Cinta Dan Senja

Autorstwa Sa_saki

1.4M 24.7K 1.1K

SUDAH TERBIT! BISA DI CARI DI TOKO BUKU DAN OLSHOP KESAYANGANNN~~~ Hal paling menyebalkan dalam kehidupanku m... Więcej

Prolog
1. Lawan atau... Kawan?
3. a.... Date?
4. Bertemu lagi
5. Membuka Hati
Surat cinta untuk Cinta
Surat Kedua: Untuk Cinta dari yang mencinta
Epilog
Irgi : Melihatmu dari Sudut Senja
1. Irgi Yang Selalu Sama
2. Jangan Pernah Menimbun Harap
3. Ternyata
4. Maunya Apa?
5. Niat Baik
6. Seseorang Yang Datang

2. Bintang Jatuh

71.4K 3.1K 60
Autorstwa Sa_saki

Teriakan-teriakan hiateris dari gadis-gadis yang 'mengilai' Irgi terdengar begitu memekakan telinga. Saat ini aku memang sedang berada di aula pertandingan bulutangkis antar sekolah, dan Irgi salah satu pesertanya.

Entah apa yang kulakukan di sini, biasanya aku juga tidak begitu tertarik dengan beragam perandingan yang Irgi ikuti. Tapi setelah pulang sekolah tadi, pemuda menyebalkan itu bersikeras memintaku ikut, tidak, bahkan dia memaksaku ikut dengan seenaknya saja menarik pergelangan tanganku hingga tiba di tempat ini. Dan jangan tanya bagaimama reaksi para fans Irgi terhadapku, mereka susah seperti buaya ganas kelaparan yang siap kapan saja mencabikku kalau saja Irgi tidak memperingatkan mereka untuk tidak menggangguku.

Yeah, bukannya besar kepala, sebagian orang di sekolah memang sudah tahu bahwa aku dan Irgi tumbuh bersama sejak kecil, dan sebagian lagi tidak, meski begitu tetap saja ada di antara mereka yang masih mengganggapku seolah hama pengganggu yang ada di sekitar Irgi dan mengancam kemaslahatan mereka, padahal siapa juga yang mau dekat-dekat dengan mahluk menyebalkan itu.

"Go Irgi... Go Irgi... Go!" teriak mereka lagi serentak, sementara aku dengan malas menutup telinga dengan kedua tangan. Teriakan mereka benar-benar bisa membuat telingaku tuli.

Kulirik Lily yang saat ini duduk di samping, menyikut tubuhnya pelan, hingga gadis yang tidaak lain sahabatku sejak SMP itu kini melirik ke arahku.

"Apaan sih, Ta?" suaranya setengah berteriak karena sorakan penggemar Irgi yang masih menggema diseluruh aula ini. Aku meringis merapatkan kedua tanganku yang menutup telinga, berusaha melindungi telingaku agar tidak terkontaminasi dengan suara-suara tinggi mereka.

"Keluar yuk, Ly! Gue males di sini. Berisik!" ujarku mengandalkan gerakan bibir, karena percuma mengeluarkan suara jika di sekitarku masih sangat tidak kondusif seperti saat ini.

Pandangan Lily berubah ke arah lapangan di mana Irgi masih bertanding di sana, lalu kembali menatapku dengan kening berkerut bingung.

"Tapi pertandingannya kan belum selesai, Ta. Bukannya Irgi minta lo tunggu dia sampai pertandingan selesai?" ucap Lily melakukan hal yang sama, menggunakan gerakan bibir untuk berkomunikasi denganku.

Aku berdiri, menarik pergelangan tangan Lily dan bergegas meninggalkan tempat itu. Telingaku sudah tidak tahan mendengar teriakan histeris yang menggema di sana, bahkan tempat itu lebih terasa horornya dibanding aku harus berdiam diri di dahan pohon seharian. Entah karena aku memang tidak begitu menyukai tempat ramai, atau karena teriakan yang mereka tujukan itu untuk seorang Irgian Senja Dipetra? Yang membuat bulu kudukku berdiri ngeri seketika.

"Yahhh, Ta! Pertandingannya kan lagi seru, bentar lagi Irgi menang tuh!" seru Lily kecewa setelah kami sudah berada di luar aula dengan suasana yang normal tanpa teriakan.

Aku memutar bola mata malas, teringat bagaimana keras kepalanya Irgi ketika memaksaku untuk ikut ke tempat ini. Jangan-jangan dia sengaja ingin pamer padaku soal kehebatannya? Akhh.. kenapa aku tidak sadar sejak tadi? Malah dengan bodohnya mengikuti keinginannya itu, padahalkan tidak jelas apa motifnya mengajakku.

"Makin besar kepala aja dia kalo menang kita liatin."

"Itu kan menurut lo," dengus Lily memihak Irgi.

Aku melotot sebal pada Lily, yang ditanggapi gadis di sebelahku ini datar-datar saja, bahkan cenderung tak acuh. Sebenarnya Lily ini temannya siapa sih?! Aku atau Irgi?

"Udah yuk ah pulang, bete nih gue."

"Elah Cinta, bentaran lagi kenapa sih? Lagian nanti Irgi marah sama gue biarin lo pulang gitu aja. Dia kan udah nitipin lo ke gue tadi," gerutu Lily berusaha menahanku untuk tetap berada di sana.

"Memangnya gue barang dititip-titipin! Lagian sejak kapan lo jadi sekongkolannya Irgi sih?!" dengusku menolehkan pandanganku pada Lily ketika sesaat kemudian kurasakan seseorang menabrakku, atau aku yang menabraknya?

"Nah loh, Ta! Lo sih jalan nggak liat-liat!" omel Lily malah sibuk menyalahkanku. Hei, ini kan salahnya juga!

Kuabaikan ocehan Lily yang tidak penting itu. Memilih melihat seseorang yang baru saja kutabrak. Orang itu terlihat tengah sibuk memunguti kertas yang bertebaran karena terlepas dari pegangannya saat bertabrakan denganku tadi. Aku ikut membantu mengumpulkan kertas-kertas itu dan menyerahkan padanya setelah kurasa tidak ada lagi yang tertinggal.

"Maaf, maaf, Mas. Saya nggak sengaja, temen saya nih gara-garanya," kataku berusaha membela diri, tentu saja langsung mendapat pelototan tidak terima dari sahabat di sampingku.

"Kok gue sih, Ta? Kan lo yang nabrak!"

"Kan lo yang bikin gue nggak liat ke depan! Pakek nahan-nahan pengen tetep di sini sih."

Belum sempat Lily membalas perkataanku, suara yang tidak lain berasal dari pria yang barusan kutabrak memecahkan perselisihan antara aku dan Lily.

"Cinta?"

Aku dan Lily bersamaan menoleh padanya.

"Lo Cinta kan?" tanya orang itu lagi sambil menatapku lekat.

Aku mengangguk kaku.

"Siapa ya?"

Dari mana dia tahu namaku? Rasanya aku tidak pernah melihatnya barang sekali pun.

Pria itu tersenyum manis sekali, membuatku salah tingkah melihat senyumnya. Baru pertama kali aku disenyumi semanis itu oleh seseorang. Tentu saja jika tanpa embel-embel bermodus ria untuk mendekatkan dirinya dan Kak Bi melalui diriku, mungkin.

"Ternyata bener, semanis yang diceritakan Bi," ujarnya masih tidak jengah mengamati wajahku, atau itu hanya perasaanku saja?

Tunggu, apa yang barusan pria ini bilang? Belum sempat aku mencerna perkataan pria yang ada di hadapanku ini. Suara pria lain yang kali ini sangat tidak asing di telingaku justru menginterupsi kami.

"Cinta!" teriaknya, membuat kami yang berada di sana mengarahkan pandangan kami pada pria paling menyebalkan yang pernah kukenal.

"Gue jan bilang jangan ke mana-mana sampe gue selesai. Nggak bisa nunggu bentaran banget sih lo!" omel Irgi seolah aku ini siapanya yang bisa ia perintah-perintah begitu saja.

Aku mendengus, tidak menghiraukan kicauan Irgi yang kini berjalan ke arahku. Kujatuhkan perhatianku pada pria yang kutabrak tadi. Tanpa ingin memperpanjang dan membuang waktu sekali lagi kusampaikan maafku padanya.

"Sekali lagi maaf ya, Mas. Kita permisi dulu," kataku pamit, lalu menyingkir dari hadapan pria tampan itu, menarik Lily agar ikut pergi bersamaku.

"Ck, Cinta! Cinta Bagaskara berhenti gue bilang!" teriak Irgi masih terdengar di telingaku. Tak berapa lama pergelangan tanganku ditarik seseorang yang kutahu siapa.

"Apaan sih, lepasin nggak!" bentakku pada Irgi yang terlihat masih mengenakan jersey sekolah kami. Sekujur tubuhnya masih dipenuhi peluh yang membanjir, nafasnya terengah seolah menegaskan bahwa dirinya benar-benar baru saja menyelesaikan pertandingan.

"Gue bilang kan tunggu sampe pertandingan selesai."

"Apa? Lo mau pamer kalo lo jago badminton gitu? Kalo lo punya sesuatu yang bisa bikin orang-orang terkagum-kagum sama lo?! Lo mau nyindir gue yang nggak bisa apa-apa kan?!"

Akhirnya tersampaikan juga apa yang membuatku selama ini enggan melihatnya bertanding di lapangan. Lagi-lagi sebenarnya aku tahu masalahnya ada padaku, bukan pada Bunda, Kak Bi, atau bahkan Irgi yang hanya menjadi kambing hitam untuk membuat hatiku bisa mengkasihani diriku sendiri.

"Lo pikir gue sepicik itu?" Irgi mendelik tajam. Tatapannya tak luput mengintimidasiku yang semakin menyadari kesalahan dari apa yang kukatakan barusan.

"Ly, lo balik duluan gih. Biar Cinta sama gue." Irgi beralih pada Lily yang menatapku ragu, tapi melihatku yang bergeming sepertinya ia mengangguk dan memilih mengikuti permintaan Irgi.

"Ta, gue pulang duluan ya. Lo... hati-hati pulangnya," bisik Lily mengusap tanganku lembut, kemudian berlalu.

Setelah memastikan Lily benar-benar pergi, Irgi kembali menatapku dengan sorot yang masih sama. Menghela napas sejenak sebelum akhirnya meraih jemariku dan menggenggamnya, membawaku entah ke mana.

"Ikut gue."

Aku mengikuti langkahnya kembali masuk ke area dalam SMA Almahera tepat diadakannya kejuaraan bulutangkis antar sekolah sepulau Jawa ini. Masih kudengar teriak-teriakan para penggila Irgi yang protes melihat Irgi yang bersamaku. Irgi seolah tak perduli, Irgi tak mengacuhkan teriak para penggemarnya itu hingga kami masuk ke sebuah ruangan yang tidak terdengar lagi suara-suara dari luar sana.

"Lo tunggu di sini, gue mandi bentar, abis itu kita pergi." Lagi-lagi nada perintah yang kudengar dari mulutnya.

Aku mencibir tanpa suara setelah Irgi masuk ke sebuah pintu selain pintu keluar yang ada di ruangan ini. Aku tidak berani mencibirnya yang terlihat sedang enggan berkompromi itu, jadi biarkan saja Irgi mendinginkan kepalanya dulu, karena aku tahu kata-kataku tadi menyulut emosinya.

Menghela nafas, kuperhatikan ruangan tempat Irgi menyeretku bersamanya saat ini. Setelah kulihat-lihat rupanya ini kamar ganti yang biasanya digunakan pemain baik untuk bersiap-siap sebelum pertandingan maupun setelahnya. Ini pertama kalinya aku masuk ke tempat seperti ini. Cukup menarik, banyak loker tempat penyimpanan barang dan bangku panjang yang tersedia di ruangan ini.

Entah sudah berapa lama aku menunggu, akhirnya Irgi keluar dari pintu yang dimasukinya tadi. Dan apa-apaan dia?! Aku membuang pandanganku darinya. Sial! Entah mengapa sekarang aku merasa wajahku panas seketika.

"Gila lo ya! Pake baju lo cepetan!"

Dan yeah, seperti yang kalian bayangkan, dengan santainya Irgi keluar tanpa mengenakan baju. Handuk kecil tersampir di pundaknya, rambutnya basah dan masih menyisakan tetesan air yang perlahan jatuh meluncur ke tubuh--tunggu! Kenapa aku jadi menjabarkannya begini?

"Cie... mukanya merah gitu, baru pertama kali liat cowok topless ya?" goda Irgi dengan nada menjijikan.

"Irgi! Cepetan pake baju!" bentakku berusaha terdengar galak, meski jantungku sudah berdegup tidak karuan saat ini.

"Bawel, gue lupa bawa baju ke kamar mandi tadi," gerutunya lalu mengambil sesuatu dari salah satu loker yang ada di sana dan memakainya. Setidaknya itu yang kulihat dari ujung mataku. Untungnya dia masih mengenakan celana, kalau tidak aku pasti sudah kabur dari tempat ini. Lagi pula, orang macam apa yang lupa membawa baju ganti sementara celananya tidak ia lupakan. Cukup Cinta! Jangan membuat orang berpikir bahwa kamu menginginkan Irgi melupakan semua pakaiannya saat keluar dari kamar mandi tadi. Oh, lupakan!

"Ayo pergi," ajak Irgi setelah membereskan barang-barangnya ke dalam tas. Ia menatapku dengan tatapan entahlah, kemudian seringaian nakal terlihat di sudut bibirnya.

"Atau lo masih mau liat yang buka-bukaan?" ucapnya menahan tawa.

"Sinting!" teriakku yang langsung keluar dari ruangan itu tanpa memperdlldulikan suara tawanya yang terdengar membahana.

Irgi menyebakan!

***

Entah apa maunya pria menyebalkan yang masih seenaknya menyeretku ke tempat antah berantah ini. Oke aku berlebihan, Irgi hanya membawaku ke tempat yang tidak kutahu di mana, tidak terlalu jauh dari sekolah kurasa, karena hanya sekitar lima belas menit dari sana. Yang kutahu pasti, kami ada di atap salah satu gedung tinggi di Jakarta. Entah apalah nama gedung ini, cukup tinggi, ah tidak, gedung ini lebih tinggi di bandingkan gedung yang lain, hingga aku bisa melihat hamparan bangunan-bangunan yang ada di sekitar gedung ini tanpa penghalang.

"Ini di mana sih? Ngapain kita di sini?"

Bukannya menjawab, Irgi malah sibuk mempersiapkan sesuatu dari tas olahraganya. Tunggu, rasa-rasanya tas olahraga itu berbeda dari yang Irgi pakai tadi...

Benar saja dugaanku, apa yang berikutnya Irgi keluarkan bukan peralatan bulutangkis yang sejak tadi kutahu memenuhi tasnya. Apa dia bawa dua tas di mobilnya?

"Teropong?" seruku setelah melihat apa yang berikutnya ia keluarkan.

"Gue denger bakal ada bintang jatuh hari ini, dan nggak ada salahnya kan kita lihat lebih dekat?" ucap Irgi datar, aku melangkah mendekatinya. Mengamatinya yang sedang sibuk memasang teropong kesayangannya itu pada tripod yang tadi ia susun.

"Jadi dari tadi lo nahan gue pulang buat lihat bintang jatuh? Mau make a wish? Hhmmpt..." Aku menutup mulut menahan tawa, sementara Irgi sudah menatapku tajam.

"Apa maksud lo nahan ketawa gitu?"

"Kaya cewek."

"Dasar cewek jadi-jadian, nggak bisa berpikir romantis dikit apa? Lagi pula ya, gue ngajak lo ke sini kan sekaligus cari tau apa lo bisa menikmati ini apa nggak. Bukannya lo suka bintang? Nggak mau coba jadi astronom?" tuturnya panjang, meski terdenger galak tapi aku bisa merasakan perhatian dibaliknya, perhatian yang berusaha tidak ia tunjukan terang-terangan.

Aku menyipit, menatapnya curiga. "Lo... ngelakuin ini buat gue?"

"Buat tembok!" bentaknya menyebalkan, kemudian kembali mengecek teropongnya yang sudah terpasang.

Aku cemberut. Padahal aku lumayan tersentuh, tapi melihat tingkahnya yang menyebalkan aku jadi malas menunjukan rasa terima kasihku. Toh kurasa Irgi juga tidak peduli apa tanggapanku atas gagasannya ini.

Aku berbalik memunggunginya, berjalan melangkah mendekati bibir bangunan yang terhalang oleh tembok sebatas dada. Sejauh mata memandangang, aku melihat cahaya jingga kekuningan di mana matahari mulai turun dari peraduannya, senja.

"Jadi diwaktu seperti ini proses pembuatan gue berlangsung?" Suara pria menyebalkan itu, kini persis berdiri di sampingku sambil menatap lurus ke depan.

Aku menatapnya sinis, mencibir tanpa suara.

"Mesum."

Irgi menoleh padaku sejenak, sebelum kembali memusatkan perhatiannya pada sesuatu menakjubkan di depan sana. Saat-saat matahari terbenam, hal yang belum pernah kusaksikan dari atas kota Jakarta yang penuh polusi seperti saat ini, namun tetap tidak mengurangi keindahannya sedikit pun.

"Kan Nyokap-Bokap gue sendiri yang cerita ke orang-orang, jangan salahin gue kalo jadi kayak gini," ujarnya santai.

Aku memutar bola mata malas.

"Lo bilang gue nggak bisa romantis dikit, nah lo sendiri?" cibirku. "Nyokap-Bokap lo kan cuma mau cerita kisah romantis mereka saat-saat nunggu anak kedua, dan arti dibalik nama lo itu."

Irgi melirikku malas.

"Yah berarti nhgak ada yang salah dari omongan gue tadi dong," ujarnya tidak mau kalah. "Lo aja yang nyernanya ke arah negatif. Jangan-jangan masih kebayang tubuh eksotis gue yang telanjang tadi ya?" Kali ini seringaian menyebalkannya itu terlihat jelas di mataku.

"Sarap!"

Lagi-lagi Irgi tertawa puas karena berhasil menggodaku. Entah sudah seperti apa ekspresi wajahku sekarang yang berusaha kusembunyikan dengan terus menatap ke depan.

Matahari mulai hilang dibalik gedung-gedung tinggi di Jakarta, sunset yang cukup unik karena selama ini aku hanya melihatnya di pantai saat berlibur bersama keluarga Membawa perasaan berbeda yang entahlah, sama seperti ketidakjelasan perasaan seseorang di sampingku saat ini.

Menunggu waktu berjam-jam sampai waktu yang ditetapkan Irgi bukanlah hal yang menyenangkan, selain harus turun naik untuk menunaikan ibadah yang sudah seharusnya, jarum jam juga seolah berjalan lambat meski kami sudah menghabiskan 2 kotak pizza ukuran besar dan 1 botoh air meneral yang berukuran sama. Aku sudah menguap beberapa kali saking bosannya menunggu. Kulirik ponselku yang tidak menunjukan tanda-tanda kehidupan meski jelas masih menyala, maksudku, apa Bunda tidak khawatir sama sekali tentang anak gadisnya yang belum pulang ke rumah ini?

"Gue udah telepon Tante Gita tadi, bilang lo pergi sama gue," jelas Irgi yang melihat gerak-gerikku dibalik kesibukannya mengintip dibalik teropong.

Aku mendengus, segitu percayanya Bunda pada Irgi? Sampai tidak harus memastikannya padaku langsung?

"Kok belum kelihatan ya? Perasaan arahnya udah bener deh," gumam pria itu membuatku menyipit ke arahnya.

"Kayak lo tau arah aja."

"Memanya gue lo, yang baru ditinggal di dufan aja nyasar!"

Sial. Dia mengingatkanku pada kejadian beberapa bulan lalu, saat kami, maksudku keluargaku dan keluarganya berlibur bersama ke dufan saat liburan sekolah.

"Salah tanggal kali lo, udah yuk balik.. bete nih gue," rengekku karena sudah lelah menunggu.

Bukannya tidak ingin lihat, tentu saja aku akan sangat senang jika bisa melihat momen-momen yang tidak bisa terlihat setiap hari itu, hanya saja seluruh tubuhku rasanya sudah lengket dengan semua jenis debu dan keringat yang menempel sejak tadi.

"Sabar... tunggu bentar lagi."

Baru saja aku menenggelamkan wajahku di antara lekukan kaki yang kudekap dalam pelukan, tak lama suara Irgi antusias memanggil namaku terdengar.

"Ta! Cinta! Cepetan sini... udah mulai kayaknya!" serunya girang.

Buru-buru kuhampiri dirinya, menyingkirkan tubuh besarnya dari posisi yang masih mengintip dibalik celah teropong, tidak peduli dengan omelannya yang mulai mencibirku sebal. Dan saat itulah aku melihat bintang-bintang berjatuhan, entah berpindah tempat, atau apa pun namanya.

"Masya Allah... bagus banget, Gi... Akhhh lo memang the best deh bisa tepat gini posisinya!" seruku senang.

Entah seperti apa ekspresi Irgi saat aku mengatakannya, yang jelas aku tidak mendengar tanggapan apa pun darinya. Setelah lima menit berlalu, saat pertunjukan menakjubkan itu mulai berkurang aku menolehkan pandanganku padanya, dan dia sedang menatapku dengan sorot... entahlah?

"Eng... mau gantian lihat?" Suaraku yang entah terdengar seperti apa. Jujur saja tatapannya membuatku tidak bisa mengendalikan detak jantungku yang mulai menggila. Oh ayolah Cinta... bukankah hal seperti ini sudah berlalu?

"Nope, lo aja lihat sampe puas," katanya mengangkat bahu tak acuh, lalu menjatuhkan perhatiannya lurus ke depan. Bisa kulihat sudut bibir Irgi yang membentuk sebuah senyuman.

Pada akhirnya aku tidak ingin berspekulasi yang akan membuatku menelan pahit kecewa dan salah paham lagi. Kuacuhkan sikap Irgi yang sempat membuat tanda tanya besar di kepalaku. Perhatianku kembali tertuju pada celah teropong, mengamati bintang-bintang dengan perasaan yang tidak lagi sama.

Sempat hening berkepanjangan yang terasa jelas di antara kami, hingga sesuatu mengusik pikiranku terkait niatannya mengajakku melihat kejadian langka ini. Aku menoleh pada Irgi yang masih asik meminum minuman kaleng yang ada di tangannya, dengan tatapan menarawang jauh ke atas sana.

"Tapi lo nggak berharap gue bener-bener berniat jadi astronom kan, Gi?"

Irgi menoleh, mengernyit bingung.

"Kenapa nggak? Selama lo suka dan menikmatinya?" Aku menghindari tatapannya, tidak yakin ia akan menerima pendapatku ini.

"Eng... iya sih gue suka bintang, dan gue juga suka mengamati mereka. Tapi menurut gue keberadaan mereka yang misterius lebih keren dan selalu buat gue bertanya-tanya sampai akhirnya mengimajinasikan sendiri apa yang ada dipikiran gue tentang mereka. Gue nggak mau memandang mereka dari segi yang mutlak dari pandangan-pandangan yang tahu tentang ilmu bintang, tapi gue pengen mengenal mereka dengan persepsi gue sendiri. Mungkin lo bingung, dan gue juga, tapi... ya intinya begitu deh," kataku pusing sendiri dengan kata-kata yang kuucapkan. Intinya aku hanya tidak ingin mempelajari mereka.

Kuberanikan diri menoleh pada Irgi yang diam setelah perkataanku beberapa menit lalu, sampai kulihat tatapannya yang memperlihatkan ketidakmengertiannya atas ucapanku yang panjang lebar itu. Aku tersenyum masam.

"Lagi pula, lo tau sendiri kan gue mabok kalo naik pesawat? Apalagi naik pesawat luar angkasa..." Irgi mendengus kasar, bangkit berdiri dan mulai membereskan peralatan teropongnya dari hadapanku.

"Dasar lo-nya aja yang memang udik, naik pesawat aja mabok!" cibirnya terlihat kesal, mungkin merasa sia-sia dengan usahanya yang amat sangat serius membantu menemukan cita-citaku.

Aku terkekeh malu, malu-maluin maksudnya.

"Hehe, tapi gue suka kok bintang jatuhnya. Sempet make a wish juga semoga amal ibadah lo diterima di sisi Tuhan yang Maha Esa."

"Ke laut aja lo sana!"

Aku tertawa Akhirnya atmosfir di antara kami cair sebagaimana biasanya. Karena entah perasaanku saja atau bukan, aku sempat merasakan suasana canggung yang amat sangat aku hindari jika bersama Irgi. Bagaimana pun aku tidak ingin kejadian itu terulang kembali, cukup sekali. Dan jangan lagi.

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

6.9M 291K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
5.7M 315K 35
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
553K 21K 34
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
146K 8.8K 39
Aku terabaikan. *** "Papa, Tara lelah." "Papa minta maaf." "Tara, mama pulang." "Aku suka sama Mbak Tara." *** Aku kehilangan dia yang sebelumnya sel...