Right Eye

Від Catsummoner

916 67 45

Dia cukup beruntung terlahir di negara yang aman dan relatif damai dalam Plate buatan. Dia juga dibesarkan da... Більше

Prakatanya Prakash
Sebuah Serangan
Ibunda
4 Sekawan
Perkumpulan
Pertemuan Pertama
Gerbang Masuk
Sweet Punishment
Ruby Vines
Forbidden Room
Fragrant Orchid
Stranger from Faraway (1)
Stranger from Faraway (2)
Bitter Sip
Colloquium

Keputusan

77 4 5
Від Catsummoner


Malam kedua di rumah sakit sejak Alex sadarkan diri. Dia sama sekali tidak merasa mengantuk, mungkin akibat dari rasa cemas yang bertumpuk dalam benaknya. Dia resmi diijinkan untuk keluar dari rumah sakit, tetapi kabar itu tidak sedikit pun membuatnya gembira.

Berbagai pikiran gelisah terus berkecamuk, hingga dia tidak menyadari seseorang diam-diam sudah berdiri tak jauh dari ranjangnya.

"Kali ini kau tidak tidur?"

Biasanya bila Alex mendengar suara sapaan perempuan yang beberapa tahun terakhir ini mendampinginya sebagai teman dan mentor itu dia akan segera melompat untuk menyambut. Namun kali ini Alex tetap terpekur duduk di ranjang rumah sakit.

"Seharusnya kau tidak usah repot-repot menyusup masuk ke sini, Kak Lien," gumam Alex tanpa mengalihkan pandangan dari potongan berita koran yang diselipkan di buku catatannya.

"Ya ... Ya, lama tidak berjumpa. Aku juga kangen pada sikap negatifmu, Lui!" balas Lien Hwa. Tangannya dikibaskan dengan acuh seraya berjalan mendekat.

"...Gara-gara berita konyol ini, kukira?"

Lien menyambar potongan koran dari tangan Alex dan melambaikannya ke arah lampu kamar, seolah hendak mencari gambar tersembunyi yang mungkin ada di situ.

"Aku sudah katakan padanya, kau pasti bakal terlalu kepikiran kalau berita ini sampai ke tanganmu ... Tapi dia—si Bodoh itu, bersikeras, katanya: Lebih baik anak muda itu tahu sejak awal daripada kepikiran di belakang, saat kita sedang jauh darinya."

Dia yang dimaksud oleh Lien adalah Jan, rekan sekaligus senior perempuan itu di sekolah tinggi ilmu kedokteran. Seorang pemuda ramah yang seringkali harus menerima amarah Lien Hwa saat dia berusaha mengerem laju aksi perempuan muda itu.

"Intinya, dia memanjakanmu, Lui. Kalau kau putus asa selagi kami masih bisa mencapaimu, setidaknya aku bisa bantu-bantu sedikit untuk menaikkan semangatmu, kan?"

Alex tidak segera menanggapi. Lien Hwa mendengkus jengkel melihatnya.

"AYOLAH, Lui ... Teror di sekolahmu tempo hari memang kejadian yang tidak menyenangkan, tapi setidaknya semua teman sekolahmu selamat, kan?" bujuk Lien Hwa, seenaknya bersandar di ujung ranjang Alex.

"Teman-temanku semua selamat? Theo, Dean dan Julie—mereka semua tidak terluka?!"

"...Tidak juga, sih...," gumam Lien Hwa, matanya berputar seolah mencari sesuatu yang tidak ada, makin membuat perempuan itu terlihat ragu dengan jawabannya sendiri.

"Apa maksudnya dengan itu, Kak Lien?!" protes Alex. Susah payah dia berusaha bangun dan beringsut maju dari posisi duduknya untuk meraih pundak Lien Hwa.

"Ah, akhirnya kau mau melihatku," komentar perempuan muda itu dengan senyum lebar.

"Aku juga ... Bukannya tidak mau melihatmu, Kak Lien. Hanya saja... ."

"Kau merasa malu pada dirimu sendiri karena gagal menyelesaikan masalah teror kemarin?"

"A-a-aku bahkan membuat teman-temanku terlibat! Kalau mereka berbuat lebih nekad lagi ... Kalau mereka sampai terluka parah ... Kalau mereka kehilangan nyaw-"

Alex tidak bisa meneruskan kalimatnya karena jari telunjuk Lien Hwa teracung di depan hidungnya. Jari lentik yang entah bagaimana mengandung aura mengancam.

"Jangan tinggi hati, Bocah!" tegas Lien Hwa pedas. "Kau itu baru ABG kemarin sore yang belum lama hidup. Baru 15 tahun! Kau bahkan lebih muda dari semua temanmu di klub. Memangnya bocah yang waktu hidupnya terlambat hampir satu dekade dariku bisa apa?"

"T-tapi, Kak... ."

"Kalau ada yang bisa disalahkan dari kasus kali ini, adalah para teroris dungu itu dan ... diriku," lanjut Lien Hwa tanpa memberikan kesempatan bagi Alex untuk menyela. "Karena kecerobohanku, informasi tentang kemampuanmu bocor pada mereka. Bahkan ketika kami berusaha menebus dengan mencegah kebocoran meluas, informasi tentang sekolah dan teman-teman seklubmu gagal kami tutupi."

Ditunjuknya Alex dan 3 orang teman dekatnya sebagai perwakilan klub atletik membuat wajah dan sekolah asal mereka tersebar oleh media. Mungkin para teroris juga tidak tahu siapa di antara dua orang remaja berambut gelap dalam kuartet mereka yang jadi incaran, karena itulah mereka menyekap Theo lebih dulu.

Bila ternyata Theolah incaran mereka, mereka tinggal membawanya pergi. Bila ternyata bukan, mereka tinggal menggunakan Theo sebagai sandera untuk memancing tiga yang lain.

Alex menyandarkan punggungnya ke bantal-bantalnya kembali. Dia teringat akan reaksi ibunya ketika dia menyampaikan kabar soal terpilihnya dirinya menjadi atlet mewakili sekolah. Sama sekali bukan ekspresi senang atau bangga.

"Kau pasti menyalahkan diri lagi ... Kali ini menyesali karena terpilih jadi wakil sekolah?"

Tebakan Lien Hwa yang tepat sasaran membuat wajahnya memerah.

"Dasar, kau ini ... Sudah kubilang, wajah kalian tersebar itu bukan masalah. Atlet-atlet dari sekolah lain juga tampangnya terpajang di koran, banyak yang lebih besar dari ukuran foto kalian, malah ... Tapi mereka tidak jadi sasaran, kan?"

"Kakak benar, tapi... ."

"HAISH, SUDAHLAH! Tidak usah memikirkan lagi hal-hal yang sudah basi itu. Kau punya masalah lain yang lebih penting sekarang. Soal sekolah barumu."

Alex merasa kembali diingatkan dengan apa yang dikatakan oleh ibunya tempo hari.

"Menurutku pribadi, sekolahmu nanti bukan pilihan jelek. Memang sangat ketat dan kesukaanmu pada atletik hampir pasti berakhir sebatas hobi, tapi kalau kau pasti bisa menyesuaikan diri, Lui. Kami sekalipun tidak bisa sembarangan ikut campur pada instansi yang diawasi langsung oleh para bangsawan tinggi."

"Ibu akan memasukkan aku ke sekolah khusus bangsawan?!" tukas Alex berang. "Apa Beliau lupa kalau gelar Margrave Ayah hanya nama saja? Kami bukan lagi bangsawan sungguhan. Kami sudah tidak ada wilayah kekuasaan. Apalagi leluhur kami sempat dituding sebagai pengkhianat-... ."

"Memangnya kau peduli dengan segala tetek-bengek yang dipermasalahkan oleh para bangsawan? Kalau kau, aku yakin bisa membungkam para tuan muda di sana dengan akal bulus dan senyum palsumu, Lui ... Ditambah wajah yang cukup tampan, kau ini contoh sempurna putra bangsawan ideal."

Diakui atau tidak, didikan keras ibunya dan berbagai pengetahuan dari ayahnya membuat Alex terbiasa untuk menjaga sikap. Lebih mudah untuk bergerak dan berkilah bila semua orang mempercayaimu. Alex memanfaatkan betul setiap aset yang dia miliki, untuk bisa hidup senormal mungkin di dalam aturan Plate.

"Tapi aku juga beranggapan bahwa memasukkanmu ke sana bukan ide bagus."

Lien Hwa membentangkan lagi artikel koran di tangan dengan jemarinya.

"Mungkin kau sendiri sudah mulai sadar, selama ini kita sudah salah menilai kemampuanmu, Lui," perempuan itu membiarkan matanya menelusuri foto kelabu kawah besar di apa yang sebelumnya adalah salah satu gedung sekolah Alex.

Remaja laki-laki itu membeku. Dia rela mengorbankan tangan atau kakinya daripada harus mendengar kelanjutan kalimat Lien Hwa.

"Kemampuanmu bukan sekadar untuk menetralisir energi. Efek Plate dan energi magis hanyalah bahan bakar yang tanpa sadar kau kumpulkan untuk melakukannya."

"...Seharusnya aku ikut tertelan bersama ledakan magis waktu itu," gumam Alex pelan.

"TEEET ... Salah!" seru Lien Hwa. Tangannya yang lain menjepit hidung remaja di hadapannya seperti selagi menyuarakan tiruan bel quis.

Lien Hwa mengacungkan pistol jari di depan hidung Alex, lalu melanjutkan, "Ibumu memang sudah mulai mengatur prosedur kepindahanmu ke sekolah baru ... TAPI, kau masih punya dua pilihan!"

"Satu, kau boleh lepas tangan. Serahkan semuanya pada kami sementara kau memulai hidup baru yang sesuai dengan keinginan ibumu yang berarti mengabaikan bahaya laten dalam dirimu, atau... ."

Perempuan itu melipat jempolnya.

"...Dua, kau memulai hidup baru DEMI mempelajari dengan betul apa SESUNGGUHnya bentuk kekuatanmu ini. Kali ini kau tidak cukup hanya melacak jejak-jejak yang ditinggalkan oleh nenek buyut KAMU. Kau harus pergi dan mendatangi sendiri sumber kekuatan KAMU, darah KAMU dan segala yang tercatat dalam DNA KAMU!"

Lien Hwa berkali-kali menyendul dahi Alex setiap kali menyebut kata: kamu, dalam kalimatnya.

"Tentu saja ... Untuk bisa mencapai itu semua kau harus sepenuhnya terlepas dari pengaruh orang tuamu. Itu berarti untuk selanjutnya kau akan berhenti hidup sebagai von Schwarzewald hingga entah sampai kapan."

Alex mengerjap sekali pada telunjuk Lien Hwa yang masih teracung mengancam padanya.

"Tapi, Kak Lien ... Bagaimana dengan ibuku?" Alex yakin, ibunya tidak akan pernah mengizinkan dia mengambil jalan yang disarankan oleh Lien Hwa.

"Kau ini lupa, ya ... Bukankah kau masih punya seorang ayah?"

"Ayah ... Ku?"

Selama belasan tahun hidupnya, Alex hanya ingat akan wajah tersenyum seorang ayah yang sepertinya mengiakan segala tuntutan istrinya. Remaja itu tidak bisa membayangkan ayah yang seperti itu bisa membantunya mengatasi masalah ini.

"Ayah ... Selalu menuruti kemauan Ibu. Beliau tidak akan bisa membant-"

"...Lui, kenapa kau tidak minta tolong pada ayahmu?" potong Lien Hwa.

"Sepanjang pengetahuanku—dari cerita-ceritamu, kau hanya mengeluhkan soal ibumu yang mengguyurmu dengan cintanya yang berlebihan dan sikapnya yang over-protektif, saja. Di mana ayahmu pada saat-saat begitu, apakah kau pernah sekali saja meminta bantuan kepada Beliau?"

Alex mencoba mengingat kembali saat dia harus berkali-kali pindah tempat tinggal, karena ibunya menginginkan lokasi yang tepat untuk 'merawat' dirinya. Juga saat bibinya, kakak kandung ayahnya, menawarkan untuk ikut dengan keluarga mereka di luar Plate. Ayahnya memang menyetujui keinginan ibunya, tetapi bukankah beliau juga selalu melakukan satu hal sebelumnya?

"Ludwig, apakah kau benar-benar setuju dengan yang diinginkan ibumu?" adalah kalimat yang selalu ditanyakan oleh ayahnya setiap kali ibunya menuntut sesuatu.

Alex yang selama ini tidak sadar bahwa ada cara lain untuk hidup selain mengikuti kehendak ibunya selalu hanya bisa mengangguk patuh. Dia tidak ingin membuat ibunya kecewa, mungkin karena dia takut ibunya akan semakin membencinya bila dia tidak menurut.

"Lui, otakmu itu encer tapi kadang terlalu banyak pertimbangan sampai macet dan tidak berfungsi," Lien Hwa berkata, membuyarkan lamunannya akan masa lalu. "Aku tahu kau tidak suka, tapi selagi kau masih diberkahi dengan berbagai keuntungan, pergunakan semuanya sebaik mungkin ... Kalau tidak, sia-sia saja kau punya nama yang terdengar hebat itu, kan ... Alexander Ludwig von Schwarzewald?"

Alex tidak menjawab, tetapi air mukanya terlihat lebih cerah dan pandangan matanya yang balas menatap pada Lien Hwa tampak menunjukkan tekad.

"Bagus!" komentar Lien Hwa puas.

"Ini ... Gunakan untuk menghubungi ayahmu!" perintah Lien Hwa seraya meletakkan sebuah telepon nirkabel di pangkuan Alex.

Mata remaja laki-laki itu membuat. Sepanjang pengetahuannya, kamar tempat dia dirawat tidak dilengkapi dengan pesawat telepon. Dia ingin bertanya dari mana Lien Hwa mendapatkan pesawat telepon itu, tetapi pelototan perempuan muda yang masih menatap tajam padanya membuatnya mengurungkan niat.

Tombol nomor ditekan beberapa kali. Alex hapal nomor khusus untuk ruang kerja ayahnya di luar kepala, tetapi baru kali ini dia menggunakan nomor tersebut. Ada debaran yang menggelitik dadanya ketika nada sambung mulai terdengar.

Satu kali nada sambung berdengung lagi, lalu terdengar klik lembut ketika gagang telepon diangkat di seberang sana.

"Halo?" sapa suara dalam namun terdengar hangat di telinga yang sangat dikenali oleh Alex. Entah kapan terakhir kali dia mendengar langsung suara ayahnya. Sejak dirawat, dia hanya bertemu dengan ibunya saja—walau seorang perawat memberi tahu bahwa ayahnya pernah datang menjenguk ketika dia masih belum sadarkan diri.

"Siapa ini?" tanya suara ayahnya lagi, membuat Alex sempat panik karena tiba-tiba dia melupakan apa yang hendak dia bicarakan. Dengan isyarat tangan dia minta bantuan Lien Hwa yang langsung diacuhkan oleh perempuan muda itu—Lien Hwa pura-pura tidak melihat isyarat tangannya.

"...Ludwig?"

Tenggorokan Alex tercekat. Pelupuk matanya memanas.

"Betul, Ayah ... Ini aku," jawab Alex. Suaranya bergetar tetapi remaja laki-laki itu berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam beberapa kali.

"Aku butuh bantuan Ayah... ."


****

Продовжити читання

Вам також сподобається

1.1M 104K 32
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
1.1M 82.8K 35
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
109K 13.8K 22
Sang Tiran tampan dikhianati oleh Pujaan hatinya sendiri. Dia dibunuh oleh suami dari kekasihnya secara tak terduga. Sementara itu di sisi lain, dal...
191K 272 15
Kumpulan cerita dewasa part 2 Anak kecil dilarang baca