SLUT 2 [COMPLETED]

badgal97

121K 9.9K 3.9K

[SEQUEL OF SLUT] Akhir dari kisah cinta mereka masih memiliki sesuatu. Sesuatu yang perlahan-lahan dapat memp... Еще

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25 [END]
Epilogue

Chapter 18

2K 159 132
badgal97

18

Bercak darah sudah memenuhi sekujur tubuh Shay yang terbaring lemah dalam keadaan setengah telanjang. Sayup-sayup matanya terbuka di balik kesadarannya yang kian menipis. Tubuhnya terkapar tak berdaya di atas lantai kamar, diikuti guncangan kecil yang sesekali menekan tubuhnya secara mengerikan. Karena William terus saja menggaulinya di bawah sana.

"Rita, Shay!" pekik William lirih dengan mata yang menyipit, menahan kenikmatan tersendiri yang ia rasakan di balik hal mengerikan ini. "Ya, teruslah diam seperti itu."

Shay terdiam di balik sensasi tubuhnya yang merebak tak karuan. Di balik iris matanya yang menatap nanar sekujur tubuhnya yang dipenuhi bercak darah, sayatan serta luka lebam. Jemari kaku Shay bergerak, menyentuh payudaranya sendiri yang terguncang dan dipenuhi darah serta air liur William. Ia merabanya, di balik rangsangan tak lazim yang terasa begitu menyiksa.

"Kau mulai terangsang, sayang?" seringai William seakan menjadi mimpi buruk yang abadi bagi batin Shay. "Ayo, kau boleh berteriak. Kita coba dinding kedap suara yang baru ini."

Shay menatap William dengan pandangan kosong.

"Ah, satu-satunya hal yang kusuka darimu adalah––" William menekan kelaminnya lebih keras, membuat tubuh Shay tersentak. Namun wanita itu sama sekali tidak bereaksi. Wajahnya tampak kaku secara tiba-tiba. "Milikmu selalu terasa spesial, Rita. Aku selalu keenakan."

Tubuh Shay menegang ketika pelepasan ke sekian kalinya yang ia rasakan menekannya diiringi rasa trauma. Pelepasan yang terjadi atas dasar yang menyiksa. Dan ketika semua itu terjadi, Shay selalu merasa seribu kali lebih kotor dari seonggok sampah. Kali ini, Shay seakan kehilangan segala kuasanya untuk mengendalikan diri. Luapan trauma dan ketakutnya mengambil utuh kesadarannya.

Ini semua salah, sangat salah. Dan ketika Shay benar-benar menyadari semua itu, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ini semua membuatnya gila dan kesulitan untuk berpikir jernih. Apa yang harus ia lakukan di balik kekacauan ini? Kemaluan William terus menusuknya, diiringi perasaan trauma yang menekan batinnya hingga cekung. Deru napas Shay terus berubah-ubah.

Hingga mengeras tiba-tiba.

Shay mendengus. Pikirannya kacau, sementara rasa trauma dalam batinnya terus meluap-luap. Ia tampak mengeraskan rahangnya. Sementara William tidak menyadari perubahan dalam diri Shay yang mulai lelah menghadapi semua ini. Pria brengsek itu tampak menikmati apa yang telah ia rusak dan rampas. Hingga akhirnya, ia terkejut mendengar Shay bersuara.

"William," tubuh Shay sesekali terguncang, matanya yang sayu menatap William dengan nanar. "Aku bersumpah, kau akan mendapat balasan dari semua ini."

Tamparan keras langsung menghantam wajah Shay dengan begitu keji. William menatap Shay dengan begitu murka. "Apa yang kau bicarakan?!"

"Kau akan mendapat balasannya, ingat itu. Aku tidak menikmati semua ini." Shay mengusap lelehan darah di sudut bibirnya, merasa kebas oleh tamparan keras Will. "Semua yang kau lakukan padaku, aku tidak akan pernah menerimanya."

William kehilangan kendali. Ia kembali menekan Shay dari bawah seraya menarik rambutnya. Lantas membenturkannya berkali-kali ke atas lantai keras dengan membabi-buta. Ini pertama kalinya Shay meneriakkan penolakan, melayangkan ancaman dengan tatapan serius. Dan melihatnya membuat William sangat kesal.

"Kau baru saja mengancamku? Hah?!" William berteriak. "Keparat! Keparat!"

Tidak ada tangisan lirih atau erangan kesakitan dari mulut Shay. Wanita itu sanggup menahan semua rasa sakit di saat kepalanya terus membentur lantai. Ia meresapi benturan demi benturan yang menghantamnya. Tidak ada teriakan penuh pengampunan. Shay membiarkan rasa sakit itu merebak dalam batinnya, merusak kepalanya dan menghancurkan dirinya.

"Beraninya kau mengancamku! Sadarlah, siapa dirimu ini! Aku telah membayarmu!" Will terus saja menyutubuhi Shay sambil membenturkan kepalanya tanpa ampun. "Kau tidak tahu diri, sialan! Kau membuatku kesal!"

Hingga semua itu terhenti ketika William melihat bercak darah di atas lantai, tepat di belakang kepala Shay. William terkejut, menatap wajah Shay yang kini menyeringai. Dan sedetik kemudian, wanita itu kehilangan kesadarannya. Hal pertama yang William rasakan ketika melihat semua itu adalah panik. Pria itu segera menghentikan aksi bejadnya, lantas meninggalkan Shay begitu saja di dalam kamar yang dindingnya baru saja dipertebal oleh kedap suara permanen

Meninggalkan Shay sendirian, dalam keadaan yang mengerikan.


***


Paris


There's things I wanna say to you

But I'll just let you live

Like if you hold me without hurting me

You'll be the first who ever did

There's things I wanna talk about

But better not to keep

But if you hold me without hurting me

You'll be the first who ever did


Vanessa terbangun dari tidur panjang ketika alunan lagu yang lembut itu menjejal masuk, memanjakan telinganya hingga menyadarkannya. Wanita itu mengerjap sejenak, merasakan tubuhnya terbaring nyaman di atas ranjang berukuran besar. Iris matanya yang berwarna biru cerah bergerak-gerak, melihat sekeliling ruangan asing yang ditempatinya saat ini.

Kamar berdesain mewah yang didominasi warna abu-abu, begitu indah namun kaku. Menyadari alunan musik di samping ranjangnya membuat Vanessa segera tersadar lantas beranjak dari posisinya. Ia menoleh, melihat sebuah Iphone seri terbaru yang melantunkan sebuah lagu di atas ranjang. Alunan itu terus berlanjut, membuatnya terpaku dalam diam.


Kerosene in my hands

You make me mad,

I'm fire again

All the pills that you take

Violet, blue, green, red to keep me at arm's length don't––


"Hai,"

Diam-diam Vanessa tersentak ketika sebuah kepala tiba-tiba muncul di ambang pintu, seorang pria bermata biru cerah kini tersenyun canggung ke arahnya. Vanessa menghela napas seraya menunduk, menyadari jika latex dress kesayangan yang melekat di tubuhnya telah diganti oleh sweter pink kebesaran bergambar beruang menggemaskan serta celana olahraga untuk wanita. Tanpa merasa panik atau kebingungan atas nasibnya yang kini berada di dalam kamar orang asing, Vanessa justru mengambil sekotak rokok, terletak di sisi Iphone yang masih melantunkan lagu.

"Ini milikmu?" Tanya Vanessa, terlihat santai.

Kelvin Sigismund, yang masih merasa canggung sekaligus bingung hanya bisa mengangguk. Lantas mulai melangkah memasuki kamar pribadinya. Melihat tubuh pria asing yang mulai muncul dari ambang pintu membuat Vanessa sedikit terkesan. Well, tubuh Kelvin cukup oke. Dan alih-alih merasa takut, Vanessa justru tertantang untuk menyentuhnya.

Well, di lain waktu.

Vanessa segera menyalakan sebatang rokok yang diambilnya secara tidak sopan, lantas mengisapnya lamat-lamat. Pikirannya mendadak berkecamuk oleh bayang wajah Jake serta pertengkaran terakhir di antara mereka. Sementara Kelvin segera menghampirinya seraya meletakkan secangkir teh hangat di atas nakas. Tepat di samping ponsel miliknya yang masih melantunkan lagu kesukaannya. Kelvin memang sengaja menyalakan lagu di ponselnya agar wanita asing yang dibawanya segera tersadar dengan cara yang lembut.

"Di mana ponselku?" alih-alih bertanya soal identitas pria asing yang membawanya, Vanessa kebingungan mencari keberadaan ponselnya.

Kevin berdecak, merasa semakin tertarik melihat wanita berparas dingin dengan warna mata yang mirip dengannya. Pria itu beranjak, mengambil asbak kecil berbahan kaca sekaligus ponsel Vanessa yang ia simpan di lemari hias. Lantas meletakkan kedua benda tersebut di atas tempat tidur. Tanpa ragu, Vanessa mengambil ponselnya dan mengecek notifikasi, batinnya terasa sesak ketika ia sadar bahwa Jake Sandy sama sekali tidak mencarinya.

"Sudah terisi penuh, by the way." gumam Kelvin. Vanessa mengangguk, melirik baterai ponselnya yang telah terisi seratus persen dengan wajah datar.

Hening sejenak, jemari lentik Vanessa  membuang abu rokok yang mulai memanjang ke dalam asbak di sisinya, sementara tangan yang satunya bergerak untuk melempar ponselnya ke atas bantal. Ia lantas menatap Kelvin tanpa rasa canggung, sementara Kelvin membalasnya dengan berani. Dalam hati, pria itu bertanya-tanya akan arti tatapan Vanessa terhadapnya. Ia merasa jika tatapan itu diliputi dengan kehampaan, mati rasa dan sesuatu yang... tragis.

"Jadi," Vanessa mengejutkan Kelvin dengan suaranya, membuyarkan keheningan. Ia meletakkan rokoknya begitu saja di atas asbak lantas berbaring di sisi asbak tersebut. "Sweter milik siapa ini?"

Kelvin menghela napas. Ia melumatkan sebatang rokok milik Vanessa dalam asbak hingga padam lantas meletakkan asbak tersebut ke atas nakas. Sejurus kemudian, ia turut berbaring di sisi Vanessa. Dalam hati ia merasa canggung, namun Vanessa terlihat sangat santai dan tenang. Alih-alih merasa takut karena ia tengah berada di tempat asing. Bahkan Vanessa tidak peduli dengan nama pria asing yang membawanya, sama sekali.

"Itu milik temanku." Jawab Kelvin seraya menatap langit-langit kamarnya. Kini ia dan Vanessa terlentang di atas ranjang yang sama. "Dia juga yang menggantikan pakaianmu."

"Fwb?"

Kelvin mengedikkan bahu. "Seperti itulah."

"Apa dia ada di sini?" Vanessa meraba tubuhnya sendiri, merasakan jika dalamannya pun turut diganti. Dalam hati, wanita itu tidak merasa heran jika Kelvin mempunyai friend with benefit. Karena hanya dengan melihat wajahnya, Vanessa sudah bisa menebak jika Kelvin adalah seorang fuck boy. "Aku ingin berterima kasih."

"Dia sudah pulang."

Hening. Hanya deru napas Kelvin yang sesekali terdengar resah.

"Apa aku masih berada di Paris?"

Kelvin terkekeh. "Tentu saja."

"Kenapa kau membawaku?" bisik Vanessa penuh kehampaan. Iris matanya menatap lurus ke langit-langit ruangan. "Aku bahkan tidak ingat mengapa bisa ada di sini."

"Kau pingsan di sisi jalan dengan latex dress dan jaket bulu yang mencolok." Kelvin terkekeh, lantas mengernyit. "Dan tubuhmu bau sekali. Untung saja temanku mau membersihkan tubuhmu meski dia harus memakai dua lapis masker. Karena aku tidak memiliki pembantu yang cukup seksi untuk membantunya. Kau tahu, aku mandiri."

"Well, temanmu baik sekali." Vanessa mengedikkan bahu. "Benar-benar teman yang... penuh dengan benefit."

Kelvin kembali terkekeh, sementara Vanessa beranjak dari posisinya. Ia mengambil segelas teh hangat yang dibawa Kelvin lantas meminumnya tanpa permisi. Kelvin memerhatikan tingkah wanita itu yang... dingin. Dalam hati ia terus bertanya-tanya, siapa wanita ini sebenarnya? Mengapa ia tidak merasa malu-malu, atau canggung, atau bahkan takut? Gerak tubuhnya begitu santai seakan ia tengah berada di kamarnya sendiri.

"Jadi, siapa namamu?"akhirnya Kelvin memulai.

Vanessa dengan spontan menjawab, "Panggil aku Rose."

"Well, jika kau lapar. Aku telah membuat pasta."

"Sepertinya aku akan pulang."

Kelvin sedikit terkejut. Karena saat Vanessa pingsan, pria itu yakin jika ia telah mengonsumsi alkohol dengan jumlah yang benar-benar banyak dalam keadaan perut yang kosong. Tapi jika dilihat-lihat, wanita itu sama sekali tidak terlihat lapar meski wajahnya benar-benar pucat. Gerak tubuh Vanessa terlihat baik-baik saja. Meski tubuhnya terlihat sangat kurus dan jauh dari kata bugar.

Entah kenapa, Kelvin semakin tertarik karenanya.

"Aku akan membawa dress dan mantelku beserta dalaman. Well, jika pakaianku masih bau, berarti aku membutuhkan kantung untuk membawanya." Kelvin sedikit cemberut melihat Vanessa bangkit sembari membawa ponselnya. "Tentu, kau punya kantung belanjaan atau sejenisnya?"

"Kau bisa menginap jika kau mau. Ini sudah terlalu malam. Well, aku memiliki kamar lain untuk kau tidur."

Melihat raut wajah Kelvin yang terdengar memelas dan begitu jujur, Vanessa menghela napas. Ia mulai berbalik seraya mengibas helai-helai rambutnya yang berantakan, memberikan sensasi tersendiri untuk Kelvin saat melihatnya. Di balik cahaya temaram dari lampu kamar, Vanessa menyeringai. Iris biru terangnya lantas menatap Kelvin dengan penuh misteri.

"Kegelapan adalah temanku."

Kelvin terdiam.

"Jadi, berikan kantungnya sekarang." Vanessa mulai menjelajahi kamar pribadi Kelvin tanpa ragu, mencari-cari pakaiannya. Bahkan ia mulai memasuki kamar mandi. "Ah, di sana rupanya."

Kelvin menghela napas seraya beranjak dari posisinya, lantas terduduk lesu di sisi ranjang. Ia tidak habis pikir dengan tingkah wanita asing itu. Vanessa terlalu dingin, terlalu cepat beradaptasi dan begitu menggoda. Bahkan fwbnya yang bernama Cheryl mengakui itu. Kelvin sempat berasumsi bahwa mungkin saja wanita itu adalah salah satu pelacur di Folie's Pigalle.

Atau mungkin benar.

Karena pesonanya yang begitu abstrak.

"Di mana sepatuku?" Suara Vanessa terdengar menggema di dalam kamar mandi. "Hei, mata biru, kau dengar aku?"

"Aku Kelvin." seru Kelvin seraya meringis, lantas mengedikkan bahu. "Aku tidak ingat apa kau memakai alas kaki."

"WHAT THE––jadi sepatuku tertinggal entah di mana?" terdengar suara helaan napas di dalam kamar mandi. "Oke, aku baik-baik saja. Kau tahu, harganya lumayan."

"Aku akan menggantinya kapan-kapan." balas Kelvin sembari terkekeh. Pria itu beranjak dari atas ranjang. Lantas memberi kantung bekas belanjaan pada Vanessa yang mulai keluar dari kamar mandi dengan barang bawaannya.

"Well, terima kasih." Vanessa mulai berkemas, memasukkan pakaiannya yang kotor ke dalam kantung dan ponselnya pada saku celana. "Pakaian temanmu akan kukirim besok pagi dalam keadaan bersih."

Kelvin menghela napas, "Kurasa kau perlu jaket."

"Aku lebih membutuhkan sandal untuk pulang." Vanessa memutar mata.

Setelah benar-benar berkemas, Kelvin meminjamkan sandal berwarna ungu milik fwbnya yang kebetulan tertinggal. Pria itu sempat memaksa untuk meminjamkan jaketnya, namun Vanessa bersikeras menolak karena terlalu banyak barang yang ia pinjam pada pria asing itu. Setelah berpamitan untuk ke sekian kalinya, ia segera melangkah ke ambang pintu untuk segera pergi. Namun lagi-lagi, langkahnya terinterupsi oleh sesuatu saat Vanessa tidak sengaja melewati meja kerja Kelvin. Wanita itu terpaku melihat agenda kerja beserta memo milik Kelvin yang terpampang di dinding.

"Sudah kubilang, kau membutuhkan jaket––"

"Kau,"

Kelvin mengernyit, melihat Vanessa yang kini terpaku melihat agenda pribadinya. Selama ini, ketika Kelvin membawa pelacur atau wanita-wanita lainnya ke dalam kamarnya, belum pernah ada seorang pun yang menaruh perhatian pada meja kerjanya. Lantas apa yang membuat Vanessa begitu syok? Kelvin mengernyit ketika berpikir bahwa meja kerjanya memang terlihat sangat berantakan.

"Rose––"

"Kau akan ke Washington lusa nanti?"

Bisikan Vanessa membuat Kelvin kebingungan. Dan tak lama kemudian, pria itu mengangguk. Pada saat itu, baik Kelvin maupun Vanessa tidak pernah menyangka bahwa pertemuan mereka membawakan arti atau takdir yang tersembunyi. Terlebih, ketika Vanessa sadar bahwa Kelvin Sigismund ternyata bekerja di perusahaan The Rousseau Corp.


***


Washington D.C


Justin Allard Rousseau menghela napas seraya membenarkan letak kacamatanya yang berminus rendah. Suasana dalam ruang rapat terasa sedikit tegang. Meeting belum juga dimulai karena kolega terpentingnya belum juga datang. Sementara beberapa kolega lain yang ikut berinvestasi telah hadir tepat waktu. Justin tampak gusar beserta kolega lainnya yang tidak sabar menunggu, sementara Dalton sang asisten tengah sibuk menyiapkan beberapa dokumen yang akan dirapatkan.

Hari ini adalah meeting penting terakhir sebelum proyek besar yang melibatkan pemerintahan Amerika dilaksanakan. Justin akan mengubah sedikit citra kota pemerintahan ini menjadi pusat pariwisata yang cukup ikonik seperti Paris. Washington akan membangun monumen baru yang tentu akan menjadi sejarah di masa depan dan kelak akan menggantikan Liberty. Selain itu, Washington akan membangun kawasan perbelanjaan, serta tempat liburan yang tentu akan  menarik perhatian dunia.

Maka Washington memilih Justin sebagai peran utama dari semua proyek ini. Karena pria itu memiliki koneksi besar dengan bisnis dunia serta periklanan. Dan menugaskan William sebagai perwakilan dari kota tersebut. Kerja sama yang Justin rencanakan dengan apik ini bisa menjadi keuntungan dan amunisi di saat yang sama. Namun hari ini, tidak seperti biasanya, William belum juga datang untuk merampungkan rencana selanjutnya. Sudah lebih dari setengah jam pria paruh baya itu menghilang tanpa memberi kabar resmi.

"Dalton," bisik Justin, mulai merasa kesal karena pria tua sialan itu belum juga datang. "Hubungi lagi pihak Pattinson."

Dalton mengangguk, lantas segera menghubungi William untuk ke sekian kalinya. Sementara Justin kembali menghela napasnya. Jika William belum juga datang lima menit ke depan, dengan terpaksa Justin harus membatalkan meeting besar hari ini. Karena Justin pun memiliki jadwal lain padat, belum lagi ia harus mengurus perusahaan pusatnya di Paris meski dalam jarak jauh.

"Permisi."

Suara seorang wanita menginterupsi seluruh orang penting berjas mahal yang tengah menunggu di dalam ruangan itu. Wanita itu adalah Diana, asisten William yang datang dengan wajah panik dan penuh rasa bersalah. Ia pun masuk diikuti eksistensi William, pria paruh baya itu muncul di balik pintu besar yang mulai terbuka. Iris hazel Justin refleks memerhatikan dengan rahang mengeras.

Ada sesuatu yang janggal.

"Maaf atas keterlambatan yang sangat memalukan ini." suara William terdengar lantang di seantero ruangan diikuti Diana yang membungkuk hormat. "Ada insiden kecil yang terjadi."

Untuk sejenak, waktu seakan terhenti. Justin seakan mengecilkan atmosfernya. Mengaburkan eksistensi orang-orang hingga menyisakan dirinya serta tubuh tegap William serta wajah keriputnya yang menyimpan banyak makna. Ada sesuatu yang berbeda dari suaranya yang terdengar dingin, raut wajahnya yang sedikit berubah serta mata teduhnya yang membeku sesaat. Kehangatan dari sosoknya seakan hilang.

Ia tidak bersandiwara.

Justin yakin ada sesuatu yang harus segera ia ketahui. Dan itu berhubungan dengan fakta betapa bajingannya pria paruh baya itu. Setelah mendapat motivasi baru, setelah sembuh dari rasa dukanya, Justin telah kembali pada rencana awal dan merasa menggebu-gebu karenanya. Maka cepat atau lambat, ia harus segera tahu mengenai semuanya. Justin akan membukanya secara paksa. Meski ia harus memecahkannya hingga hancur. Pria itu lantas mengerjap, mulai memainkan perannya kembali.

"Lain kali, beri kami kabar dengan layak." Justin menegakkan posisi duduknya seraya tersenyum penuh formalitas hingga melelehkan hati Diana yang kini terpesona. "Dalton menghubungi Anda lebih dari lima kali."

"Aku benar-benar minta maaf, Tuan Rousseau." William menghela napas. Setelah melihat anggukkan sekilas dari Justin, pria itu pun duduk di kursinya diikuti Diana di sampingnya.

Sejurus kemudian rapat besar pun dimulai. Sepanjang perundingan penting itu, William terlihat sangat kacau. Namun hanya Justin yang dapat menyadarinya meski pria itu yang sibuk menerangkan rencana mengenai proyek selanjutnya. Pesona Justin tampak semakin besar dengan tatapannya yang penuh fokus. Bibirnya yang tipis bergerak-gerak penuh ambisi, membahas proyek besar yang akan menguntungi semua pembisnis yang turut bekerja sama.

Jika wanita-wanita melihat ini, mereka akan meleleh dalam aura ketampanan Justin yang terkesan seksi. Beruntung bagi Diana, wanita berambut hitam yang merupakan asisten William. Ia adalah satu-satunya wanita yang mengikuti rapat ini. Rapat pun terus berlanjut, semua pembisnis yang hadir semakin fokus. Dalton sibuk mengetik kesimpulan akhir rencana untuk realisasi, Justin terus menerangkan, sementara yang lain turut berpendapat dan memberi masukan terakhir untuk proyek tersebut.

Dan semua itu kembali terinterupsi.

Dering ponsel terdengar nyaring. Dan lagi-lagi, semua berasal dari William yang semakin terlihat mencurigakan. Pria bermata biru itu pun beranjak seraya mengangkat tangannya sekilas, memperlihatkan gestur penuh maaf lantas melipir sekilas untuk mengangkat telepon. Sementara Justin menghentikan kegiatannya dengan rahang yang semakin mengeras. CEO termuda di ruangan itu pun kembali mengarahkan iris matanya pada eksistensi William yang kini berbicara penuh bisik. Setitik keringat timbul di dahinya yang dipenuhi kerutan.

Membuat Justin tentu kian curiga.

Justin bersiap melanjutkan rapatnya setelah melihat William mematikan ponsel lantas kembali duduk di kursinya. Namun, saat melihat pria itu berbisik pada asistennya, Justin tahu bahwa rapat hari ini akan kacau dan berantakan. William seakan berubah menjadi pria tua yang tidak stabil. Suasana ruang meeting pun semakin tegang. Justin hampir saja mendengus dan kehilangan kendali, lantas beradu pandang dengan Dalton yang hanya bisa menggeleng pasrah.

"Tuan Rousseau," William berdeham, lagi-lagi menginterupsi. Membuat beberapa kolega lain tampak kesal. "Dengan penuh rasa hormat dan penyesalan, bisakah kita undur rapat ini satu jam ke depan?"

"Keberatan." sahut kolega berjas cokelat berambut pirang. "Aku harus mendatangi kantor lain untuk mengurus sahamku yang bermasalah."

"Yang benar saja, William." balas kolega lainnya yang sebaya dengan William. "Jadwal ini sudah resmi, Anda tidak bisa mengubahnya secepat itu."

"Lagi pula, halangan sebesar apa yang membuat Anda merasa harus meninggalkan rapat ini? Ini rapat besar, Mr.Pattinson." pria berkulit gelap turut menanggapi dengan raut wajah kesal. "Jangan membuang waktu kami."

"Baiklah, cukup." Justin mengangkat tangannya sekilas untuk segera melerai mereka. Kedua matanya mengerjap, ia kembali membenarkan letak kacamatanya lantas menatap William penuh selubung. "Apa urusanmu benar-benar penting, Pattinson?"

"Kepentingan pribadi, Tuan Rousseau. Istriku kritis."

Mendengar jawaban William membuat seluruh pembisnis dalam ruangan itu terkejut, namun tidak dengan Justin yang telah tahu seluk-beluk licik milik pria paruh baya itu. Sebelum ia bisa membuktikannya hingga ke dasar kerak, Justin tidak akan percaya semudah itu. Dan hal ini seakan menjadi kesempatan baginya untuk membuka fakta hingga jelas. Justin akan membukanya secara paksa, meski semuanya harus terpecah menjadi kepingan kecil.

"Kalau begitu Anda boleh pergi."

Jawaban Justin jelas membuat Dalton beserta kolega lainnya lebih terkejut. Karena dalam dunia bisnis, Justin Allard Rousseau adalah CEO yang terkenal dengan kedisiplinan waktunya. Justin pernah memotong saham koleganya menjadi lebih kecil karena mereka datang terlambat saat rapat meski hanya beberapa menit, lalu membatalkan kerja sama besar dengan salah satu pembisnis asal Dubai hanya karena pihak mereka mangkir dalam rapat meski hanya satu hari.

Dan ketika Justin melakukan itu, kerugian akan terus menyelam di bisnis mereka.

"Tuan Rousseau, kurasa itu berlebihan."

"Apa Anda yakin, Mr.Rousseau?"

"Apa kalian mendengarnya?" Justin menepuk mejanya dengan gerakan payah, namun berhasil mengintimidasi para koleganya yang langsung terdiam. "Istrinya kritis. Aku menghargai privasinya karena itu terdengar menyedihkan. Bagimana jika itu menimpa kalian?"

Mereka pun terdiam.

Justin menghela napas, ia melirik Dalton sekilas lantas melanjutkan. "Rapat tetap dilanjutkan tanpa kehadiran William Pattinson. Jadi kalian tidak perlu khawatir soal jadwal. Biarkan asistennya yang menjadi perwakilan."

Hening.

"Apa keputusanku bisa diterima?"

Setelah hening selama beberapa saat, para kolega pun setuju untuk membiarkan William pergi. Lantas, pria paruh baya itu pun segera beranjak dari kursi berbahan kulit yang didudukinya. Iris mata birunya yang diliputi ketenangan semu mulai menatap Justin penuh segan disertai rasa terima kasih.

"Aku sangat berterima kasih atas keputusan Anda, Tuan Rousseau."

Justin mengangguk seraya tersenyum penuh arti. Tatapannya berubah tenang. Diiringi langkah sepatu William yang terketuk dengan terburu-buru meninggalkan ruang rapat. Pria berambut pirang yang tertata dengan rapi dan iris mata hazelnya yang menghanyutkan itu lantas menghela napas untuk ke sekian kalinya. Dan sebelum kembali melanjutkan rapat besarnya yang terus terganggu, ia berbisik pada Dalton.

"Kabari bawahanku." bibir tipis Justin kembali bergerak. "Suruh mereka untuk mengikutinya."

TO BE CONTINUED!

A/N : Marhaban ya Ramadhan semuanya. Mon maaf soal adegan pertama mueheheh itu gue tulis sebelum puasa. Stay safe kalian!

Продолжить чтение

Вам также понравится

6.2K 638 31
c o m p l e t e d ✓ Kim Mingyu [김민규] of Seventeen ft. Chou Tzuyu [周子瑜,쯔위] of Twice 𝐭𝐨𝐱𝐢𝐜 (adj.) very harmful or unpleasant in a pervasive or ins...
863K 42K 40
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
120K 9.6K 86
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
92.1K 10.2K 38
f̶r̶i̶e̶n̶d̶ w̶i̶t̶h̶ b̶e̶n̶e̶f̶i̶t̶? "𝙠𝙖𝙢𝙪 𝙗𝙖𝙞𝙠, 𝙠𝙖𝙢𝙪 𝙥𝙚𝙧𝙝𝙖𝙩𝙞𝙖𝙣. 𝙩𝙖𝙥𝙞, 𝙖𝙠𝙪 𝙞𝙩𝙪 𝙨𝙞𝙖𝙥𝙖?" -кαℓℓα main cast: 𝐤𝐚𝐥�...