Just a Friend to You

By galaxywrites

740K 93K 11.3K

[Sudah Terbit] Ada dua alasan kenapa aku menganggap jatuh cinta sama Arka adalah sebuah kebodohan yang aku ci... More

Author's Note
Prolog
Chapter 1 : Teman
Chapter 2 : Tempered Glass dan Ducati Biru
Chapter 3 : Rasa Cemas
Chapter 4 : Jatuh dan Tertimpa Tangga
Chapter 5 : Kenapa Harus Izin Dulu?
Chapter 6 : Serasi
Chapter 7 : Pacar Baru Arka
Chapter 8 : Kembalinya Rafa
Chapter 9 : Baper?
Chapter 10 : Sesuatu yang Aneh
Chapter 11 : Ngajak Jalan
Chapter 12 : CoziCafe
Chapter 13 : Kemungkinan
Chapter 14 : Sakit
Chapter 15 : Merasa Tersisih
Chapter 16 : Lebih Dari Teman?
Chapter 17 : Kisah yang Tak Sama
Chapter 18 : Pesta Jess
Chapter 19 : Pengakuan
Chapter 20 : Lagu Untuk Kita?
Chapter 21 : Isyarat
Chapter 22 : Obrolan Ringan
Chapter 23 : Menatap Punggung
Chapter 24 : Dua Medusa
Chapter 25 : Rencana Pindah
Chapter 26 : Bukan Sosok yang Sempurna
Chapter 28 : Diantara Kalian
Chapter 29 : Di Bawah Langit Malam
Chapter 30 : Keputusan
Chapter 31 : Teruntuk Kamu
Chapter 32 : Insiden
Chapter 33 : Gea Bagi Arka
Chapter 34 : Akhir Segalanya
Epilog
Pengumuman
Cover Just a Friend to You Versi Cetak
SPECIAL ORDER JUST A FRIEND TO YOU
Playlist
LOVE LETTER (PDF RESMI)

Chapter 27 : Sebagai Teman

11.7K 2.2K 316
By galaxywrites

Sesuai janji, aku update setelah vote di chapter sebelumnya nembus 1k. Terimakasih dan selamat membaca!❤️

Chapter 27

Aku dan Arka memilih kedai nasi goreng yang letaknya tak terlalu jauh dari rumahku. Kedai ini terbilang biasa, kami duduk saling berhadapan dan lesehan layaknya di restoran pecel lele. Kami sudah memesan, tinggal menunggunya tiba saja.

"Emang nggak papa ya lo ninggalin mama lo padahal dia udah nyempetin waktunya buat dateng ke rumah?" Arka lebih dulu membuka suara.

"Gapapa, kok. Sebenernya kemarin mama juga udah datang. Jadi kami lumayan banyak ngabisin waktu bareng."

"Oh, syukur deh kalau gitu."

"Tapi kemarin dia datengnya bareng Nauri."

"Oh ya? Apa ada hal nyebelin yang terjadi?"

"Ada pastinya! Gue sama Nauri disuruh jalan bareng. Ke toko buku," ucapku dengan nada kesal.

Arka terkekeh. Dia tahu aku punya hubungan yang buruk dengan Nauri. "Ada war yang terjadi setelahnya?" dia bertanya setengah menebak.

"Kayak biasa dia punya banyak stok kata-kata buat mancing emosi gue."

"Gimana kabar Nauri? Sampe sekarang gue masih kepengin ketemu dia langsung dan ngeliat seberapa nyebelin dia sebenernya. Denger cerita lo, kayaknya seru banget."

"Sialnya dia baik-baik aja," dengusku. "Jujur ya gue berharap banget lo nggak pernah ketemu dia."

"Kenapa emangnya?"

"Tampangnya tuh lumayan. Kalo lo naksir dia bisa berabe!"

"Gue juga pilih-pilih kali mau naksir orang. Masa iya mau sama medusa."

"Selly juga medusa, dan lo mau-mau aja," balasku datar.

Tanpa kuduga Arka tertawa ngakak. "Sial. Lo bikin gue kehabisan kata-kata."

Aku memangku tangan di atas meja dan menatap Arka dengan ekspresi penasaran. Kayaknya dia lupa bahwa ini adalah saatnya dia bercerita tentang dirinya dan Jess.

"Lo sama Jess kenapa bisa bubar?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Tawa Arka langsung tak bersisa. Mungkin ia tak menyangka aku langsung bertanya to the point. Kemudian senyum tanpa arti terbit di bibirnya. "Takdir."

Aku menghela napas pelan. Kayaknya memang Arka tidak mau membicarakan tentang itu padaku.

"Okelah, gapapa kalau emang nggak mau cerita. Gue menghargai privasi lo," ucapku mengalah.

"Udah nggak cocok lagi, Ge," Arka buru-buru menjelaskan.

Jawaban yang sama dengan yang Jess berikan.

Tepat saat itu, pesanan kami tiba. Arka menyuruhku makan dulu, baru kami akan lanjut membicarakan tentang Jess. Aku menurutinya. Selama beberapa menit kami fokus pada makanan di atas meja ditemani suara pengamen laki-laki berusia muda yang menyanyikan lagu Anji.

Aku menyadari ada beberapa pasang mata disini, khususnya cewek yang melirik Arka dengan sorot kekaguman. Arka memang punya tampang yang membuat cewek menoleh dua kali.

Setelah kami selesai makan, Arka lebih dulu membuka suara. "Jess cerita apa aja ke lo?"

Aku menenggak habis air putih di gelasku kemudian menjawab pertanyaan itu dengan jujur. "Jess bilang kalian udah putus. Alasannya karena emang nggak cocok lagi. Lo dinilai sebagai cowok yang nggak bisa memprioritaskan dia padahal seharusnya dia punya arti penting buat lo."

"Itu doang?"

"Iya. Emang ada yang lain?"

"Nggak ada sih."

"Lo kok jahat gitu sih sama Jess?"

"Gue nggak bermaksud gitu. Tapi semuanya terjadi gitu aja."

"Nggak akan terjadi kalau nggak ada penyebabnya," balasku. "Emangnya kurangnya Jess apa sih sampe-sampe lo nggak bisa ngehargain dia sebagai pacar? Wajar dong Jess minta diprioritasin."

Arka bersidekap. "Gue juga bingung kok bisa ya gue ngerasa ada yang kurang dari cewek secantik dia. Rasanya nggak pas aja di hati. Kayaknya gue udah dibutain sama yang lain."

"Lo bertingkah seakan lo sedang jatuh cinta setengah mati sama cewek lain. Lo belum bisa move on dari mantan lo?"

Arka mendengus menahan tawa.

"Coba sebutin mantan lo yang mana? Biar kita bisa cari solusinya."

"Sok tau emang ya. Gue udah move on dari semua mantan gue," balas Arka tak terima.

Yah, jadi siapa dong yang sudah membutakan Arka ini?

"Dasar playboy berhati dingin," cibirku. "Gue yakin dalam beberapa minggu ke depan lo udah dapet yang baru. Siklusnya kan biasanya begitu."

"Lo nggak suka?"

Nggak suka banget lah, Ar! Masa iya aku harus melihat orang yang kusuka lagi-lagi jadian sama orang lain? Rasanya, semakin nggak ada celah untukku masuk ke dalam hatinya.

"Jadi siapa target lo selanjutnya?" Aku balik bertanya. Kali ini dengan nada sarkas.

"Lo aja gimana?" tanyanya sambil tertawa.

Tawa yang menandakan kalau dia sedang main-main. Nyesek sih sebenernya diginiin terus. Tapi ya mau gimana lagi. Aku tahu Arka orangnya gimana. Dia sering bicara iseng. Kata-kata yang keluar dari mulutnya itu seringkali tak berdasarkan dari hatinya. Jadi tugasku adalah menganggap ini sebagai lelucon belaka.

Lelucon yang membuatku tampak menyedihkan. Poor you, Gea!

"Playboy berhati dingin mah nggak cocok sama cewek lugu kayak gue," candaku. "Lo tuh cari cewek yang beneran lo cinta, Ar, jangan cuma iseng atau sekedar tertarik doang. Endingnya bakalan ketebak. Lo nggak bakal mau memperjuangin mereka."

"Gila, ya. Kena banget omongan lo. Lo emang ngerti gue luar dalem."

"Gue kasian sama cewek-cewek yang jadi korban lo."

"Astaga, mereka nggak merasa jadi korban kok, Ge. Pacaran sama orang ganteng kayak gue juga banyak untungnya buat mereka."

Aku memutar bola mata bosan.

"Kayaknya gue mau ngejomlo dulu deh buat beberapa waktu. Rehat dulu. Bentar lagi ujian," ucap Arka dengan senyum jenaka.

"Idih, jawabannya samaan kayak Jess. Janjian, ya?"

"Hah? Dia bilang gitu juga?"

Aku mengangguk.

Lalu tiba-tiba ponsel Arka yang terletak di atas meja bergetar. Sepertinya ada panggilan masuk.

"Bentar, ya. Nyokap nelpon," kata Arka padaku lalu mengangkat panggilan di ponselnya. Masih duduk di tempatnya semula, Arka mulai bicara dengan mamanya via telepon.

Aku yang merasa tak mengerti dengan pembicaraan mereka mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pandanganku terjatuh pada pengamen laki-laki yang sedang bernyanyi di tengah kedai ini. Dia bernyanyi sendirian dengan gitar cokelatnya.

Berbeda dengan Rafa yang mengajakku makan di kafe yang begitu cozy dan ditemani live music. Bersama Arka, duduk lesehan sambil menikmati nasi goreng dengan hiburan pengamen saja rasanya bisa jauh lebih menyenangkan. Ternyata untuk menikmati sebuah momen, kita tidak perlu suasana yang serba mewah atau keren, cukup bersama dengan orang yang tepat saja, momen itu dapat terasa sempurna.

Pengamen yang mungkin masih berusia belasan itu mulai menyanyikan lagu lain.

"Ucapkanlah kasih satu kata yang kunantikan
Sebab ku tak mampu membaca matamu,
Mendengar bisikmu."

Suara merdu pengamen tersebut mengisi kedai yang tak terlalu padat ini.

"Nyanyikanlah kasih senandung kata hatimu
Sebab ku tak sanggup mengartikan getar ini
Sebab ku meragu pada dirimu"

"Mengapa berat ungkapkan cinta
Padahal ia ada
Dalam rinai hujan, dalam terang bulan,
Juga dalam sedu sedan"

Aku mengulang liriknya dalam hati. Mengapa berat ungkapan cinta padahal ia ada? Aku rasanya ingin tertawa sarkas. Tentu beratlah! Terlalu banyak risikonya.

"Mengapa sulit mengaku cinta
Padahal ia terasa
Dalam rindu dendam, hening malam
Cinta terasa ada"

Selama beberapa saat aku hanya memandang pengamen tersebut tanpa bisa berkata apa-apa. Aku terlalu larut dengan lagunya. Terlalu menghayati.

Hingga lagu itu selesai, aku pun tersadar bahwa suara Arka yang menggobrol dengan mamanya tak lagi terdengar. Aku menoleh ke arahnya. Mata kami langsung bertemu seakan Arka memang sudah memperhatikanku sebelumnya. Tatapan Arka begitu dalam dan lekat.

Pernah dengar kutipan "I always look at you everytime you look away?" Dengan GR-nya, saat ini aku merasa Arka sedang melakukan itu padaku.

Ini awkward. Sumpah. Jadi aku memutuskan untuk lebih dulu memutus kontak mata tersebut dengan berpura-pura fokus pada ponselku.

"Udah selesai kan makannya? Abis ini mau langsung pulang?" tanyaku tanpa berani memandangnya.

"Gue udah pernah bilang belum sih kalau gue seneng banget bisa ngabisin waktu bareng lo?" Bukannya menjawab pertanyaanku, Arka malah balik bertanya hal lain.

Tunggu-tunggu, di luar langit sedang baik-baik saja, kan? Jadi ada petir apa sampai-sampai dia berani mengatakan hal se-chessy ini padaku?

Aku mendongak, menatapnya. Arka tampak serius.

Aku mencoba menanggapi senormal mungkin. "Belum pernah. Tapi gue tau lo bilang itu karena gue adalah pendengar curhat yang baik, ya nggak?"

"Mungkin itu salah satu alasannya juga."

"Emang ada alasan lain?"

"Ada."

"Apa?"

"I think you're my cup of tea."

Aku mengerjap. Kaget.

Melihat senyumnya, seketika hatiku pun melambung tinggi.

"Senang rasanya bisa ketemu temen kayak lo," lanjut Arka yang sukses membuatku merasa seperti dijatuhkan dari ketinggian ratusan meter tanpa parasut. Tanpa aba-aba, tanpa persiapan.

Aku tertawa dalam hati. Mengasihani hati kecilku yang terus-terusan diberi harapan palsu.

"Thanks," sahutku dengan senyum miris.

Well, seharusnya aku tidak mengharapkan apapun dari Arka karena sejak dulu aku memang hanyalah teman untuknya.

Teman.

Jujur saja, saat ini aku sangat membenci satu kata berisi lima huruf tersebut.

***

A/N
Kalau mau denger lagunya, jangan lupa cek multimedia, ya. Liriknya ngena wkwk.

Jangan lupa vote dan comment! Semakin ramai lapak ini, semakin rajin pula buat lanjut❤️

Continue Reading

You'll Also Like

918K 67.6K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
411K 64.4K 37
Anna selalu merasa cukup. Baginya, hidupnya yang sederhana sudah sangat sempurna. Bukan harta berlebih yang membuatnya bahagia, melainkan saat ia mam...
2.7K 556 200
Hanya mentranslate, bukan pengarang asli Bab 1-200 Penulis: Ju Hyeon Status: Terjemahan Sedang Berlangsung. Aristine, seorang putri yang tidak bisa...
Na! By TIYASPS

Teen Fiction

667K 24K 15
"Na, tau nggak bedanya kipas sama elo?" "Apa?" "Kalau kipas bikin angin. Kalau lo, bikin angen." "....." *** Arjuna, cowok yang nggak bisa serius kec...