Be My Boyfriend (Sequel A New...

By EkaFebi_Malfoy27

40.3K 4.6K 660

[COMPLETED] Saat cinta membuat kupu-kupu menari di perut dan membuat hati berbunga-bunga. Saat cinta membuat... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Epilog
Halo?

Chapter 20

2.1K 191 38
By EkaFebi_Malfoy27

Pemakaman Narcissa, Lucius, Rhea, dan Rose dilakukan kemarin secara bersamaan. Pemakaman yang begitu mencekam dan tak pernah diduga sebelumnya membuat semua pelayat tak bisa menyembunyikan rasa duka mereka.

Lavender dan Hugo yang baru tahu bahwa Rose telah meninggal tak bisa berhenti meraung dan menangis. Terlebih Lavender yang merasa begitu kehilangan hingga akhirnya pingsan beberapa kali.

Suasana duka itu juga menyelimuti Hogwarts dan merambat pula di rumah sakit St Mungo tempat Hermione di rawat.

Hogwarts tidak seperti hari biasanya yang selalu ramai oleh suara, canda, tawa, dan teriakan murid. Hari ini suasana Hogwarts begitu hening. Semua penghuni tetap melakukan kegiatan mereka seperti biasa, hanya saja mereka melakukannya dengan tidak menimbulkan suara yang berlebihan.

Mereka melakukan hal ini untuk menghormati mereka yang berduka. Sebenarnya, hampir semua orang yang mengenal Rhea dan Rose terlihat murung. Wajah mereka terlihat kusut dengan mata yang membengkak dan kantung matanya terlihat makin tebal.

Mereka tentu saja terkejut tentang berita kematian Rhea dan Rose. Semua orang tahu bahwa menjelang malam kedua gadis tersebut masih terlihat ceria, tak ada yang memiliki firasat buruk tentang hal itu.

Sampai saat kemarin pagi berita itu datang, mereka semua hampir tak percaya dengan ucapan Profesor tentang kematian itu. Tak ada angin tak ada hujan, bagaimana mungkin kedua gadis itu menjemput mautnya?

Berita tentang serangan di Malfoy Manor dengan cepat tersebar di seantero Hogwarts yang dibicarakan dari mulut ke mulut. Berita yang kadang dilebih-lebihkan itu membuat James meringis mendengarnya.

Gadisnya...

Rhea dituduh melakukan hal yang sia-sia. Dari gosip yang beredar pengorbanan Rhea untuk melindungi keluarganya adalah kesia-siaan belaka karena pada saat itu auror telah datang untuk menangkap para pembunuh itu.

Katanya, Rhea melakukan hal itu sebagai upaya untuk bunuh diri.

James tahu Rhea terkenal sebagai sosok gadis pendiam yang tak banyak bicara dan tak banyak memiliki teman. Tetapi bukankah gosip --untuk seseorang yang melakukan pengorbanan nyawa demi keluarganya-- itu keterlaluan?

Mereka tak ada di tempat kejadian, lalu bagaimana mungkin mereka dengan mudahnya menuduh dan membicarakan Rhea?

"Jika kalian tidak tahu, tak usah banyak bicara!" bentak James begitu ia mendengar teman seasramanya menggosipkan Rhea.

Salah satu temannya menjawab dengan diselingi tawa renyah. "Rhea sudah mati, bro. Untuk apa kau membelanya?"

Temannya yang lain menjawab. "Lagipula mengapa kau tak bisa diajak bercanda sih? Bukankah James Potter itu--"

James bangkit dan menghentakkan kakinya, lalu ia segera pergi meninggalkan asrama. Jujur, ia tak ingin tahu ucapan mereka selanjutnya. Telinganya telah panas mendengar semua ocehan tak berdasar itu. Yang ia inginkan hanya pergi ke menara astronomi untuk berbicara dengan Rhea yang saat ini telah menjelma menjadi hembusan angin.

***

"Ra?"

Yang dipanggil tak bergeming.

"Ra?" panggil laki-laki itu lagi.

Gadis berambut pirang itu menoleh dengan mata sembabnya.

"Mengapa Ra?"

Apollo mengerjapkan matanya. "Bukankah itu namamu?"

"Aku tahu kau rindu memanggil 'Rhe'."

"Aku cukup waras untuk membedakan yang mana 'Ra' dan 'Rhe'."

Raut wajah Apollo berubah sendu. Lalu setitik air mulai jatuh kepipinya. Berusaha melupakan pun tak akan secepat yang ia pikirkan.

Ternyata sesakit ini rasanya kehilangan.

Apollo berjalan gontai lalu duduk di anak tangga menara astronomi. Lyra menoleh padanya lalu tersenyum sendu untuk beberapa saat.

Jika pertemuan selalu diakhiri dengan perpisahan. Mengapa dari sekian banyak orang di dunia harus dirinya yang mengalami perpisahan seperti ini? Takdir memang senang sekali bercanda.

Takdir juga memiliki hak paten yang tak mungkin di ganggu gugat.

Jika ingin menghujat takdir dan mengubahnya, mana mungkin mereka mampu?

"Aku... Aku mencintai Rhea."

Lagi-lagi Lyra tertawa disela tangisnya.

Harusnya ia sadar diri sejak awal. Ia bukanlah siapa-siapa bagi Apollo, hanya Rhea yang ada di hati lelaki itu. Jika saat ini Rhea masih ada, gadis itu pasti senang karena untuk pertama kalinya ia menang melawan Lyra.

"Seharusnya aku mengatakan hal ini sejak awal..." tutur Apollo terisak.

Lyra segera memeluk Apollo dan membiarkan lelaki itu menangis dipundaknya. Meski hati Lyra sakit mendengarnya, namun untuk kali ini ia tak ingin egois.

Demi Rhea, ia tak ingin egois.

"Aku menyesal Ra..."

"Aku juga." jawab Lyra getir.

Di sisi lain kaki James lemas hingga akhirnya ia jatuh terduduk di dekat anak tangga menara astronomi. Mendengar ucapan Apollo dan Lyra barusan sanggup membuka hatinya kembali merasakan perih.

Dicengkeramnya kemeja yang ia kenakan. Ia berharap dengan begitu bisa sedikit mengurangi rasa perih di hatinya.

Anak pertama pahlawan perang itu merasa sangat hampa. Disini sudah tak ada lagi sosok Rhea yang selalu marah jika James menjahilinya. Bahkan James merindukan bagaimana Rhea menyembunyikan rasa sedihnya dan berkata bahwa ia tak apa. Ia juga merindukan bagaimana dengan tegarnya gadis itu selalu mengalah demi saudari kembarnya.

Apapun yang dilakukan Rhea, James merindukannya.

Jika saja saat itu ia memiliki kepercayaan diri untuk mengatakannya, pasti rasanya tak akan sesakit ini.

Kehilangan di saat kau belum siap akan segalanya...

Tentu membuat hatimu hancur.

Bahkan terlalu sulit untuk merangkainya kembali.

"Rhe, kau dengar 'kan? Semua orang mencintaimu."

***

"Scorp, sudahlah jangan menangis terus. Rose pasti sedih melihatmu." tutur Albus seraya mengelus pundak Scorpius.

Scorpius menoleh dengan wajah datarnya. "Aku tidak menangis."

"Kau memang tidak menangis di luar tapi kau menangis di dalam."

Jawaban Albus sontak membuat Scorpius melotot. Anak lelaki itu memang hanya menangis di Manor saat kejadian itu baru saja terjadi, setelahnya Scorpius berusaha menahan tangisnya. Ia tak ingin terlihat lemah hingga akhirnya ia berhasil menahan tangisnya. Hanya saja, akibat dari semua itu ia jadi sering melamun dan bereskpresi datar.

"Menangislah jika kau mau, tak perlu ditahan. Hal itu justru membuat hatimu makin sakit."

Mereka berdua menoleh untuk melihat siapa yang baru saja buka suara itu.

"Snape?"

Snape hanya melihat kedua anak itu datar lalu ikut duduk di samping mereka.

"Aku tak ingin menangis, Profesor."

"Jika itu keinginanmu maka lakukanlah."

"Lalu jika aku menangis?"

"Berarti kau mengingkari janji yang kau buat sendiri."

Scorpius diam. Ia memikirkan jawaban Snape. Yang dikatakan Snape benar, ini pilihannya dan ia tak ingin mengingkarinya begitu saja.

Sudah cukup Rose yang mengingkari janjinya, ia tak ingin membuat dunia penuh janji palsu seperti ini.

Yah, meski dalam kasus Rose, takdirlah yang bersalah.

"Lalu bisakah aku menyalahkan takdir?"

Snape menoleh lalu menggeleng pelan. "Tak pernah bisa."

"Mengapa?"

"Karena takdir bermain dengan caranya sendiri."

"Lalu bolehkah aku menyesal?" tanya Scorpius lagi, yang membuat Snape dan Albus menaikkan sebelah alisnya.

"Menyesal untuk apa?"

"Karena belum mampu menjadikan Rose kekasihku, seperti janji yang ia buat saat kami berumur enam tahun. Aku menyesal belum bisa mengabulkannya."

Snape tersenyum. "Bahkan sikapmu lebih baik daripada aku yang tak pernah melakukan apapun untuk Lily."

Snape kembali melanjutkan ucapannya seraya mengelus lembut surai Scorpius. "Bukan hanya kau, aku juga menyesal telah menuduh Rose Weasley secara sepihak. Kupikir setelah ia bertemu Draco untuk pertama kalinya, ia akan segera memberitahumu dan mengatakan bahwa Daddymu masih hidup. Nyatanya Rose hanyalah gadis polos yang tak tahu apa-apa. Aku juga berpikir bahwa Rose mungkin telah bersekongkol dengan penjahat itu, tapi nyatanya justru Rose dijadikan umpan untuk menarikmu, agar iblis itu bisa membunuhmu dengan mudah.

Iblis itu menginginkan nyawa semua keluarga Malfoy. Mereka berharap dengan menjadikan Rose umpan dan menyanderanya, kau akan dibuat kebingungan dengan lebih memilih menyelamatkan Daddymu atau sahabatmu. Jika kau menyelamatkan salah satu dari mereka maka kau akan kehilangan yang lain. Begitulah iblis itu membuatmu mati secara perlahan dengan rasa bersalah tak berujung yang selalu melingkupimu.

Draco yang terkadang ingatannya kembali berusaha menghindari Rose. Hal itu ia lakukan untuk menghindarkanmu dari dua pilihan sulit. Meski Daddymu pada saat itu tak ingat tentang apapun, ia berusaha melindungi semua orang yang ia sayangi. Kau tahu, jika seseorang hilang ingatan dan tak mengenal siapapun, entah mengapa hatinya tak bisa lupa. Hatinya akan selalu ingat dimana ia merasa nyaman. Begitulah caranya Draco melindungi keluarganya yang bahkan tak ia ingat satu-persatu. Ia hanya mengikuti suara hatinya."

Albus dan Scorpius tak bergeming setelah mendengar penuturan Snape.

"Maaf karena tak menyelematkan Draco sejak awal. Saat itu aku masih belum yakin, tapi keraguanku itu justru membuat bencana besar ini terjadi. Maaf juga, karena telah menuduh Rose dengan kejam." ucap Snape pada akhirnya.

"Tak perlu meminta maaf. Semua yang kau lakukan tak ada yang sia-sia, Profesor. Balas budimu telah kau lakukan dengan baik." jawab Albus tersenyum.

Untuk pertama kalinya Albus dan Scorpius melihat Snape tersenyum lebar. Bahkan mata Snape terlihat berbinar tak seperti biasanya yang datar.

Snape lalu berkata. "Tak ingin ke St. Mungo Scorp? Jangan buat dirimu sendiri menyesal untuk kedua kalinya."

Scorpius mengangguk mendengarnya.

***

"Jangan menangis. Kau pasti kuat."

Ucapan Draco justru membuat Hermione makin mengeratkan pelukannya. Membenamkan wajahnya diceruk leher Draco dan menghirup aroma mint itu sebanyak-banyaknya. Hermione takut jika esok hari ia tak bisa mencium aroma itu lagi.

Sudah lama Hermione tak mencium aroma tubuh Draco. Ia tak ingin hanya menghirupnya sesaat. Ini begitu sulit.

"Aku akan mati, Drake,"

"Jangan bicara hal seperti itu!" bentak Draco tak suka.

Dilepasnya pelukannya dari Hermione. Wanitanya tampak berantakan, matanya sembab, wajahnya memerah, dan ekspresinya penuh rasa takut.

Tangan Draco telulur untuk menyelipkan anak rambut Hermione yang menutupi wajah cantiknya. Wajah Draco mendekat untuk menatap Hermione lebih intens.

"Kau tak perlu takut. Kita sudah bertemu dan inilah takdir yang digariskan untuk kita."

"Kenyataannya aku akan mati, Drake."

Setitik air jatuh dari mata Draco. Selalu seperti ini. Hidup dengan Hermione harus membuatnya banyak bersabar karena takdir yang tak pernah merestui.

Apa salahnya hingga takdir bertindak begitu kejam?

"Lalu aku bisa apa Mione?! Jika aku bisa membuatmu terus sehat dan hidup apapun akan kulakukan..." jawab Draco putus asa seraya mengguncang tubuh Hermione.

Ini sakit tentu saja. Sangat perih dirasakan dan Draco ingin membuang rasa itu. Nyatanya ia hanya manusia biasa yang tak bisa berbuat banyak.

"Ingatlah bahwa aku akan tetap mencintaimu. Selamanya akan seperti itu." ucap Draco seraya memeluk Hermione lagi.

Lagi-lagi Hermione tak bisa menghentikan tangisnya. Dicengkramnya kemeja Draco dan ia menangis di ceruk leher semuanya.

Tubuhnya semakin sakit. Tiap detik tubuhnya melemah dan ia tak yakin sampai kapan ia bisa merasakan kehangatan tubuh Draco dan menghirup aromanya.

Scorpius dan Lyra yang sudah berada di sana tak bisa berbuat banyak. Mereka hanya mampu melihatnya dibalik pintu. Mereka tak ingin menganggu keduanya, pasti berat untuk semuanya.

"Jika kita terlahir kembali di kehidupan selanjutnya, maukah kau menjadi kekasihku?" tanya Hermione disela tangisnya.

Draco dengan segera mengangguk.

Hermione melanjutkan "Semuanya butuh konsekuensi. Inilah konsekuensi terberat kita untuk kehidupan selanjutnya yang lebih baik. Be my boyfriend, right?"

Pelukan Hermione melemah.

"Bukan hanya kekasihmu, tapi juga suamimu kelak." bisik Draco tepat di telinga Hermione.

Hermione tersenyum lemah mendengarnya.

Kini tangan Hermione telah jatuh ke sisi tubuhnya. Draco tak lagi merasakan pelukan Hermione.

Wanitanya...

Wanitanya telah pergi.

Draco menangis dalam diam melihatnya lalu ia mengecup kening Hermione secara perlahan. "Berjanjilah untuk kembali dikehidupan selanjutnya, sayang."

Dan dibalik pintu Scorpius dan Lyra lagi-lagi merasakan kehampaan yang tak pernah ada ujungnya.

Kehilangan satu orang lagi sosok yang mereka cintai membuat hati mereka kembali hancur.

Bahkan kembalinya takdir baik pun tak akan mudah membuat hati itu terangkai sempurna seperti semula.

Maka takdir mereka yang seperti ini membuat mereka sadar. Bahwa kita baru menyadari kehadiran orang itu ketika ia telah pergi. Pergi untuk selamanya tanpa pernah kembali.

Penyesalan selalu datang diakhir.

Entah mengapa hidup dan takdir selalu seperti itu untuk memberi pelajaran pada manusia yang selalu egois dalam segala hal.

Meski rasa penyesalan itu membuat hidup tak lagi berarti, Scorpius, Lyra, Draco, Snape, James, dan Apollo sadar bahwa mereka yang di atas akan benci melihat orang yang dicintainya terus menyesal.

Menyesal memang wajar dalam setiap kehidupan. Tetapi bukankah lebih baik untuk menghindari penyesalan itu terjadi pada akhirnya?









































END
.
.
.
Ada epilog kok gaes, tenang aja (◕‿◕✿)

Oh iya, fyi nih,

Artemis bilang di chap kemarin kalau dimimpinya ada 3 perempuan yang mati. Nah terus aku baca komen ada yang bilang kalau Cissy nggak dianggep. Itu emang bener, Cissy ga dianggep karena Artemis sendiri ngga kenal sama Narcissa dan Lucius, dia cuma kenal keluarga Malfoy yang keluarga intinya Scorpius (Mom, Dad, and Sis). Jadi si Artemis ini hanya mimpiin orang-orang yang dikenalnya.

So, siap buat epilog?

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 65.4K 96
Highrank πŸ₯‡ #1 Literasi (24 November 2023) #1 Literasi (30 Januari 2024) #3 Artis (31 Januari 2024) #1 Literasi (14 Februari 2024) #3 Artis (14 Fe...
413K 30.6K 40
Romance story🀍 Ada moment ada cerita GxG
YES, DADDY! By

Fanfiction

310K 1.9K 10
Tentang Ola dan Daddy Leon. Tentang hubungan mereka yang di luar batas wajar
587 60 3
"Bagaimana cara menyatakan suka yang berbeda dari yang lain?" Jeon Jungkook, remaja 17 tahun dengan perasaan yang sedang menggebu-gebu. "Jeon Jungkoo...