Arman duduk manis di kursi kebesarannya. Hari ini kakeknya akan kembali. Pasti keluarga besar itu akan menghubunginya melalui sambungan video call. Arman sedang menunggu sambungan itu.
Suara ketukan pintu membuat Arman mengangkat kepalanya.
"Masuk,"
Saat pintu terbuka, Arman melihat sosok yang kemarin dia bantu tengah berdiri di ujung pintunya, menutup pintu ruangan Arman. Natasha, gadis itu berjalan ke arah Arman dengan sebuah map. Dia meletakan map itu di atas meja Arman.
"Pak Tedi menitipkan dokumen itu untuk bapak periksa," ujarnya.
"Pak Tedi? Kenapa dia menitipkan pada anda?"
Natasha tidak menjawab. Gadis itu malah tersenyum simpul pada Arman.
"Pak, maaf kalau saya lancang. Bolehkah saya kembali ke divisi keuangan?"
"Kenapa?"
Belum sempat Natasha menjawab, gadis itu sudah diboyong dengan banyak pertanyaan dari Arman.
"Tidak suka bekerja di dekat saya?"
"Atau ada yang anda benci?"
"Apa karena kejadian kemarin?"
"Bukan, pak!" Ujar Natasha dengan cepat untuk memotong rentetan pertanyaan Arman.
"Lalu?"
"Jadi begini, pak. Saya sewaktu melamar disini, kan sebagai karyawan bagian keuangan. Kalau saya bekerja sebagai sekretaris bapak, nanti lembar penilaian milik saya dan milik teman satu kampus saya berbeda, pak,"
Arman mengangguk. Penjelasan Natasha memang masuk akal.
"Keluarlah dulu. Nanti kalau dokumen ini sudah selesai saya periksa, saya akan memanggil anda,"
Natasha mengangguk. Arman memeriksa dokumen keuangan di depannya. Dia juga mengetik sebuah surat. Surat otu dia selipkan dalam map dokumen yang akan diberikan kepada Tedi. Selesai dengan memeriksa dokumen, Arman memanggil Natasha.
"Ya, pak,"
"Ini, bawa ke tempat Tedi. Sekaligus, besok kamu kembali ke divisi keuangan,"
"Baik pak. Terima kasih,"
"Masa magang anda sampai kapan?"
"Sampai bulan Juni, pak,"
"Setelah itu kembali lagi kesini dan bekerjalah sebagai sekretaris saya,"
Natasha terkejut. Dia mengerjapkan matanya dan membuat Arman gemas.
'Dia menggemaskan kalau seperti itu. Aku jadi ingin mencubit pipinya,' pikir Arman sebelum dia menyadari pikiran konyolnya.
"Saya permisi dulu, pak,"
Arman mengangguk. Natasha segera beranjak.
"Nat,"
"Ya, pak?"
"Kalau nanti setelah selesai magang anda tidak kembali untuk melamar disini...."
Natasha menatap Arman heran. Menunggu kelanjutan ucapan atasannya itu.
"Saya akan menghampiri anda di kampus anda setiap hari,"
Natasha tercengang dengan mulut sedikit terbuka. Sungguh, Arman ingin tertawa melihat ekspresi Natasha yang menggemaskan itu. Arman berdeham beberapa kali untuk menyadarkan Natasha juga untuk msnahan tawanya.
"Natasha!" Arman sedikit menaikan nada suaranya.
Natasha tersadar dan dia langsung pamit untuk kembali ke mejanya. Begitu Natasha menuntup pintu, tawa Arman langsung keluar meski tidak sampai terbahak.
"Benar-benar gadis unik,"
Arman teringat sesuatu. Dia langsung merutuk dan menutup mulutnya sendiri dengan tangannya.
"Ngapain gue ketawa?"
Tapi, semua itu tidak berlangsung lama karena setelahnya, Arman terkekeh kecil dan menggelengkan kepalanya. Sungguh, hari itu seorang Gio Armano penuh dengan senyuman.
.........
"Eh, opa. Kapan opa sampai?" Tanya Arman saat dia melangkah masuk ke rumahnya.
Arman duduk di sebelah kakeknya dan melonggarkan dasinya.
"Jadi bagaimana opa?" Tanya Arman.
"Nanti saja. Tunggu ayah dan adikmu pulang,"
Arman mengangguk kecil. Dia duduk memilih mandi lebih dulu. Selesai mandi, keluarganya sudah berkumpul di bawah. Arman kembali duduk di sebelah kakeknya. Dia menatap adiknya yang agak murung hari ini. Ingatkan Arman untuk bertanya pada adik kecilnya itu nanti.
"Jadi?" Tanya Arman.
"Dia tidak mau kembali. Dia berjanji akan kembali tahun depan,"
"Kenapa tahun depan?" Tanya Arsen.
Arman melihat kakeknya menghela kecil.
"Dia bilang mau mencoba mendirikan bisnisnya sendiri. Jadi, dia ingin mengumpulkan uang lebih banyak disana dan kembali kesini saat dia hendak membangun bisnisnya nanti,"
"Bisnis? Bisnis apa, yah?" Tanya Alvaro.
"Dia tidak bilang,"
Arman bisa melihat raut kecewa di wajah ayahnya. Setelah memberitahu hal itu, kakek mereka pergi bersama dengan Alexander paman mereka. Arman melihat adik bungsunya naik ke atas dan Arman menyusulnya.
"Alesha," panggil Arman.
"Ya?"
"Apa ada yang mengganggumu?"
"Tidak kak. Kenapa kakak bertanya begitu,"
"Sejak pulang tadi, wajahmu murung terus. Ada apa? Kalau ada masalah bicarakan pada kakak. Mungkin kakak bisa membantumu,"
"Alesha nggak apa-apa kok, kak. Serius,"
Arman tahu adiknya berbohong. Dia tidak bisa memaksa adiknya untuk bercerita. Jadi, Arman hanya mengangguk dan membiarkan adiknya masuk ke kamarnya.
"Huft! Setelah kak Ardan sekarang Alesha. Astaga!" Gerutu Arman.
Arman memilih mengambil jaketnya dan keluar dengan motor sportnya. Dia memutuskan untuk makan di restoran fast food terdekat. Lima belas menit membelah jalanan di daerah rumahnya yang cukup ramai, dia sampai di tempat yang dia tuju. Arman duduk setelah mendapatkan makan yang dia mau.
"Hm?" Arman tersenyum kecil saat melihat sosok yang baru saja masuk ke restorant tempatnya makan.
Mata Arman terus mengikuti arah dan gerakan sosok itu. Kening Arman sedikit berkerut saat dia melihat gadis itu membeli dua paket nasi untuk dia bawa pulang. Arman masih terus memperhatikan gerakan sosok itu.
Bibir Arman tersenyum tipis. Dia tertegun sekaligus kagum pada sosok yang berada beberapa meter di depannya. Sosok itu memberikan makanan yang baru dia beli pada seorang ibu dan anak yang nampaknya adalah orang yang kekurangan.
Arman berdiri dan mendekati sosok itu. Dia bisa mendengar percakapan sosok itu dengan ibu yang dia berikan makanan.
"Benar tidak apa, non?"
"Aduh, bu. Jangan panggil saya non! Dan iya bu, itu buat ibu sama anak ibu,"
"Terima kasih, neng. Terima kasih,"
"Iya bu. Sama-sama,"
"Neng-nya kenapa nggak makan?"
Arman bisa melihay tubuh sosok itu berjingkat kaget.
"Ummm... itu bu... saya..."
"Dia bareng saya, bu," ujar Arman memotong ucapan sosok itu.
Sosok itu juga si ibu menoleh ke arah Arman. Arman ikut duduk di kursi depan restoran itu.
"Dia makan bareng saya, bu. Kita janjian tadi," ujar Arman.
"Oh... ya sudah kalau begitu. Terima kasih sekali lagi, neng,"
"I-iya bu,"
Ibu itu hendak beranjak dan saat itu, Arman berdiri. Arman menghampiri ibu itu, menyalaminya dan menyelipkan beberapa lembar uang seratus ribu.
"Untuk anak ibu,"
"Terima kasih, den,"
"Sama-sama, bu,"
Arman kembali dan segera menangkap pergelangan tangan sosok yang hampir kabur itu.
"Kamu belum makan, kan?"
"Ummm... itu pak..."
Arman tahu sosok di depan sedang mencoba berbohong padanya.
"Jangan berbohong!"
Sosok itu akhirnya mengangguk. Arman menarik sosok itu dan mengajaknya mengantri.
"Pesan saja apa yang mau kamu makan,"
"Tapi, pak,"
Arman menatapnya dengan agak tajam. Sosok itu mengangguk. Dia memesan makanan yang biasa dia makan.
"Ada tambahan lagi?" Tanya petugas kasir.
"Tolong tambahkan mocca float satu, puding cokelat satu, dan sup krim satu,"
Petugas kasir mengulang pesanan dan menyebutkan jumlah yang harus dibayar. Arman mengeluarkan atm-nya dan memberikan kartu itu pada kasir. Arman bahkan menjadi orang yang membawa nampan makanan itu ke meja di sudut restoran.
"Makanlah,"
"Bapak tidak makan?"
"Saya sudah makan duluan tadi disana," ujar Arman sambil menunjuk meja di yang tadi dia duduki.
Sosok di depan Arman memakan makanannya. Arman senang melihat bagaimana cara sosok itu makan. Sosok itu tidaklah mencoba menjadi orang lain. Sosok itu hanya menjadi dirinya sendiri sekalipun dia berada di depan Arman.
"Makan perlahan, Natasha," ujar Arman membuat sosok itu tertegun.
Jangan salahkan jika dia tertegun. Bagaimana tidak? Arman benar-benar mengucapkan hal seperti itu dengan nada yang tidak arogan. Arman menyadari apa yang dia katakan saat dia melihat Natasha terkejut dan menatapnya tanpa berkedip.
Arman berdeham dan membiarkan Natasha kembali memakan makanannya. Seusai makan, Arman menawarkan diri mengantar Natasha pulang. Meski lebih terlihat memaksa daripada menawarkan, akan tetapi, dia benar-benar mengantar Natasha sampai di depan rumahnya. Melihat bagaimana rumah Natasha di perumahan itu membuat kening Arman sedikit mengerut.
'Dia berasal dari keluarga yang lumayan. Kenapa dia sempat berhenti kuliah? Dan dia kenapa bisa tidak memiliki uang sepeserpun di dompetnya?'
"Terima kasih, pak,"
"Besok saya jemput disini jam 7 pagi,"
"Eh? Pak tidak usah,"
"Sampai besok pagi," Arman berujar dan langsung melajukan motor sportnya menjauhi rumah Natasha.
Arman tersenyum kecil. Arman masih terbayang bagaimana gadis itu dengan baiknya dan tanpa ragu memberi makanan pada ibu dan anak tadi. Mengingat bagaimana senyum tulus Natasha tadi.
"Oh, shit!" Umpat Arman tatkala jantungnya mulai berdetak lebih cepat.
Detakan jantungnya sangat cepat. Seperti ada sebuah konser di dalamnya. Lalu, perutnya terasa tergelitik seperti ada jutaan kupu-kupu disana. Otot wajahnya berkedut untuk selalu tersenyum saat bayangan senyum Natasha melintas di kepalanya.
"Jangan bilang-" Umpat Arman pada dirinya sendiri.