Cinta Dan Senja

By Sa_saki

1.4M 24.7K 1.1K

SUDAH TERBIT! BISA DI CARI DI TOKO BUKU DAN OLSHOP KESAYANGANNN~~~ Hal paling menyebalkan dalam kehidupanku m... More

Prolog
1. Lawan atau... Kawan?
2. Bintang Jatuh
4. Bertemu lagi
5. Membuka Hati
Surat cinta untuk Cinta
Surat Kedua: Untuk Cinta dari yang mencinta
Epilog
Irgi : Melihatmu dari Sudut Senja
1. Irgi Yang Selalu Sama
2. Jangan Pernah Menimbun Harap
3. Ternyata
4. Maunya Apa?
5. Niat Baik
6. Seseorang Yang Datang

3. a.... Date?

66.5K 2.9K 83
By Sa_saki

Aku mengamatinya dari sudut mata. Di dalam kelas di samping jendela tempat dudukku saat ini, Irgi terlihat sedang asik bersenang-senang dengan teman-temannya di lapangan, dengan bola sepak yang mereka perebutkan.

Apa sih yang Irgi tidak bisa lakukan? Semua olahraga ia kuasai, meski saat ini fokusnya pada bulutangkis, toh tidak mengurangi kepiauannya menendang bola atau memasukan bola basket ke ring. Tidak adil rasanya, sementara aku tidak bisa melakukan dengan benar satu pun dari yang ia bisa.

"Hah..." tanpa sadar aku mendesah pasrah. Menyadari betapa tidak berbakatnya aku melakukan apa pun.

Dengan malas aku kembali melanjutkan melahap bekal makan siangku sambil sesekali meliriknya yang saat ini sudah menjadi primadona lapangan, dengan suara gadis-gadis yang mulai histeris meneriakan namanya.

"Ta! Cinta! Hari ini lo bawa bekal apa?" suara Lily sudah terdengar sebelum ia menerobos memasuki kelasku.

Dengan napas terengah ia mengambil tempat duduk di depanku. Matanya berbinar melihat ke arah bekal makan siang yang sedang kusantap. Aku meraih kotak bekalku dan menunjukan padanya.

"Keliatannya enak, Ta, gue mau ya?"

Aku menghela napas. Lily memang sudah biasa memalak makan siangku seperti ini. Entah apa yang membuatnya selalu menanti-nanti menu makan siangku. Aku menatap bekalku yang baru habis separuh. Tidak ada yang istimewa kurasa, hanya menu bento ala Jepang yang memang kubuat sendiri. Sudah menjadi kebiasan bagiku untuk menyiapkan bekal makan siangku.

Awalnya dulu sekali, Bunda yang sering memaksaku membantunya memasak, sekali lagi ini paksaan karena menurut Bunda lebih bermanfaat dibanding membuang waktu dengan kabur-kaburan saat beliau memintaku untuk belajar seperti Kak Arga atau Kak Bi. Tapi lambat laun aku menikmati saat-saat membantu Bunda tentang urusan dapur yang satu ini, hingga aku mencoba menu-menu yang menurutku enak dan akhirnya terbiasa.

Jaman SMP dulu, karena terlalu seringnya Lily meminta bekal makanku aku jadi beranggapan jangan-jangan dia mau berteman denganku karena itu. Karena jujur saja, tidak banyak orang yang tahan dengan sikapku yang sering berubah-ubah ini. Tapi setelah dipikir, bukankah Lily sudah berteman denganku bahkan sebelum ia mencicipi masakan pertamaku? Mungkin memang hanya Lily yang khilaf dan mau menjadi teman baikku sampai saat ini. Bahkan ketika kelas kami terpisah di SMA pun Lily tetap mau menempel denganku meski terkadang aku tidak membawakannya bekal extra. Lagi pula tidak seharusnya aku berpikiran sedangkal itu kan?

Aku meraih satu kotak makan siang extra yang kusimpam di kolong meja. Menyerahkannya pada Lily yang menerima dengan binar bahagia seperti baru saja mendapatkan door prize yang amat sangat ia inginkan. Berlebihan sekali memang ekspresi wajahnya itu. Tanpa menunggu lama Lily membuka kotak makan siang itu dan melahap isi di dalamnya antusias, tentu saja menggunakan sumpit yang juga sudah kusiapkan untuknya.

"Ak, Ta! Ini enak banget sumpah! Lo the best pokoknya!" serunya menatap kagum padaku.

Aku beralih menatap kotak makanku. Benarkah? Rasanya biasa saja di mulutku. Lily memang selalu berlebihan jika menyangkut makanan. Lagi pula apa sih yang menurutnya tidak enak? Kurasa bagi seorang Lily Aurora semua makanan akan terasa enak di mulutnya, apalagi gratis.

Aku memilih diam dibanding menanggapi semua kata-katanya Lily yang terlontar setiap kali memasukan makanan ke dalam mulutnya. Mataku bergerak liar kembali melirik ke arah lapangan. Sepertinya pertandingan sudah selesai, dan apa yang Irgi lakukan? Pria menyebalkan itu sedang tebar pesona membuat gadis-gadis yang mengerumuninya saat ini berteriak histeris tanpa henti. Aku mendengus, mencibir tanpa suara melihat kelakuannya itu.

"Kayaknya lagi ada yang cemburu." ucap Lily melirik penuh maksud ke arahku.

Aku balas menatap tanya. Lirikan Lily yang terarah pada Irgi membuatku langsung mengerti maksud dari ucapannya itu. Aku mengangkat bahu tak acuh, menyuapkan satu gulung onigiri berbalut rumput laut kering ke dalam mulut.

"Yakin...?" Suara Lily sarat akan nada menggoda. Aku menatap sahabatku ini jengah, menghela napas berat sebelum menjawab pertanyaannya.

"Itu masa lalu, Ly."

"Nggak bisa dijadiin masa depan gitu?"

"Lily!" Suaraku meninggi, Lily hanya terkekeh melihatku yang sudah melotot ke arahnya.

Gadis itu kembali melanjutkan malahap makan siangnya, seolah tidak membawa dampak apa-apa atas perkataannya itu. Yah, meski itu benar sekali pun.

"Tapi, menurut lo Irgi aneh nggak sih akhir-akhir ini?"

Gulungan telur dadar yang kumasak dengan madu di sumpitnya terhenti di udara. Lily menatapku dengan alis menyatu, memperlihatkan jelas kebingungannya atas perkataanku barusan.

"Aneh gimana?" tanyanya lalu membiarkan gulungan telur itu mendarat aman di mulutnya.

Aku memutar bola mata, berpikir sejenak tentang kata-kata yang akan kusampaikan pada Lily agar ia bisa mengerti apa yang ingin aku sampaikan.

"Hhmm... gimana ya? Lebih..." Aku kehilangan kata-kata. Entah bagaimana aku menggambarkan sikap aneh Irgi yang akhir-akhir ini kurasakan.

"Lebih perhatian?" sambung Lily yang membuatku bingung sendiri.

Benarkah seperti itu? Rasanya sih Irgi tidak mungkin perhatian padaku, tapi... tidak bisa dikatakan tidak juga. Perhatian itu terkesan manis sekali jika dikaitkan dengan seorang Irgi, dan sayangnya ia tidak mungkin bersikap manis padaku. Jadi?

"Gue nggak tau, bingung mau gambarinnya kayak gimana dengan kata-kata. Yang gue rasain sih dia aneh."

"Yang gue lihat sih dia makin perhatian sama lo, makin peduli, makin dan makin segala-galanya," godanya dengan mengedipkan sebelah mata genit.

"Jangan mulai," dengusku.

Lily tertawa puas melihat ekspresiku yang mulai kesal dengan arah pembicaraan kami.

"Kan lo duluan yang ngajak ngomong soal dia, gue sih cuma ngikut," balas Lily santai.

"Nggak inget gimana patah hatinya temen lo ini gara-gara tuh orang?! Mau gue kayak gitu lagi?"

"Siapa yang patah hati?" sela suara yang tiba-tiba hadir di dekat kami.

Lebih tepatnya orang itu masih berada di luar kelas, menumpukan sikunya pada kusen jendela kelasku yang terbuka. Tubuhnya condong menghadapku.

Kutatap Lily yang kini menyeringai menahan tawa. Sial! Kenapa dia tidak bilang bahwa mahluk ini sudah ada di sini sih?

"Tuh si Cinta, lagi patah hati dia," kekeh Lily puas dengan tawanya.

Awas kamu Lily Aurora!

"Lo patah hati, Ta? Sama siapa?"

"Sama kodok! Terkutuk lo Lilyyy..." geramku melihat Lily yang sudah kabur kembali ke kelasnya. Menyisakan kotak makan siang yang sudah habis dan mahluk yang paling aku hindari jika sudah menyangkut masalah perasaan ini.

Kualihkan kekesalanku pada makan siang yang belum juga habis. Padahal aku makan lebih dulu tadi, tapi kenapa si Lily menyebalkan itu sudah menghabiskan makan siangnya? Lupakan! Dia man memang monster pemakan segalanya!

Wortel rebusku berhenti tempat di depan mulut yang hendak meraihnya. Kulirik tangan yang menahan gerakanku untuk memasukan wortel itu ke dalam mulut, menatap sebal pada pemilik tangan yang saat ini dengan seenaknya menyuapkan wortel itu ke mulutnya menggunakan tanganku yang masih dalam kendalinya.

"Lo udah beralih jadi penyuka berbeda spesies? Terus nasibnya para monyet jantan gimana?" oloknya dengan tatapan datar.

Aku mengigit bibir bawahku kesal. Mengamit onigiri dengan kedua tanganku. Tidak peduli lagi dengan sumpit yang sudah kusentakan dengan kasar, lantas gulungan onigiri itu kumasukan dengan paksa ke mulut Irgi yang kini sudah penuh dengan makanan yang terus kusumpal ke dalam mulutnya tanpa membiarkannya menelan yang sebelumnya.

"Ngadu ke Bapak monyet! Puas?" sentakku lalu pergi meninggalkannya dengan napas memburu.

Jam makan siangku... rusak karena dua orang menyebalkan itu!

***

Sepulang sekolah saat memasuki rumah, aku yang sedang badmood karena kejadian di sekolah disambut oleh teriakan keponakan menggemaskanku Daffandri Bagaskara, putra pertama Kak Arga yang saat ini tinggal di Bogor. Bocah kecil itu berlari ke arahku, sambil meneriakan namaku nyaring.

"ANTE CINTAAAAA..."

Wajahku semringah melihatnya tersenyum lebar menyambutku. Kuraih tubuhnya, mengangkatnya segera ke dalam gendonganku.

"Kakak Daffa sama siapa ke sini?" tanyaku sambil mencium pipi tembamnya gemas.

"Sama Ayah sama Unda, Nte," jawab Daffa menyembunyikan wajahnya di lekukan leherku.

"Udah mamam belum?" tanyaku lagi, sambil membawanya menuju dapur, tempat pertama yang selalu kusinggahi setiap pulang sekolah. Apalagi kalau bukan untuk mencari makanan.

"Belum tuh, Ta. Susah disuruh makan siang dari tadi." Suara seorang wanita yang tidak lain Kak Zahra--istri Kak Arga--yang menjawabku setibanya di dapur.

Aku menghampiri Kakak iparku itu, mencium punggung tangannya dan kedua pipinya. Setelahnya aku beralih lagi pada keponakanku yang menggemaskan ini.

"Kok nggak mamam sih Kak Daffa? Kenapa?" tanyaku mengernyit heran. Bbiasanya bocah satu ini paling hobi makan, tidak beda jauh dengan tantenya.

"Kakak mau mamam pijja Nte, sama Ante Cinta..." rengeknya dengan wajah memelas.

Ibu bocah ini malah tersenyum melihat putranya yang mulai merajuk. Dengan perutnya yang sudah mulai membesar--karena di dalam sana terdapat calon keponakan baruku--ia melangkah menuju kulkas dan menuangkan air mineral dingin pada gelas yang ia bawa sebelumnya.

"Dari tadi Daffa nungguin kamu pulang, katanya mau perginya sama Ante Cinta aja. Nggak mau meski dibujuk sama Ayah sama Bundanya." Cerita Kak Zahra menyerahkan gelas air minum itu padaku.

Aku menenggaknya sampai habis, melepaskan dahaga yang sejak tadi kutahan saat berada di luar sana. Matahari memang sedang amat terik akhir-akhir ini.

"Makasih Kak," cengirku pada kakak iparku yang baik hati. Kak Zahra hanya tersenyum lembut menerima ucapan terimakasihku.

"Ayo Nte kita pelgi, Kakak Daffa mau mamam pijja Nte..." rengeknya lagi.

Aduh bocah ini, tidak mengertikah tantenya sedang capek bukan main setelah seharian di sekolah. Belum lagi kejadian tadi siang yang menguras seluruh mood baikku, tambah kacaulah hari ini. Tapi melihat wajah Daffa yang memelas penuh harap seperti saat ini, siapa yang tidak akan luluh karenanya?

"Kakak Daffa.. Ante Cinta-nya masih capek, Sayang, baru pulang sekolah. Kakak Daffa sama Bunda aja yuk beli pizza-nya? Mau kan?" bujuk Kak Zahra pada putra mungilnya yang masih berada dalam gendonganku.

"Nggak mau! Kakak Daffa maunya sama Ante Cinta pokoknya! Nggak mau sama Unda!" teriak Daffa menolak usulan Kak Zahra.

Bocah menggemaskan ini kembali menatapku penuh harap, dengan sepasang matanya yang mulai berkaca-kaca. Aku tersenyum mengusap pipinya lembut. Apa boleh buat, susah memang menjadi Tante yang begitu dicintai ponakannya.

"Oke kita pergi, tapi Kakak Daffa tunggu sini dulu ya. Ante mau mandi sama ganti baju dulu, abis itu kita beli pizza... Setuju?"

Daffa segera mengangguk bersemangat disertai senyum semringah yang menghiasi wajah tampannya. Bocah itu kemudian turun dari gendonganku, berlari entah ke mana sambil menerikan Nenek dan Ayahnya.

"Nenekkkkk... Ayahhhh... Kakak Daffa mau pelgi sama Ante Cinta beli pijja dong..." ujarnya nyaring, membuatku tertawa melihat tingkah keponakan pertamaku itu.

"Maaf ya, Ta... jadi ngerepotin kamu. Padahal kamu pasti masih capek. Kamu tau sendiri kalau Daffa ada maunya pasti kayak gitu."

"Nggak apa-apa Kak, buat ponakan tersayang apa sih yang nggak?" balasku tersenyum.

"Ya udah, Cinta ke kamar dulu ya siap-siap. Dadah calon ponakan Tante.." pamitku beralih mengelus perut buncit Kak Zahra sebelum pergi beranjak dari dapur.

***

Tiga puluh menit kemudian aku turun setelah menyelesaikan ritual bersih-bersih dan bersiap untuk pergi. Mataku menyipit saat memasuki ruang tamu dan menemukan mahluk menyebalkan itu kini duduk di sana. Di antara para keluargaku dengan Daffa dalam pangkuannya.

"Ngapain lo di sini?" seruku ketus, membuat mata semua orang yang ada di sana beralih menatapku.

Belum kudengar Irgi bersuara untuk menjawab. Bunda yang sejak tadi mendelik ke arahku lebih dulu protes pada sapaan tak ramah yang kutujukan untuk si mahluk menyebalkan yang kini tersenyum penuh kemenangan, apalagi kalau bukan karena merasa dibela Bunda.

"Cinta! Bisa nggak sopan dikit nanyanya? Bunda nggak pernah ngajarin kamu jadi jutek gitu!"

"Itu juga udah sopan kok, Bun," belaku tak mau kalah.

"Nada kamu yang nggak sopan!" bantah Bunda membuatku cemberut sempurna.

"Nggak apa-apa, Tan, Irgi udah kebal dijudesin Cinta," kekeh Irgi besar kepala.

"Hati-hati loh, Ta! Judes-judes nanti malah jatuh cinta setengah mati sama Irgi, kaya Kakak iparmu tuh yang galak banget dulu, eh sekarang malah cintanya kebangetan sama Kakak," tawa Kak Arga disambar cubitan dari istrinya.

Udah tuh dulu! Plus patah hati lagi. Teriak hatiku yang langsung kuruntuki sendiri.

"Cubit aja sampe biru, Kak Za! Biar tau rasa tuh mulut resenya!" cibirku menatap sinis pada Kakak sulungku, yang dibalas olehnya dengan seringaian tengil.

Kebiasan! Udah mau punya anak dua masih aja nggak bosen mengodaku! Tidak tahu saja adiknya ini sudah dibuat menangis oleh orang yang dimaksud.

"Kakak Daffa, yuk pergi. Di sini kondisinya udah nggak kondusif," ajakku meraih ponakanku dari pangkuan Irgi.

Tapi Daffa menolaknya, bukan beralih pada uluran tanganku Daffa malah melingkarkan tangan mungilnya ke leher Irgi.

"Nte, pelginya sama Om Igi ya Nte. Enak Nte naik Obim..."

Aku menggeleng mantap mendengar usulannya itu.

"Nggak, Kakak Daffa perginya sama Ante aja ya berdua. Naik Bus, enak lebih gede... Lagi pula Om Irginya sibuk sayang," bujukku berusaha mematahkan keinginannya yang satu ini.

"Om Irgi nggak sibuk kok. Daffa mau pergi sama Om?" suara Irgi membuatku mengumpat dalam hati.

Arrgghhh mau apa lagi sih mahluk menyebalkan ini, mengganggu acaraku dan Daffa saja.

"Tuh Nte, Om Igi ndak cibuk kok Nte. Kita pelgi sama Om Igi ya Nte..."

Aku mendesah, memasang wajah dinginku untuk ponakanku yang keras kepala ini.

"Tante nggak mau, kalo Daffa mau pergi sama Om Irgi ya udah sana, tapi Tante nggak mau ikut," tolakku.

Aku sudah bersiap pergi saat suara tangis Daffa mulai terdengar, membuatku tidak bisa berkutik dari sana.

"Ante Cinta jahatttt! Ante Cinta bohong! Katanya mau pelgi sama Daffa! Tapi... tapi... hiks, Daffa mau pelginya sama Ante Cinta sama Om Igiii...." teriaknya mulai menangis histeris di pangkuan Irgi.

Dan aku pun mulai salah tingkah jika ponakan keras kepalaku sudah bersikap seperti ini.

"Udahlah Ta turutin aja kenapa? Kasian itu Daffa belum makan dari siang. Kamu tega banget sih sama ponakan sendiri?" kata Bunda berusaha membujukku.

"Tau lo, anak gue sampe kejer gitu! Pergi aja sama Irgi apa salahnya sih?"

Salah! Amat salah! Karena akhir-akhir ini Irgi tuh aneh! Aku tidak mau salah lagi berprasangka tentang sikapnya padaku. Yang ada aku hanya terjebak di tempat yang sama, tak bisa pergi pada perasaan yang bahkan membuatku sesak hanya karena mengingatnya. Sayang, aku tidak bisa mengatakan apa yang kupikirkan pada orang-orang di hadapanku ini.

"Sekali-kali nge-date bawa anak, Ta! Biar nggak mainstream," kekeh Kak Bi yang sejak tadi diam. Sekalinya bicara seenak udelnya itu.

Nge-date dari Hongkong?! Yang ada pergi sama Irgi sama aja makan hati sendiri. Arghhh kesannya kok aku kayak gagal move on gini sih?!? Oi oi.. udah masa lalu itu, jangan dipikirin!

Aku menghela napas pasrah, menghampiri Irgi yang masih berusaha menghentikan tangisan Daffa dalam gendongannya. Lo harus ngalah Cinta! Jangan dipikirin! Ini cuma pergi beli pizza buat ponakan kesayangan lo! Nggak akan ada hal aneh yang terjadi, nggak akan ada perasaan apa-apa, nggak akan ada! Tekanku dalam hati.

"Ya udah, yuk pergi sama Ante sama Om Irgi yuk. Daffa jangan nangis lagi ya..." pintaku menyeka air matanya yang mengalir.

Setelahnya aku dan Irgi pamit, meninggalkan rumah menuju mobilnya yang sudah terparkir di depan rumahku. Eh, di depan rumahku?

"Kok mobil lo udah ada di depan rumah gue?" tanyaku curiga, jangan bilang dia sudah merencanakan untuk menganggu acara senang-senangku dengan Daffa?

"Jangan tanya gue, tanya nih Daffa, dateng ke rumah nyeret-nyeret gue sambil nyuruh gue bawa mobil padahal ke rumah lo doang," jawabnya santai. Dan bisa kusimpulkan, sepertinya Daffa memang sudah merencanakan untuk pergi bersamaku dan Irgi tanpa sepengetahuanku tadi. Hah.. bocah ini.

Irgi menyerahkan Daffa yang ada dalam gendongannya padaku, sementara dirinya sibuk mencari kunci mobil dalam saku celana.

"Kakak Daffa mau duduk di belakang atau di depan?" tanyaku menatapnya tengah asik memainkan jari-jarinya yang entah mengapa sepertinya begitu menarik.

Daffa menaikan pandangannya padaku, menatapku dengan sorot jenaka.

"Eum... Kakak Daffa mau duduk di belakang aja, Nte," putusnya setelah cukup lama berpikir.

"Ya udah kita duduk di belakang ya..."

"Eh, enak aja! Terus gue di depan sendiri? Memangnya gue supir lo!" protes Irgi menatapku sengit.

"Ye.. jangan salahin gue lah. Nih protes sama Daffa."

"Ante duduk depan aja sama Om Igi. Kakak Daffa mau di belakang cendili," kata Daffa membuat senyum kemenangan tercetak di bibir tipis Irgi.

"Tuh dengerin ponakan lo! Gitu aja nggak ngerti." Irgi mencibirku dengan senyum liciknya.

Aku mendengus, lagi-lagi harus mengalah karena keponakan mengemaskanku ini. Kalau saja aku bisa menolak, sayangnya tidak, jika teriakan dan tangisan kencang Daffa tidak ingin lagi terdengar lagi seperti tadi.

Irgi pun membukakan pintu penumpang bagian belakang, mempersilakanku untuk mendudukan Daffa di sana, tentu saja dengan memasangkan sabuk pengaman untuk memastikannya tetap aman. Setelah itu Irgi berputar menuju pintu kemudi, disusul olehku yang duduk di sebelahnya. Hah... semoga saja semua ini berlangsung dalam sekejap mata, agar tidak ada lagi pikiran-pikiran anehku tentang pria di sampingku ini.

***

Sudah hampir satu jam kami bertiga keliling-keliling di Mall tidak tentu arah.

Ya! Di Mall! Bukan duduk di tempat penjual pizza seperti perjanjianku dengan Daffa sebelumnya.

Bocah itu, bahkan sepertinya dia sudah lupa tujuan kami ke tempat ini. Daffa kini malah sedang asik bermain di area timezone bersama Irgi yang sejak tadi setia menggendong dan menjaganya. Untuk yang satu itu kuakui Irgi sangat membantu, karena aku akan sangat kelelahan jika harus terus menggendong Daffa disaat tubuhnya tumbuh subur seperti saat ini. Tapi tetap saja, ini melelahkan! Apa Irgi tidak merasa begitu? Bahkan ia menggendong Daffa sejak tadi, aku saja yang mengikuti mereka dari belakang rasanya sudah ingin pulang dan tidur di kasur. Tapi mereka berdua?! Oh lupakan! Sejak tadi mereka memang hanya bersenang-senang berdua tanpa mengajakku untuk bermain bersama. Lalu untuk apa aku ikut?!

"Gi... udah yuk pulang, gue capek nih. Kakak Daffa juga, katanya mau beli pizza, tapi kok malah main sih?" protesku pada kedua pemuda beda generasi itu.

Irgi menoleh padaku diikuti Daffa dalam gendongannya, menatapku dengan tatapan meremehkan. Aarrgghhh.. mereka memang sudah sekongkol mengerjaiku sepertinya!

"Capek? Perasaan yang dari tadi gendong Daffa gue deh. Lo kan cuma tinggal jalan dong," cibir Irgi.

"Iya Nte, Kakak Daffa mau main dulu.. abis itu balu beli pijja telus pulang deh. Ya Om Igi ya?" Suara bocah itu menambahkan.

Aku mendengus, mencibir tanpa suara ke lain arah.

Daffa tidak boleh melihat ekspresiku yang seperti ini, dia itu bocah peniru yang pandai. Sekali saja melihat sikap seseorang yang menurutnya baru ia jumpai, akan langsung dipraktekan di depan orangtuanya, dan bisa mati aku kalau sampai Kak Arga tahu aku memperlihatkan pada Daffa ekspresi yang tidak-tidak. Termasuk mencibir? Salah satu sifat tercelaku menurut kakak laki-lakiku itu.

Segera kunormalkan ekspresi wajahku saat kembali menghadap keduanya. Kuberikan senyum terbaikku untuk membujuk dua orang yang terlihat sudah bersekongkol untuk mengerjaiku dengan hal paling kubenci seperti ini. Keliling-keliling tidak tentu arah yang membuat kaki pegal.

"Dari tadi kan main-mainnya udah. Sekarang mending cepet beli pizza terus kita pulang ya? Nanti Ayah sama Bunda nyariin loh..." kataku berusaha membujuk keponakan mungilku. Lupakan Irgi, aku tidak pernah memintanya untuk ikut. Dan menjadikan acara yang seharusnya kunikmati dengan Daffa menjadi kacau balau seperti saat ini.

"Kakak Daffa mau pulang sekarang? Kasian tuh Tante kamu, udah kecapean katanya. Maklum udah tua, Fa," sindir Irgi yang jelas-jelas ditujukan untukku.

Rasanya aku ingin sekali memukul bibir Irgi yang bicara seenaknya itu, apalagi di depan keponakanku yang masih polos. Coba kalau Daffa meniru sikapnya yang suka menyindir orang seperti itu? Bisa aku yang dihajar orangtua bocah itu karena mengajarkan yang tidak-tidak. Untunglah sepertinya Daffa tidak mengerti maksud terselubung dari kata-kata Irgi. Keponakan kecilku kini tengah asik memandang aku dan Irgi bergantian, seolah mencari sesuatu dari ekspresi wajah kami yang menurutnya janggal, mungkin? Karena perang dingin yang berusaha kami sembunyikan dari bocah kecil itu.

"Ante Cinta capek? Ya udah yuk pulang. Tapi beli pijja buat Kakak Daffa sama Dede bayi ya?" pintanya menatapku dengan tatapan jenaka.

Aku tersenyum manis. Akhirnya bocah ini mau juga diajak pulang. Setelah sejak tadi beberapa kali kubujuk, berakhir dengan Daffa yang tidak mengacuhkanku dan memilih bermain dengan Irgi. Yah meski ternyata keinginan awalnya untuk membeli pizza belum terlupakan setelah serangkaian permainan itu. Tak apa, aku turuti... terlebih Daffa masih kepikiran untuk membelikan calon adiknya juga, meski nanti yang akan memakannya Kak Zahra, tapi tidaknya Daffa itu menggemaskan? Calon Kakak yang baik, bukan?

"Sip! Kita beli pizza buat Dede bayi juga ya. Oke, kalo gitu ayo kita pergi..." seruku riang, melirik Irgi penuh kemenangan.

"Norak!" cibirnya tanpa suara.

Sekali lagi aku menahan emosiku untuk tidak memukul bibirnya itu. Apa dia masih marah atas kejadian siang tadi di sekolah? Saat aku menjejalkan banyak makanan ke mulutnya hingga ia tersedak? Ah, masa bodo, salah siapa bibirnya itu terlalu kreatif mencibir orang lain, terlebih padaku.

Kuraih Daffa dari gendongannya. Meski masih sebal bukan main, tapi aku tahu Irgi cukup lelah menemani Daffa main beberapa jam ini. Saat itulah aku mendengar bisik-bisik orang di sekitar kami yang membuat kupingku merah dan panas seketika.

"Anak jaman sekarang, masih muda udah pada punya anak... ckck."

"Iya ya, Jeng, pergaulan anak muda sekarang bikin kita ketar-ketir sebagai orangtua."

Mungkin saat ini wajahku sudah merah padam bukan main. Bukannya marah, tapi lebih karena malu. Benarkah aku dan Irgi terlihat seperti orangtua muda di mata mereka? Dan Daffa terlihat seperti anak kami? Anak? Kami? Oh lupakan! Sepertinya otakku sudah rusak karena mendengar obrolan ibu-ibu itu.

"Kenapa muka lo?" Suara Irgi menyadarkan lamunanku.

Aku bergerak salah tingkah, menghindari tatapannya yang heran melihatku. Aku berbalik dan berjalan mendahuluinya, dengan Daffa masih dalam gendonganku.

"Loh, Ta! Cinta..." panggil Irgi mengejar langkahku yang tergesa.

Sekali lagi orang-orang terlihat melirikku karena panggilan Irgi yang setengah berteriak.

Ah sial, apa sekarang mereka berpikir kami benar-benar suami istri karena panggilan Irgi itu? Hei... itu kan memang namaku!

"Hei, lo kenapa sih? Muka lo merah gitu tau. Sakit?" Irgi menarik tubuhku hingga menghadapnya.

Aku meringis, menatapnya sebal karena tidak bisa melihat situasi kami yang semakin menjadi tontonan.

"Ish! Gue nggak apa-apa, udah lo jalannya jauh-jauh dari gue sana!" usirku dengan suara tertahan, tidak ingin lebih menarik perhatian orang lain. Jangan bilang nanti mereka malah menyangka kami bertengkar urusan rumah tangga lagi. Menggelikan!

"Lo kenapa sih?" tanya Irgi makin terlihat bingung.

Aku melotot, jengah melanjutkan percakapan tidak berguna ini lebih lanjut. Akhirnya aku mengabaikan dan kembali berbalik pergi. Tapi detik berikutnya, langkahku terhenti karena seseorang tengah tersenyum dan berdiri di hadapanku.

"Cinta?"

Keningku mengernyit menatap orang itu.

Continue Reading

You'll Also Like

3.1M 261K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
3.3M 451K 49
Alia yang baru saja diselingkuhi oleh pacarnya bertemu dengan Bastian yang tiba-tiba mengajaknya menikah. Di sela kerunyaman bahtera rumah tangga mer...
340K 28.6K 44
Ketika Kieva berpikir memiliki anak adalah satu-satunya halangan menuju kebahagiaan bersama Morgan, dirinya harus dihadapi halangan lain. Akhirnya, s...
725K 49.3K 41
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...