HUNTERS AGENT (SELESAI)

By Ftujuh

29.5K 2K 1.2K

(PROSES PENERBITAN) Hidup Vina yang semula normal, berubah seketika semenjak ia bergabung ke dalam salah satu... More

PROLOG
1. The Beginning
2. Followed
3. Perampokan Bank
4. DIREKRUT
5. THE HUNTERS
6. MISI I: Something in Pandaan
Lanjutan Part 6
8. PERTEMANAN DAN PELATIHAN
9. MISI II: THE WOMAN AND THE BABIES
10. THE GREATEST BROKEN HEART Part 1
11. THE GREATEST BROKEN HEART Part 2
12. THE GREATEST BROKEN HEART Part 3
13. PENYEMBUHAN
RANK 1 #Illegal; RANK 2 #Scifi dan #Konspirasi dan Selingan (cast) :D
14. BACK TO HUNTERS
15. MISI III: VIRTUAL REALITY
Asal usul Hunters Agent tercipta
16. MISI IV: MISTERIOUS CITY
17. EPILOG

7. KEPANITIAN TO

1.1K 90 56
By Ftujuh

AWAL JANUARI 2017

Libur semester benar-benar telah berakhir. Saatnya kembali ke rutinitas awalku. Misi pertamaku sudah berakhir dan kini aku kembali ke kehidupan normalku yang dengan suka hati kuhadapi. Sambil menunggu pelatihan Hunters setelah misi pertama berlangsung maka saatnya aku untuk menikmati kehidupan normalku seperti anak kuliahan umumnya. Yeah, kehidupan normalku jauh lebih menyenangkan dan menjadi satu-satunya pelarianku sebagai tempat beristirahat dari kewajibanku di Hunters. Sambil menunggu misi selanjutnya, maka saatnya aku untuk menikmati kehidupan normalku seperti anak kuliahan umumnya.

Tetapi ternyata tidak. Aku tidak benar-benar bebas. Aku memiliki kewajiban lain di kehidupan normalku.

Semua karena organisasi perkaderan yang kuemban ini, yang mengharuskanku untuk masuk ke dalam organisasi intra maupun ekstra kampus. Well... tapi aku tidak menyesalinya. Bergabung dengan organisasi perkaderan ini membuatku memiliki banyak teman yang normal. Dan ternyata bergabung dengannya tidak melulu merupakan hal yang buruk. Karena hal ini dapat membuatku beristirahat sejenak dari aktivitas beratku di Hunters.

"Ya Tuhan. Sumpah, aku bahkan lupa tidak mengerjakan berkas persyaratan masuk HMJ. Bagaimana ini, Cil?"

Aku berteriak-teriak di pagi hari yang benar-benar tidak ada cerahnya sama sekali. Di kelas Struktur Perkembangan Hewan, di Gedung Biologi, Nacil hanya melirikku sekilas, dan kembali sibuk dengan gadget miliknya. Sial, aku benar-benar tidak diubris olehnya. Semakin aku mengenal Nacil, aku semakin kesal atas sikapnya yang semakin lama semakin menyebalkan ini.

"Cil, kumohon bantu aku berpikir. Bagaimana ini? Berkas pendaftaran HMJ belum kuisi sama sekali. Persyaratan lain juga belum. Apa yang harus kulakukan?"

"Santai saja Vina. Anak-anak yang lain juga pasti banyak yang belum mengerjakan."

"Santai? Memangnya kamu, sedikit-sedikit santai. Jangan samakan aku dengan dirimu, Nacil. Terlalu santai bisa membuatmu stress tahu," sergahku padanya.

"Kalau begitu, serius tapi dibuat santai saja."

"CIL!"

Sekarang giliran Nacil yang menertawakanku keras-keras. Aku merenggut kesal dan mencibirkan bibirku. Andai bibirku lebih tebal lagi, mungkin aku bisa mengalahkan bibirnya Nacil. Sayang sekali bibirku seperti kulit tahu.

"Vina lucu juga kalau sedang ngambek. Aku suka melihatnya."

"What the hell... Ah, sudahlah. Kita serius sekarang. Kau kan tahu, Mas Yaji selaku ketua HMJ saat ini sedang gencar-gencarnya open recruitment HMJ. Besok terakhir pengumpulan berkasnya, dan aku belum mengerjakan apapun sama sekali."

Nacil memiringkan kepalanya dan mengerutkan dahi. Ia berdecak sambil mengerucutkan bibirnya dan mengetukkan kaki kanannya pada salah satu meja kelas. Benarkah apa kataku, soal bibir aku jelas kalah dengannya. Tapi bukan itu yang kumaksudku saat ini. Aku mengerutkan keningku tak mengerti. Nacil hanya mendengus.

"Sudahlah, nanti kamu juga pasti diterima menjadi pengurus HMJ. Kamu ini kan adek kesayangannya mas Yaji, Vina."

"Bukan itu yang menjadi masalah. Tetapi masalahnya adalah ketepatan waktu," tegasku. Aku jadi terbiasa disiplin waktu semenjak di Hunters. Apalagi mengingat partnerku kemarin adalah Meyne. Menakutkan.

"Bilang saja karena kamu sungkan dengan Mas Yaji. Padahal di lubuk hatimu yang terdalam, kamu tidak mau menjadi pengurus HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan). Apalagi kalau bukan karena terpaksa? Karena ia adalah kakak kader kita sendiri. Dan pastinya kemarin kamu habis diinterogasi oleh senior-senior, maka dari itu kamu merasa memiliki beban sekarang. Apa lagi kalau bukan karena menjaga perkaderan?"

Aku terdiam. Rasanya seperti ditampar oleh perkataannya. Meskipun nada suaranya tidak sama sekali kasar, tapi tetap aja disindir oleh Nacil benar-benar tidak menyenangkan. Apalagi omongan Nacil yang terkadang to the point alias frontal hanya bisa membuatku terdiam. Memang dasar Nacil ini tidak pernah berubah, soal berbicara, ia memang cenderung mengatakan secara frontal dan cenderung "in" langsung pada topik. Dan aku sangat kesal setiap kali kami membicarakan berbagai hal mengenai organisasi perkaderan, organisasi intra kampus, atau lainnya yang bersangkutan dengan politik kampus.

Ya. Tercebur ke dalam Organisasi Perkaderan Kampus menjadikan aku memiliki kewajiban ganda. Karena tradisi turun temurun para senior kaderku, eksistensi kami harus terus dipertahankan khususnya dalam jajaran organisasi intra kampus, seperti BEM, HMJ, Dewan mahasiswa, atau lainnya. Nah, karena sekarang mas Yaji sudah berhasil menjadi ketua HMJ, maka kami selaku adik kadernya pun harus mengikuti jejaknya. Sama halnya dengan Nacil, Fandli dan kader lainnya. Ini baru dalam ruang lingkup jurusan saja.

Sepertinya memang sudah takdir bahwa aku tidak akan bisa menikmati kehidupan normalku. Full time menjadi Agent Hunters, part time menjadi mahasiswa organisatoris. Kapan waktuku untuk bersantai?

Gerimis kecil menghiasi pemandangan kota Malang dan membuat pandanganku melayang ke arah luar kelas sejenak. Sudah mulai musim hujan sejak beberapa minggu yang lalu, dan lagipula hampir setiap hari Malang tidak pernah cerah. Tidak seperti di kotaku yang lama, Jakarta. Ku rasa aku tak perlu mendeskripsikan bagaimana menyebalkannya kota satu itu.

Sama menyebalkannya dengan kondisi hatiku yang sedang gusar saat ini.

Aku melirik kembali ke arah Nacil yang masih sibuk dengan ponselnya dan menggelengkan kepalaku sendiri tidak tega ke arahnya. Oh, aku tahu mengapa ia saat ini terlihat sangat sibuk. Ternyata...

"Jadi sekarang kamu sedang dekat dengan Fandli ya?" aku menyipitkan mataku kearah Nacil.

Nacil hanya menyengir. Ia mulai meletakkan ponselnya, "Tidak kok."

"Ciyee.."

"Ah, Vina," Nacil masih dengan cengiran khasnya. Ia tersipu malu-malu.

Aku tersenyum, benar-benar tulus sekarang. Aku sangat senang menggoda Nacil seperti ini, lagipula kami sudah berteman lumayan lama, walau hanya dalam kurun waktu beberapa bulan saja. Apalagi melihatnya tersipu malu saat kusebutkan nama Fandli padanya. Aku tertawa. Rasanya menyenangkan bisa menggoda orang yang sedang kasmaran seperti ini.

Karena aku selalu senang setiap kali melihat teman- temanku sedang dalam posisi paling bahagia. Dari dulu pun begitu, tidak hanya aku kepada Nacil, mungkin pada Helicia juga. Karena aku tidak akan mau merasa menjadi seorang sahabat yang sia-sia. Baik suka maupun duka selalu ada disamping teman-temanku. That's my opinion about a friend.

"Awakmu dewe piye, Vin? Memangnya kamu gak pernah kasmaran a?"

Aku menggeleng. "Untuk apa?"

+++

"Benar nih, kita ada rapat sekarang? Mengapa tidak ada pemberitahuan sama sekali?"

Aku ingin protes dan mengomel di telefon, namun aku tidak tega jika harus memarahi Fandli.

"Iya Vina, kita ada rapat khusus untuk para CO─koordinator─di kantin. Sebenarnya sudah ada pengumumannya tetapi lewat sosial media WA. Kamu sih tidak menginstal aplikasi itu," tawa Fandli. Huh, ini semua karena Meyne masih menyita smartphone milikku. Karena katanya, saat berada di dalam misi, aku tidak boleh memegang smartphone sama sekali dan berhubung nilai misiku belum keluar, aturannya masih berlaku. Yeah, tidak boleh menggunakan gadget serta aplikasi apapun. Kecuali peralatan milik Hunters. Sebagai bentuk penghindaran dari satelit NASA atau terlacak dari badan inteligen lainnya. Baik itu FIB, CIA, Mossad, MI6, GRU, BIN, Bla bla bla...

Aku menimbang-nimbang sesaat. "Tapi, Fandli... aku ada jam malam kos..."

"Vina! Sekarang masih sore! Ini bahkan masih jam lima sore. Bukan, bahkan ini masih jam setengah lima...?!"

Aku tertawa sementara Fandli mendengus kesal di telefon. Aku memang sangat suka membuat kesal temanku yang satu ini. Fandli, ia memang tipe laki-laki yang cenderung keras dan terkadang tidak sabaran. Jadi rasanya menyenangkan bisa membuatnya kesal seperti ini. Wataknya yang keras, membuat orang lain yang baru mengenalnya mungkin tampak takut padanya. Namun tidak denganku, aku bahkan terus-menerus menjahilinya dan senang membuatnya kesal padaku.

Lagipula aku sudah menghadapi orang yang jauh lebih menyebalkan.

Alias: Meyne.

"Yaampun. Aku hampir lupa, motorku masih digunakan oleh Nacil tadi. Bagaimana ini? Diluar juga masih gerimis. Aku tidak punya payung."

"Haduh Vina. Yasudah kamu tidak perlu ikut rapat CO (koordinator), tidak apa. Asalkan beritahu perkembangannya sie- mu lewat aku saja ya nanti. Nantinya aku juga akan beritahukan perkembangan rapat kita kepadamu. Biar gak perlu ada miss- communication lagi. Yang terpenting, rapat koordinasi kepantian Try Out (TO) hari Minggu malam nanti kamu harus ikut ya," jelas Fandli.

Ya ampun jelas tidak bisa. Minggu malam nanti pertama kali aku akan menempuh pelatihan di Hunters.

"Wait! Hmm... aku akan tetap berangkat saja sekarang. Wait for me."

"Oke, kita tunggu."

Sial. Padahal aku sedang nyaman berada di kamarku saat ini.

Aku mengakhiri panggilan telfon dari Fandli—dan dengan cepat kilat langsung mengganti baju santaiku dengan baju pergi. Menguncir rambutku dan tidak lupa mencari kacamata Agentku. Entah mengapa aku jadi terbiasa menggunakan teknologi The Hunters hanya untuk berpergian sementara saja. Rasanya menyenangkan sekali memiliki teknologi hebat di mataku. Sesaat aku melihat di cermin kamarku dan merisaukan pipi tembamku yang tampak lebih maju dari biasanya. Aku mendesah frustasi.

Sepertinya latihan fisikku selama di Hunters kemarin belum membuahkan hasil. Lemak ditubuhku memang berhasil digantikan oleh otot. Tetapi tidak dengan kedua pipiku. Rupanya aku masih tukang makan.

Langsung saja aku berlari menerobos hujan─yang lebih tepat disebut gerimis, di sepanjang perjalanan sampai di pertigaan gang keluar dari kosku. Aku mulai berjalan dengan santai dan kini tak ingin terburu-buru. Kakiku masih terasa pegal sekali pasca misi kemarin. Namun tiba-tiba saja ponsel bututku bergetar.

Fandli:

Aku jemput kamu aja ya......?? -Hamdan

Aku mengerutkan keningku saat melihat pesan. Tunggu dulu, mengapa Fandli memakai nama Hamdan? Seketika hatiku terasa bergetar. Kugelengkan kepalaku lambat-lambat. Tidak, tidak. Ini bukan saatnya memikirkan nama itu.

Kini kumasukkan kembali ponselku ke dalam saku celanaku.

"VINA! HEI!"

Itu suara Nacil. "Loh, Cil? Bukannya tadi kamu pergi?"

Nacil langsung menghampiriku dengan motorku. "Ini sudah kok, maaf lama meminjamnya."

"Oalah, gak papa kok."

"Suwun yo! Eh, ayo pergi ke rapat CO bareng."

Aku menganggukkan kepalaku. Menit berikutnya kami sudah berada diatas motorku dan langsung melesat menuju kantin fakultasku, tempat rapat CO berlangsung.

Kini tampak sebagian panitia TO yang vertugas sebagai koordinator tiap sie telah bercakap-cakap membahas suatu hal dan yang pertama kali yang kulihat adalah Fandli— yang masih dengan khasnya sendiri, sambil menghisap rokoknya dan mengeluarkan asap dari mulutnya. Aku berjalan ke arahnya dan mulai terbatuk.

Fandli menyengir, dan langsung membuang rokok tersebut dan menginjaknya.

Yeah, Fandli memang salah satu temanku yang mengerti penyakit asmaku. Apalagi kalau bukan karena Nacil yang tidak sengaja membocorkannya saat kami camping di Banyumeneng semester lalu. Well, lain kali aku tidak akan berbicara apapun kepada Nacil. Semua rahasia yang kumiliki pasti dibongkar olehnya. Menyebalkan.

"Bagaimana Vina, berat badanmu masih sama? Atau justru semakin naik?"

Fandli mengalihkan perhatianku dengan menanyakan pertanyaan paling menyebalkan sedunia. Aku memukul kakinya dan dengan sigap ia langsung menangkis tanganku. Ia tertawa dan menjulurkan lidahnya. Aku menggeram kesal.

Ada mas Yaji, Nacil, Fandli, dan beberapa orang yang belum kukenali tampak memerhatikanku. Aku memalingkan wajah tidak peduli. Aku mengambil kursi yang agak jauh dari anak-anak lainnya dan terpaksa duduk berdekatan dengan Fandli.

"Sudah seberapa jauh pembahasannya?"

Sebenarnya pertanyaanku itu tertuju pada Nacil, namun ia lebih fokus pada obrolannya dengan mas Yaji. Sehingga Fandli lah yang merespon pertanyaanku. Ia menggeleng, "Aku juga tidak tahu. Aku pun baru datang."

"Lalu bagaimana dengan perkembangan sie perlengkapanmu?" tanyaku pada Fandli.

"Aku bukan sie perkap, Vina. Jangan sok tau kamu."

"Oh? Bukan ya? Aku kira ..."

"Haha, dasar kamu pipi maju pipi maju. Dasar tembem..."

Kali ini aku benar-benar memukul keras Fandli dan ia terlambat untuk menangkis seranganku. Ia tampak mengaduh kesakitan. Aku mendengus kesal padanya, sambil berbisik rasakan kepadanya. Habis, ia selalu saja menggodaku. Atau meledekku. Anak yang lain memerhatikan dan ikut menertawakan kami.

Rapat CO panitia Try Out (TO) rupanya baru saja dimulai dan masing-masing sie melaporkan bagaimana perkembangan acaranya. Perkembangan masih sangat minim dan aku rasa persiapan kepanitiaan TO ini masih belum benar-benar dapat dikatakan dengan matang. Bahkan beberapa sie masih memiliki kendala. Jelas kendala paling krusial, yaitu financial. Hal ini karena proposal kami belum masuk ke fakultas, sehingga menyulitkan keuangan kami.

"Bagaimana Vina dengan perkembangan sie Konsumsi?" tanya mas Yaji.

"Hanya perlu memesan konsumsi peserta saja. Dan tentu saja untuk memesannya itu... membutuhkan uang," jawabku. Aku melirik ke arah Nacil, selaku bendahara pelaksana kami.

Nacil mengerucutkan bibirnya dan seketika itu raut wajah muram mulai menghiasi wajahnya. "Masalahe iku, gak onok duit yo gak dalan. Sie perlengkapan pun tidak ada ada progress karena membutuhkan uang untuk sewa barang dan lainnya. Sie pubdekdok juga membutuhkannya untuk membuat banner. Semua sie lain pun demikian. Huh, njelimet otakku."

"Kita perlu untuk berkonsultasi dengan para senior yang lebih berpengalaman di instansi kita masing-masing, rek," sahut Fandli.

"Jelas. Nanti saat rapat besar, kita juga perlu penekanan biaya ke seluruh anggota terutama mas-mas dan mbak-mbak," Nacil tidak kalah menyahut.

Anak yang lain masih memperbincangkan kendala teknis lainnya─selain permasalahan keuangan. Aku memerhatikan bagaimana para CO dari berbagai sie saling debat, dan rasanya aku ingin memprotes mas Yaji yang sedaritadi cenderung pasif. Padahal ia yang jadi ketua pelaksana kepanitiaan ini.

Perhatianku langsung teralihkan ke sumber suara lain yang tak lain adalah suara Fandli sendiri. Aku menoleh padanya dan tampak ia sedang menertawakan suatu hal di smartphonenya. Aku menyeringai nakal ke arahnya. Aku mencoba untuk mengintip apa yang saat ini ia lakukan. Ah, paling-paling sedang menertawakan lawakan mesum. Biasanya laki-laki kan seperti itu.

Sebagaimana bahwa aku adalah seorang pengamat, benar saja. Fandli sedang sibuk melihat-lihat posting-an social media yang berisikan konteks mesum. Aku menyeringai jijik.

Tiba-tiba saja perhatianku teralihkan ke hal yang lain. Aku melihat dompet Fandli yang terbuka di hadapannya. Kulihat nama Hamdan disana. Aku tersentak melihatnya.

"Hamdan?" tiba-tiba saja kata-kata itu serta-merta keluar dari mulutku.

Fandli menoleh ke arahku. Kini arah matanya sama seperti apa yang saat ini aku lihat.

"Ada apa, Vi?" tanya Fandli.

"Kenapa ada nama Hamdan di dompetmu?" suaraku mengecil.

"Namaku memang ada Hamdannya."

Fandli tersenyum lebar. Kini ia memperlihatkan KTPnya kepada. Kulihat nama lengkapnya lamat-lamat. Fandli Nur Hamdan. Seketika jantungku berdetak dua kali lipat lebih cepat dari biasanya.

Aku membenci namanya itu.

Oh Tuhan, mengapa namanya harus... Hamdan? Namanya sangat mirip dengan... lelaki itu.

"Jadi bagaimana, Vina? Berat badanmu bertambah jadi enam puluh kil..."

"MASIH LIMA PULUH SEMBILAN KILO, Fandli! Jangan suka mengarang cerita! Lagipula aku tak segendut itu! Lihat, tinggi badanku kan 168 cm!" potongku cepat. Fandli tertawa keras. Dapat kurasakan kedua pipiku terasa memanas mendengar ejekannya yang hampir ada untukku setiap harinya. Merona, yeah kata itu yang lebih tepat untuk digambarkan.

Namun kurasa pipiku merona saat ini karena hal lain.

"Kamu boleh memanggilku Hamdan kalau kamu mau," ucap Fandli. Kali ini ia mengatakannya dengan amat tulus.

Jantungku semakin berdebar dua kali dari sebelumnya. Sial, perasaan apa ini? Demi Tuhan, aku membenci namanya itu!

+++

Unknown number: Hellooo adik Vina, I'm so sorry baru sempat mengabarimu dan tak pernah mem-post sesuatu di akun social media yang biasa. Kamu sih, punya twitter tapi tidak pernah di on :( apalah gunanya punya sesuatu yg tidak pernah dimanfaatkan sih? That's horrible! *gigitjari* -Prawira

Tunggu dulu. Aku sangat mengenal gaya berbicara yang khas ini. Gaya berbahasa Indonesia yang dikombinasikan dengan bahasa gaul ala-ala ini... Ini pasti dari salah satu teman atau kenalanku di SMP-ku di Jakarta yang...

What the hell? Oh my... Kak Wira yang mengirimiku pesan? Ini benar-benar sesuatu diluar dugaanku dan aku benar-benar tak pernah menyangka sahabatku satu-satunya alias my best brother ever after mulai meng-kontakku lagi setalah sekian lama tak ada kabarnya. Rasa senang membuncah dadaku.

Me: KAK WIRA! yaampuun. I miss you soooo much :(

Kak Wira: Miss you too, darling. Sorry, dua bulan ini aku ada agenda trip ke Europe dan aku benar-benar sibuk sekali. Kalau pun kamu ada instagram, ku rasa kamu pun akan susah untuk menghubungiku karna aku terlalu sibuk. Tapi sama saja, kamu juga hampir tidak memiliki media social apapun.

Me: Europe? Really? iri deh :(

Loh, kakak bukannya kuliah di Singapore ya?

Kak Wira: Program ISSAC cin,

Ya, aku masih kuliah di Singapore, tetapi aku ada program pertukaran ke Jerman, semacam program ISSAC gitu. Tapi benar-benar Vina... aku sibuk sekaliii

Waktu untuk tidur pun hampir tidak ada :(

Ini pun kalau bukan karena aku memimpikanmu saat tidur, mungkin aku tidak menghubungi sekarang :D:D

Me: In your dream? :DD So you love me now? :*

Kak Wira: of course NOT

Hey hey, I'm still not interested with any girl-_-

Me: yeah I know. You're my best gay friend ever. So, kakak masih pacaran dengan Denis?

Kak Wira: DON'T EVER SAY THAT NAME AGAIN! :'( :'( :'(

Me: ada apa kak?

Tiba-tiba saja kak Wira tak membalas pesanku. Lama sekali. Aku merasa gelisah sejadi-jadinya. Lima menit yang rasanya sangat lama pun berlalu. Seketika ponselku berbunyi, aku langsung secepat kilat membuka pesannya.

Kak Wira: I'm break up with... him

Me: Oh no, I'm really sorry... But why?? Please call me. Or should I call you now?

Me: Hey? Are you okay?

Me: You good?

Kembali. Kak Wira tidak membalas pesanku lagi. Aku menggerutu kesal dan menggigit bibirku sendiri.

Sekilas aku mengingat bebarapa memoriku saat aku masih di bangku SMP.

Kak Wira merupakan salah satu kakak kelasku sekaligus pada saat aku masih SMP. Ia merupakan laki-laki yang paling berbeda diantara lainnya. Mungkin itu karena ia punya kondisi khusus dan... tidak semua orang disekitarnya bisa menerima kekurangannya pada saat itu. Hanya lima diantara ratusan siswa di sekolahku yang mau berteman dengan kak Wira. Padahal kak Wira merupakan sosok murid yang paling pintar diangkatannya─seingatku. IQnya tinggi, wajahnya tampan─kata temanku, baik hati, bahkan dia sempat beberapa kali memenangkan olimpiade sains tingkat internasional.

Well, mungkin itu karena ia penyuka sesama jenis.

Tetapi menurutku hal itu bukanlah hal yang perlu di lebih-lebihkan, bahkan sampai membuat hampir murid-murid satu sekolah menjauhinya—termasuk para guru. Kak Wira benar-benar laki-laki paling baik yang pernah kutemui. Tidak peduli bahwa ia juga menyukai laki-laki─alias gay, itu tidak masalah bukan? Well, tetapi disini bukan berarti aku mendukung segala macam bentuk LGBT, hanya saja aku memang tidak tega dengannya. Karena kita tidak boleh menjauhi siapapun ia hanya karena kondisinya yang berbeda dengan kondisi kita. Toh, selama ia tidak memberikan dampak negatif di sekitarnya, semua tak perlu dipermasalahkan.

Aku bersahabat baik dengannya sedari SMP. Hal ini bermula dari peristiwa saat aku dilabrak oleh kakak kelas karena membela kak Wira. Saat itu, aku benar-benar masih tomboy (atau mungkin masih sampai sekarang?), berani, dan tidak segan menginjak kaki kakak kelas manapun untuk membela kak Wira yang saat itu sedang menangis karena dibully oleh perempuan-perempuan sok gaul di SMPku.

Aku sudah lupa bagaimana kejadiannya. Tetapi yang jelas dari situlah pertemananku dengannya mulai terjalin. Dan kak Wira adalah satu-satunya teman lelakiku saat itu. Yeah, karena saat itu aku benar-benar membenci semua laki-laki, begitupun pada ayahku.

Ah, lagi-lagi aku teringat soal ayahku. Aku langsung menepis seluruh ingatan burukku. Aku benar-benar tidak mau mengingat semua kenangan buruk tentang ayahku sendiri. Yang membuatku memandang dunia dengan cara yang berbeda karenanya.

Yeah, ayahku memang lelaki brengsek.

Tiba-tiba saja ponselku bergetar, dan panggilan telfon via social media masuk ke ponselku. Aku terperangah melihat panggilan masuk itu. "Kak Wira?"

+++

"Dia... selingkuh, Vina. Dia tidur dengan lelaki lain..."

Aku meringis mendengar cerita kak Wira dan tak tahan mendengar tangisannya. Ia menceritakan panjang lebar tentang kisahnya selama dua tahun terakhir ini, aku hanya terdiam saat tahu mayoritas dari keseluruhan isi ceritanya adalah tentang kesedihannya dua tahun terakhir ini. Ya Tuhan, bagaimana mungkin ia bisa memendam seluruh kesedihannya selama itu?

"Bagaimana, menurutmu?" tanya kak Wira.

Aku terdiam dan mengambil napas panjang. Aku menggaruk kulit kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.

"Hmm... ternyata tidak hanya brengsek dan homo. Ada tipe atau jenis ketiga pada pria, sudah homo, brengsek pula..."

"Hey, don't be rude, girl! Masih saja kamu berpikiran seperti itu."

"I'm sorry," aku menyengir.

Kami kembali berbincang dan bertukar kisah satu sama lain. Aku mencoba mengalihkan perhatian dari topik yang sedih ke topik yang lebih menyenangkan. Aku menceritakan bagaimana aku bisa tersasar berkuliah di Malang, cerita lainnya dengan teman-teman baruku, lalu rutinitas kuliahku saat ini, dan keluargaku. Dan tentunya aku tak akan mungkin bisa menceritakan soal Hunters kepadanya. Ingat, rahasia Hunters di atas segalanya.

Kak Wira sudah paham kisah mengenai ayahku, dan ia sangat memahaminya. Sehingga ia tak menyinggung sedikit pun tentangnya. Ia justru merasa bersyukur—kurasa—bahwa ayahku sudah pergi meninggalkan keluargaku sedari lama.

Tiba-tiba saja kak Wira mengalihkan topik. "Still not with any man, huh?"

"Eh?" suaraku melenyap.

Kak Wira menertawakanku. Aku mengerutkan keningku dan bermasa bodoh dengan tanggapannya. Kak Wira berdecak heran, "Vina, Vina. Sampai kapan kamu tidak mau membuka pikiranmu? Kamu tidak berubah juga. Kamu itu cantik Vina, perempuan tercantik luar dan dalam yang pernah aku temui. Walaupun sampai kapanpun aku memang tidak pernah menyukai wanita sih. Tapi... kamu tidak lesbian kan?"

"Hey! I'm still normal."

"Haha, iya aku tahu, Vina. I'm just thinking rationally, because you still didn't have any changes. I just wanna know. Apa semua karena "prinsipmu tentang laki-laki" itu masih saja kamu pertahankan? Or is there any reason...?"

"I... don't... know... Ah, entahlah. Itu tidak penting. Yang jelas, kata berpacaran tidak ada di dalam kamusku. Sampai saat ini."

"Tapi itu bukan karena Rendy Hamdani, kan?"

Deg. Aku terkesiap. Darimana kak Wira tahu soal Rendy? Ditambah lagi ia mengetahui nama lengkapnya pula. Seumur-umur aku tidak pernah menceritakan apapun tentang lelaki itu kepada kak Wira.

"Vina?"

"Apa?"

"Hey, hey. Jangan marah dong."

"Tidak."

Kak Wira menghembuskan napas lega. Ia kembali melanjutkan, "Okay, jadi tolong jelaskan padaku, apa semua karena Rendy itu?"

Ya Ampun, dasar laki-laki. Homo atau tidak, tetap saja tidak ada yang peka. Ia tidak peka juga ya bahwa aku tidak ingin membahasnya?

"Kumohon kak. Jangan pernah menyinggung apapun tentang Rendy. Aku bahkan sudah hampir melupakannya. Dan ku rasa ia tidak ada kaitannya dengan apapun."

"Kalau memang tidak ada kaitannya justru bukan suatu alasan bahwa kamu tidak pernah menceritakan tentang Rendy padaku kan? What's happening, darling? Toh, kisah tentang lelaki itu sudah bertahun-tahun lamanya berlalu, bukan? Dan jika memang tak ada sesuatu tentangnya, pasti kamu tidak masalah untuk bercerita padaku."

Aku menggeram dan meremas tanganku. Kak Wira salah, harusnya bukan karena Rendy. Melainkan karena ayahku sendiri. Yang membuatku memandang seorang laki-laki dengan cara pandang yang berbeda. Sedangkan Rendy ini... jelas berbeda lagi ceritanya.

"Kak Wira, please. Kumohon. Semua ini tak ada hubungannya dengannya. Aku tidak ingin kita bertengkar hanya karena membahas hal yang sangat sepele. Atau hal apapun mengapa sampai saat ini aku tak mau berpacaran. Okay?"

+++

Aku memang pernah memiliki pacar, walau tidak benar-benar berpacaran dengannya, sih. Aku hanya menganggapnya sebagai sahabatku. Sahabat pertamaku, saat itu. Saat itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar dan akan masuk ke jenjang selanjutnya, alias SMP. Saat itu Rendy, kakak kelasku di SD menyatakan rasa sukanya padaku dan aku hanya meng-iya-kan saja tanpa tahu dan benar-benar mengerti apa maksud dari pacaran. Lagipula aku selalu pintar dalam merahasiakan segala hal kepada siapapun, bahkan kepada seluruh temanku, orangtuaku, kakakku, karena sampai sekarang pun mereka tidak tahu aku pernah berpacaran dengan Rendy.

Karena Rendy adalah pengecualian.

Ia adalah satu-satunya laki-laki yang tidak brengsek, ataupun homo.

Karena ia adalah sahabatku.

Rendy merupakan laki-laki paling menyenangkan namun sayangnya ia juga laki-laki paling manja yang pernah kutemui. Setiap kali ia kalah taruhan, ia selalu mengadu kepadaku dan melampiaskan amarahnya padaku. Aku menganggapnya sahabat baik dan menerima segala kekasarannya padaku, baik itu cacian, amukan, pukulan kecil, cubitan, atau lainnya. Walaupun ia tidak benar-benar menyakitiku. Itu hanya lampiaskannya saja.

Aku tak bisa mengingat wajahnya secara pasti. Namun aku mengingat kenangan itu.

Dan ia lah yang pertama kali mengajarkan bela diri padaku. Katanya, aku harus bisa menjadi perempuan yang tangguh. Untuk melawan ayahku.

Hal yang paling kusuka darinya adalah ia selalu meluangkan waktunya untukku. Selalu. Tidak hanya soal waktu saja, ia pun juga selalu mendahulukan kepentingan diriku diatas kepentingannya.

Rendy pernah bercerita padaku bahwa ia menyukai seorang gadis yang sekelas dengannya. Padahal saat itu ia masih berpacaran denganku. Saat itu kami masih sama-sama murid SMP. Ia hanya selisih satu tahun diatasku. Aku tidak memedulikan bahwa ia menaksir gadis lain, karena walaupun status kami adalah pacar, aku masih belum paham apa arti pacar sesungguhnya. Yang aku tahu, Rendy adalah teman baikku.

"Mengapa kamu tidak cemburu padaku?" protes Rendy.

"Mengapa aku harus cemburu?"

"Aku ini pacar kamu, dan kamu pacar aku."

"Memang."

"Lalu mengapa kamu tidak pernah marah sama sekali padaku?"

"Ya aku tidak tahu."

Rendy langsung memukul kepalaku, sementara aku masih bingung dengannya. Kini ia melihatku dengan tatapan gusar, "tidak, tidak. Aku berbohong. Aku tidak menyukai gadis manapun. Kecuali dirimu. Vina."

Beberapa bulan kemudian berlalu. Saat itu sepulang dari les bahasa Inggris, aku mendapati kabar buruk saat sedang bermain ke SDku yang lama. Sudah sebulan aku tak mendapati kabar tentang Rendy dan aku berharap dapat bertemu dengannya disini. Namun yang kudapati malah kabar buruk itu. Kabar tentang Rendy yang kecelakaan motor dan pemakamannya yang sudah dari seminggu yang lalu.

Itu adalah pertama kalinya aku merasakan kekecewaan terbesar dalam seumur hidupku. Kekecewaan tak bersyarat.

Tentang sahabat baikku, Rendy Hamdani.

+++

Mengapa pula kak Wira harus menyinggung soal Rendy? Aku masih kesal dan obrolanku dengan kak Wira langsung memburuk. Akhir obrolan kami pun tampak tidak menyenangkan dan jelas itu adalah murni kesalahanku, hanya karena perubahan mood-ku yang menurun drastis. Padahal aku tidak tahu kapan lagi aku bisa berbicara panjang-lebar dengan kak Wira.

Malam ini aku pun tertidur dan memimpikan hal yang berhubungan erat dengan kejadian enam tahun yang lalu. Aku berada di suatu lapangan badminton dan melihat sosok laki-laki yang terluka dan berlumuran darah. Disampingnya tampak sebuah sepeda motor yang sudah tak berbentuk. Lelaki itu bersedih dan tersenyum lirih ke arahku. Aku jelas tahu siapa dia, ia adalah Fandli. Namun aku melihat nama yang terukir di baju lelaki itu, bukanlah nama aslinya. Tetapi nama Hamdan terukir disana.

Aku pun terbangun dan menyumpahi Fandli. Ingin rasanya aku mengutuknya karena kesamaan namanya dengan...Rendy. Padahal kesamaan nama mereka hanyalah sedikit. Namun mengapa pikiranku sampai kacau seperti ini?

Rendy Hamdani dan Fandli Nur Hamdan.

Aku rasa mimpi ini perlahan merubah hidupku.

+++

.

.

.

.

AWAL FEBRUARI 2017

Kepanitiaan Try Out pun telah berakhir namun harus kuakui bahwa aku benar-benar tidak menyukai kepanitiaan satu ini. Mengapa? Jelas saja, karena acara ini seharusnya selain menjadi ajang untuk berproses, namun dalam beberapa hal tak bisa dipungkiri bahwa ajang TO ini justru menjadi sarang Cinlok antar kader.

Dimulai dengan Nacil dengan mas Yaji—pada akhirnya. Dan kini malah aku tertuduh dekat dengan Fandli alias si Hamdan menyebalkan itu?! Yang benar saja.

Sudah kuperjelas, bukan? Bahwa aku membenci lelaki manapun itu. Ditambah lagi aku membenci nama Fandli yang sangat mirip dengan Rendy itu. Jangan pernah coba-coba untuk menjodohkanku dengan lelaki manapun itu. Sehingga sekeras mungkin aku menjaga agar tak ada yang menyebarkan gosip apapun tentangku dan Hamdan.

Ah, sial. Aku selalu saja memanggil Fandli dengan sebutan Hamdan sampai saat ini. Aku tidak mengerti sebenarnya apa yang salah dengan otakku sehingga otomatis saat melihat wajah Fandli, kata Hamdanlah yang terucap di benakku.

Mengapa pula harus dengan nama Hamdan?

Ia malah semakin mengingatkanku pada almarhum Rendy. Sosok lelaki yang bahkan tidak berhasil kuingat wajahnya sampai saat ini. Aneh, padahal ia harusnya menjadi salah satu orang terpenting di dalam hidupku. Mengapa aku justru tidak bisa mengingat wajahnya?

+++

"Kamu salah, honey. Tidak perlu terlalu menganggap terlalu serius soal itu. Seharusnya kamu mengambil kesempatan yang lebih besar."

"Kesempatan macam apa lagi? Mereka itu menyebalkan karena seenaknya saja mengejekku yang tidak-tidak," cetusku di telefon.

Kak Wira menghembuskan napas berat. "Kamu ini masih saja tidak berubah. Maksudku seperti ini, dibawa santai saja. Tidak perlu terlalu dipikirkan soal itu. Suka atau tidak kamu dengan Hamdan, sebaiknya kamu mengambil sisi positifnya. Hey, kapan lagi kamu bisa akrab dengan teman-temanmu itu? Menjalin relasi sebanyak mungkin itu penting di dunia universitas. Itu yang jadi kunci utamanya."

Benar juga apa kata kak Wira.

"Kamu mendengarku, Vina?"

"Iya, kak."

"Good. Nah jadi tidak usah terlalu dibawa perasaan kalau mereka mengejekmu, okay darling? Santai saja dan ambil kesempatannya untuk semakin mendekatkan diri dengan teman- teman barumu. Tidak perlu dipedulikan bahwa mereka sering mengejekmu dengan Hamdan itu."

"Sebenarnya mengejek bukan kosakata yang tepat sih kak. Lebih tepatnya mencomblangkan."

"Yah sama sajalah," ucap kak Wira dengan gusar. Aku terkikik dan kini kembali tersenyum. Selanjutnya kami lebih sering mengobrolkan hal lain. Kak Wira memang saudara laki-laki terbaik yang pernah kumiliki selama ini. Walaupun bukan benar- benar saudaraku. Tetapi ia sudah seperti kakakku sendiri.

Kak Wira memang benar. Sebaiknya aku membangun relasi yang lebih banyak. Seharusnya aku lebih menyampingkan ke-egoisan milikku dan mulai merubah jati diriku yang lama. Jati diriku yang dahulu cuek, pemarah, jarang tersenyum, kurang bersahabat, main pukul, atau lainnya. Seharusnya aku dapat merubahnya. Maka seharusnya aku jauh lebih terbuka saat ini.

Sehingga aku harap aku dapat menjalin pertemanan lebih dengan mereka, semoga saja.

+++

Hamdan: Vinaa....

Me: Ada apa, Fandli?

Hamdan: Panggil Hamdan saja.......

Me: eh?

Hamdan: Kan kamu sendiri yang kasih nama

Hamdan di ponselmu. Ya kan...?

Yasudah, mulai saat ini kamu boleh memanggilku Hamdan.....

Sial, mengapa ia sampai tahu? Wajahku memerah padam.

Hamdan: Kamu sedang apa...?

Me: ngerjakan tugas

Hamdan: wah aku mengganggu ya?

Me: Tidak

Obrolan demi obrolan pun berlanjut. Berhubung aku sedang bosan dan lelah berkutat dengan laptopku terus─dengan makalah anatomi tumbuhan yang entah mengapa tidak kunjung selesai─aku pun dengan senang hati mulai berkirim pesan dengan Hamdan. Ia menanyakan kabarku, dan aku juga menanyakan kabarnya. Karena sejak kemarin aku sudah memutuskan untuk lebih membuka diri, berteman dengan siapapun. Menjalin silahturahmi.

Lagi-lagi aku memanggilnya dengan sebutan Hamdan di luar kepalaku. Ah, yasudahlah. Aku akan memanggilnya Hamdan saja mulai hari ini.

Karena aku memikirkan perkataan kak Wira, bahwa aku harus membuka diri pada siapapun. Namun jelas aku membatasi diriku untuk tidak jatuh hati.

Hamdan: berarti kamu tidak ikut tracking saat itu? Tracking ke Coban Talun untuk refreshing para panitia TO........

Me: Begitulah. Sedang ada masalah di kos. Sampai akhirnya aku yg harus pergi lebih dulu..

Hamdan: Sayang sekali, padahal view pemandangan di Coban itu bagus sekali......

Me: Sama saja dengan Coban Rondo kan?

Oh, aku sudah pernah ke Coban Rondo

Hamdan: Bukan. Beda sekali. Kalau panitia kemarin kan tracking di Coban Talun. Viewnya jauh lebih bagus......

Aku mulai terlena dan asyik sendiri sms-an dengan Hamdan. Benar apa yang kak Wira katakan, menjalin pertemanan dengan siapa saja ternyata mengasyikkan juga. Tanpa kusadari tak terasa jam sudah menunjukan hampir sepuluh saja. Biasanya jika jam sudah menunjukan angka sepuluh, aku sudah kelelahan dan mulaimasuk kedalam selimut biru tebal favoritku. Namun saat ini perhatianku lebih teralihkan ke layar ponsel.

Sampai pada akhirnya aku benar-benar tertidur.

+++

Ini sudah hari keempat aku sms-an dengan Hamdan, dan aku terlihat menikmatinya. Mungkin karena aku sudah bosan dengan teman smsku yang hanya Nacil, dan Helicia. Aku menghembuskan napas berat, merasa kecewa karena kak Wira menghilang kembali. Well, mungkin ia sedang sibuk kembali. Terkadang aku tersenyum sendiri karena omongan Hamdan yang terkadang aneh, namun aku tak peduli. Yang terpenting adalah rasa bosanku hilang.

Hamdan: kamu ikut kajian hari ini?

Me: kajiannya Nacil ya?

Hamdan: katanya Mas Yaji sih begitu. Aku disuruh ikut......

Me: yasudah ikut sana

Hamdan: kamu sendiri... ikut?

Me: ikut tidak ya... sebenarnya agak malas sih.

Tugas kuliahku banyak sekali..

Hamdan: ayo ikutlah... :D

Aku menimbang-nimbang sejenak dan menghembuskan napas berat. Aku melirik frustasi melihat tugas Biologi Sel yang belum kukerjakan sama sekali. Aku juga melirik kembali ke laporan misiku kemarin yang belum selesai kusentuh. Dalam hati aku berpikir, biarlah jarang-jarang juga aku begadang untuk nugas di awal-awal semester.

Ayolah, Vina. Semangat. Bangun relasimu seluas mungkin!

Malam itu Nacil mengisi kajian di basecamp organisasi perkaderan kami, yang dimana kajian tersebut tentang "Kandungan EQ, IQ, dan SQ pada surat Al-Fatihah." Saat itu aku hampir tidak fokus dengan kajian karena beberapa kali aku salah fokus pada Hamdan, yang sedaritadi kuperhatikan ia tertangkap basah sedang memperhatikanku. Aku mengerutkan keningku.

Kumohon, tidak perlu GR, Vina. Ucapku pada diriku sendiri.

Hamdan: Kamu sakit ya....?

Aku tertegun melihat sms yang masuk ke ponselku. Yang benar saja, dia memberiku pesan padahal dia sendiri sedang ada di depanku saat ini? Mungkin kah ia sedang kurang kerjaan?

Me: Tidak. Ada apa?

Hamdan: mukamu pucat. Kamu sakit?

Hamdan: aku antar pulang ya......

Kalau saja aku bisa bertanya, bukankah pesan darinya ini benar-benar tidak perlu kujawab ya? Dia jelas-jelas ada di depanku, duduk berhadap-hadapan denganku, tetapi ia malah lebih memilih ber-sms-an denganku, tanpa bicara langsung denganku? Pasti ada yang geser di dalam otaknya.

Aku berusaha mungkin untuk tidak mempedulikannya, karena saat ini aku sedang bertugas memoderatori kajiannya Nacil, dan aku berusaha mungkin untuk tidak mengubris Hamdan. Namun tanganku gatal, ingin sekali memegang ponselku.

Entah mengapa aku memandang Hamdan dengan cara yang berbeda sekarang.

Timbul perasaan lain saat aku melihatnya saat ini. Semenjak mimpi itu...

Aku tak mau berharap apapun, berharap tinggi pada siapapun. Karena kak Wira juga pernah menasihatiku kalau kita tidak boleh menggantungkan harapan berlebih pada seseorang. Dan lagipula aku tidak tahu bagaimana perasaan Hamdan kepadaku. Aku pun tidak mau tahu soal itu. Lagipula untuk apa aku memikirkan sesuatu yang sia-sia?

Dan lagi, beberapa minggu yang lalu Nacil mengaku padaku bahwa ia menyukai Hamdan—yang dulu masih kupanggil dengan sebutan Fandli—dan berniat untuk mendekatinya. Seketika aku langsung menepuk keningku begitu saja. Betapa bodohnya aku. Bagaimana mungkin aku tega tidak memikirkan perasaan Nacil terlebih dahulu. Ditambah lagi beberapa minggu terakhir ini juga Nacil tampak menjauhiku. Apalagi saat Nacil melihat Hamdan yang terang-terang selalu menghampiriku di setiap waktu luang. Kupikir ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Hamdan.

Kurasa aku harus tegas menjauhkan diri dari Hamdan. Aku tidak ingin mengorbankan temanku apalagi tampak terlihat seperti aku merebut laki-laki incarannya.

Tetapi entah mengapa perasaanku menjadi tidak karuan. Sial, rasanya sulit sekali memerintah otakku untuk menjauhi Hamdan pula.

Perasaan macam apa ini?

+++

Saat ini aku mencoba untuk berbicara dengan Nacil di tempat kos kami. Kali ini aku akan menghampirinya di kamarnya yang jaraknya cukup jauh dari kamarku. Tiba-tiba saja aku teringat bahwa saat kami masih menjadi mahasiswa baru di semester lalu, kami cukup akrab satu sama lain. Namun semenjak aku bergabung dengan Hunters, jarak antara aku dan Nacil semakin jauh satu sama lain. Aku hampir jarang ikut kerja kelompok dengan Nacil dan lebih memilih mengerjakan tugasku di Hunters. Ditambah lagi kini posisi Hamdan yang juga lebih dekat denganku dibandingkan dengan Nacil.

Semoga hubunganku debgn Nacil masih baik-baik saja.

Kini kuketuk pintu kamar Nacil dan kini kusiapkan diriku untuk berbicara dengan baik.

Nacil membuka pintu kamarnya akhirnya. Sebelumnya, kulihat raut wajah ceria tampak terukir di wajahnya karena tampaknya ia baru saja latihan menari di kamarnya. Namun tiba-tiba saja senyumannya meluntur dan kegarangan kini menghiasi wajahnya.

"Apa?" raut wajahnya tampak lebih dingin. Aku menelan ludahku.

"A...." ucapanku terpotong. Sial, mengapa aku jadi kehabisan kata-kata begini?

Sepuluh detik berlalu begitu saja dalam kesunyian. Nacil mengetuk-ngetukkan kakinya tak sabaran. Sementara aku masih diam membisu. Aku tahu aku berada dalam kondisi yang membingungkan. Dan tentu saja, aku tahu bahwa Nacil saat ini tampak kesal atas kedatanganku yang mungkin menganggu aktivitasnya. Atau jangan-jangan karena hal lain? Karena ia merasa aku merebut Hamdan-nya misalnya? Seketika pikiranku buntu.

Mungkin saja pikiranku terlalu jauh. Santai saja, Vina.

Tetapi masalahnya adalah aku tak pernah melihat wajah Nacil sampai sepahit ini padaku.

"Vina!"

Baik Nacil maupun aku sama-sama menoleh ke arah sumber suara tersebut. Itu adalah suara penjaga kosku. Aku menjawab panggilan itu, namun mataku tetap tak lepas dari Nacil. Karena aku adalah pengamat yang lihai.

"Ada laki-laki namanya Hamdan, lagi menunggumu di depan!" sahut penjaga kosku kembali.

Aku tersentak mendengar kata-kata yang keluar dari mulut penjaga kosku. Seketika hatiku terasa was-was. Dengan perasaan teramat takut, aku mencoba memberanikan diri untuk melihat Nacil di sudut mataku.

Benar apa dugaanku. Kulihat seorang gadis penuh kemarahan memenuhi wajahnya di hadapanku. Seketika aku seperti membeku.

"Jadi, bagaimana nih?! Kamu ada urusan apa menghampiriku?!" suara Nacil naik satu oktaf. Sementara aku masih membisu.

Ia tampak sudah tak sabar lagi denganku. Dan setengah detik kemudian ia membanting pintu kamarnya hingga tertutup rapat.

Kini aku pergi meninggalkan kamarnya dengan perasaan campur aduk.

+++

.

.

.

.

.


notes:

Grup WHATSAPP bersama untuk penulis Wattpad


Hai, aku sedang mencari author yang suka menulis diwattpad. Apakah ada diantara kalian yang suka menulis dan/atau membaca wattpad?

Kalau ada, aku mau tawarkan untuk join di grup wattpad bersama seluruh penulis wattpad indonesia (by whatsapp grup kecil). Ayo kita build up akun wattpad bersama, agar tidak sekedar spam komen dan vote saja. Kita bisa saling membaca, komentar, dan yang paling penting adalah sharing antar kepenulisan. Ditunggu kabarnya yaa.. terimakasih

Salam ftujuh!

Continue Reading

You'll Also Like

296K 19K 34
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, masyaallah tabarakallah, Allahumma Shalli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aali sayyidina muhammad, ini...
1.2K 131 7
Terbangun di tempat asing dan menikah dengan seorang janda? Itu adalah hal gila yang tak pernah Ghevan pikirkan. Dia baru saja mengalami peristiwa y...
46.6K 2.4K 10
Sosok itu muncul diatas ranjangnya, seperti sebuah cahaya namun berubah menjadi manusia. [on going] Nomin Jeno Jaemin Mature content M_preg
490K 92.8K 168
[TERJEMAHAN YANG SUDAH DI EDIT] *** Seluruh dunia menjadi sasaran ujian yang sangat berbahaya yang disebut Ujian Masuk Perguruan Tinggi Global. Peser...