Be My Boyfriend (Sequel A New...

By EkaFebi_Malfoy27

40K 4.5K 660

[COMPLETED] Saat cinta membuat kupu-kupu menari di perut dan membuat hati berbunga-bunga. Saat cinta membuat... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Epilog
Halo?

Chapter 17

1.4K 196 20
By EkaFebi_Malfoy27

"GRANDMA, GRANDPA!"

"TIDAK, MOM!"

Di dekat jendela tubuh Hermione menggeliat kaku mendengar seruan anak lelakinya. Lidahnya kelu sekali, bahkan untuk melirik saja bola matanya tak sanggup. Tubuhnya seperti terikat tali yang dilapisi kawat berduri.

Sakit.

"Mom!"

Scorpius mengguncang tubuh Hermione. Hermione tak bisa menatap Scorpius, matanya tak mau bergerak dan itu sukses membuat buliran bening keluar dari pelupuk matanya.

Mata Scorpius berbinar melihat reaksi Hermione. Ibunya masih hidup. Ia tak mati. Hanya saja tubuhnya memiliki luka yang sangat banyak hingga membuat kubangan darah di ubin.

"Hermione?" panggil Draco yang sekarang mengikuti Scorpius untuk bersimpuh di dekat tubuh Hermione.

Air mata Hermione mengalir makin deras.

Hanya tangisan tanpa isakan.

"Dad, Mom terkena mantra apa?" tanya Scorpius lirih dengan atensinya yang menatap nanar kubangan darah milik Hermione.

Draco mengikuti arah objek yang dilihat anak lelakinya. Melihat hal itu membuat hati Draco seperti teriris rasanya.

Darah pahlawan perang itu tak seharusnya tumpah seperti ini. Lagi-lagi Draco menyesali semuanya. Menyesali mengapa ia tak ingat akan dirinya sendiri lebih awal untuk menyelamatkan istrinya yang telah mati-matian berjuang melawan sang iblis.

"Mantra yang sama, yang diberikan Harry Potter padaku dulu."

"Paman Harry?"

"Sectumsempra--"

Scorpius menoleh dan mendapati Snape ikut bersimpuh di sampingnya.

Snape menatap Hermione, lalu beralih menatap Scorpius. "--itu mantranya. Lalu crucio, serta beberapa mantra penyerangan lain dan juga beberapa kutukan tak termaafkan."

Meski Scorpius baru memasuki tahun pertamanya, ia cukup paham apa yang diucapkan oleh Snape. Hal itu membuat Scorpius dapat mengambil suatu kesimpulan,

Bahwa pria berjubah itu jelas seseorang yang kejam dan haus akan darah.

Draco menatap Snape lalu memberi isyarat untuk segera menyembuhkan Hermione seperti dulu saat Snape menyembuhkannya. Bisa saja Draco yang menyembuhkannya sendiri, tetapi ia takut gerakan memegang tongkatnya salah yang justru akan berakibat fatal pada tubuh istrinya.

Maklum, sudah bertahun-tahun dirinya tak memegang tongkat sihir dan mengucapkan mantra.

Snape yang menangkap isyarat Draco langsung menyembuhkan Hermione semaksimal mungkin. Ia bukan healer jadi wajar jika hasilnya tak maksimal.

"Apa Mom akan gila nantinya?" ujar Scorpius pada Draco dengan air matanya yang tertahan.

Draco menggeleng pelan. "Mom kuat, ia pasti bisa melawan mantra itu."

"Tapi kudengar bahwa seseorang yang terkena mantra crucio bisa menjadi gila karena rasa sakit yang tak tertahankan itu."

Draco memeluk erat Scorpius. Hanya itu yang bisa dilakukannya untuk menenangkan sang anak yang sejak lahir tak pernah ditemuinya itu. Draco sendiri tak yakin, apa setelah ini Hermione akan baik-baik saja.

Dulu Astoria mengalami komplikasi di dalam tubuhnya karena diserang berbagai mantra oleh iblis itu. Healer tak ada yang bisa menyembuhkannya. Jujur Draco takut jika Hermione mengalami hal yang sama seperti Astoria.

Setelah Snape menyembuhkan Hermione. Tubuh Hermione mulai bisa digerakkan kembali walau masih terasa sangat kaku. Hal pertama yang ia lakukan adalah menoleh untuk melihat dua orang yang begitu ia cintai.

Saat menatap sosok yang selama ini ia rindukan pupil matanya langsung membesar. "Dra--Draco?"

Draco tersenyum pilu. "Ya. Ini aku."

"Be--benar kau Dra--Draco, bukan Jo--John?"

Draco menangis melihat keadaan istrinya. Ia tak bisa berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Semua ini karenanya, keluarganya menderita karena dirinya.

Draco menggigit bibir bawahnya dan mendongak untuk menahan tangisannya. Tetapi hatinya terlalu sakit melihat semuanya hancur seperti ini.

"Aku Draco, Mione. Aku ferret pirang-mu." ujar Draco lirih karena kini tangisannya makin kencang.

Hermione tertawa lirih seraya perlahan-lahan duduk. "Ta--tapi rambutmu hitam. Ferretku ram--rambutnya pirang."

"Akan segera kuhapus pewarna rambut sialan ini!"

Draco memeluk Hermione dengan erat untuk menyalurkan rasa rindu yang selama ini tak tersampaikan. Meski tubuhnya masih sakit akibat beberapa mantra sihir hitam, namun sekarang rasa sakit itu seperti hilang begitu saja hanya karena pelukan Draco.

"Janji ya? Aku ingin sekali melihat rambut pirangmu."

Draco mengangguk.

Baru sejenak Hermione merasa lega, fokusnya langsung terarah pada tubuh Lucius dan Narcissa yang sejak tadi tak bergerak. Rhea dan Lyra menoleh lalu menggeleng pelan pada Hermione, menandakan bahwa kedua mertuanya tak selamat.

"Lucius dan Narcissa--"

Draco makin mengencangkan pelukannya pada Hermione. "Mereka tak selamat."

"Kutukan langsung?"

"Ya."

"SIALAN!"

Hermione langsung melepaskan pelukan Draco lalu berdiri tertatih-tatih. Dibukanya semua gorden dan jendela di lantai dua Manor seperti orang kesetanan. Ia berteriak histeris seraya menangis tanpa henti.

"Keluar kau sialan! Apa maumu?!"

"BUNUH SAJA AKU JIKA ITU MAUMU! JANGAN SAKITI KELUARGAKU SIALAN!" lanjut Hermione penuh amarah.

Draco langsung berlari dengan kedua kakinya yang telah sehat menuju ke arah Hermione, lalu memeluknya dari belakang. "Hermione, cukup!"

"Iblis itu mengingkari janjinya..."  lirih Hermione.

"Profesor, Mom tidak akan gila kan?" tanya Scorpius pada Snape untuk memastikan apakah jawaban Draco sama dengan jawaban Snape. Anak lelaki itu masih saja menangis melihat keadaan Ibunya yang semakin berantakan.

Rose dan Albus yang berada di sisi Scorpius berusaha menenangkan sahabatnya. Snape yang melihat keadaan Scorpius tak jauh berbeda dari kedua orang tuanya hanya bisa menghela nafas lalu menepuk pundak anak itu.

"Kau tahu bukan bahwa Hermione Granger itu pahlawan perang?"

Scorpius mengangguk.

"Kau pikir pahlawan perang akan kalah begitu saja tanpa perlawanan?"

Scorpius menggeleng. Lalu ia mendongak untuk menatap Snape yang kini sedang menatapnya dengan intens.

"Hermione hanya sedang marah. Marah untuk melindungi orang yang ia cintai."

Tatapan dan ucapan Snape yang sarat akan makna sukses membuat Scorpius kembali berpikiran positif.

Setelah berhasil menenangkan Scorpius, Snape menuju kearah tubuh Lucius dan Narcissa yang telah dingin. Melihat keadaan keduanya dan Hermione membuat Snape semakin gelisah.

"Kau yakin sudah memberitahu Apollo tentang hal ini?" tanya Snape pada Lyra untuk memastikan.

Lyra mengangguk. "Setelah kau perintahkan, aku langsung memberitahu Apollo."

"Memberitahu Apollo?" tanya Rhea yang tak tahu menahu bahwa Apollo terlibat dalam hal ini.

James mengangguk untuk menyetujui ucapan Rhea. "Untuk apa melibatkan Apollo dalam hal ini?"

Snape menjawab dengan suara datarnya, seperti biasa. "Aku sudah memperhitungkan semuanya sejak awal. Aku menyuruh Lyra untuk memberitahu Apollo akan hal ini lalu Apollo akan memberitahu Profesor McGonagall. Sehingga nantinya Profesor McGonagall akan langsung menghubungi Kementrian agar dikirimkan Auror untuk melindungi kita jika ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Kau tahu bukan bahwa penjahat ini berbahaya? Tak baik jika kita bergerak sendiri."

"Hanya saja, sampai sekarang para Auror belum kemari. Aku takut kalau Apollo melupakan perintah ini." lanjut Lyra yang sama gelisahnya dengan Snape.

"Mengapa tak dari awal kau ceritakan kecurigaanmu pada Profesor McGonagall?" sanggah Rhea pada Snape seraya menghapus bekas air matanya akibat menangisi Nenek-Kakeknya yang sejak dulu selalu menjaganya penuh kasih. Meski begitu ia tetap bersyukur bahwa Hermione selamat meski tubuhnya mungkin saja merasakan sakit yang teramat sangat.

Snape menghelas nafasnya.

"Aku tak ingin melibatkannya dalam hal seperti ini. Sudah cukup dulu ia kerepotan karenaku."

"Balas budi? Menolong keluarga Malfoy dan kami semua untuk balas budi, begitukah Profesor?" tanya James yang langsung bisa membaca raut wajah Snape.

Snape kembali memasang wajah datarnya. "Begitulah. Tapi kurasa Rose--"

Ucapan Snape tersendat dan itu sukses membuat ketiga orang yang berada disana merasa janggal.

"Ada apa dengan Rose?" tanya mereka bersamaan.

Belum sempat Snape menjawab, teriakan Hermione telah mampu membuat semua orang disana menatapnya.

"FIDELIUS! YA, IBLIS ITU TIDAK KABUR DENGAN APPARATE. IA MASIH DISINI, MENYEMBUNYIKAN DIRINYA SENDIRI!"

Suara tawa langsung terdengar keras. Di tengah ruangan secara perlahan iblis itu muncul seraya mengacungkan tongkat sihirnya tepat di leher Apollo. Membuat semua orang disana kaget melihatnya.

"APOLLO!" pekik Lyra yang tak menyangka akan kejadian ini.

James berpaling lalu menatap Snape. "Profesor--?"

Snape mematung di tempat. "Ini diluar perhitunganku."

"Wah, wah, ternyata si Mudblood ini masih memiliki kecerdasannya ya?" ujar sosok itu penuh kemenangan.

Hermione ingin sekali mencakar wajah iblis itu, hanya saja Draco menahannya dari tadi dan berkata bahwa melawannya sendiri sama saja dengan bunuh diri.

"Malfoy, bagaimana, sudah senang berkumpul dengan keluargamu lagi?"

"F*ck!" umpat Draco yang tak tahan dengan tawa menjijikkan mantan sahabatnya itu.

"Wah iya, aku lupa bahwa Lucius dan Narcissa sudah mati. Bagaimana jika ditambah Helena dan Richard? Pasti akan menjadi pertunjukan yang bagus bukan?"

"Kau benar-benar pendosa!"

Iblis itu tak menghiraukan teriakan Hermione, ia justru menoleh dan memfokuskan pandangannya pada Snape.

"Snape, aku jauh lebih cerdas darimu. Untuk apa sih membantu orang lain mendapatkan kebahagiaan mereka kalau hidupmu sendiri sejak dulu tak pernah bahagia?"

"Aku akan bahagia jika aku berhasil membantu mereka!" ujar Snape seraya berlari menuju sosok itu dengan mengacungkan tongkat sihirnya.

Melihat Snape semakin mendekat kearahnya, sosok itu semakin menguatkan cengkramannya pada tubuh Apollo. Akibat perbuatannya Apollo merintih kesakitan.

"Ingin melihatku menghabisi anak tak berdosa ini, Snape?"

Snape berhenti membuat sosok itu kembali tertawa nyaring.

"Profesor, bukankah mengorbankan satu nyawa lebih baik untuk melindungi semuanya?" tanya Apollo seraya menahan rasa sakit yang kini dideritanya.

Meski merasa sesak, anak lelaki itu tetap melanjutkan ucapannya, "Anggap saja ini bentuk balas budiku pada keluarga Malfoy yang telah menyelamatkan saudari kembarku, Artemis."

"Persetan dengan balas budi!" teriak Draco yang kini tak bisa lagi menahan amarahnya. Kali ini ia tak akan membiarkan orang tak bersalah menjadi korban akan kekejaman iblis itu.

Snape buka suara. "Kalau bisa akan kulakukan. Hanya saja aku tak ingin seumur hidup merasa bersalah--"

"--itu sama saja membunuh dirimu sendiri secara perlahan."

Bukan Snape yang meneruskan ucapannya. Tetapi Hermione dan Draco-lah yang meneruskannya secara bersamaan.














Tbc

⊙︿⊙

Continue Reading

You'll Also Like

72.7K 7.9K 16
; 4 tuan muda bersaudara On going
430K 8.1K 13
Shut, diem-diem aja ya. Frontal & 18/21+ area. Homophobic, sensitif harshwords DNI.
64K 8.1K 66
Tinggal dalam satu atap, berbagi kehangatan keluarga satu sama lain selama hampir seumur hidup. Bagaimana kisah mereka? ~Complicated Feeling~ Hidup b...
377K 4.1K 83
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...