BERI AKU CINTA

Von arya_na88

8.4K 765 366

Update setiap Selasa, Kamis dan Sabtu. Marwa Silviana menikah dengan Danubrata, seorang pengusaha dan sosok l... Mehr

BAB 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20

Bab 8

340 41 8
Von arya_na88

Aku sedikit terkejut mendengar nama tamu Mas Danu. 'Sekar kan temannya Mas Danu, pikirku.' aku memutuskan untuk tidak bertanya lagi dan menunggu saja. Aku membuka-buka majalah kemudian melirik jam, sudah 15 menit berlalu.

Aku mencari Iris sejenak, tapi tidak ada. Aku berjalan menuju pintu ruangan Mas Danu, sedikit mendorong dan melihat ke dalam. Aku terpana melihat Mas Danu dan Mba Sekar di dalam sedang makan siang bersama. Kalau ini sih bukan dari perusahaan, tapi kunjungan pribadi.

Aku berjalan cepat menuju lift sambil menyeka air mataku. Ya, aku nangis. Aku melewati Iris yang sepertinya bingung melihatku. Aku tidak peduli, aku hanya berjalan menunduk menutupi tangisku.

"Eh, Bu. Mau ke mana?" tanyanya.

Aku menjawab tanpa menoleh, "Saya pulang saja. Sepertinya Bapak Danu memang sibuk."

Kudengar suara langkah kaki mendekatiku. Aku sedang menunggu lift tapi tak kunjung terbuka. Rasanya waktu berjalan lambat. 'Ini lift kenapa lama banget sih! Masa iya rusak.' Sebelum langkah itu semakin dekat, aku mencari tangga darurat.

"Bu, ini ..." suara Iris hilang bersamaan pintu yang menuju tangga darurat tertutup.

'Bodo amat.'

Aku kecewa saat melihat Mas Danu lebih memilih tidak pulang hanya karena urusan pribadi. Apalagi aku dibiarkan menunggu seperti tadi. Sampai di lobi bawah aku segera keluar, menuju pos satpam, minta tolong sama penjaganya untuk mengambilkan motorku. Aku tidak menghiraukan lagi ponselku yang daritadi berbunyi.

Bapak satpam tadi yang kutitipkan kunci motor berjalan sampai tergopoh-gopoh, "Maaf Bu, perintah dari Bapak Danu, saya disuruh antar Ibu kembali ke ruangan Bapak, sekarang."

Aku diam saja sambil menyeka air mata yang tidak juga berhenti. Dari tempat ini aku melihat perempuan itu berjalan keluar dari kantor kemudian menaiki mobil yang sedang menunggunya.

"Oh, jadi dia sudah pulang. Ck!" Aku menggerutu pelan.

"Eh, siapa, Bu?" Satpam itu bertanya.

"Bukan siapa-siapa. Pak tolong ambilkan tas di dalam bagasi motor, sekalian bawakan ke ruangan Pak Danu." Aku berdiri memberikannya rantang makan siang tadi.

Dia menatapku bingung, "Ini buat makan siang. Bapak belum makan kan?" tanyaku.

"Nggak usah, Bu. Buat Bapak aja." Satpam ini menolak halus.

"Tenang, Pak. Dia sudah makan." Kuletakkan tempat makanan itu di atas kursinya. Aku berjalan masuk kembali ke kantor Mas Danu.

Mas Danu baru saja keluar dari lift, melihatku yang berjalan menuju ke arahnya. Dia menatapku tajam.

"Ayo, naik." suara dingin Mas Danu membuatku sedikit takut.

Dia menggandeng tanganku, sedikit menarikku menuju lift. Begitu lift terbuka, kami masuk bersama. Kami saling diam sampai berada di dalam ruangannya.

"Duduk." perintahnya.

Aku duduk sambil menunduk. Air mataku kembali menetes. Aku terisak. Ada rasa marah yang tidak mampu aku luapkan.

"Ya ampun, Ra." Dia mengusap kasar wajahnya. "Tunggu sebentar." Mas Danu keluar dari ruangannya. Tidak lama dia masuk kembali menutup pintunya kemudian menguncinya.

Aku masih belum berhenti dan suara tangisku semakin kencang ketika Mas Danu masuk kembali. Mas Danu langsung mendekapku, mengusap kepalaku. Dia melakukannya sampai aku diam, tanganku kemudian memeluknya erat.

"Sudah, nangisnya?" Aku hanya mengangguk tanpa berani melihatnya.

"Sekarang, lepas dulu. Mas mau bicara." Aku tidak juga melepaskan pelukanku.

"Ra, lepas dulu." Aku menggeleng kuat. Dia menghembuskan napasnya kuat.

"Ya, sudah. Kamu ngapain ke sini, hm? Kenapa nggak telpon dulu?"

"Kalau telpon dulu mana bisa aku tau Mas Danu berduaan sama tuh orang." suaraku serak menjawabnya.

"Oh, jadi karena itu?" Mas Danu mengurai tanganku, melepaskan pelukanku. "Terus, ngapain ke sini?"

"Tadinya ngantar makan siang buat ..." kalimatku terpotong.

"Mana? Menu yang aku minta kan?" Mas Danu bersandar di sofa menatapku.

"Loh, bukannya Mas tadi sudah makan?" aku membalas tatapannya dengan heran.

"Iya, tapi masih pengen makan menu yang kemaren."

"Sudah aku kasih sama bapak satpam di depan tadi." ketusku.

"Ra, sekarang dengar Mas bicara. Lain kali kalau mau ke sini telpon dulu. Baru tadi pagi, mas larang kamu jalan ke rumah Mama, ini malah ke kantor."

"Jadi Mas Danu nggak suka kalau aku datang?" Aku tidak terima ucapan mas Danu yang seperti menyalahkanku di sini.

"Ra, kamu tau mas nggak suka dibantah. Kamu harusnya ..."

"Terus tadi ngapain sama dia? Mas lebih memilih makan siang sama dia. Mas sendiri yang minta dimasakkan buat makan siang. Terus, tiba-tiba mas telpon nggak bisa pulang karena urusan kantor. Ternyata, apa? Aku lihat mas malah di ruangan ini makan berdua sama dia." Aku bicara sedikit emosi kali ini. Air mataku kembali menetes.

"Ara!" Huft! Mas Danu kembali mengusap wajahnya. Dia kembali memelukku. Mengusap lembut punggungku.

"Ra, Mas beneran ada urusan kantor. Itu lihat berkas di meja. Mas juga nggak tau, Sekar datang bertepatan dengan jam makan siang."

"Terus, kenapa aku dibiarkan menunggu. Pesanku sama sekali nggak dibalas. Mas tau kan aku nunggu." Aku masih belum puas.

"Kenapa tadi kamu nggak masuk aja?" Mas Danu melepaskan pelukannya. Kedua tangannya menangkup wajahku.

"Aku pikir, Mas Danu lagi ada urusan tentang kerjaan. Ternyata urusan pribadi." jawabku.

"Terus?"

"Ya, terus, aku males aja liat kalian tadi ..., iih, masa juga nggak ngerti?" kesalku.

"Ra, ini bukan Marwa yang Mas kenal dulu. Sejak kapan kamu peduli dengan hal kecil kayak gini? Peduli dengan teman-teman, Mas. Kamu percaya, kan sama Mas? Serius Ra, kamu mau menjadikan hal seperti ini masalah dalam rumah tangga kita?" Aku terdiam mendengar penuturan Mas Danu.

Oh, jadi aku berubah? Aku benar-benar sulit mengartikan semua ini. Tiba-tiba saja aku merasa tangisanku sia-sia, luapan emosi tadi tidak ada artinya. Semua orang berubah bukan? Waktu, keadaan, kondisi, lingkungan, masalah atau apapun itu bisa menjadi faktor seseorang untuk berubah. Terus, aku salah gitu? Apa dia tidak memikirkan juga satu fakta bahwa aku ini perempuan, memiliki hormon yang rentan bisa membuatku lebih sensitif dalam waktu-waktu tertentu.

"Mas pesan makanan dulu. Kamu pengen makan apa? Belum makan siang, kan? Nggak usah pulang. Kita sekalian nanti ke dokter."

Makan? Bahkan aku sudah tidak memiliki nafsu untuk makan. Padahal aku menahan rasa lapar dari rumah, membayangkan makan berdua dengan Mas Danu, menunggunya kerja di sini, cukup membuatku semangat tadi. Sekarang, justru aku mau pulang, tidur sampai besok pagi berharap tadi hanya mimpi.

"Ra?" Tangannya mengelus pipiku yang membengkak karena tangisan tadi.

Aku mengangguk, "Terserah, asal jangan nasi." Aku pergi ke ruang pribadi yang biasa dipakai Mas Danu istirahat. Mas Danu mengikutiku.

"Loh, Mas kerja aja. Aku biar nunggu di dalam." Kutunjuk pintu yang berada di sudut ruangan ini.

"Ya sudah, masuk sana." Mas Danu keluar ruangannya.

Aroma maskulin langsung terasa begitu aku membuka pintu ruangan ini. Sebuah sofa putih yang bisa diubah menjadi tempat tidur, sebuah meja ukiran yang terbuat dari kayu, di sebelahnya ada sebuah kulkas kecil, televisi yang menempel di dinding, dan di sudut ada pintu menuju kamar mandi dan toilet.

Setelah cuci muka dan tangan, aku duduk di sofa. Kepalaku kembali terasa sakit. Mungkin efek menangis tadi. Baru saja aku ingin merebahkan badan, suara pintu terbuka. Mas Danu masuk membawa tas berisi pakaian ganti yang kubawa dari rumah. Tadi aku minta tolong sama bapak satpam untuk dibawakan ke atas.

"Niat banget ya mau ke sini tadi?" Aku sedikit tersenyum.

Aku tau pertanyaan ini hanya untuk menggodaku. Aku menarik tangan Mas Danu untuk duduk di sofa menjadikan pahanya sebagai bantal. Pertama kalinya aku lakukan dan ini spontan.

Mas Danu sedikit terkejut kemudian tertawa, "Manja." katanya.

Sekali lagi aku hanya sedikit tersenyum, memejamkan mata, menikmati usapan lembut di kepalaku sedangkan tangan lainnya begitu sibuk dengan ponselnya.

Aku tertidur dan bermimpi seorang pangeran memelukku dari belakang, menikmati matahari terbenam di sebuah kastil. Tiba-tiba warna senja itu semakin merah dan panas. Itu adalah api yang membakar lahan di seluruh kastil. Aku menjerit-jerit karena aku kini berada di tengah-tengah api itu.

tbc.

Kok kasian ya sama maina? Eh Ara maksudnya.

Danu ini orangnya tidak begitu peduli dengan perasaan cemburu Ara. Sedangkan Ara tidak mampu mengungkap apa yang sebenarnya diinginkan hatinya.

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

894K 135K 47
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
2.1M 93.7K 53
SEQUEL "THE DEVIL WANTS ME" Bisa di baca terpisah [FOLLOW DULU SEBELUM BACA!] DON'T COPY MY STORY❌️‼️ 17+ Awal dari bencana ini di mulai ketika Edel...
2.7M 192K 35
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
577K 24.3K 39
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...