Menunggu. Pasti satu kata itu akan membuat semua orang merasa jengah. Itu juga yang sedang Arman lakukan saat ini. Menunggu di depan pagar sekolah. Sudah setengah jam dan dia masih belum menemukan adiknya keluar dari gedung sekolah itu.
"Lama sekali. Kemana dia sebenarnya?" Gumam Arman sambil melirik jam tangannya berkali-kali.
Arman turun dari mobilnya. Dia berjalan masuk ke dalam sekolah itu. Meski harus menerima banyak tatapan memuja yang terarah kepadanya, Arman melanjutkan langkahnya dan menemukan sosok yang dicarinya sedang berjalan dan dengan tangan membawa beberapa buku pelajarannya.
"Eh?" Pekikkan bernada heran itu terdengar di telinganya.
"Kamu lama. Papi sudah menunggu di kantornya,"
"Ish! Kakak! Aku kaget tahu,"
"Maaf. Ayo cepat!"
"Aduh! Buru-buru sekali sih? Memangnya ada siapa lagi disana? Paling juga cuma papi, kakak sama kak Arsen,"
Arman terkekeh. Dia mengusap puncak kepala Alesha. Dia menunduk dan mendekatkan bibirnya ke telinganya Alesha.
"Kakak sudah pulang. Dia sampai kemarin malam,"
Arman kembali berdiri. Arman melirik adiknya dengan senyum tipis di bibirnya. Arman melihat kening adiknya mengerut dalam. Arman terkejut saat adiknya memekik dan melompat ke pelukannya.
"Serius kak?"
"Hn. Aku serius. Karena itu ayo cepat!"
"Baiklah,"
Arman mengambil alih buku pelajaran adiknya. Dia meraih bahu adiknya dan berjalan bersama adik bungsunya itu. Arman tidak heran melihat adiknya menyapa supirnya. Arman memilih diam saja.
Sepanjang perjalanan, dia melihat Alesha terus merapikan rambut dan penampilannya. Jujur saja, hal itu membuat Arman terkekeh geli.
"Jangan tertawa kakak!"
"Habis kamu ada-ada saja,"
Alesha cemberut namun, tangannya mengulurkan sisir dan karet rambutnya ke arah Arman. Arman terkejut sesaat sebelum mengambil kedua hal itu. Dia mulai menyisir rambut adiknya saat anak itu membalikkan badannya.
"Kamu itu mau bertemu kakakmu sendiri, bukan bertemu kekasihmu,"
"Tetap saja kak,"
"Kakak tidak akan mengomentarimu meski penampilanmu berantakan sekali pun,"
"Kak..."
"Kamu adik kesayangannya, Alesha. Hanya kamu yang bisa berbincang dan menghubunginya selama dua tahun belakangan ini,"
Arman melihat adiknya terdiam. Arman menyelesaikan kegiatannya dengan mengikatkan karet di pergelangan tangannya ke rambut adiknya.
"Sudah," ujar Arman.
Alesha berbalik. Arman mengembalikan sisir milik adiknya. Alesha sendiri memeluk Arman dan mengecup pipi kiri Arman.
"Terima kasih kakak,"
"Hn,"
Arman mengalihkan pandangannya keluar jendela. Arman hampir terlelap jika Alesha tidak memanggilnya.
"Ya?"
"Besok Alesha ada acara sekolah. Kakak datang ya?"
"Besok?"
Alesha mengangguk dengan sangat cepat.
"Kakak tidak janji. Nanti kakak lihat jadwal kakak di tempat Natasha dulu,"
Arman melihat adiknya menundukkan kepalanya. Arman hanya diam saja. Dia mengeluarkan ponselnya dan meminta Natasha memindahkan jadwalnya ke hari senin.
"Kalau..."
Arman menoleh.
"Kalau kakak datang, ajak kak Natasha,"
Arman hanya menjawab dengan senyuman. Arman membiarkan adiknya cemberut. Bahkan saat mereka sampai, sang adik hanya berjalan dan meninggalkannya bersama tas juga buku-buku anak itu. Arman terkekeh kecil dengan tingkah adiknya.
"Mau saya bantu, tuan?" Tawar Bian.
"Tidak usah, Bi. Biar saya bawa sendiri saja,"
Bian mengangguk. Arman berjalan masuk. Dia melangkah menuju ruangan ayahnya. Saat dia sampai disana, adiknya tidak ada di ruangan itu. Sepertinya dia masuk ke dalam kamar istirahat.
"Kakak sudah datang, pi?"
"Dari tadi. Dia sedang tidur di kamar itu,"
"Hmm..."
"Kakak benar-benar ke Sydney kemarin?"
"Ya. Setelah acara ibumu, dia pergi ke Sydney. Baru kembali tadi malam,"
"Oh,"
Arman duduk diam di ruangan ayahnya untuk sesaat sebelum dia mengingat ada hal yang ingin dia bicarakan dengan ayahnya. Arman menanyakan banyak hal tentang perusahaan mereka yang besar itu. Alesha yang tadi hendak keluar menjadi urung dan memilih diam di sebelah kakak sulungnya yang sedang tidur saja.
"Pi,"
Panggilan itu membuat Arman dan sang ayah mengangkat kepala mereka. Mereka melihat Arsen disana dengan kemeja yang sudah mulai kusut.
"Eh kak, sudah lama?"
"Lumayan,"
Arman melihat Arsen duduk di sofa. Arman menyudahi pertanyaan-pertanyaannya pada sang ayah. Dia ikut duduk di sebelah adiknya. Tak lama, kakaknya keluar bersama adik bungsu mereka.
"Ada apa papi memanggil kami kesini?"
Begitu mengetahui maksud ayah mereka. Arman dan kedua kembarannya memilih berdebat kusir dengan ayah mereka. Dan untuk urusan itu juga, Arman harus rela mengurus perusahaan yang sebesar gajah itu dengan usahanya sendiri. Kakak dan adik kembarnya tidak ada yang mau mengambil itu.
"Ya sudah. Arman pulang dulu kalau begitu,"
"Pulang?" Tanya Alvaro.
"Iya. Mau menjemput Asha dulu,"
Alvaro mengangguk. Memang Arman menjadi lebih overprotective pada Natasha setelah kejadian buruk itu terjadi. Arman benar-benar menyingkirkan orang yang sudah hampir melecehkan Natasha dengan tangannya sendiri. Menghabisi Ronald dan membuang mayatnya ke tengah hutan.
Arman pamit pada adik bungsunya, pada ayahnya dan pada dua kembarannya. Dia melangkah keluar dari ruangan itu dan terkejut saat melihat Natasha sudah berdiri di depan ruangan ayahnya.
"Sudah pulang?" Tanya Arman.
Natasha mengangguk kecil.
"Aku meminta Bian menjemput tadi,"
"Hn,"
Tak butuh waktu lama sampai bahu Arman terdorong oleh adik kembarnya sendiri. Arsen kini sudah berdiri di depan Natasha dan menggoda gadis itu. Natasha hanya menaikan sebelah alisnya. Arsen menggodanya dengan candaannya yang agak mesum. Saat godaan Arsen melewati batas dan membuat Natasha gemetar ketakutan, Arman menjitak kepala Arsen.
"Aduh!"
"Jangan mengganggu gadisku!"
Arman meraih pinggang Natasha. Dia melingkarkan lengan kekarnya di pinggang ramping itu.
"Tidak apa, honey," gumam Arman.
Natasha tidak mengatakan apapun. Dia hanya menyandarkan kepalanya di dada Arman. Tangannya saling meremas satu sama lain. Arman menggenggam kedua tangan itu dengan tangan besarnya. Dia mengusap tangan itu dengan lembut.
"Tidak apa. Dia hanya Arsen. Kamu bisa menendangnya lagi kalau kamu mau. Dia tidak akan melakukan hal bodoh lagi,"
Arsen mengerutkan keningnya. Begitu pula Ardan. Sebab seingatnya, Natasha yang beberapa bulan lalu bertemu dirinya di kantor cabang tidak seperti ini. Alvaro menepuk bahu kedua putranya dan mengajak mereka berdua masuk. Arman masih mengusap tangan Natasha.
Arman melepaskan pelukannya dan mengangkat badan Natasha untuk duduk di atas meja sekretaris ayahnya. Arman merunduk dan mengusap pipi Natasha.
"Tidak apa. Aku sudah janji akan melindungimu, kan?"
Natasha mengangguk.
"Dengarkan aku, honey. Itu Arsen. Separah apapun dia, dia tidak akan melakukan hal jahat padamu. Percaya padaku, okey?"
Natasha mengangguk.
"Kamu bisa memarahinya atau menendangnya lagi. Dia akan langsung berhenti,"
Natasha kembali mengangguk.
"Tendanganmu itu cukup kuat, honey. Dia akan kesakitan dan berhenti menggodamu. Asal, jangan tendang dia di bagian yang sama lagi! Aku takut dia impoten nanti, kalau kamu menendangnya 'disana' lagi," ujar Arman.
Natasha terkekeh kecil. Arman tersenyum melihatnya. Dia bahkan diam saja saat tangan Natasha memukul bahunya.
"Mesum,"
Arman menegakkan badannya dan memeluk Natasha. Dia mencium puncak kepala gadisnya dengan sayang.
"Mesum tapi, kamu suka, kan? Aku tudak pernah lebih mesum dari ucapanku,"
Natasha terkekeh geli. Arman tersenyum mendengar tawa itu keluar dari bibir gadisnya.
"Oh iya, Alesha ada acara besok,"
"Sudah aku rapikan jadwalmu,"
"Besok kamu ikut juga, ya?"
"Loh?"
"Alesha yang meminta. Aku bisa apa?"
Natasha terkekeh lagi. Dia mengangguk. Arman menggeser badannya. Dia membiarkan Natasha turun dari meja itu dan berdiri di sebelahnya. Arman mengulurkan tangannya ke arah Natasha dan tangan itu langsung di genggam kuat oleh Natasha. Arman berjalan menuju lift.
"Aku numpang makan di apartment-mu, ya?" Pinta Arman.
"Apartment-mu, Gio. Itu milikmu,"
"Tidak. Itu sudah jadi punyamu. Aku mau kamu tinggal disana. Tidak ada penolakan. Apartment itu sudah menjadi milikmu!"
"Dasar Arogan!" Cibir Natasha.
"Memang. Karena itu jangan menentangku,"
"Kau menyebalkan,"
"Terima kasih,"
"Itu bukan pujian, Gio!"
"Aku tahu,"
Natasha mencebik. Dia bersedekap dan mendengus.
"Aku membencimu, Gio!"
"Aku juga mencintamu, honey,"
"Ish!"
Natasha memukul-mukul lengan Arman. Arman terkekeh. Dia senang, gadisnya tidak lagi bersedih dan ketakutan. Arman menangkap kedua tangan Natasha. Dia mendekatkan wajahnya. Dia melihat wajah Natasha sudah mulai merona. Arman tersenyum dan wajah Natasha semakin memerah. Arman semakin mendekatkan wajahnya. Natasha menutup matanya. Sedikit lagi....
Ting!
Dentingan lift membuat Arman menarik diri dan Natasha membuka matanya. Natasha mendesah lega dan menunduk saat banyak orang yang masuk ke dalam lift itu. Arman menarik pinggang Natasha untuk semakin mendekat ke arahnya. Natasha sendiri merasakan jantungnya berdetak dengan cepat.
'Ya Tuhan, aku malu! Apa yang hampir aku dan Gio lakukan tadi?'