
36 Semakin membeku.
37. Batas kesabaran.
38. Periksa
39. Terlambat.
40. Kamu di mana?
41. Shovy dan Jafriel
42. Kejadian sebenarnya
Izin lewat dulu!
43. Tentu saja anakmu!
44. Bertemu.
Balasan setimpal
DIBACA, YA!

22

4.6K 342 39
By NafisaAlwi

"Siapa yang gila?"

Maira langsung bangun dan menatap seseorang yang sedang berdiri di pintu kamarnya, matanya seketika melotot dan tanpa pikir panjang lagi, dengan langkah terburu-buru dia menghampiri orang tersebut.

"Hati-hati! Perhatikan jalannya, nanti ja---" 'gedebug', "---tuh!" Maira sudah teronggok duduk di lantai. Orang itu menggelengkan kepala, seolah itu sudah terbiasa, menghampiri Maira yang masih meringis kecil, "Bagaimana? Apa Ka--"

Bugh!

Ucapan orang itu terhenti saat Maira memberikan pukulan tepat di perut.

"Kyaaa!!" Kembali, protesan orang itu tertelan oleh jeritan Maira yang entah memang sengaja tepat di depan telinganya.

"Kak! Stop!" protesnya sambil mengusap telinganya yang terasa mendengung. Belum lagi perutnya yang masih sedikit nyeri.

Maira hanya tersenyum sok polos. Tak ada rasa bersalah. "Ih, Kakak itu kangen banget sama adik kecil Kakak ini," sekali lagi, tanpa dosa Maira terus mencubiti pipi orang di hadapannya.

"Aw, aw, aw, Kak. Stop!" Rendy, sang adik mendelik kearah kakaknya. Segera berdiri menjauh. Dia tahu bagaimana sifat Kakaknya ini, bahkan sampai sekarang Maira masih menganggapnya musuh bebuyutan. "Kangen apanya? Ck."

"Kan iya, kangen nyubitin kamu."

"Ck, kekanakkan."

Maira mengendikkan bahunya, tak merasa marah dengan ejekan adiknya. Entahlah, sampai saat ini dia pasti gak tahan jika belum nyubit adiknya itu. Mungkin terlalu gemas, atau juga terlalu dendam. Dendam karena merebut kasih sayang orangtuanya di saat dirinya lagi butuh-butuhnya. Ya, di saat Rendy lahir, Maira belum genap berusia 2 tahun. "Sudah, sini! Kakak belum benar-benar meluk kamu." Rendy meringsut saat Maira kembali menghampirinya.

"Gak perlu."

"Kamu gak kangen sama Kakakmu yang cantik ini?"

"Gak!"

"Dih, menyebalkan!" desis Maira dengan tatapan tajam. Tapi tak berangsur lama, karena... "Kapan kamu pulang, Dek? Kok Kakak gak tahu."

"Tadi pagi."

"Kok Kakak gak dikasih tahu, si."

"Surprise." Rendy menyengir.

"Kok pulang bukan di waktu Libur, si?"

"Itu untuk siswa yang malas aja. Aku udah selesai kok."

Mendengar jawaban adiknya, delikan paling mematikan Maira keluarkan. Dia tahu arti sindiran adiknya. "Adik durhaka, Kau." Rendy langsung berlari menghindari amukan Maira. Padahal ketika di perjalanan, yang paling Rendy rindukan adalah kakaknya ini. Tapi tetap saja jika sudah bertemu, maka pasti ada keributan.

"Hey-hey-hey, hentikan kalian!" Suara Reinald menghentikan aksi keduanya yang sedang perang bantal. Reinald menggelengkan kepalanya menatap Maira, 'ck, katanya dia Fans fanatiknya Radhi, tapi kok gak ada satupun sikap Radhi yang dicontoh adiknya.' "Dek, kata mami entar malam kita bakal ngadain acara di rumah. Jadi habis shalat isya kamu sudah harus rapi, ya. Dandan yang cantik kalau perlu."

Maira mengerutkan dahinya, "Emang acara apaan, Kak? Kok serius begitu?" Kepala Maira teralih pada adiknya, yang dijawab sang adik dengan gelengan kepala. Memang kalau dalam mode serius, kakak-beradik ini mendadak akur.

"Coba tanya mami aja."

"Mending penasaran." Sepenasarannya Maira, dia takkan pernah mengambil usulan kakaknya itu. Karena memang sudah bisa dipastikan akhirnya akan gimana. Kadang dia merasa heran. Sudah sepantasnya dia dan ibunya itu akur, saling menolong dan sebagainya, karena mengingat hanya mereka berdua perempuan di rumah ini. Tapi, ini malah sebaliknya. Gak ada akur-akurnya.

Mendengar jawaban Maira, Reinald dan Rendy terkikik. Sudah bisa ditebak. "Makanya nurut aja, jangan melawan terus. Kanjeng Ratu adalah muthlaq penguasa rumah."

Maira memajukan bibirnya, menatap kembali adiknya "Dek, atau karena hal ini kamu pulang?"

Rendy menggeleng, "Aku memang udah niat pulang, Kak."

Maira kembali menatap kakaknya, tapi Reinald buru-buru mengangkat tangan tanda tak mau ikut campur. Bisa digilas dia sama ibunya.

"Kalau begitu, Mai gak mau ikut."

"Bicarakan itu di hadapan mami!" Reinald dan Rendy menjawab secara bersamaan. "Dan lagi, Adek lupa di rumah sedang ada nenek dan kakek. Jadi mungkin acaranya beneran serius."

"Tapi kok, bikin badan Mai merinding, ya?"

"Jangan terlalu banyak berpikir, Kak. Sekali-kali positif thinking sama mami kenapa? Kali aja dapet berkah, calon suami idaman, misalnya."

"Naaah, benar kata Rendy tu, Dek. Husnu Dzon."

Maira hanya mendengus, tapi tak berniat untuk berkilah. "Yaudah, Kakak sana pergi! Mai mau istirahat. Kamu juga, Dek."

Rendy mengendikkan bahunya, "Sama. Aku juga mau istirahat. Assalamu'alaikum. "

"Wa'alaikumussalaam."

"Kak---" Maira kembali menelan ucapannya saat telunjuk Reinald menempel di bibirnya. "Percaya sama Kakak." Reinald tersenyum. 'Mungkin udah ada firasat dia.' "Istirahat, gih! Kakak juga belum shalat ashar."

Maira menatap punggung Reinald yang menjauh, dan menghilang masuk ke kamarnya. Acara apa, ya? Kok, rasanya agak aneh. Apa mungkin benar juga, dia terlalu parno sama ibunya. Lagian gak mungkinkan ibunya jerumusin dia? Segalak-galaknya kanjeng ratu, Maira yakin beliau sangat sayang padanya. 'Ya Allah, semoga semua baik-baik saja.'

.........

'Toktoktok'

"Kak, udah siap belum? Kita udah nunggu, nih."

'Ceklek'

Maira menatap Rendy yang memakai kurta warna abu muda, begitu tampan dan sopan. Pun dengan Maira yang sudah cantik dengan busana syar'inya berwarna dusty pink. "Dek, rapi bener. Emang acara apaan sih, harus rapi kek gini?"

"Gak tahu. Sepertinya kita akan kedatangan tamu. Jangan tanya siapa!" serobot Rendy melihat mulut kakaknya sudah terbuka. Ia yakin, kakaknya akan bertanya ini itu, dan berakhir dengan debat mereka yang tak berujung.

"Ish, yaudah, ayo!"

"Ayok silakan duduk. Waah Mbak Lisha tak berubah ya? Tetap cantik." Suara sang ibu terdengar dari ruang tamu. 'Pasti tamunya sudah datang.'

Maira berjalan beriringan dengan Rendy, menuruni tangga dan percakapan mereka sepertinya memang seru. Karena di sana terdengar suara kakek, nenek, juga ayahnya yang sedang mengobrol. 'Mungkin saudara jauh mereka.'

"Assalamu'alaikum," sapa Rendy menginterupsi para orangtua dan tamu dari obrolan ramah tamah mereka sekaligus membangunkan Maira dari lamunannya.

"Wa'alaikumussalaam. Maira, Rendy. Kemarilah! Ayo beri salam sama tamu kita." Zamzam memanggil kedua anaknya. Di sebelahnya, ada pria seusia sang ayah yang duduk bersama sang kakek. Maira melangkah duluan, menyalami tamu perempuan tersebut, "Assalaamu'alaikum, Tante." Lalu mendekap kedua tangannya di depan dada sambil menghadap tamu laki-laki, "Assalamu'alaikum, Om."

"Wa'alaikumussalaam warahmatullah."

Begitupun yang dilakukan Rendy. Maira duduk di samping neneknya dekat dengan tamu wanita.

"Ini Khumaira, ya?" tanya si wanita. Maira tersenyum sopan, "Iya, Tante." Memutar otaknya mengingat-ingat kapan dia pernah bertemu dengan wanita cantik ini. Wanita yang sedikit lebih tua dari usia ibunya. Mungkin selisih 1 atau 2 tahunan. Kalau dilihat-lihat kok wajahnya agak familiar. Seperti sering melihat, tapi di mana ...?

"Kenalkan, nama Tante, Melisha, kakak kelas mamimu dulu, dan itu suami tante, om Radit, sekaligus rekan kerja papimu." Maira mengangguk sambil tersenyum. "Duuuh, kamu makin cantik ya. Dulu waktu kamu kecil Tante cuma lihat kamu di foto aja. Gak nyangka Tante bisa lihat dan ketemu kamu beneran. Tante bahagiaaaa banget."

Semua tersenyum mendengar perkataan Melisha. "Emang Mbak pernah lihat foto Mai di mana?" Bukan Maira yang bertanya, itu ibunya, Kayla.

"Waah, tentu saja. Kan, di ru---." "Ekhem!" Tubuh Melisha langsung terlonjak saat mendengar deheman seseorang yang cukup keras. Dia menoleh dan langsung mendapati tatapan yang sepertinya sangat mengerikan mengingat perubahan drastis pada wajah Melisha.

Merasa penasaran dengan sang pemilik deheman, Maira pun mendongakkan kepalanya ke samping. Seketika tubuhnya menegang serta otaknya mendadak kosong, dan mungkin matanya mendadak rabun karena dia malah mendapati seseorang yang sepertinya dia kenal. Apa kejadian tadi siang membuat dirinya agak sedikit kurang ....

Maira mengerjapkan matanya berulang-ulang, sambil mengusap kedua ujung matanya, siapa tahu matanya masih tertutup cileh *belek. Tapi setelah sekian lama ternyata wajah manusia itu tak berubah sedikitpun, malah semakin jelas terlihat sangat tampan.

"I-itu," Maira tergagap sambil menunjuk orang yang berada di seberangnya. Sejak kapan dia ada di sana?

"Aha, ekhem." Melisha sedikit berdehem, "Oia, Maira Sayang. Kamu masih ingat sama temannya kak Rei, kan? Yang sering main ke sini sewaktu kamu kecil. Naah, dia itu anaknya Tante, Radhi. Kamu masih ingat, kan?"

"Hihihihi, pasti dong Tan," Maira langsung menatap kakaknya penuh peringatan yang ditanggapi Reinald dengan kedipan mata. Sangat jelas bahwa dia mau menggoda adiknya, "ingatan Maira itu sangat kuat lho, Tan," lanjut Reinald.

"Aaah, benarkah? Syukurlah kalau begitu."

"Ja-jadi b-bang S-su-su, ah maksud Mai bang Radhi ini putra Tante?"

"Iya, Radhi adalah putra Tante. Dan tante juga baru tahu kalau Reinald yang dulu suka main ke rumah Tante itu ternyata anaknya teman Tante, mami kamu."

"Iya ya, Mbak. Kalau aku tahu dari dulu, mungkin udah aku jod---"

"Jadi Nak Lisha ini teman mantu saya waktu masa sekolah, ya?" Kayla tersenyum canggung saat ucapannya dipotong oleh ibu mertuanya. Malu.

"Iya, Bu. Kayla adik kelas saya masa SMA dulu."

"Alhamdulillah, masih bisa kembali bertemu. Ibu juga merasa beruntung karena kebetulan lagi berkunjung ke sini, dan atas Irodat Alloh, Ibu bisa bertemu dan berkenalan dengan Nak Lisha sekeluarga."

Mendengar ucapan sang ibu, tubuh Zamzam sedikit kaku, pasalnya dia belum membicarakan tentang maksud kedatangan rekan kerja dan keluarganya ke sini yang sesungguhnya. Dia hanya baru berbicara dengan ayahnya saja. Bahkan dirinya tak bisa membayangkan bagaimana reaksi istrinya jika tahu.

Bukan hanya Zamzam saja, begitupun dengan keluarga yang bertamu. "Ekhem!" Radit, selaku kepala keluarga berdehem setelah menegakkan badannya, "Sebelumnya saya mohon maaf, jika kedatangan kami ke sini mengganggu aktifitas pak Zamzam sekeluarga. Terlebih sedang kedatangan Ibu dan Bapak Ilyas. Namun, sebuah keberuntungan bagi kami karena dipertemukan dengan Bapak serta Ibu. Oleh karena itu, mohon terima salam silaturrahmi kami untuk semua keluarga di sini."

"Baarokalloohu fiinaa, Wa'alaikumussalaam warohmatullooh," jawab pak Ilyas, sang Kakek.

"Dan ... selain untuk bersilaturahmi, kedatangan kami pun sebenarnya masih punya maksud tertentu."

Semua hening menunggu kelanjutan sari perkataan Radit. "Maksud kami berkunjung ke sini, adalah untuk meminta nak Khumaira pada Bapak dan Ibu Zamzam untuk menjadi bagian dari keluarga kami. Yaitu menjadi mantu saya berserta istri."

"Subhanallah, walhamdulillah, maksudnya gimana ya, Pak Radit?" Kayla bertanya. Mungkin dia merasa bahwa pendengarannya sedikit tersumpal. Kaget? O, jangan ditanya! Bahagia? Beuuh, tentu saja.

"Kami bermaksud melamar nak Khumaira untuk dijadikan istri anak saya, Radhi."

"APAA?" Kaget. Maira tak sadar berteriak sambil berdiri. Membuat semua orang yang ada di sana terlonjak.

Sebuah tepukan halus menyadarkan Maira dari keterkejutannya, sang nenek menarik halus tangannya agar dirinya kembali duduk. Pipi Maira sudah merona merasa malu dengan sikap tiba-tibanya itu. Ujung matanya mencuri pandang pada pria yang sedang duduk dengan tenang di samping kakaknya. 'Dih, apa-apaan orang itu, setelah membuat orang lain hampir jantungan, bisa-bisanya dia anteng begitu. Dasar Killer.

"Ish, kamu ini Mai, apanya yang apa? Jelas-jelas Mami sangat setuju punya menantu idaman macam nak Radhi ini. Setuju, Pak Radit. Saya sangat-sangat-sangat set---"

"Ekhem!"

Kayla meringis kecil saat mendapatkan tatapan tajam dari suaminya. Apalagi deheman ayah mertuanya menjelaskan bahwa ucapannya sudah melebihi batasan. Duuuh, jangan salahkan dirinya. Dia hanya terlalu senang saja, sehingga sedikit lupa daratan.

"T-ta-tapi ...." Maira bingung harus ngomong apa. Rasanya ini bukan hari ulang tahunnya deh. Bulan April pun sudah lewat. Terus, kenapa???

"Maira Sayang." Melisha tahu, sa...ngat tahu bagaimana kondisi Maira sekarang, karena dirinya pun pernah di titik ini sebelumnya. Matanya menyorot sang putra tajam. Dasar, buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya. Alih-alih melamar ala romantis, misal dinner light berdua dulu kek sebelum ke keluarganya. Ini malah langsung cuss... pleng aja, main langsung minta ke orang tuanya. Beruntung jika responnya positif, gimana kalau ditolak mentah-mentah? Siapa yang malu?

"Maaf, jika kedatangan kami begitu mengejutkan kamu, Sayang. Tante juga pernah merasakan persis di posisi kamu sekarang. Sebelumnya Tante mau tanya, apa selama ini ... Nak Mai sudah punya kekasih?"

"Belum." Itu bukan suara Maira. Tapi ... tentu saja, ibunya.

Zamzam menatap istrinya gemas, Reinald sudah dari tadi cekikikan, cuma Rendy serta kakek neneknya saja yang masih bersikap tenang. Bahkan Rendy merasa heran sebenarnya yang dilamar itu kakaknya apa ibunya, sih?

Suasana kembali hening, semua mata tertuju pada Maira, menunggu jawabannya membuat tubuh Maira sedikit gemetaran.

Melisha menghela nafas lega saat kepala Maira menggeleng, itu berarti putranya masih ada kesempatan. "Alhamdulillah kalau begitu, itu arti putra Tante masih punya kesempatan bukan?"

"Tentu sa--" lagi-lagi Kayla menyerobot jawaban yang seharusnya Maira yang menjawab. Namun ucapannya juga tak tuntas lantaran ibu mertuanya menegurnya dengan tepukan halus di lengannya. "Ibu, Maira itu sudah menyukai nak Radhi dari dulu. Ibu ingat Frame yang isinya bunga kering yang ada di kamar Maira. Itu bunga pemberian nak Radhi waktu kelulusan sekolah dasarnya dulu," bisik Kayla pada ibu mertuanya, tetapi karena bisikannya sedikit keras maka tak menutup kemungkinan mereka mendengarnya juga. Lihat saja wajah Maira, sudah semereh tomat masak. Malu karena rahasianya terbongkar.

Lain halnya dengan Melisha, dia sangat bahagia sekali ternyata bukan putranya saja yang pedofil. Nyatanya cinta sang putra bersambut. Melisha menatap Maira kembali, melihat reaksi calon menantunya, Melisha bersikap seolah dirinya tak mendengar bisikan Kayla.

"Jika kamu belum bisa menjawab sekarang, gapapa. Tante akan memberimu waktu, emmm ... satu sampai dua jam saja."

"Iya, betul. Maira Sayang. Mami mau ajak jalan-jalan dulu tante sama omnya di sekitar rumah kita."

"Ah, punggung Kakek kok rasanya pegel sekali, sih."

"Ayo, Kek. Biar Rei yang temenin."

"Ren, bisa ajak Om Radit pergi ke ruangan kerja Papi. Papi mau ke toilet dulu sebentar."

"Nak, bolehkah Mami ikut? Mami belum lihat bunga yang kamu ceritakan waktu itu."

"Waah, Bunga apa itu Kay? Boleh aku juga melihatnya? Kamu tahukan jika aku suka sekali bunga."

"Ayo-ayo."

"Mi, Mai ikut ya!" Maira menatap ibunya penuh harap.

Kayla menatap Maira melotot, lalu beralih pada Radhi. "Nak Radhi, apa kamu akan ikut sama Rei atau Rendy?"

Radhi tersenyum sopan, "Saya di sini saja, Tan. Terima kasih."

Kayla menghampiri putrinya, "Mai, bisakan kamu nemenin nak Radhi di sini? Kan gak enak tamu kita ditinggal sendirian. Gak sopan." Walau nada Kayla teramat lembut, tetapi menurut Maira terasa banyak paku.

"Tap--"

"Sebentar saja, Nak." Mau tak mau Maira menganggukkan kepalanya jika neneknya sudah angkat bicara.

"Kalau begitu, ayok!"

Dengan sedikit enggan, Maira akhirnya kembali duduk berseberangan dengan Radhi. Bukan enggan sih sebenarnya, tapi lebih tepat ke 'grogi'-gugup banget.

Suara denting jam di dinding berbunyi 9 kali, tandanya bahwa kini sudah menunjukkan pukul 9 malam. Berarti dia duduk di ruang tamu ini sudah satu jam lamanya.

'Sungguh pegal dan gatal,' keluhnya. Terus pada kemana keluarganya? Papi, mami, kakak, adek, kakek, sama neneknya kok pada ninggalin dia si? Kenapa meninggalkannya di sini sendirian? Terlebih dirinya sedang berhadapan dengan pria berkarisma tinggi.

Berkarisma tinggi? Berlebihan banget!!

Eeh, gak percaya? Sumpah demi apapun dia tidak berlebihan melebihi seorang sales yang sedang mempromosikan produk unggulannya, ini nyata banget!!.

Sekarang aja contohnya. Sudah sejam yang lalu sejak dirinya ditinggalkan bersama pria di hadapannya ini oleh keluarganya yang katanya mau mengajak ibu pria itu untuk berjalan-jalan di sekeliling rumahnya sambil menghirup udara segar. Selama itu pula dia sama sekali belum mengubah gaya duduknya, kakinya udah kesemutan, pinggangnya juga serasa udah kaya mbak jamu di iklan obat, pegel banget.

Dan kenapa pula kepalanya ngedadak pingin dipeditokin? Gatal banget! Pingin garuk-garuk rasanya.

Maira melirik pria di hadapannya ini takut-takut. Mendengus, apa-apaan ini? Manusia killer itu begitu sangat tenang duduk dengan nyamannya, sambil terus memainkan ponsel ditangannya, 'Dia pikir dirinya nggak punya ponsel bagus apa? Pamer sekali. Yaa meski ponselnya jauh dibawah ponsel milik pria ini, tapi tetap saja ponsel miliknya adalah ponsel yang terbaik, bukan?!'

"Ekhem, Bang!" Radhi hanya menatap Maira tanpa mau menjawab, 'mungkin lagi sakit gigi,' batin Maira.

"Emm ... b-bolehkah Mai ke dalam?" tanyanya yang sebenarnya adalah sebuah permintaan.

"Inikan sudah di dalam, di dalam rumah."

Akhirnya Maira menggaruk kepalanya. "A-anu, maksud Mai ke dalam kamar."

Radhi tak merespon, malah mengangkat sebelah alisnya.

"Em ... t-tiba-tiba saja.. Mai ingin kentut, Bang." Radhi langsung melotot mendengar ucapannya, Maira pun langsung membekap mulutnya sendiri, 'Kenapa nggak mencari alasan yang paling ekstrem aja sekalian, Maira!!misalnya mau ngupil dulu gitu,' jeritnya dalam hati.

"P-perut Mai sakit Bang, k-kalau tidak dikeluarin." Sudahlah! Nasi sudah menjadi bubur, lanjutin aja.

"Oke."

Senyum Maira merekah kala mendengar ucapan 'oke' dari mulut Radhi. Baru saja mau beranjak suara Radhi kembali terdengar, "keluarkan saja di sini!"

Maira langsung menoleh kearah Radhi sambil menganga, Radhipun sama tengah menatapnya. 'Waras Kang??'

"T-tapi ... Mai yakin Abang akan menyesal, s-soalnya aroma kentut Mai sangat menyengat, sehingga mampu menusuk jiwa dan raga." Ucapan Maira semakin melantur.

"Gapapa, anggap saja itu salah satu latihan untuk menerimamu sebagai istri Abang."

"Iiih Abang ngeyel banget, aromanya melebihi aroma bunga Raflesia, lho," provokatornya gak kehabisan akal. Entah kemana sikap malu-malu kucingnya itu. Ah, digondol sama kucingnya kali.

"Gapapa, bukankah kita harus menerima semua yang ada di pasangan kita? Termasuk wangi Lotion serta bau ketiaknya sekalipun."

Mendengar itu, Maira langsung mengendusi kedua ketiaknya berulang kali. Dan pemandangan itu membuat Radhi harus menggigit bibirnya kuat-kuat agar tawanya tidak meledak, sungguh pemandangan di depannya, membuat dia sakit perut seketika. Radhi menggelengkan kepalanya gemas, 'Gadis pemilik hatinya. Semoga saja.'

"Iiish ... ketiak Mai gak bau, ya! Katiak Mai wangi, enak saja!" sungut Maira sarkas. Setelah meyakini bahwa ketiaknya benar-benar wangi.

Radhi berdehem sekali untuk menetralkan suaranya yang hampir saja melepaskan tawa. "Memang siapa yang bilang ketiakmu bau? Dan ..." Radhi menggantungkan kalimatnya membuat Maira memicingkan matanya. "... mendengar bentuk protesanmu, bolehkah Abang menyimpulkan bahwa kamu sudah menerima lamaran Abang?"

Seketika Maira melotot sepersekian detik sebelum bibirnya mengerucut lalu menunduk malu, 'Ish... umpan yang berbahaya,' rutuknya.

"Bang!" Maira mengalihkan pembicaraan tentang bahasan bau ketiak.

"Ya"

"Kenapa Abang lamar Mai?"

"Ingin."

"Apakah Abang selama ini jatuh cinta pada Mai?" Entah kekuatan darimana, mendadak Maira percaya diri sekali.

"Jangan sembarangan!"

Maira mencebikkan bibirnya, 'Kalau gak cinta, ngapain ngelamar kan?'

Seolah tak terima dengan jawaban Radhi, Maira terus saja mendumel. Tak menyadari sosok yang menjadi bahan umpatannya itu terus memperhatikannya, senyum kecil terhias di wajah datar tampannya.

"Kalau begitu Mai menolak lamaran Abang," ucap Maira sambil mencebik.

"Kamu perlu tahu! Ketika seorang perawan ada yang melamarnya, maka sebagian haknya milik orangtuanya, berarti orangtuamu bisa memaksamu, jika memang diperlukan. Kita jawab saja 50℅ hakmu dan 50% hak orang tuamu, tapi jika banyak yang mendukung keputusan orangtuamu, berarti kamu juga harus setuju."

Maira mendelik kearah Radhi, 'Aku akan meminta kakek, nenek untuk mendukungku.'

"Tidakkah kamu lihat, beliau terlihat sangat setuju ketika Abang melamarmu."

'Kalau begitu minta dukungan mami papi deh.'

"Malah Tante paling antusias dengan lamaran Abang."

'Haah kalau begitu minta dukungan kakak saja.'

"Reinald pernah menawarkanmu, jika kamu tak tahu."

"Haaaaah, lalu siapa yang akan mendukungku?" keluh Maira pelan sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi sofa. Namun seketika tubuhnya tegak kembali. 'Tunggu! Tadi siapa ya yang menjawab pertanyaanku?' ucapnya dalam hati.

Dia menoleh kearah Radhi dan entah salah atau hanya penglihatannya saja, Maira melihat Radhi baru saja tersenyum, meski hanya dengan lengkungan yang teramat tipis. 'Gilaaa! Ganteng banget.'

"Abang yang menjawab perkataanmu."

Maira menganga kaget, 'pantas saja.' "Abang bisa mendengar hati Mai?" tanyanya penasaran.

Bukannya menjawab, Radhi malah mengangkat bahunya, dalam hati dia tersenyum, 'Bagaimana dirinya tahu? Karena Mairanya bukan berbicara dalam hati, melainkan menggumamkannya.' Meski dengan suara sangat pelan sekali, namun bukan dia namanya jika tidak mendengar suara sekecil apapun.

"Bagaimana Abang bisa mendengar suara hati Mai?"

"Karena hati dan ragamu, akan menjadi milik Abang dan akan selamanya Abang genggam," jawab Radhi tenang namun tegas.

"Hah???" Maira gagal fokus, "Dasar gombal killer," umpatnya sambil menunduk. Tersipu malu setelah mengerti arti ucapan pria di hadapannya ini.

Maira masih tak percaya bahwa pria yang sedang berhadapan dengannya ini yang tak lain adalah sahabat kakaknya sekaligus Abang Super Heronya juga cinta pertamanya sekitar dua jam yang lalu datang bersama keluarganya untuk melamar dirinya. Maira masih tidak menyangka, padahal jika pria yang baru beberapa minggu menjadi Dosennya itu sedang bermain kerumah dulu, dia selalu bersikap dingin dan datar, sama seperti ketika dia sedang mengajarinya ketika di kampus.

Maira tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Aliza sahabatnya itu jika tahu hal ini, pasti ngedadak punya riwayat jantung deh.

Begitupun dengan Maira, bagaimana bisa seorang KHUMAIRA QUEENSHA ZAHRA gadis ceroboh se-Indonesia Raya, dilamar oleh RADHI AHMAD FIRDAUS sang Casanova yang selalu perfect.

"Satu yang kamu harus tahu," Radhi membangun Maira dari lamunannya, "Abang sungguh-sungguh melamarmu." Radhi menatap Maira begitu lekat. Seakan berusaha meyakinkan jika dirinya tidak main-main.

Deg! Perkataan Radhi begitu lembut mengalun indah membelai gendang telinganya. Namun, tak begitu baik dengan kondisi jantungnya. Tubuhnya meremang, entah kenapa rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu di dalam perutnya, membuat dirinya gak tahan untuk bergoyang. Geli sekali, tapi kok serasa ada manis-manisnya.

"Kay, aku minta bibitnya ya. Harum banget aromanya, sumpah!" Samar-samar kembali terdengar suara Melisha dan beberapa langkah kaki yang diyakini adalah ibunya, tante Melisha, juga neneknya.

Benar saja. Tak lama kemudian mereka kembali berkumpul dengan Maira juga Radhi.

"Mbak, aku ke ruang kerja Mas Zamzam dulu ya, kita makan malam dulu. Bibik sepertinya sudah selesai menyiapkan meja makannya."

"Duuuh, malah merepotkanmu."

"Aduh, apanya yang merepotkan? Aku seneng banget bisa jumpa Mbak lagi. Serasa mimpi aku. Ya sudah, aku permisi dulu."

Maira melirik Radhi dari ujung matanya. Kok rasanya hanya dirinya yang merasa was-was. Kenapa Bang Suhe tenang sekali? Iya kah pria itu terbuat dari tembok? Perasaan datar-datar saja dari tadi. Kecuali saat mereka berdu---

'Blusshhh.' Duuh bagaimana ya? Dia harus bersikap seperti apa? Apa yang harus dia jawab? Menerima? Menolak?

Kalau menolak? Rugi donk. Udah cinta dari dulu, pas jodoh di depan mata, masa iya harus nolak?!

Kalau menerima? Ya, Alhamdulillah. Pucuk di cinta, wulanpun tiba. Tapi, bagaimana dengan kek---

"Nek, Tante, Bang dan Kakak, semua sudah menunggu di ruang makan. Mari!"

Lamunan Maira terhenti saat Rendy mengajak semuanya ke ruang makan.

...

"Jadi, apa jawaban Nak Maira?" Radit kembali bertanya saat mereka sudah kembali berkumpul di ruang tamu setelah makan malam.

Kepala Maira masih menunduk, menggigit bibir bawahnya merasa ragu. Terlebih ketika ingatannya kembali pada sosok cantik yang memakai seragam Dokter. 'Apa orangtua bang Suhe tak tahu jika putranya sudah memiliki kekasih? Apa ucapan bang Suhe tadi terpaksa karena suruhan ibunya? Bisa jadikan ini semacam pernikahan bisnis, atau apalah itu.' Otak Maira terus berperang.

"Mai."

"Ah, ya?" Maira menjengkit saat ayahnya memanggil. Perlahan kepalanya mengangkat, memandang satu persatu orang-orang di sana. Dan berakhir tepat di kedua bola mata Radhi yang sama-sama menatapnya tak kalah intens.

Buru-buru menunduk, kala hatinya terus mengingatkan akan kekasih Radhi.

"Ma-maaf! M-maira t-tidak bisa," ucapnya pelan. Namun masih bisa terdengar membuat semua yang ada di sana terhenyak.

Raut muka Radhi sudah tak bisa ditebak lagi. Ketika biasanya bermuka datar seperti tembok, sekarang seperti air kopi di planet pluto, keruh dan dingin, membekukan.

Tak jauh dari Radhi, Melisha mengehela nafas pasrah walau tak terima. Tersenyum yang siapa saja juga tahu itu sangat terpaksa.

Kayla? Bagai ditangkap helang (terkesima luar biasa) sampai dirinya tak bisa bersuara, seolah semua kata terkunci di pangkal lidahnya, sebelum ....

"MA....I...RRR----"

#TBC.

Jangan lupa Like, komen, dan subscrib-nya, ya. 😁😁😁

Oia, Share juga ke teman-teman sahabat semua.

Thank you, my Beautiful Women. 😙😙😙

Continue Reading

You'll Also Like

24.6K 2.2K 23
Menceritakan seorang anak gadis yang sejak kecil dibesarkan di panti. Dia tidak mengetahui alasan dan siapa keluarga dia sebenarnya. Sampai ia besar...
STRANGER By yanjah

General Fiction

165K 18.9K 29
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
905K 41.9K 42
(BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA) Warning! Mengandung unsur kata kasar! Harap bijak dalam memilih bacaan! Suatu hal yang paling buruk bagi Atlantik...
133K 21.6K 71
hanya fiksi! baca aja!