Queen Devil

By novitarch_

623K 7.1K 753

[NEW VERSION] Judul lama : "Willona || The Queen Devil" ---•••--- Kehidupan gelap seorang model dan kebencian... More

• Prolog •
• 1 - Sial •
• 2 - Di Balik Layar •
• 3 - Di Depan Layar •
• 4 - Let's Start This Game? •
• 5 - Peringatan •

• 6 - Early Game •

18.2K 818 87
By novitarch_

Warning!
Di Jessica POV gue saranin bacanya pelan-pelan, atau kali bisa sambil denger instrumen musik yang slow biar lebih menghayati.

Btw, happy reading!

---•••---

"Jack, gimana persiapan di Indonesia?" tanya Willona pada Jack. Saat ini mereka sedang sarapan bersama sebelum melakukan aktivitas masing-masing. Biasanya mereka hanya akan diam dan sibuk dengan makanan masing-masing, yang ada dihadapannya. Namun sepertinya kali ini akan sedikit berbeda ceritanya.

"Udah selesai, lo besok langsung berangkat aja," ucap Jack.

"Dua hari lagi, gue masih ada urusan," ucap Willona. Hal itu membuat Jack mengerutkan keningnya.

"Dia?" tanya Jack yang sudah paham apa urusan Willona. Jika sampai mengundur tanggal ke Indonesia, siapa lagi jika bukan 'dia' yang selama beberapa hari ini terus berteriak kesakitan. Jika seharian di rumah, Jack biasanya mendengar dua sampai tiga kali 'dia' berteriak. Entah apa yang Willona lalukan dengan orang itu, tapi satu yang Jack yakin, Willona menyiksanya perlahan.

Willona mengangguk dengan hal itu, kemudian Willona menyuapkan sesendok makanan pada mulutnya.

"Mau lo apain lagi, Lon? Kayaknya dia juga udah kesiksa deh. Hampir tiap hari gue pasti dengar dia teriak. Ketika gue tanya sama pelayan, katanya ini perintah lo yang suruh mereka surprise dia pake paku, silet, jarum, apa lagi tuh, ular mainan, kalajengking mainan, apalah itu," ucap Jack, dia menghela napasnya.

"Kaki dia juga udah bengkak, di tubuh dia juga banyak plester. Mau lo apain lagi setelah ini?" ucap Jack lagi setelah beberapa saat diam. Hal itu membuat Willona menegakkan kepalanya dan menumpu dagunya dengan kedua tangan dan sikunya yang berada di atas meja. Willona tersenyum miring.

"Lo kasian?" tanya Willona yang membuat Jack langsung meletakkan sendoknya.

"Ya engga lah, cuma ya buat apa siksa dia begitu, langsung ajalah," ucap Jack lalu menyuapkan sesendok makanan yang sempat dia letakkan di piring.

Bisa dibilang jika Jack juga sama seperti Willona, dia tidak memikirkan rasa sakit yang diderita korbannya. Namun meskipun begitu, Jack masih mending jika dibandingkan Willona. Terkadang Jack merasa kasihan jika mengingat apa yang telah dilakukanya, namun setelahnya dapat melupakannya begitu saja, seperti tidak terjadi apa-apa. Jadi semacam ingat sebentar, lalu hilang selamanya.

Mungkin hal itu terjadi karena Jack sudah terbiasa dengan hal semacam itu sejak kecil, jadi hal itu tidak begitu berarti baginya dan dapat melupakannya dengan cepat.

Orang tua Jack dulu adalah salah satu anggota Demon Kings, gangster milik ayah angkat Willona. Jadi sejak kecil Jack sudah mengenal yang namanya pertumpahan darah. Salah satu hal yang membuatnya menjadi seperti sekarang adalah orang tuanya yang meninggal di depan matanya karena melawan salah satu gangster musuh Demon Kings.

Hal itu membuat Jack semakin membulatkan tekadnya untuk melanjutkan perjalanan orang tuanya dan ingin membalas dendam atas kematian kedua orang tuanya. Akhirnya dia memilih bergabung dengan Willona ketika Willona mendirikan Black Diamond, pengganti Demon Kings yang sempat vakum sebulan karena ketuanya meninggal (ayah angkat Willona yang meninggal).

"Gue mau buat dia gila," ucap Willona. Refleks hal itu membuat Jack mengurungkan niatnya yang akan memasukan sesuap makanan pada mulutnya, untuk kedua kalinya. Dia meletakkan kembali sendoknya dalam piring.

"Dibuat gila gimana? Kayaknya dia udah gila lo gituin," ucap Jack. Jack yakin jika mentalnya pasti sedikit terganggu karena trauma dan setiap hari ada saja yang membuatnya lebih trauma. Jack sungguh tidak paham dengan Willona yang suka bermain-main seperti itu.

Tapi kali ini Jack melihatnya berbeda, karena biasanya Willona akan segera melenyapkannya setelah cukup puas bermain-main, namun kali ini akan dibuat hingga gila terlebih dahulu atau dibiarkan hingga gila saja, entahlah Jack tidak terlalu yakin dengan hal itu. Astaga ada-ada saja memang Willona ini.

Tapi Willona merasa jika hal ini adalah suatu kesenangan tersendiri untuknya. Terlebih melakukan hal baru seperti ini, ternyata lebih menyenangkan dibandingkan langsung melenyapkannya. Namun, sebenarnya Willona agak kurang suka dengan waktu yang terlalu panjang seperti ini, dia tidak sabar untuk melihat dan mendengarkan korbannya meminta ampun dan kesakitan di depan matanya. Sial! Willona jadi semakin ingin melenyapkannya sekarang.

"Ntar lo juga tahu. Tugas lo sekarang adalah bawa ayah angkatnya ke ruang bawah tanah. Rencana selanjutnya ntar gue kasih tau," ucap Willona lalu melanjutkan sarapannya, sedangkan Jack menghela napasnya dan mengangguk saja.

Mereka kembali sibuk dengan makanannya masing-masing dan kali ini kembali hening. Namun dibalik hening itu ada orang yang sedang tersenyum miring.

---•••---

"Udah lo urus semua?" tanya Willona pada Jack. Mereka sekarang sedang duduk di sofa dan memainkan ponselnya, sama seperti dirinya. Televisi yang menyala dibiarkan saja dan mereka lebih asik dengan ponsel masing-masing.

"Udah," ucap Jack yang paham Willona bertanya tentang apa. Jack yakin jika Willona pasti bertanya tentang bagaimana tugas yang sudah Willona berikan kepadanya saat sarapan tadi pagi, sudah beres atau belum.

Bisa dibilang Willona baru pulang, karena itu dia belum mengeceknya sendiri. Namun, Willona yakin jika Jack mengatakan hal itu pasti Jack sudah menyelesaikannya dengan baik. Termasuk semua rencana yang sudah Willona susun dan katakan pada Jack.

"Jack, bar," ucap Willona pada Jack yang masih saja sibuk dengan ponselnya.

"Mau ngapain?" ucap Jack. Willona berpikir sejenak, sebenarnya tidak terlalu ingin juga ke bar, hanya ingin menenangkan diri saja dengan minum alkohol, tapi bar juga sepertinya kurang cocok. Astaga mengesalkan.

"Gak jadi deh, repot kalo ada yang ngenalin," ucap Willona. Dia menghembuskan napasnya kasar. Pasalnya berita tentangnya hingga saat ini masih saja dibicarakan, padahal sudah dua minggu berlalu. Astaga Willona sangat pusing dengan hal itu, karena setiap keluar ataupun pemotretan di luar, ada saja wartawan yang lagi-lagi ingin bertanya, mengesalkan saja.

Tapi, untung saja dirinya yang datang ke salah satu kampus tidak begitu mencolok, meskipun beberapa orang sempat mengetagnya di media sosial, tapi hal itu tidak terlalu dibicarakan. Jadi, Willona masih bisa bernapas lega karena tidak ditanyakan para wartawan yang ingin mengorek informasi tentangnya.

"Di rumah aja deh, gue beli bir, gimana?" ucap Jack yang diangguki Willona. Jack bangkit dari duduknya dan segera mengambil kunci mobilnya yang berada di meja.

"Yang enak," ucap Willona sebelum Jack melangkahkan kakinya. Karena hal itu, refleks Jack tertawa lalu menoleh ke arah Willona.

"Bir ya rasanya pahit-pahit gitu, lo kira jus? Ada banyak pilihan rasanya? Atau chocolate drink, kesukaan lo, yang rasanya manis banget? Kalo gitu mending lo gak usah minum bir deh, haha," ucap Jack seraya tertawa, lalu dia melangkahkan kakinya meninggalkan Willona yang selalu bermuka datar. Jika dibilang mengesalkan ya mengesalkan, namun bagaimana lagi. Jack hanya bisa menghela napasnya, dia harus banyak-banyak bersabar dengan hal itu.

"Abis ini, rencana selanjutnya," ucap Willona menghentikan langkah Jack. Jack hanya menunjukkan jempolnya tanda setuju. Pasti Willona ingin bersenang-senang dulu sebelum melakukan game yang sebenarnya.

Willona kembali memainkan ponselnya sambil menunggu Jack pulang dan membawakannya bir. Sekarang sudah cukup malam, jadi Willona sudah bisa bersantai karena tak ada pekerjaan lagi.

Kali ini Willona memang sudah mengambil jadwalnya seperti sebelumnya, jadi bisa dibilang kini Willona kembali pulang malam. Meskipun sebenarnya tidak terlalu larut malam karena hanya sekitar pukul delapan sampai sepuluh malam. Namun yang paling sering sekitar pukul sembilan, seperti hari ini misalnya.

"Arghh."

Willona mendengar teriak kesakitan itu lagi. Bisa dibilang ini adalah permainan Willona yang masih berlanjut sampai sekarang. Permainan mengulur waktu sampai si korban memohon ampun. Namun sampai sekarang dia tidak memohon atau bahkan pergi dari rumahnya. Makanya Willona akan langsung bermain saja, dan ini adalah rencana selanjutnya yang sempat Willona katakan pada Jack.

Setelah bersenang-senang dengan Jack dan bir yang saat ini sedang Jack beli, Willona ingin langsung bermain, karena Willona pikir sudah terlalu lama juga dia mengulur waktu namun si korban tidak sadar juga. Astaga dasar, sepertinya dia lebih milih disiksa perlahan seperti ini.

Willona membiarkan saja dia berteriak, toh teriakannya cukup merdu di telinganya. Namun bagi para pelayan dan asistennya yang lain hal ini sangat menggangu dan juga tidak tega, namun tidak berani berkata apapun.

Tiba-tiba ada pelayan yang membungkuk di depan Willona, hal itu membuat Willona melihatnya dengan tatapan datar, menunggu pelayannya itu mengatakan maksudnya.

"Nona, maaf, Jessica berkata ingin pergi dari sini. Dia bilang dia sudah tidak tahan berada di sini dan ingin pergi saja," ucapnya yang membuat Willona tersenyum miring.

"Katakan padanya, nanti pukul sebelas malam, temui saya di taman belakang," ucap Willona.

"Baik," jawab pelayan itu lalu membungkuk lagi kemudian meninggalkan Willona yang tersenyum miring. Pelayan itu merasa lega karena telah mengatakan hal itu yang sempat terasa sangat berat di tenggorokannya. Ketika akan mengatakan hal itu pun, dia dan temannya yang lain sempat dorong-dorongan karena takut. Akhirnya dia memberanikan diri dan mengatakannya pada Willona.

Willona mengecek ponselnya, ternyata sekarang sudah pukul sepuluh lebih, artinya tidak ada satu jam lagi dia harus segera menjalankan rencananya. Namun hingga saat ini Jack belum pulang dan membawakannya bir. Sepertinya Willona harus melupakan bersenang-senangnya terlebih dahulu dan langsung bermain game yang dibuatnya.

Willona kembali memainkan ponselnya sambil menunggu. Tidak ada raut mengantuk ataupun ingin menguap di wajahnya, malah lebih ke antusias karena akan segera bermain game dengan 'dia', yang tak lain adalah Jessica.

Willona berdecak kesal. Waktu seperti berjalan lebih cepat dan Jack belum juga datang. Willona memilih segera bangkit dan menuju ke taman belakang untuk menunggu Jessica. Willona yakin jika Jessica tidak akan membuatnya menunggu terlalu lama, karena Willona suka orang yang tepat waktu.

Benar saja, baru sekitar lima menit Willona menunggu, Jessica sudah berjalan ke arahnya dengan hati-hati karena kakinya bengkak.

"Maaf Nona Zhia, apa yang kamu inginkan? Kenapa ingin menemui saya di sini dan di jam seperti ini?" ucap Jessica setelah sebelumnya membungkuk.

"Tidak ada, saya hanya ingin menghirup udara segar bersama. Sepertinya beberapa hari ini saya lihat kamu kurang enak badan dan terlebih banyak luka di tubuhmu seperti itu. Tidakkah kau ingin bercerita tentang itu? Mungkin saya bisa membantu,"  ucap Willona. Dia tersenyum manis, lebih ke senyum mengerikan jika terlihat jelas. Namun, di taman belakang ini lampu yang ada hanya dari lampu taman, jadi tidak begitu jelas dan lebih ke remang-remang.

"A-apa saya boleh?" tanya Jessica.

Willona tertawa, "Tentu saja, kenapa tidak?"

Jessica tersenyum, dia mulai menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan luka-luka di tubuhnya. Seperti saat dia yang tiba-tiba terpeleset karena kaget melihat ular mainan berada di dapur, melihat kelajengking mainan sampai gelas yang dipegangnya pecah dan tidak sengaja ketika berdiri dari jatuhnya Jessica menginjak beling pecahan gelasnya, atau karena ada silet di tumpukan bajunya yang membuat tangannya berdarah dan lain sebagainya.

Willona hanya tersenyum miring mendengar hal itu. Semuanya berjalan lancar, asistennya yang lain benar-benar berguna dan mengikuti perintahnya. Tentu saja, konsekuensi yang akan mereka dapatkan lebih lebih dari apa yang mereka lakukan ini, jadi mereka mau tidak mau harus mematuhinya.

"Terima kasih Nona Zhia karena telah mau mendengar cerita saya," ucap Jessica lalu menghapus air matanya yang sempat membasahi pipinya.

"Tidak--" ucap Willona terpotong karena tiba-tiba ada yang membekap mulut Jessica dengan sapu tangan. Setelah melihat siapa yang melakukannya, ternyata dia Jack. Willona segera melihat jam tangannya dan sekarang sudah pukul sebelas lebih empat puluh lima menit.

Willona melihat Jessica yang sudah tidak meronta lagi, sepertinya dia sudah pingsan. Jack menahannya agar tidak jatuh karena memang sedari tadi Willona dan Jessica bercerita sambil berdiri.

"Telat," ucap Willona yang membuat Jack hanya menampilkan giginya.

"Sempat ketemu teman kuliah tadi, Lon, sorry," ucap Jack.

Willona memutar bola matanya malas lalu melangkahkan kakinya meninggalkan Jack.

"Lon tungguin," teriak Jack, lalu dia menggendong Jessica dan membawanya ke tempat rahasia Willona, ruang bawah tanah.

---•••---

Jessica POV

Aku mulai mengerjapkan mataku, rasanya sangat pusing. Namun, ketika aku ingin memijat pelipisku, aku sadar, tanganku terikat dan mulutku dilakban. Aku mencoba melihat ke sekeliling, gelap, bahkan aku tak melihat adanya cahaya di ruangan ini, selain satu lilin yang di dekat ku.

Ruang apa ini? Apa aku diculik? Batinku.

Aku mencoba berteriak minta tolong, namun tak ada hasil, suaraku teredam lakban sialan ini.

Tiba-tiba seseorang menyalakan lampu di ruangan ini, membuat aku mengerjapkan mataku beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke pupil mata ku. Lampu ini tidak terlalu terang, namun juga tidak terlalu gelap. Namun, masih cukup terlihat jelas untuk melihat ke sekeliling.

Aku mulai mengedarkan pandanganku ke segala arah. Tempat ini ... sangat aneh dan mengerikan. Aku menajamkan penglihatan ku lagi, sepertinya aku melihat seseorang dengan baju hitam berdiri di depanku dengan jarak lima meter. Di belakangnya terdapat ... astaga kumpulan tengkorak! Mataku tak berhenti berkedip untuk memastikan jika yang aku lihat salah, namun semakin aku melihatnya, semakin jelas jika itu benar-benar tengkorak.

Astaga, tempat apa ini?

Aku menelan ludah. Apa aku masuk ke sarang monster? Tidak, maksud ku psikopat gila seperti di film-film? Astaga, tidak masuk akal, tapi, tempat ini benar-benar hampir sama seperti di film-film thriller. Namun, aku merasa tempat ini jauh lebih menakutkan dari tempat psikopat gila maupun sarang monster yang ada di film-film.

Aku takut, sungguh. Apalagi ketika aku melihat orang dengan pakaian serba hitam itu masih saja  membelakangi ku dan tak berkutik. Di tangannya ada minuman, sepertinya itu alkohol jenis anggur merah, karena warnanya yang merah seperti darah segar.

Dia mulai membalikkan tubuhnya dan menghadap ke arahku. Seketika aku sangat terkejut. Dia ... aku tahu siapa dia. Ya Tuhan, kenapa aku dipertemukan dengannya? Dia ... Queen Devil, aku dapat mengenalinya dari topeng yang dipakainya. Topeng itu sangat khas karena ada logonya dan aku yakin orang-orang di dunia juga tahu siapa dia hanya dengan melihat logo di topengnya itu.

Dia masih saja diam, padahal keringatku sudah bercucuran. Aku panas dingin hanya dengan mengenalinya, aku takut, sangat takut.

Aku tidak tahu bagaimana bisa aku berada di sini. Ini bahkan lebih mengerikan dari sarang monster ataupun psikopat gila yang ada di film-film. Astaga, apa yang telah aku lakukan sampai bisa berada di sini? Apa aku mengganggu Queen Devil? Tapi, apa yang telah aku lakukan sampai aku mengganggunya? Astaga, aku tidak bisa berpikir jernih karena terlalu takut.

Dia menggerakkan tangannya dan mulai membuka topengnya, astaga aku sangat takut, aku bahkan tidak sanggup melihatnya. Aku menutup mataku rapat-rapat dan aku berharap jika ini hanyalah mimpi.

Tapi sepertinya ini bukan mimpi. Aku tahu ketika dia meletakkan topengnya, ada suara sedikit karena topengnya menyentuh meja dengan perlahan. Hal itu malah membuat ku lebih berdebar dari sebelumnya karena merinding dan takut.

Aku mulai meyakinkan hatiku dan juga meyakinkan diriku sendiri untuk membuka mataku. Perlahan, aku membuka mataku. Aku terkejut siapa yang ada di depanku dengan segelas alkohol di tangannya. Dengan jarak lima meter, dia menatapku datar, namun menusuk, dan itu sangat mengerikkan.

Aku menelan ludahku. Dia ... Nona Zhia, model, idolaku, sekaligus atasanku.

Apakah aku tidak salah lihat? Apa dia benar-benar Nona Zhia? Aku tidak percaya, aku mulai mengedipkan mata ku beberapa kali untuk memastikan jika hal itu salah. Namun, tetap saja yang di depanku itu ... Nona Zhia.

Dia tersenyum, senyum yang baru pertama aku lihat, dan itu senyum mengerikan yang baru pernah aku lihat selama hidupku. Aku semakin merasa detak jantungku berdegup kencang, bahkan lebih dari tadi.

Dia melangkahkan kakinya menuju ke arah ku. Sebelumnya dia telah meletakkan gelas berisi alkoholnya di meja yang di belakangnya berisi pajangan tengkorak lengkap dengan foto orangnya. Aku tahu karena aku dapat melihatnya dengan jelas.

Aku semakin panas dingin dibuatnya. Bahkan langkah kakinya saja membuatku seperti ingin mati. Aku berkeringat, sangat berkeringat, padahal disini lumayan dingin. Apalagi aku hanya menggunakan dress selutut yang sedikit tersingkap karena aku duduk dan di ikat di kursi. Kakiku lemas, ini benar-benar lebih mengerikan dibandingkan menonton film thriller yang pernah aku tonton sebelumnya.

Langkah demi langkahnya menggema di penjuru ruangan ini. Hal itu karena tidak adanya suara di ruangan ini dan itu membuat suasana di dalam ruangan ini semakin mencekam. Keringatku semakin bercucuran.

Kini, dia berdiri tepat di depan ku dengan jarak sekitar satu meter. Aku tidak berani menatap matanya, matanya terlalu tajam, bahkan hanya dengan raut datarnya. Aku menelan ludah berkali-kali. Sepertinya hari ini dan di ruangan ini adalah hari terakhir ku bernapas.

Dia mulai mendekatiku, kemudian dia berjongkok tepat di depanku. Dia tempelkan jari telunjuknya di daguku dan menyuruhku menegakkan kepala. Kini, aku dapat melihat mata hitam kelamnya dari dekat. Sangat mengerikkan, namun aku melihat ada luka didalamnya.

Dia mulai membuka lakban yang ada di mulut ku dengan paksa. Aku ingin berteriak karena sakit, namun aku terlalu takut untuk melakukan hal itu.

Dia kembali tersenyum, membuatku semakin menelan ludah ku. Namun, semakin lama rasanya semakin susah walaupun hanya menelan ludah.  Ku pejamkan mataku karena tidak berani menatapnya.

Tiba-tiba kursi ku seperti di geser olehnya. Refleks aku membuka mataku karena sedikit terkejut. Tapi, kini di depan mataku, ada seseorang yang membuatku semakin terkejut. Dengan jarak dua meter, dia terikat, keadaannya kacau, mukanya babak belur, dan juga dia sepertinya tengah pingsan sekarang. Dia ... ayah angkat ku.

"Ayah," teriakku refleks memanggilnya.

Aku menelan saliva ku. Nona Zhia ... dia berjalan ke arah ayahku. Lagi-lagi suara sepatunya menggema, membuatku semakin panas dingin dan jantungku berdetak kencang. Apa yang akan dilakukannya?

Tunggu, kenapa dia tidak menuju ayahku? Tapi, kemana dia akan pergi? Dia terus melangkahkan kakinya menuju rak di belakang ayahku. Aku tidak tahu yakin apa yang ada di sana, namun sepertinya itu bola mata? Astaga, aku pasti benar-benar berada di sarang monster, namun ini lebih mengerikan!

Aku menelan ludahku lagi. Sudah entah ke berapa, yang pasti rasanya semakin lama aku tidak memiliki air ludah lagi karena sangat sulit menelannya.

Dia ... kembali, dengan laptop di tangannya. Tunggu laptop? Untuk apa? Aku merasakan jantungku lagi-lagi berdetak tidak karuan.

Aku melihatnya meletakkan laptop itu di meja tengah-tengah antara aku dan ayahku. Aku menyerit bingung, untuk apa laptop itu diletakkan di sana?

Dia kembali menempelkan lakban di bibir ku. Aku hanya pasrah karena tidak dapat menepisnya juga. Tanganku terikat sangat kuat, bahkan pergelangan tangan ku sepertinya lecet karena terlalu kuat.

Dia mulai menyalakan laptopnya. Aku menyerit, tidak ada gambar apapun di sana. Hanya ada layar berwarna hitam. Namun, satu menit kemudian, laptop itu mulai menampilkan video ... ayah angkat ku. Itu, video di dimana ayah angkat ku di pukul dan dianiaya sampai pingsan.

Aku menangis. Aku ingin sekali berteriak, "kenapa kau lakukan ini kepada ku dan ayah ku?". Tapi, aku tidak bisa melakukannya karena lakban sialan ini. Lagi-lagi aku hanya bisa menangis melihat video itu. Dia memutarnya berkali-kali untuk ku lihat. Ketika aku menutup mataku, dia akan menamparku, membuat pipiku terasa sangat sakit dan akhirnya aku membuka mataku.

Hal itu terus berlanjut sampai rasanya air mataku hampir habis. Aku lemas, rasanya ingin pingsan karena terlalu lelah menangis. Namun, ketika aku kembali menutup mataku yang hampir pingsan, aku kembali di tampar, membuatku kembali terjaga.

Terus seperti itu sampai aku merasa tenang. Sepertinya aku benar-benar telah pingsan, atau aku mungkin sudah mati?

---•••---

TBC!

KOMEN YA, GIMANA MENURUT KALIAN PART INI?

Jangan lupa vote juga

Thx u

Next ga nih?

Bna, 19:02:21
Novita❤️

Continue Reading

You'll Also Like

30.8K 1.4K 23
Paskibra X PMR Cover by @grandeasy Sebuah kegiatan yang entah bagaimana Tania menganggap itu sebagai takdir. Takdir bahwa dirinya memang ditakdirkan...
86.4K 3.4K 42
Sequel Strong Girl [BISA DI BACA TERPISAH!♡] ALYSHA FLORENCIA GIPATI Siapa tidak kenal pemimpin geng, "HURRICANE" yang terkenal seantero jakarta. Dik...
91.6K 2.2K 13
Laurent Cintia, Siapa sih yg enggak Kenal sama laurent, anak SMA jadi CEO di perusahan bokapnya dan di perusahan nya sendiri,dia terkaya no 1 sedunia...
86.5K 7.4K 51
【 On Going 】 GIRLS Series #1 - - - Blurb: Dia Alexiore, seorang gadis dengan kedinginan melebihi rata-rata tiba-tiba menghembuskan nafas terakhirnya...