FL • 2 [Armonía]

By winterinnight

1.1M 38.1K 2.5K

Dimulai dari Evarado Nathaniel, seorang pemuda yang masih SMA mengikuti Maudy Caroline sampai batas Hutan Ter... More

Prolog
01 : Ketertarikan Evarado Nathaniel
03 : Ingatan Masa Kecil
05 : Penyerangan Maudy Caroline
07 : Kilasan Kenangan
11 : Akhirnya, Aku Menemukanmu
13 : Selamat Datang Di Laraine
15 : Sedikit Kenyataan
17 : Terkuburnya Rasa Sayang
19 : Berubah Menjadi Gelap
21 : Direnggutnya Kebebasan
23 : Persiapan (?)
25 : Terbalut Lapisan
27 : Ketika Mata Berbicara
29 : Bulan Kembar
31 : Melepaskan & Kembali
Epilog

09 : Mencari Masa Lalu

29.2K 1.9K 69
By winterinnight

“Zarra pulang jam berapa?”

Pergerakan Maudy yang tengah menuangkan air panas ke dalam cangkir terhenti. Wajahnya terangkat, menatap Nathan yang sedang menunduk membaca majalah. Ekspresi Nathan tidak terlihat karena sejak tadi Nathan memperlihatkan punggungnya.

“Umm, bentar lagi mungkin,” Maudy mulai kembali ke alam sadar. “Emang kenapa?”

Nathan memutar tubuh mendengar suara ketus keluar dari bibir Maudy. Sepertinya, dia agak marah. Kenapa? Nathan kan hanya penasaran dengan kepulangan Zarra. Dia ingin bertanya sesuatu.

“Gue cuma mau tanya sesuatu kok sama dia,” mata Nathan bergerak mengikuti Maudy yang berjalan mendekatinya. Memberikan segelas teh manis hangat.

“Emm,” Maudy menggumam. “Sesuatu, ya ....”

Suasana mendadak canggung. Wajah Maudy yang tadinya biasa-biasa saja kini tampak tak nyaman dan bibirnya agak melengkung ke bawah. Jemari yang menggenggam erat ujung nampan membuat Nathan sadar bahwa dia salah berbicara.

Ketika Nathan akan mengajukan pertanyaan lainnya, Maudy berdiri dan meminta izin untuk mengganti seragam. Ah ya, mereka baru pulang sekolah. Nathan dimintai tolong untuk mengajari salah satu materi yang belum dikuasai Maudy.

Baru beberapa menit Maudy masuk ke dalam kamar, pintu depan terbuka. Nathan melongok sedikit, menampakkan wajah dan melihat Zarra tengah melepas sepatu sekolah. Redhood Witch sudah terbang mendekati Zarra. Membuat gadis itu terperangah kaget karena kehadiran slave kecil di hadapannya.

“Siang, banshee!” sapa Redhood Witch ramah.

“Hei. Siang. Kamu ada di sini?”

Mata Zarra meliar, menyisir lorong sebelum benar-benar tertumbuk pada ruang tamu. Kalau ada Redhood Witch, berarti ada Nathan. Tidak mungkin dia ke sini sendirian. Ada urusan apa pula?

“Ya, aku di sini menemani Nathan untuk belajar.”

“Ooh,” Zarra mengangguk mengerti dan tersenyum saat melihat sosok Nathan yang sudah berdiri. Siap menyambut Zarra. “Hai, Kak. Lagi nunggu Kak Maudy, ya?” gadis itu sudah tau, Nathan kemari pasti hanya untuk Maudy.

Nathan mengangguk. Tuh kan, tebakan Zarra benar.

“Lo baru pulang?” pertanyaan yang langsung dijawab anggukan. Tetapi baru saja Zarra akan pergi melengos ke kamar, pergelangan tangannya dicekal Nathan. “Bisa ngomong sebentar?” pintanya dengan sorot memohon.

Sebenarnya Zarra ingin sekali duduk dan mengobrol dengan Nathan. Berjam-jam pun, Zarra rela. Tetapi masalahnya, Nathan adalah laki-laki yang disukai kakaknya. Masalahnya adalah ia memiliki perasaan pada pemuda ini.

Dan Zarra yakin betul, Maudy cepat atau lambata akan sadar pada perasaan terpendamnya ini. Bukankah cinta bisa dilihat dari cara seseorang memandang?

Mau tak mau, Zarra mengangguk. Tangannya berputar, meminta kebebasan dari cengkraman Nathan. Setelah yakin Zarra menyetujui permintaannya, Nathan melepaskan cengkraman lalu duduk tepat di hadapan Zarra.

“Pertanyaan gue agak aneh nih,” Nathan menggaruk kepala. Membuat Zarra semakin penasaran. “Sebenernya, lo berasal dari mana?” kening Zarra berkerut samar. “Ma-maksud gue, lo kan seorang banshee, jadi, asal lo dari mana?” Nathan bertanya, menekan volume suaranya di kata ‘banshee’.

Zarra menghela napas. Ada apa tiba-tiba Nathan menanyakan asal muasal dirinya?

“Sayangnya, gue gak tau,” ujar Zarra cuek. “Gue diketemuin sama Kak Maudy saat umur tiga tahun. Pas itu aja gue gak inget nama. Apalagi asal.”

“Kalo gitu, lo pernah masuk ke dalam hutan terlarang?”

“Enggak lah. Namanya juga terlarang.”

“Mau nyoba masuk?”

“Buat apa?”

“Gue mau menunjukkan sesuatu sama lo.”

Mata Nathan menatap Zarra lurus-lurus. Sorot penuh keyakinan itu, benar-benar membuat Zarra penasaran. Ada apa sebenarnya di dalam hutan terlarang itu? Apa ada suatu hal aneh yang tidak bisa diterima akal sehat manusia makanya Nathan mengajaknya ke sana? Atau jangan-jangan ... hutan terlarang itu berhubungan dengan dirinya?

“Menunjukkan apa?”

Suara Maudy membuat lamunan keduanya buyar. Ikatan pandang mereka terlepas seketika. Redhood Witch saja ikut berjengit. Mereka kaget karena kedatangan Maudy yang tiba-tiba.

“Menunjukkan apa? Gue boleh liat gak Nat?” Maudy menatap Nathan dengan senyuman manis. Dia penasaran, sumpah. “Kalo gak boleh sih gak apa-apa,” dia mencoba tak peduli. Tapi, Nathan pasti juga akan memberitahukan sesuatu itu padanya.

Mata Nathan membesar mendengar ucapan Maudy. Ah, tidak mungkin kalau dia memberitahu Maudy tentang penemuan bangsa peri, bukan? Maudy hanya manusia biasa.

“Gak ada apa-apa kok,” Nathan menggeleng cepat. “Gue cuma bercanda sama Zarra,” Nathan melirik Zarra. “Jangan bilang lo percaya sama omongan gue? Haha!”

Zarra yang sebelumnya menatap Maudy dan Nathan bergantian langsung membisu. Dia bingung harus berkata apa. Apa wajahnya semenakutkan itu hingga Maudy menatapnya sampai tak berkedip? Redhood Witch bahkan menatapnya dengan sorot bersalah sebelum kembali memandang Nathan.

“Bodoh,” celetuk Redhood Witch sambil mendengus sebal.

Nathan bercanda?! Zarra hampir saja berteriak saking kesalnya. Dia sudah serius mendengarkan, dan ternyata sejak tadi dia hanya dikerjai? Sungguh keterlaluan. Zarra bangkit dengan wajah memerah lalu masuk kamar. Membanting pintunya dengan keras.

Maudy berdecak sebal lalu duduk di tempat yang sebelumnya di duduki Zarra. Muka dilipat-lipat. Membuat Nathan melirik takut-takut. Redhood Witch sendiri sebenarnya ingin menghampiri Zarra, namun ia tidak bisa meninggalkan Nathan.

“Lo kenapa? Kok jutek gitu sama gue?” tanya Nathan sebal.

Maudy menghela napas, bertopang dagu menatap Nathan. “Bercandanya kelewatan deh ...,” dia menggelengkan kepala. “Hal kecil merupakan sesuatu yang sering nyakitin hati cewek.”

Apa? Hal seperti tadi membuat Zarra sakit hati? Nathan benar-benar tak percaya.

Sorry,” sesal Nathan.

“Minta maafnya ke Zarra, jangan sama gue.”

•••

Zarra mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Tanpa melepas kaus kaki, dia membaringkan tubuhnya di ranjang. Perlahan-lahan, jari kirinya bergerak mendekati pergelangan tangan kanannya dan menyentuh bagian dalam.

Tepat di mana tato tengkorak akan berdenyut ketika radarnya menemukan aura kematian.

Mengingatkannya akan pertanyaan Nathan tadi. Kenapa Nathan harus bertanya hal sesensitif itu? Zarra mengerang kesal, berputar memeluk guling dan berteriak kesal. Marah pada diri sendiri karena nyatanya Zarra tidak tau dari mana asalnya. Dia selalu berpikir bahwa ini adalah dunianya. Dia tidak memiliki kehidupan yang lain.

Bahkan rasanya Zarra ingin sekali melepas jiwa banshee-nya dan menjadi manusia seutuhnya. Tapi, apa bisa? Dan jawabannya hanya satu. Tidak bisa. Karena banshee lahir dari kesedihan para anggota keluarga yang ditinggal pergi.

...........

Pemuda itu duduk di pinggir jendela, memperhatikan halaman istana megah yang diselimuti aura hitam. Sungguh miris. Ketika pemandangan hutan hijau yang semestinya menyambut penglihatan berganti menjadi pohon kering dan rerumputan yang menghitam.

“Pa-paa! Aaa-aaaa Luu maa-uu ke-caa-naa!!” suara yang telah menemani si pemuda selama beberapa minggu terdengar nyaring. Rufina ingin ikut duduk di dekat jendela sepertinya.

Si pemuda melirik Rufina yang tengah berjalan dengan mata berbinar. Pandangan Rufina fokus pada si pemuda. Meski langkahnya sedikit goyah, namun ia berjalan pasti ke depan. Manik matanya memantulkan wajah pemuda yang menatapnya tanpa berkedip.

Tangan pemuda itu terjulur. Bibirnya merapalkan mantera hingga terlihat lapisan hitam tipis yang mengelilingi Rufina. Melindungi gadis itu agar tak terjatuh. Pemuda itu bangkit, berpindah posisi agar matanya sejajar dengan Rufina. Memudahkan Rufina untuk menggapainya.

Matanya menatap kaki pendek Rufina yang menapaki dinginnya lantai marmer. Perlahan tapi pasti hingga Rufina berjarak beberapa langkah darinya. Mata bulat Rufina berseri, tawanya sangat manis. Dipastikan akan membuat siapa pun ikut tersenyum. Tetapi kenapa pemuda itu berwajah datar? Ah benar, dia dilahirkan tanpa emosi.

Kepalanya mengangguk kaku saat Rufina berhasil mendekapnya. Gadis itu tampak senang berada di pelukan si pemuda. “Pa-paa ... Pa-paa Luu!”

Pemuda itu menggeleng. “Aku bukan Papa.”

Tapi Rufina tetap menepuk-nepuk wajah si pemuda dengan raut bahagia sembari memanggilnya ‘Papa’. Pemuda itu sempat mengerjap saat jemari kecil Rufina mencolok matanya. Tidak sakit, hanya terasa sedikit perih.

Tangannya mengangkat Rufina tinggi-tinggi. Sebenarnya ingin membuat Rufina takut karena ketinggian, namun gadis kecil itu malah tertawa senang.

“Luu caa-yaang Pa-paa!” Rufina mendekat dan mengecup bibir pemuda itu selama beberapa detik. Si pemuda kaget. Tetapi Rufina hanya membalas dengan senyum lebarnya. Benar-benar, Rufina sama sekali tak takut dengan ekspresi datar si pemuda.

“Anak bandel,” si pemuda menggumam sebelum memeluk erat Rufina. “Kamu aku hukum. Gak boleh ke mana-mana. Harus tetap di sini, selamanya.”

...........

Eh? Zarra mengedip. Cairan panas bening mengalir begitu saja setelah melihat kilasan kenangan itu. Dia terduduk, menyentuh pipinya yang sudah basah. Kenapa dia menangis? Kenapa ada rasa kerinduan pada pemuda bertudung itu? Kenapa Zarra tidak bisa melihat wajahnya? Kenapa?

Zarra tidak mengerti sama sekali. Apa itu adalah dirinya? Jadi nama asli dia adalah Rufina? Benar-benar cocok untuknya yang memiliki rambut merah. Kalau benar, kenapa dia bisa dekat dengan sosok pemuda bertudung itu? Bukankah dia jahat?

Kepalanya semakin tenggelam di bantal. Dia benar-benar kesal saat ini. Kenapa kilasan itu baru muncul sekarang?

Tok! Tok! Tok!

Ketukan pintu. Zarra terduduk. Tidak mungkin itu Maudy. Kakaknya pasti akan langsung masuk tanpa mengetuk pintu seperti itu. Zarra bangkit, hendak membuka pintu namun tangannya tertahan saat mendengar suara Nathan.

“Zarra? Lo di dalem ‘kan?” Nathan berdiri di balik daun pintu, menurunkan tangan dan menunduk dalam. “Kalo lo denger, coba ketuk pintu dua kali.”

Mata Zarra dan Redhood Witch berputar malas. Keduanya sama-sama menganggap Nathan terlalu berlebihan. Tetapi yang bersuara hanyalah Redhood Witch.

“Gak usah sok keren. Dia ada di dalem kok, dengerin ucapan kamu,” Redhood Witch gemas.

Tetapi Zarra malah tertawa kecil, menutupi mulutnya dengan sebelah tangan. Tangan satunya yang bebas mengetuk pintu dua kali. Menyambut permintaan Nathan. Nathan yang merasa menang karena telah membuat Zarra mengetuk pintu dua kali memeletkan lidah pada Redhood Witch.

“Pertama-tama, gue minta maaf,” Nathan bergumam. “Omongan gue yang tadi itu serius. Gue bilang itu bercanda ... soalnya,” Nathan melirik kanan kiri. “Ah ...,” tangannya mengacak rambut. Gusar. Bingung untuk menjelaskan. “Lo pasti tau kan penyebabnya kenapa tadi gue begitu?”

Mungkin. Mungkin Zarra mengerti. Apa ini ada hubungannya dengan sosok Zarra yang sebenarnya? Kalau dipikir-pikir, memang sih, tidak mungkin juga membicarakan soal ‘asal muasal dirinya yang seorang banshee’ di hadapan Maudy.

“Sebenernya, di hutan terlarang itu ada sesuatu yang mungkin berhubungan sama lo,” Zarra mendengarkan dengan seksama. “Kalo lo mau, gue bisa nganterin lo ke tempat itu.”

Diam. Tak ada jawaban dari Zarra.

Nathan melirik Redhood Witch, namun slave kecil itu hanya mengangkat bahu. Tak mengerti kenapa Zarra hanya diam tak menyahuti penjelasan singkat Nathan. Tidak mungkin kan dia membicarakan perihal bangsa peri dengan Zarra secara langsung sementara Maudy ada di sekitarnya?

“Gimana? Kalo lo mau, besok sepulang sekolah temui gue di perbatasan hutan terlarang. Tempat di mana pertama kali kita ketemu.”

•••

Sudah pukul sebelas malam dan Zarra masih saja terduduk di kursi meja makan. Sendirian. Dalam keadaan gelap gulita. Kepalanya tertunduk dalam, terkulai lemah sampai keningnya berada di atas lipatan tangan.

Hatinya terasa sakit. Tepat setelah ia menyanyikan lagu kematian untuk seorang gadis kecil, sesuatu terjadi. Ketika ia berniat untuk berbicara dengan gadis itu dalam sosok manusia, hal mengerikan kembali terulang.

Pemuda bertudung datang. Wajahnya masih sama. Menunduk dalam, bersembunyi di balik kain hitam. Zarra benar-benar tak bisa berbuat apa pun ketika darah gadis kecil yang tengah berdiri di bawah hujan itu dihisap habis.

“Bego, bego, bego,” Zarra membenturkan kepalan tangannya berulang kali ke atas meja. “Kenapa gak nolong? Kenapa gue cuma diem aja?”

Harusnya Zarra bisa menolong anak itu. Namun ia tak berani berubah menjadi banshee. Bahkan ketika ia dalam keadaan penasaran pada pemuda bertudung, dirinya tetap diam seperti patung. Tidak berani mendekat saat proses itu berlangsung. Dia bodoh atau bagaimana?

Dukk. Zarra mengerjap. Suara apa yang barusan ia dengar? Kepalanya berputar, menoleh ke asal suara. Samar-samar, terdengar suara grasak-grusuk dari arah balkon tempat biasa menjemur pakaian.

Krieet. Zarra mendorong kursinya perlahan lalu bangkit mencari benda yang bisa ia gunakan untuk dijadikan senjata. Dia curiga. Apa jangan-jangan itu pencuri? Kecurigaan Zarra yang semakin besar bisa dilihat dari tangannya yang menggenggam sapu dengan erat.

“Zarra? Lo belom tidur?” suara Maudy membuatnya terkesiap.

Suara Maudy berasal dari arah depannya—balkon. Sapu di tangan Zarra terlepas, ia menghela napas lega dan menyalakan lampu. Berkacak pinggang melihat kakaknya sedang bersandar santai di pagar balkon.

“Kak. Lo tuh ya, ngagetin orang melulu kerjaannya,” Zarra berdecak sebal. “Ngapain coba malem-malem di balkon gitu? Latihan jadi maling?”

Maudy terkekeh dan berjalan mendekati Zarra setelah mengunci pintu balkon dari dalam. Bahunya terangkat sejenak. Tak peduli dengan cibiran sebal yang masih dilontarkan Zarra.

“Gue cuma lagi bosen aja di kamar.”

“Lo gak bisa tidur atau memang ngigo?”

Maudy kembali menaikkan bahu. “Gak keduanya ... mungkin.”

“Lo aneh.”

Maudy melirik penuh arti menanggapi ucapan Zarra. Tubuhnya berputar, membereskan piyamanya yang agak berantakan sebelum duduk di kursi meja makan. Dia bertopang dagu lalu meminta Zarra untuk duduk di hadapannya.

Setelah Zarra duduk manis, Maudy muemulai pembicaraannya.

“Kalian aneh.”

Zarra mengerutkan kening. “Ha? Kalian? Siapa?”

“Gue penasaran sama kalian sejak awal.”

“Apaan sih Kak ... Gue gak ngerti,” Zarra mengerang kesal karena Maudy berkata sesuatu yang tak menjawab kebingunannya.

“Elo sama Nathan,” Maudy menghirup napas dalam-dalam. Matanya menatap awas Zarra yang sudah tegang. Bukan, Zarra bukannya takut Maudy akan tahu perasaannya pada Nathan. Tetapi ia sangat khawatir kalau Maudy akan menanyakan hal lain seperti ‘apa yang dibicarakan mereka’.

“Gue sama Nathan aneh? Apa juga yang aneh,” Zarra tak berani menatap manik mata lawan bicaranya.

“Kalian nyembunyiin sesuatu dari gue, ya kan?” mata Maudy menyipit. Penasaran.

“Enggak elah, Kak,” Zarra meremas tangannya gusar. “Penasaran banget.”

“Ya jelas penasaran. Adik sama gebetan gue punya rahasia bersama.” Maudy membentuk tanda kutip dengan jari telunjuk dan tengahnya saat pengucapan kata ‘rahasia’.

Tepat menusuk jantung Zarra.

Zarra tertawa canggung. Menggaruk kepala dengan gusar. Ia menghela napas berkali-kali, bingung mau mengatakan apa. Tetapi akhirnya ia bangkit dari duduk dan memutuskan untuk kembali ke kamar.

Tepat setelah Zarra tersenyum kecil dan berucap, “suatu saat nanti lo akan tau sendiri, Kak. Tapi maaf, buat sekarang lo gak usah tau dulu. Belum saatnya. Gue bisa pastiin, hal itu gak akan merusak hubungan lo sama Kak Nathan. Gue janji,” gadis itu berbalik dan meninggalkan Maudy yang mematung.

Sembari memiringkan kepala, Maudy tersenyum lemah. “Tapi siapa yang bisa jamin hati Nathan gak akan berpaling?”

==========

TBC . Minggu, 28 September 2014 . 15:13

A/N : ada yang udah punya bayangan gimana ke depannya cerita ini? heuheu xD oh ya, setau gue nih ya, banshee itu termasuk dlm bangsa peri. coba cari di google ya, hakhakhak. ganti cover nih. bagus gak? ._. semoga part ini gak aneh ya hehe :*

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 109K 58
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
886K 123K 50
Menjadi mantan wanita malam membuat Kania merasa tak pantas jatuh cinta pada Theo, si pria istimewa pengidap sindrom asperger. Namun, ketika Theo mem...
165K 5.6K 6
Akibat sebuah sumpah asal yang kebetulan diaminkan oleh semesta, Matheo Wiranagara cowok bertitel internasional playboy, harus memacari Raisha cewek...
541K 6.6K 23
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+