[DS#2] Between Me, You and Wo...

By Fionna_yona

905K 54.7K 1.9K

Cerita ini seri kedua dari Dimitra series. menceritakan putra kedua keluarga Dimitra yang berprofesi sebagai... More

Wajib Baca
Prolog
Mr. Gio Armano Kenneth Dimitra
Little Girl
Bingung ๐Ÿ˜ฎ
What I've Done?
Kemarahan Arman
Would You Forgive Me?
Start Falling
Asha
bukan update
Arman's Anger
Atasan Aneh!
Bisa-bisa Jatuh Cinta
Gadis Kesayangan
I'm Right Here
Pretty Boy
Yes, I Would
I'm The Only One
Mempertahankan!
Serigala Betina๐Ÿบ๐Ÿบ
He's Back
Dimitra's Future Daughter-In Law
Give You All Of Me
Like A Child
Malu ๐Ÿ™ˆ
Arman's Promise
He Did It
Have A Nice Dream
Girl's Quarrel
Pencarian Dimulai
Lega
Kemungkinan Terburuk
Aku Janji โœŒ
Tolong Jaga Dia
Keras Kepala
Meminta Penjelasan
Pamit
Heran
Saving Her
Penjelasan
Janji
Meminta Restu?
Sempurna
Calon Menantu Dimitra
Selamat Malam ๐Ÿ˜ด
Apa Aku Pantas?
Like an Alpha ๐Ÿบ
Pantas Saja!
Bad Party
Bad Party, or Not?
Fitting
๐ŸŽŠThe Day๐ŸŽŠ
The Happy Ending? or Not?
Sucker
Sweetness in Ibiza
๐Ÿ›ซ Flight Home ๐Ÿ›ฌ
Sehat-Sehat
Kemurkaan Arman
Tunggu Sebentar
Princess Ella
Ketenangan
A Day With Ella
Welcome To The World
Prahara
Maaf
Jangan Pergi!
Maafkan Aku
Awas Saja!
Baiklah
Remarried
Takut
Selamat Malam๐Ÿ˜ด
Scary Couple
Alvian Sakit
Anak Serigala๐Ÿบ
Kembar Berdebat
Janji Arman
Ketika Si Kembar Berkelahi
Cepat Bangun!
Cepat Sembuh
Pelajaran Kecil ๐Ÿ˜ˆ
Good Daddy
Dimitra's Next Daughter In Law
Insecurity
Like Father Like Son
Like An Angel
The Wise Albern
Terima Kasih (End)
Special Part 1 #1

Pengusiran

8.1K 533 42
By Fionna_yona

Grepp!

Arman terkejut. Badannya tidak terjatuh yang ada justru dia merasakan seseorang menahan badannya dengan memeluknya.

"Apa yang kau lakukan, Arman? Tidak bosan masuk ICU terus, hm?" Ujar sosok yang menangkapnya.

Arman mengangkat kepalanya dan membulatkan matanya dengan cepat. Namun, sedetik kemudian dia kembali meringis kesakitan. Tulang punggungnya terasa sangat sakit. Namun, kakaknya saat ini ada di depannya. Arman tidak mau melewatkan kesempatan dan membiarkan kakaknya pergi lagi.

"K-"

"Ssstt... diamlah!" Sang kakak berujar dengan cepat memotong ucapannya. Sang kakak membaringkan badannya kembali ke atas ranjang rawatnya.

"Arsen,"

Arman melihat kakaknya yang sedang memanggil adik mereka. Lalu, Arsen yang sudah berdiri dan hendak menyuntikkan langsung ke lengannya. Arman yang masih ingin bicara dengan sang kakak pun menggerakkan badannya sebagai tanda protes. Bukannya didengar, sang kakak malah menahan badan Arman agar tetap berbaring di ranjang rawat itu.

"Kalau kau mau bicara denganku, lebih baik kau tidur lebih dulu. Kau pikir aku senang melihatmu kesakitan begitu?"

Arman menurut. Dia membiarkan Arsen menyuntikan obat penenang dan obat pereda nyeri padanya. Dia masih bisa melihat raut khawatir di wajah tegas kakaknya. Arman sejujurnya tidak mau terlelap. Dia mau terus terjaga agar sang kakak tidak pergi kemana pun. Dia tidak mau mengulang kesalahan yang sama pada kakaknya.

Efek obat itu mulai terasa. Arman mulai tidak merasakan sakit lagi, serta dia merasa mengantuk. Mata Arman perlahan terpejam dengan sendirinya.

"Dasar menyebalkan!" Gerutu Arman saat dia terbangun.

Arman melirik jam di ponselnya. Sudah jam tujuh malam. Keluarganya sudah pulang. Sang kakak hanya meninggalkan memo kecil untuknya. Menyuruhnya untuk menurut pada suster dan istirahat.

"Setidaknya kakak sudah kembali,"

.........

"Masih tidur," gumaman itu terdengar samar di telinga Arman.

Arman sedikit tertarik dari alam mimpi saat mendengar itu. Disusul rasa hangat di badannya dan suara air yang mengalir setelahnya. Alhasil, Arman terbangun dari tidurnya. Dia melihat pakaiannya sudah berganti. Arman melirik ke sofa dan menemukan jas berwarna biru gelap.

"Kak?" Panggil Arman dengan ragu.

Arman tidak yakin, sosok yang baru saja membantunya membersihkan badan adalah ayahnya atau kakaknya. Namun sosok yang keluar dari kamar mandi itu membuat Arman merasa lega. Mengingat sejak semalam dia takut kakaknya pergi lagi.

"Kenapa?" Tanya sang kakak.

Arman hanya menatapnya lalu menggeleng pelan. Arman tersenyum dan menatap lega ke arah sang kakak.

"Kamu kenapa senyum-senyum?"

"Tidak,"

"Mau makan?"

"Nanti saja,"

Arman melihat kakaknya mengangguk. Sang kakak duduk di kursi dan menungguinya untuk sejenak. Saat pintu terketuk dari luar, saat itu Ardan berdiri. Ardan mengambil jasnya yang tersampir di sofa. Hal itu membuat Arman penasaran.

"Kakak mau kemana?" Tanya Arman.

"Kerja tentu saja. Memangnya kemana lagi?"

"Tidak menungguiku disini?"

"Tidak. Sudah ada perawat yang menemanimu disini. Lagipula Natasha juga akan datang nanti,"

Arman mengangguk kecil. Ada sedikit perasaan kesal dan kecewa karena kakaknya lebih memilih kerja dibanding merawatnya. Arman menghela kecil saat mendengar suara pintu yang tertutup. Namun, suara langkah kaki membuatnya mengangkat kembali kepalanya yang tadi tertunduk.

"Tidak jadi berangkat?" Tanya Arman saat melihat kakaknya kembali.

"Tidak..."

Arman kembali diam.

"Ada anak serigala yang harus aku jaga atau dia akan melarikan diri lagi nanti,"

"Aku bukan anak serigala, kak,"

Sang kakak hanya diam.

"Kak,"

"Hm?"

"Maafkan aku,"

"Itu-"

"Itu salahku. Jangan bilang itu bukan salahku!"

"Hn,"

Arman menunduk dan menatap jari jemarinya sendiri yang mulai mengurus. Kepalanya memikirkan kalimat apa yang harus dia ucapkan agar tidak menyinggung kakaknya namun bisa menjawab rasa penasarannya.

"Apa papi dan yang lain memarahi kakak?"

"Tidak,"

"Lalu-"

"Aku hanya merasa bersalah padamu,"

"Tapi-"

"Mau dilihat dari sisi mana pun aku adalah penyebab awalnya. Jadi, itu salahku,"

"Jangan menyela ucapanku, kak!"

"Maaf,"

Arman menatap kakaknya.

"Aku minta maaf untuk empat belas tahun lalu,"

Arman melihat kakaknya menghela kecil sebelum tersenyum padanya. Sang kakak mengangkat tangannya dan meletakannya di puncak kepalanya.

"Jangan memikirkannya lagi! Aku sudah bilang itu bukan salahmu ataupun Arsen. Lagi pula, kejadian itu sudah lama berlalu. Aku saja sudah lupa,"

Arman tahu kakaknya berbohong. Mana mungkin sang kakak lupa akan kejadian itu? Bekas lukanya saja, sampai saat ini masih ada disana. Ditambah dengan aksi nekat kakaknya belum lama ini yang membuat luka di kedua pergelangan tangannya semakin meninggalkan bekas yang sangat jelas.

Arman mengangkat kepalanya dan melihat kakaknya masih tersenyum padanya. Senyum sendu dan sekedar formalitas. Arman tidak suka senyum itu. Dia ingin kakaknya tersenyum lepas seperti saat mereka masih kanak-kanak. Suster yang masuk ke dalam membuat Arman dan Ardan berhenti saling menatap.

"Maaf mengganggu, saya mau mengantarkan sarapan anda, tuan,"

"Terima kasih,"

"Satu jam lagi, obatnya akan diantar,"

"Baiklah,"

Suster itu pamit. Ardan membantu Arman memakan sarapannya. Tidak banyak. Memang belakangan ini Arman tidak terlalu suka makanan rumah sakit. Meski Ardan memaksanya, Arman tetap hanya makan sedikit saja.

"Dasar keras kepala,"

"Kak... jangan mengajak berkelahi bisa?"

"Tidak,"

Arman mendengus namun tersenyum. Setidaknya sang kakak tidak lagi memberi jarak pada hubungan mereka. Arman tidak mau lagi dijaraki oleh sebuah tembok tak kasat mata yang membuatnya tidak bisa mendekati kakaknya.

Sekitar satu jam kemudian, suster datang dan menyuntikkan obat untuk Arman.

"Oh iya, terapi anda yang berikutnya akan dilakukan besok, tuan,"

Arman mengangguk. Suster itu pamit. Arman memang menjalani terapi sejak tulang kakinya dinyatakan sembuh. Namun, meski sudah beberapa bulan menjalani terapi, dia tetap tidak bisa berdiri dan berjalan.

'Kalau sudah mencoba terus namun hasilnya sama, sepertinya aku hars melepaskan Natasha. Tidak mungkin aku membiarkan dia bersama dengan pria tidak berguna sepertiku,'

Pikiran Arman mulai berkelana jauh. Dia merasa percuma jika dia menahan Natasha. Di sisi lain, hatinya menolak ide melepaskan Natasha. Lelah berpikir, Arman kembali terlelap.

Arman terbangun saat dia mendengar suara kakak iparnya. Disusul kedatangan Natasha setelahnya. Tak lama setelah itu, dia ditinggalkan berdua dengan Natasha.

"Jadi, kak Ardan sudah datang sejak pagi?"

"Hn,"

"Ada apa lagi? Kamu nampak tidak senang,"

Arman terdiam. Dia memakan suapan yang Natasha berikan padanya. Usai makan, Natasha membiarkan Arman beristirahat.

"Asha,"

"Hm?"

"Apa kamu tidak lelah?"

Pertanyaan itu membuat Natasha mengalihkan pandanganya dari kotak makan menuju ke wajah Arman.

"Maksudmu?" Tanya Natasha.

"Maksudku, apa kamu tidak lelah menemani orang sepertiku?"

"Orang sepertimu? Bagaimana maksudnya?"

"Orang sepertiku. Orang yang tidak berguna,"

"Arman, kamu kenapa?"

Arman diam. Natasha meletakan kotak makan di nakas lalu, dia duduk di tepi ranjang Arman.

"Apa ada yang membuatmu kesal?" Tanya Natasha.

"Jawab jujur, kenapa kamu masih berada disini?"

"Karena aku ingin,"

"Apa yang kamu inginkan? Apa tujuanmu?"

"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti,"

"Kebanyakan perempuan tidak akan mau bertahan di sisi pria tidak berguna sepertiku. Biasanya, alasan mereka bertahan adalah uang. Itukah yang kau inginkan?"

Kening Natasha berkerut dalam.

"Kenapa kamu bilang begitu? Aku saja tidak terpikir kesana,"

"Kalau bukan karena uang, karena apa lagi? Jujur saja padaku, kamu menginginkan uangku, bukan?"

Natasha diam. Tidak mendapat tanggapan dari Natasha membuat Arman tertawa sumbang terkesan merendahkan.

"Benar, kan? Kau hanya ingin uangku saja, kan? Berapa yang kau inginkan? Aku akan memberikannya asal kau tidak datang lagi ke hadapanku,"

Tidak ada jawaban. Arman menoleh dan tertegun saat melihat Natasha tengah menatap dirinya dengan sorot mata tidak percaya serta terluka. Mata gadis itu bahkan berkaca-kaca dan memerah.

"Seperti itukah aku untukmu?" Tanya Natasha dengan suara lirih.

"Memang seperti apa lagi? Itu kenyataannya, kan? Kau hanya butuh uangku. Semua perempuan itu sama. Hanya butuh uang,"

Napas Natasha yang sedikit tercekat itu terdengar oleh Arman. Namun, Natasha memilih berdiri dan merapikan kotak makan yang tadi dia letakan di nakas.

"Kamu mungkin sedang lelah. Istirahatlah, nanti sore aku kesini lagi,"

"Sudah berapa banyak uang perusahaanku yang kau keruk? Apa itu belum cukup? Butuh lebih banyak lagi? Kalau ya, aku akan memberikannya untukmu,"

"Cukup Arman! Cukup!"

"Kenapa? Kau marah? Apa aku menyinggungmu dengan kenyataan itu?"

Ucapan yang sangat menyakitkan itu membuat Natasha tidak tahan. Dia heran kenapa Arman bisa berujar seperti itu padanya. Natasha memilih mengalah. Mungkin, Arman kembali jenuh dengan keadaannya.

"Nanti sore mau aku bawakan makan malam apa?" Tanya Natasha mencoba menghilangkan getar di suaranya.

Arman menoleh ke arah Natasha dan menatap tajam gadis itu. Seketika, Natasha merasa dirinya sudah melakukan kesalahan besar.

"Apa kau sebegitu tidak tahu malunya? Tidakkah kau mengerti maksud dari ucapanku?"

Natasha diam. Dia memejamkan matanya sekilas.

'Tolong jangan katakan hal itu,' batin Natasha berdoa agar Arman tidak mengucapkan hal yang lebih dari itu.

Tapi, permintaannya tidak terkabul.

"Aku tidak membutuhkan perempuan sepertimu! Pergi dan jangan pernah kau tunjukkan wajah tidak tahu malu-mu itu padaku! Kau hanya wanita penjilat yang membutuhkan harta, aku yakin aku akan merangkak naik ke ranjang pria mana pun asal dia kaya raya dan bisa memberimu banyak uang!"

Continue Reading

You'll Also Like

4.5M 192K 49
On Going โ— Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
5.5K 384 104
โ—คโ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ€ข~โ‰โœฟโ‰~โ€ขโ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ—ฅ Siapa sangka jika seseorang yang pernah kau tolak cintanya adalah jodohmu? Mungkinkah dia masih menyimpan rasa padamu dan itulah...
427K 41.7K 120
Dimitra Series yang ketiga Putra ketiga dari keluarga Dimitra yang bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit "Tolong saya..." Sebuah kalimat yang...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

1.7M 88.4K 54
"Walaupun ูˆูŽุงูŽุฎู’ุจูŽุฑููˆุง ุจูุงุณู’ู†ูŽูŠู’ู†ู ุงูŽูˆู’ุจูุงูŽูƒู’ุซูŽุฑูŽ ุนูŽู†ู’ ูˆูŽุงุญูุฏู Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...