Right Eye

By Catsummoner

916 67 45

Dia cukup beruntung terlahir di negara yang aman dan relatif damai dalam Plate buatan. Dia juga dibesarkan da... More

Prakatanya Prakash
Sebuah Serangan
Ibunda
4 Sekawan
Perkumpulan
Keputusan
Pertemuan Pertama
Gerbang Masuk
Sweet Punishment
Ruby Vines
Forbidden Room
Stranger from Faraway (1)
Stranger from Faraway (2)
Bitter Sip
Colloquium

Fragrant Orchid

19 2 0
By Catsummoner


"Kak Lanfan ... Kak Lanfan!!!" panggil seorang anak. Suaranya terdengar panik dengan napas terengah-engah dan berkeringat. Sepasang ikatan rambut di kepalanya terlihat berantakan.

"BODOH! Jangan panggil dia, kita panggil Kakek Fu saja!" bentak anak yang lain. Rambutnya lebih pendek tetapi penampilannya tak kalah kacau. Keringat juga terlihat membanjiri keningnya.

"Tapi Kakek Fu tidak bisa berbahasa asing...," protes anak yang lain lagi. Larinya paling lamban tetapi dia tidak terlihat sekacau kedua saudaranya yang lain.

"Lebih baik gitu, kan?" timpal anak kedua yang berambut pendek. "Jadi tidak akan ketahuan kalau kita yang...."

"...Kalian yang...?" ulang suara perempuan muda. Nada bicaranya yang sedingin es membuat ketiga anak itu seketika membeku.

"Kak Lanfan...," cicit yang berkucir dua.

"S- s-selamat ... P-p-petang," terbata-bata anak berambut pendek di sebelahnya mencoba menyapa dengan sopan, tanpa berani menoleh sama sekali.

"...Kalian yang ... Apa?" ulang perempuan muda itu lagi, mengabaikan salam anak itu. Lengannya terlipat dengan jari mengetuk-ngetuk tak sabar menunggu jawaban. "Kalian sudah berbuat apa, sampai tidak ingin ketahuan olehku ... Hmm?"

Satu dari anak-anak itu memberanikan dirinya, perlahan dia menoleh ke arah pemilik suara. Hanya untuk melihat pandangan tajam dari sepasang manik hitam yang berkilau seolah siap menerkam dan menelan bulat-bulat mereka bertiga.

Bahkan dalam balutan gaun biru langit anggun serta atasan sutera berwarna merah jambu keunguan yang manis, kegarangan perempuan yang dipanggil Lanfan itu tidak terlihat berkurang di mata anak-anak itu.

"B-bu-bukan salah kami," jawab yang dikucir dua dengan suara gemetar. "Kami hanya melihat saja!"

"Betul! Betul! Kami hanya menonton!" sorak yang lain.

"Kami tidak berbuat apa-apa yang bisa bikin mainan kami disita!" sergah yang larinya paling lambat, lebih bersemangat .

"...Hou?" Perempuan muda itu menaikkan alisnya. Sementara dua anak yang lain menepuk dahi masing-masing.

Tidak butuh waktu lama bagi perempuan muda itu untuk memaksa agar mereka bertiga menceritakan dengan jujur apa yang sudah terjadi. Ketika mereka selesai, tak seorang pun berani mengangkat kepalanya untuk balas memandang kepada Lanfan.

Perempuan muda itu mendesah panjang. Bukan hanya anak-anak itu melanggar aturan untuk menggunakan Ruby Vines di luar area latihan, mereka juga membuat kerusakan hingga melibatkan tamu asing yang seharusnya dia temui. Sekarang Lanfan hanya bisa menyerahkan hukuman untuk anak-anak tadi pada yang lain dan bergegas menemui tamu asing itu sebelum ada masalah baru.

Baru juga Lanfan selesai bicara pada seorang pelayan untuk menggiring ketiga anak di hadapannya ke ruang belajar, Kakek Fu—sang penjaga gerbang, berlari dengan tergopoh-gopoh ke arahnya.

"Nona Lanfan!!!" panggil Kakek Fu parau. Warna panik dalam suaranya membuat perasaan perempuan muda itu jadi tidak enak.

"Gawat, Nona! Tamu asing itu ... Tamu asing itu memasuki Ruangan Terlarang!"

Pikiran Lanfan berlomba. Dari Kakek Fu, dia mendengar tamu mereka membawa plakat lambang klan mereka yang lama untuk bisa melewati gerbang. Seingat Lanfan, anggota keluarga yang pergi dari klan beberapa tahun yang lalu adalah salah satu pengguna Ruby Eyes dan Ruby Vines terkuat yang pernah ada.

Sembari bergegas berlari ke tempat yang disebutkan oleh Kakek Fu, Lanfan hanya bisa berharap semoga tamu asing ini tidak ada kaitannya dengan anggota keluarga yang itu.

Artefak yang tersimpan di dalam ruangan itu memiliki karakteristik untuk beresonansi dengan pengguna Ruby Vines maupun Ruby Eyes. Untuk mereka yang sudah terlatih saja perlu perlindungan ekstra untuk bisa memasuki ruangan tanpa memicu reaksi. Sedikit salah langkah, bukan hanya kediaman klan ... Gunung-gunung di sekeliling mereka bisa ikut lenyap.


***


Melalui jalan pintas, Lanfan mencapai gang kecil di depan Ruangan Terlarang dengan cepat. Di sana sudah berkumpul orang-orang berpakaian serba hitam. Mereka sedang berjuang menahan sesosok asing berambut cokelat dengan tubuh lebih jangkung dari mereka. Membelenggu tangan dan kakinya, memaksanya berbaring di paving batu.

Pintu menuju Ruangan Terlarang masih terbuka, perempuan muda itu bergegas merapal mantra untuk menyegel kembali pintu logamnya. Lebih sulit dari biasanya karena artefak di dalam ruangan dan tamu asing itu saling memanggil dan menarik kekuatan masing-masing.

Ketika pintu sudah tersegel dengan baik, segel yang dilakukan oleh orang-orang berpakaian serba hitam itu juga sudah selesai. Membuat kubah semi-transparan dengan pendar kebiruan yang mengungkung tubuh jangkung tamu asing itu. Orang-orang itu segera mundur, memberi ruang gerak untuk Lanfan.

Dengan hati-hati perempuan muda itu melangkah mendekati sosok asing yang kini terbaring, jauh lebih tenang dari sebelumnya, di dalam kubah segel. Tamu asing itu ternyata seorang pemuda yang berpakaian seperti pengembara pemula. Mantel dan sepatu larsnya memang terlihat sudah terpakai cukup lama tetapi penampilannya terlalu rapih untuk ukuran seorang pengembara.

Pertama-tama, Lanfan harus menyapa untuk memastikan tingkat kesadaran orang yang masih terengah-engah mengejar napas yang hilang saat berjuang untuk tidak kehilangan kendali. Rambut cokelatnya yang berantakan oleh keringat tersibak ketika pemuda itu menengadah, merespon sapaan Lanfan. Saat itu juga Lanfan bisa melihat, berbeda dengan mata kirinya yang berwarna cokelat lembut, mata kanan pemuda itu berpendar merah.

"Ruby Eyes...," gumam Lanfan pelan. Seketika wajahnya berubah masam.

"...Maaf merepotkan," ujar tamu asing itu, suaranya masih terdengar lemah tetapi tetap sopan. "...Apa di antara anda sekalian ada yang bisa membawa saya jauh-jauh dari ruangan tadi? Rasanya saya tidak mampu menahan bila gelombang berikutnya muncul lagi."

"Itu bisa kuatur," jawab Lanfan. "...Tapi kau harus menerima satu hal dulu...."

Sembari berkata perempuan muda itu mengeluarkan selembar kertas mantra berwarna kuning dari lengan bajunya. Lalu berlutut di dekat kepala sang tamu. Sebelah tangannya yang putih dan langsing dengan mudah menembus kubah transparan kebiruan. Sebelum pemuda itu sempat bertanya lebih lanjut, Lanfan menjentikkan telunjuknya yang lentik untuk mengaktifkan mantra yang tertulis pada kertas kuningnya.

Teriakan kesakitan dari pemuda itu terdengar sangat kencang, membuat anak-anak yang masih tertinggal di situ—di bawah pengawasan Kakek Fu, saling berpelukan ketakutan. Tubuh jenjangnya menggeliat dan melenting, sementara tangannya terkepal erat, menahan nyeri yang menyebar ke seluruh penjuru tubuhnya.

Lanfan mengawasi dengan ekspresi yang terlihat dingin tetapi orang bisa melihat perempuan muda itu menggigit bibir bawahnya sendiri dengan cemas. Mantra yang baru saja dia lakukan terbilang cukup pelik. Bila terlalu kuat, pemuda itu akan kehilangan mata kanannya. Sebaliknya, bila terlalu lemah segala jerih payah mereka akan percuma—bukan tidak mungkin tamu asing yang malang itu akan kehilangan nyawa.

Syukurlah dalam beberapa detik saja gelombang energi liar yang sebelumnya masih berputar-putar di sekeliling pemuda itu mulai reda. Kesempatan itu digunakan Lanfan untuk mencabut salah satu anting jepit—berupa lempengan logam berwarna perak yang dijepitkan di daun telinganya, mengisinya dengan mantra penyegel lalu menjepitkan anting itu pada telinga kanan si tamu asing, tepat saat gelombang energi liarnya terhenti.

Seketika itu juga suasana menjadi tenang.

Lanfan menghela napas lega. Begitu juga semua orang yang hadir di situ. Termasuk Kakek Fu dan dua anak yang bersamanya.

Dengan isyarat tangan, Lanfan menyuruh orang-orang berpakaian serba hitam membuka kubah yang mengungkung pemuda itu serta melepas belenggu di tangan dan kakinya.

"Kemana kami harus membawanya, Nona Lanfan?"

"...Paviliun dalam," jawab perempuan muda itu sembari menepis debu di gaunnya.

"Paviliun dalam?!" ulang orang berpakaian serba hitam. "Bukankah itu khusus untuk tamu dari kalangan keluarga saja ... Untuk orang asing seperti dia biasanya di paviliun luar untuk tamu, bukan?"

"Mata kalian ini cuma hiasan atau apa," gerutu Kakek Fu. "Kalian lihat tadi, walau hanya sebelah, matanya itu adalah Ruby Eyes! Tak salah lagi, dia itu bagian dari keluarga Wu ... Perlakukan dia dengan hormat!"

Mendengar kata-kata itu, para orang berpakaian serba hitam menundukkan kepala dengan patuh lalu mengubah cara mereka membawa tubuh jangkung yang masih kehilangan kesadarannya.

"...Eye," gumam Lanfan sepeninggal orang-orang berpakaian serba hitam.

"Nona mengatakan sesuatu?" tanya Kakek Fu yang bermaksud menggiring dua anak di tangannya menyusul saudara-saudara mereka.

"Mata rubinya hanya sebelah, jadi khusus pemuda tadi cukup disebut Ruby Eye saja. Bukan bentuk jamak," jelas Lanfan seraya menguraikan gelungan rambutnya. Membiarkan rambut lurusnya tergerai.

"Baiklah bila Nona menghendaki begitu," jawab Kakek Fu seraya membungkuk dalam-dalam.

"Tidak usah terlalu serius, Kek ...Tadi itu cuma pikiran isengku saja," desah Lanfan lelah. "Aku akan berikan hukuman untuk anak-anak bandel ini setelah berganti pakaian. Suruh mereka menunggu di Ruang Belajar!"

Kemudian perempuan muda itu cepat-cepat melangkahkan kaki, meninggalkan Kakek Fu dan dua anak yang lain.

Sebetulnya dia merasa lelah karena harus menggunakan dua mantra sulit berturut-turut. Kalau diijinkan, perempuan muda itu lebih memilih untuk pergi mandi lalu istirahat sampai besok pagi. Ditambah lagi—Lanfan menyentuh daun telinga kanannya yang sekarang terasa janggal karena terlalu ringan, dia harus merelakan salah satu dari anting berharganya.

Keningnya berkerut. Sore itu segalanya mengingatkan perempuan muda itu akan satu kejadian di masa lalunya yang tidak menyenangkan. Saat dia harus kehilangan kakak laki-lakinya.


***


"Aaargh..., perasaanku masih sangat tidak enak, sekarang!" omel Lanfan, sepulang dari memberi materi hukuman untuk anak-anak. "Bibiii, aku minta roti kukus isi kacang manis ... Yang banyak!" panggilnya dari jendela dapur.

"Nona Lanfan, kalau malam-malam begini makan kue manis sebanyak itu nanti Nona bisa gendut, lho...," nasehat perempuan tambun berwajah bulat yang mengenakan celemek pada Lanfan yang menyembulkan kepala melalui jendela dapur.

"Biar, saja. Aku sedang sangat kesal. Aku butuh yang manis-manis untuk meredamnya ... Atau aku bisa meledak!" timpal Lanfan.

Mendengar kata-katanya, seisi dapur bergegas menyiapkan camilan yang diinginkan oleh perempuan muda itu. Sudah menjadi rahasia umum di rumah itu untuk tidak membuat marah Lanfan. Karena ancaman ledakan yang dia ucapkan bukan sekadar kata-kata kiasan.

"Aku tidak mau berurusan dengan orang asing itu lagi!" gumamnya perempuan muda itu, masih terdengar kesal.


*****

Continue Reading

You'll Also Like

677K 42.8K 31
Kanara menyadari dirinya memasuki dunia novel dan lebih parahnya lagi Kanara berperan sebagai selingkuhan teman protagonis pria yang berujung di camp...
1.2M 85.6K 35
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
176K 11.2K 19
Ini dia jadinya kalo gadis bar-bar seperti Joana transmigrasi ke dalam sebuah novel romansa dan menjadi anak perempuan dari protagonis yang digambark...
1.1M 105K 32
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...