AMBISIUS : My Brother's Enemy...

By Karanaga

1.7K 53 2

Suatu hari, kelas Malta kedatangan seorang murid baru super tampan dari San Fransisco yang bernama Austin. Da... More

Book Cover
Tokoh
Prolog
Aku dan Jason yang Menyebalkan
Austin si Anak Baru yang Tampan
Jason Menghilang
Orang Tuaku Menghilang
Aku Menyukai Malta
Rahasia Jason
Pertemuan Austin dan Jason
Kencan dengan Austin?
Aku Membenci Larry
Wanita Berkumis dengan Senyuman Manis
Menonton Film dengan Austin
Rumah Berhantu
Catherine Hamlin
Hari Sial Jack
Hoax
Miami
Larry Holmes (Part 1)
Larry Holmes (Part 2)
Allison James
Pesta Dansa Sekolah
Perpisahan
Surat dari Austin
Epilog

Pertandingan Basket Austin

42 1 0
By Karanaga

[MALTA]

Malam itu aku mengirim pesan kepada Austin untuk meminta penjelasan darinya. Aku merasa bahwa ia benar-benar telah menjauhiku. Biasanya ia selalu menanyai kabarku melalui pesan singkat setiap hari. Namun, beberapa hari terakhir ini, entah mengapa ia tidak melakukannya lagi.

Aku sudah mencoba untuk menghubunginya, tetapi ia tidak menjawab panggilan teleponku. Ia juga tidak menjawab video call-ku. Aku tidak tahu apa yang salah. Jika aku memang bersalah, mengapa tidak bertanya satu hal pun padaku?

Malta: Austin kau kenapa?


Tidak ada balasan.


Malta: Hey... apa kau marah padaku?

Kenapa tidak menjawab panggilan dariku?


Austin: Sudahlah...jangan ganggu aku lagi!


Malta: Jangan mengganggu?

Apa itu mengganggumu?

Aku hanya bertanya saja!


Tidak ada balasan


Aku tidak tahu kenapa ia tiba-tiba marah padaku. Tetapi yang aku tahu, ia mengingatkanku tentang Jason saat sedang marah.

Apakah ini karma? Saat aku dekat dengan Austin, Larry menjauhiku. Begitu pula sebaliknya. Saat aku kembali berteman dengan Larry, Austin menjauhiku. Bukankah itu aneh? Apakah aku tidak bisa dekat dengan keduanya?

Tiba-tiba aku mengingat sesuatu. Austin pernah memberi tahuku tentang pertandingan basketnya yang akan diadakan esok hari, saat hubungan kami masih baik-baik saja. Tim basket sekolah kami akan melawan tim dari sekolah lain. Saat itu ia memintaku untuk mendukungnya. Aku tidak tahu apakah permintaan itu masih berlaku atau tidak, yang pasti aku akan tetap datang.

Aku akan datang ke sana sambil membawa kejutan. Austin pernah memberi tahuku jika ia sangat menyukai tiramisu saat kami pergi ke cafè waktu itu, tetapi karena stoknya habis, ia tidak jadi memesannya.

Sebelum pertandingan dimulai, aku akan membeli tiramisu kesukaannya.


***


Keesokan harinya, aku memutuskan untuk tetap pergi ke sekolah bersama Jason. Lagi pula, aku malas berjalan menuju halte bus. Ia juga tidak terlihat keberatan, walaupun sepanjang perjalanan kami tidak bercengkerama sama sekali. Itu memang cukup sulit, karena biasanya kami sering berdebat di dalam mobil.

"Malta," panggil Jason setelah aku ke luar dari dalam mobil.

Aku terdiam.

"Jaga dirimu," katanya lagi, mengingatkan.

Aku kembali meneruskan langkahku tanpa berbalik untuk melihat wajahnya. Entah mengapa aku melakukan itu. Mungkin aku hanya melampiaskan kekesalanku saja.

Malamnya, Jason pulang cukup larut. Saat aku bertanya, ia tidak menjawabku dengan tulus. Tubuhnya dipenuhi luka dan ia masih sempat berbohong. Ia bilang, ia pergi menjenguk salah satu temannya yang kecelakaan. Lalu di perjalanan, ia tak sengaja terjatuh di jalan karena terburu-buru. Ia bahkan tidak memberi tahuku siapa teman yang ia maksud. Bagaimana bisa aku percaya? Bagaimana bisa ia berpikir jika aku akan memercayainya begitu saja?

Seharusnya aku memberi tahu Jason tentang semua hal yang Larry katakan padaku kemarin sore, tetapi aku takut ia akan menyangkalnya. Buktinya ia belum berkata jujur padaku sama sekali. Jadi, percuma saja jika aku memaksa Jason untuk mengakui dan menjelaskan kejadian yang sebenarnya padaku.

Hari demi hari berlalu. Keadaan menjadi semakin rumit.

Di koridor menuju kelas, aku berpapasan dengan beberapa temanku. Seperti biasa aku menyapa mereka semua, tapi anehnya, mereka mengabaikanku. Tersenyum sedikitpun tidak. Aku berusaha untuk mengabaikannya.

Ketika aku memasuki kelas, aku melihat Austin sudah datang lebih dulu, duduk di bangkunya bersama dengan Hailee. Akhir-akhir ini, setelah aku bertengkar dengan Larry, aku lebih sering duduk di samping Austin. Jadi, seharusnya itu adalah kursi milikku. Tetapi setelah melihat ini, aku tahu bahwa Austin memang tidak berniat untuk duduk di sampingku. Austin tidak pernah suka duduk di samping Hailee. Ia mengakuinya sendiri. Ia pasti begitu membenciku hingga rela mengizinkan Hailee untuk duduk di sampingnya agar aku tidak bisa menempati kursi itu. Aku bahkan tidak tahu kesalahan apa yang telah aku perbuat.

Kemudian, aku melihat ke arah Larry. Ia tersenyum padaku. Aku membalas senyumannya. Aku berniat untuk duduk di sampingnya, tetapi Branton sudah lebih dulu menempati kursi itu. Aku juga tidak mungkin mengusirnya. Aku terpaksa mencari kursi lainnya.

Kanan. Kiri. Depan. Belakang. Semua kursi sudah ditempati.

Tunggu! Di ujung masih tersisa satu kursi yang kosong.

"Tidak mungkin!" Kataku, geleng-geleng kepala.

Kelihatannya, semua anak sudah datang ke kelas lebih dulu. Mereka sudah menempati seluruh kursi yang "aman". Kini hanya tersisa sebuah kursi yang selalu dihindari oleh semua orang. Tidak ada yang berani menempatinya. Begitu pula denganku. Seharusnya masih tersisa satu kursi aman lagi. Entah mengapa jumlah kursi di kelas ini berkurang. Aku tahu persis jumlahnya berkurang. Seseorang pasti sengaja mengurangi jumlah kursinya.

Aku tidak ingin duduk di sampingnya.

Dexter si bau busuk. Begitulah kami memanggilnya. Tidak pernah ada yang tahan untuk berada dekat di sampingnya walau hanya untuk satu menit saja. Kami bahkan tidak tahu penyebab ia bisa begitu bau. Apa mungkin ia tinggal di dalam tong sampah?

Beberapa guru sudah pernah memaksanya untuk mandi di kamar mandi sekolah. Mereka bahkan memperingati kedua orang tuanya. Tetapi tetap saja, setiap kali ia kembali ke sekolah, bau itu juga ikut bersamanya. Persis seperti bayangan. Seluruh keluarganya mungkin tidak terlalu memedulikannya. Sedangkan para guru terlihat sudah menyerah. Lalu, kami harus menanggung semua ini hingga akhir semester. Sepertinya aku akan mengurangi jumlah kelas yang sama dengan Dexter untuk tahun ajaran berikutnya.

Larry berusaha berbicara padaku dengan kode rahasia kami.

"Ada apa? Kenapa tidak duduk?" Katanya dalam kode rahasia.

"Tidak ada kursi yang kosong!" Balasku dalam kode rahasia.

Larry melihat ke sekelilingnya, mungkin berusaha membantuku mencari tempat duduk. Dalam seketika, raut wajahnya tampak berubah. Aku tahu persis bahwa ia memikirkan apa yang aku pikirkan. Ia kembali menatapku.

"Uh oh...kau dalam bencana besar!" Ucapnya masih dalam kode rahasia sambil geleng-geleng kepala.

"Aku tahu," kataku, mengangguk.

"Maafkan aku." Ia mengangkat kedua bahunya.

Aku tahu. Tidak akan ada yang berani bertukar posisi denganku. Sepertinya aku harus menyemprotkan parfum ke dalam lubang hidungku.

Mr. Robert masuk ke dalam kelas, menatapku yang masih berdiri di depan.

"Miss Armchair, apa kau akan tetap berdiri?" Tanyanya.

"Ah...iya. Maaf."

Kelihatannya aku tak punya pilihan lain.

Dengan sangat terpaksa, aku duduk di sebelah Dexter. Semua orang menertawakanku.

"Sshhh...apa yang kalian tertawakan!" Ucap Mr. Robert.

Semua anak kembali terdiam. Austin sibuk mencoret-coret buku tulisnya. Larry sibuk meminta maaf. Aku sibuk menyemprotkan parfum.

"Hey, Malta. Ini pertama kalinya aku mendapat teman sebangku," kata Dexter dengan polosnya. Aku tidak yakin jika ia memiliki hidung.

"Dexter, kapan terakhir kali kau mandi?" Bisikku padanya sambil menjepit kedua lubang hidungku.

"Hmm...entahlah. Biar ku ingat! Hmm...tunggu sebentar. Apa itu mandi?"

Aku menepuk jidatku.

Jika Guinness World Records memasukkan kategori "Manusia Terbau di Dunia", dia pasti sudah menjadi pemenangnya.


***


Siang itu pertandingan basket antar sekolah dilaksanakan. Beberapa anak di sekolah memutuskan untuk menonton pertandingan. Sebagian lagi memilih untuk pulang ke rumah.

Aku mengajak Larry untuk menonton pertandingan bersama, tetapi ia menolak karena memiliki urusan.

Setengah jam yang lalu, aku membeli tiramisu kesukaan Austin sebagai kejutan untuknya. Rencananya, aku ingin mengajaknya makan bersama setelah pertandingan berakhir agar aku bisa meminta penjelasan darinya. Aku harap ini bisa bekerja.

Saat aku sampai di gymnasium, aku sedikit kesulitan untuk menemukan Austin. Tidak ku sangka, banyak sekali murid yang datang untuk melihat pertandingan.

Wajar saja. Kali ini, tim sekolah kami bertanding dengan tim basket dari Columbia High School. Salah satu tim yang dikenal sering memenangkan permainan basket tingkat nasional. Beberapa dari mereka bahkan pernah dilatih oleh pelatih profesional untuk direkrut sebagai pemain baru di salah satu tim yang nantinya akan bermain di NBA. Salah satu liga bola basket paling bergengsi di dunia.

Dari kejauhan, aku dapat melihat Austin dan rekan-rekan satu timnya tengah berbicara dengan pelatih mereka. Tampangnya serius sekali. Semenjak ia terpilih menjadi kapten, ia memang terlihat lebih mementingkan basket dibandingkan nilai pelajarannya.

Beberapa gadis di kursi penonton memegang sebuah spanduk bertuliskan: Semangat Austin! Kau pasti bisa!, sambil meneriaki namanya, membuatku sedikit muak. Wajar saja ia bisa melupakanku dengan cepat, lagi pula ia masih punya banyak pengemar.

Aku memilih untuk duduk di kursi paling ujung. Tempat yang tidak terlalu ramai. Bersama anak-anak dari klub sastra.

Pertandingan sudah berlangsung selama 65 menit. Mataku tetap terfokus kepada Austin yang sedari tadi berhasil memasukkan bola sebanyak 5 kali dalam dua babak.

Tak lama kemudian, pertandingan berakhir dengan skor akhir 110-100. Hebatnya, tim sekolah kamilah yang memenangkan pertandingan kali ini. Kami semua bersorak-sorai kegirangan. Beberapa orang menyanyikan mars sekolah. Lapangan basket dipenuhi konfeti yang berjatuhan, membuat petugas kebersihan kewalahan.

Orang-orang mulai meninggalkan lokasi pertandingan. Saat itu aku menghampiri Austin yang tengah merayakan kemenangannya bersama beberapa temannya.

Sebelum aku sampai, seorang gadis berambut panjang menghampiri Austin lebih dulu. Gadis tersebut memeluk Austin dengan erat lalu memberinya sebotol air minum. Tanpa aku sadari, aku menjatuhkan kantong tiramisu yang ingin aku berikan pada Austin.

Entah mengapa, dadaku terasa pengap. Aku begitu kesal. Hatiku sakit. Aku tidak pernah melihat Austin tersenyum setulus itu. Ia terlihat sangat gembira. Mereka berdua terlihat sangat serasi bersama.

Nampaknya gadis itu menyadari keberadaanku. Ia menatapku dengan heran. Aku merasa malu. Air mata mulai membasahi pipiku. Aku memilih untuk pergi sebelum Austin sempat melihatku.


***


[LARRY]

Seperti yang telah dijanjikan, aku pergi ke Fairgrounds Coffee & Tea untuk menemui Leticia. Aku menyetujuinya hanya untuk memastikan jika ialah orang yang menyimpan sepucuk surat di dalam lokerku.

Setibanya di sana, Leticia melambaikan tangannya padaku. Ternyata ia sudah sampai lebih dulu. Ia bahkan sudah memesankan secangkir latte untukku.

Sebetulnya ini terasa sedikit canggung. Kami hampir tidak pernah berbicara di luar jam sekolah. Aku bahkan tidak tahu apa yang ia ingin katakan padaku.

Untuk beberapa saat, kami berbasa-basi mengenai pelajaran sekolah. Kemudian, berbicara mengenai teman, keluarga, dan hobi yang biasa kami lakukan.

Aku baru tahu jika ayah Leticia dideportasi oleh Otoritas Imigrasi Meksiko setelah ia meninggalkan negara asalnya secara ilegal melalui rute berbahaya yang dikenal dengan sebutan "El Tren de La Muerte" atau Kereta Api Kematian. Ayahnya terpaksa harus tinggal di Meksiko seorang diri dan bekerja di sana. Sedangkan Leticia hanya tinggal bertiga bersama ibu dan adiknya.

Mereka memilih untuk tinggal di negara ini sebagai harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Tetapi seperti yang kita tahu, kehidupan tidak akan pernah berjalan semulus itu. Mereka memerlukan izin tinggal. Jika tidak, mereka semua akan bernasib sama seperti ayahnya. Dideportasi ke negera asal.

Sebelumnya aku selalu berpikir bahwa hidupkulah yang sangat menyedihkan. Bahwa akulah yang paling menderita. Kedua orang tuaku bercerai ketika usiaku baru menginjak 7 tahun. Ayahku memutuskan untuk mengasuhku di kota ini, sedangkan ibuku tinggal di kota lain dan 2 tahun yang lalu, ia menikah lagi.

Ibuku sering memintaku untuk mengunjunginya setiap akhir pekan. Tetapi aku selalu menolak. Aku belum siap untuk melihat kehidupan barunya. Aku takut jika ia tidak menyayangiku lagi.

Beberapa bulan yang lalu, ibuku memberitahuku jika ia sedang mengandung. Ia berpikir bahwa suatu saat aku akan menjadi seorang kakak yang baik. Aku bahkan belum pernah memiliki seorang adik sepanjang hidupku. Bagaimana bisa ia tahu jika aku akan menjadi kakak yang baik? Aku mungkin tidak akan memedulikannya.

Ternyata, jika aku pikir-pikir, kita tidak akan pernah bisa menilai kehidupan seseorang hanya dengan melihat seperti apa penampilannya atau seperti apa kebiasaannya. Mungkin, suatu saat nanti, kita akan bertemu dengan seseorang yang tersenyum kepada kita. Terlihat biasa saja. Terlihat tanpa masalah. Tetapi, tanpa kita ketahui, di dalam hatinya, ia begitu sangat putus asa. Kehilangan harapan. Memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Kita tidak pernah tahu itu, bukan?

Dan kali ini, aku mempelajari hal itu setelah aku bertemu dengan Leticia. Sebelumnya, aku selalu mengira jika ia memiliki kehidupan yang baik-baik saja dan penuh ketenangan. Namun dibalik itu, ia juga menyimpan berbagai macam permasalahan yang mungkin tidak bisa aku hadapi. Dalam beberapa hal, mungkin aku cukup lebih beruntung darinya. Begitu pula sebaliknya.

"Aku ikut sedih mendengar itu. Jika ada masalah, kau tidak perlu sungkan untuk bercerita padaku!" Kata Leticia.

"Kau juga." Aku tersenyum padanya. "Oh, ya. Leticia. Aku ingin menanyakan sesuatu," lanjutku.

"Apa itu?"

"Begini. Beberapa hari yang lalu aku menerima sepucuk surat di dalam lokerku, tetapi ia tidak menuliskan nama pengirimnya. Kebetulan aku juga menerima kertas berisi nomor ponselmu yang kau selipkan dalam buku catatanku. Setelah aku selidiki, ternyata tulisan di kertas itu terlihat persis seperti tulisan dalam surat yang aku terima dalam loker. Jadi, apakah..."

"Iya."

"Hah? Maksudmu?"

"Iya. Akulah yang mengirimkan surat itu untukmu."

"Jadi, kau...apakah isi surat itu benar?"

"Iya. Itulah yang ingin aku katakan hari ini."

"Apa yang ingin kau katakan?"

Leticia menempatkan tangannya di atas tanganku. Ia menatapku dengan begitu serius. Aku mulai merasa gugup.

"Larry, sudah lama aku ingin mengatakan ini. Tetapi aku takut. Jadi, aku menghabiskan banyak waktu untuk mengumpulkan keberanianku."

Tanganku mulai berkeringat.

"Katakan saja!"

Ia terdiam untuk beberapa saat.

"Baiklah. Aku ingin memberi tahumu bahwa aku sudah lama menaruh perasaan padamu. Tetapi aku tahu, kau selalu bersama Malta. Karena itu aku tidak berani mengatakannya. Jadi, apakah kau..."

Aku melepaskan genggamannya.

"Leticia, maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk melukaimu. Tetapi...kau tahu, aku sudah menyukai Malta sejak lama."

"Bukankah Malta sudah bersama dengan Austin?"

"Aku tahu. Bagaimanapun aku tidak bisa melupakannya."

"Apa kau tidak ingin memberikanku kesempatan? Sekali saja!"

"Maaf. Bukannya aku tidak menyukaimu. Aku sangat menyukaimu. Apalagi setelah pembicaraan tadi. Aku sangat senang bisa mengenalmu jauh lebih dalam. Tetapi, aku tidak memiliki perasaan padamu seperti yang kau maksud."

"Oh, begitu ya."

"Tolong jangan marah!"

Leticia tertawa, "Tidak...aku tidak marah. Aku tidak bisa memaksamu untuk menyukaiku. Lagi pula, aku sudah tahu jawaban apa yang akan kau katakan. Aku sudah mempersiapkan segala kemungkinan. Jadi, kau tenang saja!"

"Benarkah?"

"Tentu saja! Tapi, apakah kita masih bisa berteman?"

"Tentu saja! Bahkan menjadi sahabatmu, aku juga tidak keberatan."

"Aku senang sekali mendengarnya. Setidaknya aku sudah mengatakan hal ini. Bebanku terasa berkurang."

Sebetulnya aku merasa sangat tidak enak. Tetapi aku tidak bisa membohongi perasaanku. Walaupun aku sudah merelakan Malta dengan Austin. Bagaimanapun juga, aku masih memiliki hak untuk menyukai Malta. Tidak peduli ia menyukaiku atau tidak.

Jika aku pikir-pikir, bukankah nasibku sama saja seperti Leticia? Mungkin inilah yang Leticia rasakan saat ini. Menyukai seseorang yang menyukai orang lain. Orang itu bahkan tak menyukaiku. Bukankah itu menyakitkan?

"Kapan-kapan, jika ada waktu, kau boleh datang ke rumahku. Atau kita bisa bermain bersama. Jika kau mau," usulku. Aku hanya berusaha untuk sedikit menghiburnya.

"Kau tidak perlu melakukan hal itu. Tetapi baiklah! Jika ada waktu, aku akan datang ke rumahmu."

Saat itu kami tertawa bersama. Aku harap semuanya akan baik-baik saja.

Continue Reading

You'll Also Like

5M 214K 52
On Going ❗ Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
3.5M 166K 62
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...
9.7M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...
527K 87.3K 30
βœ’ λ…Έλ―Ό [ Completed ] Mereka nyata bukan hanya karangan fiksi, mereka diciptakan atau tercipta dengan sendirinya, hidup diluar nalar dan keluar dari huk...