Takut. Itu yang sedang Natasha rasakan saat ini. Dia ketakutan dan tidak mau melepaskan lengan Arman barang sejenak. Bahkan untuk kali pertama dalam hidupnya dia meminta Arman menemaninya ke toilet.
"Saya permisi sebentar," ujar Arman pada salah satu tamu undangan disana.
Arman mengantar Natasha dan tidak marah sedikit pun.
"Apa kamu mau kembali saja?"
Natasha menggeleng kecil.
"Ini acara penting. Kalau kamu langsung pulang begitu saja, apa yang akan dikatakan mereka nanti?"
"Aku tidak peduli. Kalau kamu tidak nyaman, kita bisa kembali saja,"
Natasha berkeras diri. Akhirnya, Natasha masuk ke dalam toilet sementara Arman berdiri di depan sambil memainkan games di ponselnya. Tak lama berselang, Arman merasakan tepukan di bahunya.
"Sudah?" Tanya Arman saat melihat gadisnya sudah kembali.
"Sudah. Ayo!" Ajak Natasha.
Arman menyimpan ponselnya dan menggandeng tangan Natasha dengan erat. Mereka berjalan di koridor hotel itu dengan santai.
"Mr. Dimitra,"
Panggilan itu membuat Arman mengangkat kepalanya dan tersenyum seadanya.
"Mr. Quart,"
"Saya kira anda tidak datang,"
Arman diam saja. Dia melihat arah pandang pria di depannya adalah Natasha.
"Sayang, bisa aku minta tolong," ujar Arman pada Natasha.
"Hm?" Natasha mengangguk kecil.
"Tolong mintakan tisu basah ke resepsionis,"
Natasha tahu Arman hanya membuat alasan agar dia bisa melipir dari pria genit yang tadi sore sudah memandanginya dengan tatapan yang membuatnya takut.
"Mr. Quart, anda tahu kalau apa yang anda lakukan membuat saya tidak nyaman,"
"Ah... maaf, maaf,"
Arman diam saja. Dia menatap pria di depannya yang datang bersama perempuan berbeda.
"Mr. Dimitra,"
Arman menatap pria di depannya tanpa menjawab.
"Apa anda tertarik pada wanita ini?"
"Tidak," Arman menjawab dengan tegas.
"Ayolah, tidak mungkin, kan anda tidak tertarik pada wanita seksi sepertinya? Dia itu model papan atas,"
"Lalu? Apa urusannya dengan saya?"
Pria itu tertawa kecil.
"Bagaimana kalau kita melakukan pertukaran?"
Mata Arman mulai menajam. Tangan kanannya sudah terkepal kuat di balik saku celananya.
"Wanita yang anda bawa itu dengan wanita ini?"
Mata Arman benar-benar menatap tajam pria di depannya namun, bibir Arman menyungingkan senyum miringnya.
"Ah? Bagaimana anda se-"
"Kau pikir sebagus apa sampah milikmu itu?" Ucapan Arman yang tajam itu memotong ucapan pria di depannya.
"Mr. Quart, biar saya tanyakan sesuatu pada anda. Apa yang membuat anda merasa diri anda pantas untuk harta berharga sepertinya?" Arman memulai mengeluarkan kata-kata pedasnya.
"Anda hanya sampah yang berserakan di jalan. Apa anda tahu itu?" Sambung Arman sebelum pria itu sempat berujar.
"Kau! Tidak sopan! Berani sekali kau menghinaku!"
"Siapa yang saya hina? Saya hanya menyampaikan kenyataan," ujar Arman.
Dia melirik Natasha yang masih berdiri di dekat meja resepsionis sebelum kembali berujar.
"Pria yang bermain-main dengan wanita apa lagi wanita itu tidak ada bedanya dengan jalang dan sampah, pria itu sama dengan sampah,"
"Kau!"
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Arman. Arman melirik wanita di dalam pelukan pria di depannya. Arman mendengus kecil.
"Jalangmu itu tidak ada bedanya denganku! Jangan merasa suci kau!"
Arman menajamkan tatapannya dan mengeluarkan aura yang seketika membuat wanita itu terdiam takut. Arman memajukan wajahnya.
"Kau menyebut harta berhargaku dengan jalang? Berani sekali kau! Kau hanya sampah tidak berharga yang menjajakan dirimu pada pria-pria sepertinya demi uang. Dari sisi sebelah mana kau pantas menyebut hartaku dengan ucapan jalang?"
Wanita itu meneguk ludahnya dengan perlahan.
"Di-dia pa-pasti-"
"Dia tidak pernah tidur dengan siapapun!!!" Sentak Arman dengan geraman yang terdengar jelas.
Geraman yang Arman keluarkan membuat wanita dan pria di depannya ini merasa mereka sedang dihadapkan pada amukan dari seekor serigala.
"Jangankan tidur, hanya menyentuh atau memeluk pria lain saja dia tidak pernah!!! Jadi, jangan sekali-kali kau menyebutnya dengan jalang. Karena mulut jalangmu itu tidak pantas menyebutnya begitu!!!" Arman menjauhkan kepalanya dan kembali berdiri dengan tegapnya di depan mereka.
"Kalian berdua sama-sama sampah. Lebih baik kalian pergi saja dari sini sebelum aku berubah pikiran dan menghancurkan kalian,"
Pria di depannya meneguk ludah dengan kasar. Kulit wajahnya memucat.
"Mr. Quart, daripada mengincar "harta" milikku, lebih baik anda mengajari jalang anda agar bertutur kata yang baik. Mulut sampahnya itu membuatku ingin menjejalkan Magnum kesana,"
"Ma-maafkan saya Mr. Dimitra. Saya akan mengajarinya,"
"Bagaimana anda bisa mengajarinya ketika anda sama sampahnya dengan dia? Sebaiknya anda membenahi diri anda sendiri dulu,"
Pria itu menatap Arman dengan raut takutnya. Dia mulai menyesal sudah menyulut api pada Arman.
"Cobalah bersihkan diri anda dari berita yang menjerat anda,"
"A-apa maksud anda Mr. Dimitra?" Tanya pria itu sambil mengusap keringat yang mulai bercucuran di pelipisnya.
"Saya dengar anda pernah telibat kasus pelecehan anak di bawah umur,"
"Ah-hahaha... itu... ha-hanya berita miring,"
"Tentu. Tapi, akan berbeda ceritanya kalau barang bukti ada di meja pengadilan, kan?"
"Sa-saya permisi, Mr. Dimitra,"
Arman menggeser badannya dan membiarkan pria itu melewatinya.
"Sebaiknya anda pikirkan langkah dan perbuatan anda berulang kali kalau anda tidak ingin kasus itu mengakhiri kekayaan anda yang tidak seberapa itu," gumam Arman saat pria itu berada di sampingnya.
Saat pria itu lewat, tangan kanan Arman ditarik lembut dan Arman langsung menoleh. Dia tersenyum kecil dan mengeluarkan tangannya dari saku celananya. Arman meraih pinggang Natasha dan mengecup puncak kepala gadis itu dengan sayang.
Bahkan wanita yang tadi bersama Quart saja tercengang melihat perubahan wajah Arman begitu Natasha datang. Dka Bisa melihat bagaimana Arman sangat menghargai dan menyayangi Natasha. Natasha diperlakukan selayaknya ratu dan harta berharga. Seperti bagaimana Arman memanggil Natasha sebagai Hartanya. Siapa yang tidak akan iri? Ketika dirinya yang menjadi model ternama justru menjadi "mainan" bagi para pengusaha besar, serta diperlakukan layaknya sampah. Natasha yang bisa dibilang hanya gadis biasa diperlakukan layaknya ratu dan harta berharga. Wanita itu menyadari ucapan Arman akan dirinya yang tidak ada bedanya dengan sampah adalah benar adanya. Sekarang bukan rasa bangga namun rasa malu yang sangat besar muncul dalam diri wanita itu.
"Mereka mencarinya lama sekali,"
"Kamu lelah?" Tanya Arman.
"Sedikit. Kakiku sedikit pegal menunggu disana tadi,"
Arman terkekeh kecil. Kekehannya begitu lembut dan membawa nada hangat. Mereka yang tidak pernah melihat bagaimana Arman tanpa Natasha tidak akan percaya jika orang mengatakan Arman adalah orang yang arogan dan dingin.
"Maaf, aku hanya mau membersihkan tanganku saja,"
"Memang tanganmu kenapa?"
"Sedikit berminyak,"
Natasha mencebik dan Arman tertawa kecil. Dia mencubit pelan pipi Natasha.
"Kenapa mencebik begitu?"
"Harusnya kamu tadi cuci tangan di kamar mandi saja. Setidaknya aku tidak perlu berdiri disana lama-lama,"
Arman yang gemas langsung menarik Natasha dan memeluknya.
"Maaf," ujarnya sambil mengecup puncak kepala Natasha.
Natasha mengangguk kecil. Arman melepaskan pelukannya dan merapikan rambut Natasha. Dia mengulurkan tangannya dan mengajak gadis itu kembali bersamanya ke dalam ruang pesta.
Sepanjang pesta itu berlangsung, dan selama Arman bertemu dengan beberapa kliennya, Arman terus merangkul pinggang Natasah dengan erat. Bahkan saat mereka duduk di meja untuk makan. Arman tidak berhenti melirik Natasha sesekali meski dia sedang berbincang dengan rekan bisnisnya.
"Ah!"
Arman menoleh dengan cepat.
"Kenapa?"
Natasha menggeleng kecil. Arman menatap itu dengan curiga. Nyatanya, Natasha hanya tidak enak hari berbicara pada Arman kalau ada sepatu yang menginjak kakinya dengan lumayan keras. Natasha menggenggam garpu kue-nya dengan erat. Mencoba mengalihkan rasa sakit di kakinya ke tangannya.
"Ada apa?" Tanya Arman dengan sangat lembut. Tangan besar Arman bahkan sudah menggenggam tangan Natasha yang sedari tadi memegang garpu dengan erat.
Natasha menggeleng lagi.
"Jangan berbohong! Aku tidak suka kamu berbohong, kamu tahu itu,"
Natasha bingung. Namun saat itu, tanpa dia duga Arman menggeser taplak meja di dekat kakinya dan dengan santainya menyentil kuat kaki yang ada di atas kaki Natasha sampai si pemilik kaki mengaduh kesakitan. Bahkan Natasha yakin, bagian yang Arman sentil pasti akan meninggalkan lebam.
"Kenapa babe?" Tanya pria tampan di meja itu.
Arman sendiri dengan tanpa dosanya malah menggenggam tangan Natasha yang tadi memegang garpu.
"Apa sakit sekali?" Tanya Arman.
Natasha menggeleng.
"Bilang tidak tapi, matamu merah begitu," ujar Arman.
"Apa masalahmu dengan kekasihku nona?!"
Natasha terkejut bukan main. Dia tidak tahu menahu dan malah di bentak sebegitu kerasnya. Di depan Arman dan Harry pula. Ya, Harry beserta istri dan anaknya juga ada dalam acara itu. Lalu, kebetulan mereka berada di satu meja yang sama dan sejak tadi, Harry lah yang berbincang dengan Arman. Sementara sepasang di sebelahnya entah siapa dia, Natasha tidak terlalu kenal.
Pria itu hendak menyentuh bahu Natasha jika saja tangan Arman tidak lebih dulu menangkap pergelangan tangan pria itu.
"Berani anda menyentuhnya, anda akan tahu akibatnya!"